Rabu, 17 Juni 2009

Tanda-tanda Negara Kleptokrasi

Catatan: artikel ini dimuat Suara Pembaruan, 2009-01-15

Makin korup suatu negara makin banyak pula undang-undang (corruptissima republica plurimae leges). Demikian pepatah mengingatkan. Indonesia telah menggenapi kebenaran pepatah ini. Semakin banyak undang-undang ditelurkan wakil rakyat kita makin banyak pula korupsi melanda negeri ini.

Jika itu terus terjadi, pada gilirannya negara kita dipimpin para pencuri. Inilah yang disebut kleptokrasi. Perkara yang sudah diingatkan Machiavelli pada 1505, “apabila partai pelopor, baik dibentuk oleh rakyat, tentara atau kaum ningrat, yang dianggap paling ulung dalam membela martabat dan kepentingan bangsa, sudah menjadi bobrok dan melakukan korupsi, maka kita hanya akan tinggal mengikuti lelucon badut mereka sambil mengusap-usap dada. Sebab, kejujuran dan kebajikan sudah terancam bahaya fatal” (Machiavelli dalam The Prince).

Yang mencengangkan, kinerja DPR diukur dari seberapa banyak undang-undang yang ditelurkan selama masa bakti. Ini agak mengherankan, sebab mengedepankan kuantitas daripada kualitas. Lebih mengenaskan lagi, banyak undang-undang tidak berpihak pada rakyat. Ini terbukti dari banyaknya protes yang disampaikan rakyat, mulai dari undang-undang kependidikan, pornografi, UU Mahkamah Agung, hingga BHP.

Seperti kita mafhum, dua fraksi di DPR yakni PDI Perjuangan dan Partai Damai Sejahtera, melakukan walkout saat RUU Pornografi disahkan. Kedua fraksi ini menyatakan tidak bertanggung jawab atas disahkannya RUUP menjadi UUP. Alasannya sangat masuk akal: non-prosedural dan cacat secara substansi. Banyak undang-undang disahkan DPR, sebagai lembaga, dengan cara ini. Itulah sebabnya, ICW melaporkan Ketua DPR ke BK DPR terkait proses pengesahan undang-undang.

Yang terkesan konyol ialah DPR, yang berdasarkan teori Trias Politika, memang bertugas mengkonsep dan memproduksi undang-undang, tidak melakukan kajian mendalam. Lembaga negara yang berasal dari dan ada untuk rakyat itu telah menafikan amanat hati nurani rakyat dalam proses pembuatan undang-undang.

DPR bukanlah wakil rakyat manakala produk dan tindakannya tidak mencerminkan hati nurani rakyat. Dan ini bisa diselisik dari produk dan tindakannya. Angkat saja contoh kasus UUP dan sejumlah tindakan DPR, baik individual anggota maupun secara kolegial dan institusional, di mana banyak yang tidak mencerminkan realitas rakyat yang diwakilinya.

Dengan kata lain, produk dan keluaran DPR kurang berkorelasi dengan rakyat. Tindakan dan produk DPR belum mencerminkan cara berada (modus essendi) dan cara hidup (modus vivendi) masyarakat Indonesia yang plural.

Integritas

Yang memicu kontroversi pengesahan UUP bukan saja substansinya yang “bodoh dan konyol”, tetapi juga karena para pembuat undang-undang itu tengah dipertanyakan integritasnya oleh rakyat baik sebagai individu, kolektif, maupun institusional. Yang menarik, disahkanya UUP koinsidental dengan merebaknya kasus aliran dana dari Bank Indonesia ke DPR yang melibatkan lembaga secara keseluruhan.

Kalau diungkit ke belakang, banyak tindak disintegritas yang dilakukan DPR sebagai lembaga. Dari skandal seks, menerima suap, malas bekerja (tidak masuk kantor dan absen dalam rapat-rapat) , hingga memanipulasi rakyat. Semua itu adalah bentuk korupsi. Sebab, per definisi, korupsi bukan sekadar tindakan lahiriah yang tampak seperti mengambil kekayaan (harta benda) pihak lain. Lebih dari itu, korupsi juga menyangkut kurang/minimnya integritas seseorang/institusi .

Sebagai contoh, dalam sejarah peradaban umat manusia, Socrates pernah dijatuhi hukuman mati dengan cara menenggak racun. Ini gara-gara sang filsuf dituduh mengkorupsi (merugikan) masa depan kaum muda zamannya lantaran ajarannya yang radikal dan rasional. Socrates didakwa menghancurkan masa depan kaum muda, karena memprovokasi mereka berani kritis dan vokal kepada penguasa saat itu.

Selain itu, “menghancurkan masa depan banyak orang”, korupsi juga termasuk tindakan melakukan pembayaran ilegal/penyuapan. Berbicara tidak jujur juga adalah bentuk korupsi.

Dalam kondisi demikian, wajar jika rakyat mempertanyakan integritas DPR yang melahirkan produk undang-undang. Dan benarlah ungkapan corruptissima republica plurimae leges. Yang menggelikan, kinerja DPR kerap diukur dari seberapa banyak udang-undang yang telah dilahirkan. Padahal, yang benar, kinerja DPR ditakar dari seberapa dewan yang terhormat itu, baik sebagai pribadi maupun institusi, telah menyuarakan dan memperjuangkan aspirasi serta mewakili rakyat.

Benar bahwa tugas DPR secara teoretis melahirkan undang-undang. Namun, seberapa berkualitas undang-undang yang dilahirkan? Bukankah undang-undang yang berkualitas ialah yang mencerminkan modus vivendi dan modus essendi suatu masyarakat? Jika ini ukurannya, seberapa banyak undang-undang yang dilahirkan DPR berkualitas? Bukankah banyak sudah bukti penolakan rakyat atas RUU, sebelum ini, baik dengan cara demo maupun dengan cara menyampaikan pendapat secara tertulis?

Apakah DPR merespons dan mengakomodasi hati nurani rakyat? Tidak! Sekali lagi, DPR terjebak pada kriteria kinerja yang bersifat dangkal dan lahiriah: seberapa banyak melahirkan undang-undang.

Perilaku

Menurut Transparency International, korupsi ialah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya orang yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Dari perspektif hukum, korupsi mencakup unsur-unsur perbuatan penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana. Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi juga bentuk korupsi. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara juga tindakan korupsi. Selain itu, terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain.

Misalnya, memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan), penggelapan dalam jabatan, pemerasan dalam jabatan, ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggar a negara), menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggar a negara). Korupsi, atau korupsi politis, dalam arti yang luas ialah tindakan penyalahgunaan jabatan resmi bagi keuntungan pribadi.

Harus diakui, semua bentuk pemerintahan rentan korupsi. Tetapi, titik puncak korupsi terparah ialah kleptokrasi, yakni pemerintahan di tangan para pencuri. Tandanya adalah kepura-puraan dan tindakan munafik para pejabat negara. Permukaan lahiriah mereka tampak baik dan jujur, padahal dalamnya busuk. Inilah puncak korupsi dan kita sudah sampai pada titik ini!

Intensitas dan frekuensi korupsi bukan terletak pada aturan (undang-undang) , tapi pada cara hidup dan cara berada suatu masyarakat. Sebagai contoh, Australia, Kanada, Denmark, Finlandia, Islandia, Luxemburg, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Singapura, Swedia, dan Swiss adalah negara yang intensitas dan frekuensi korupsinya paling rendah menurut Transparency International.

Sebaliknya, menurut survei persepsi korupsi, 13 negara terkorup di dunia (menurut abjad) ialah Azerbaijan, Bangladesh, Bolivia, Kamerun, Indonesia, Irak, Kenya, Nigeria, Pakistan, Rusia, Tanzania, Uganda, dan Ukraina.

Kleptokrasi tengah melanda kalangan wakil rakyat. Di depan publik melakukan tindakan korupsi. Per definisi, itulah sesungguhnya tindakan pornografi: telanjang di depan umum. Dari kata Yunani “porno” telanjang/terbuka dan “grafein” (gambar/tulisan) .

Jadi, telanjang/terbuka bukan di depan umum, bukanlah tindakan pornografi. Para pembuat UUP agaknya kurang paham substansi pornografi, namun mereka justru melakukannya secara terbuka. Inilah kepura-puraan, kleptokrasi.

*) Penulis adalah Koordinator Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) Universitas Multimedia Nusantara, Jakarta

http://www.suarapembaruan.com/index.php

Tidak ada komentar: