Selasa, 29 September 2009

BUKU akan terbit (ke-52, 53, dan 54): Literary Journalism, Dayak Djongkang, dan Mengenal & Mencintai Kardinal, The Prince of Roman Catholic Church

Jurnalis era the new media dituntut menjadi knowledge worker, sebagaimana tuntutan pada dunia industri maju lain. Dengan demikian, posisi tawarnya makin tinggi dan profesi yang digelutinya menjanjikan ditilik dari status sosial dan segi finansial.

Namun, bagaimana “menghasilkan” jurnalis masa depan yang bukan saja terampil menulis (word smart), tetapi juga cerdas dalam berpikir (logic smart)? Bagaimana mengemas isi (content) media cetak, sehingga dapat bersaing dengan media elektronika yang jauh lebih cepat dan massif dari segi penyampaian?

Di Amerika Serikat, awal 1970-an, ketika tayangan TV dan media elektronika gencar menyerang keberadaan media cetak, tantangan dijawab Tom Wolfe. Wolfe mengenalkan genre baru penulisan media cetak saat itu yang kemudian populer dengan dengan nama “New Journalism”. Yakni fakta, data, informasi, dan wawancara yang dikumpulkan dan ditulis menggunakan elemen-elemen dan kaidah-kaidah sastra.

Menurut Connery, jurnalistik sastrawi ialah reportase yang dikemas dengan storytelling. ”Whether it’s called ”narrative journalism”, new journalism”, ”literary journalism”, or ”journalistic narrative”, the type of writing definied by these terms is blend of reporting and storytelling. ...narrative journalism upholds integrity and profesionalism, as its writers, astute to human experience, paint pictures and emotions with words. The narrative journalist is necessarily wrapped up in social realism, and is ”in fact, a Romantic Reporter, who assumes that reality is to be found by focusing on internal, rahter than external, human processes and movements; that feelings and emotions are more essential to understanding human life than idea”.

Di Indonesia, jurnalistik sastrawi dikenalkan dan dipraktikkan majalah Tempo tahun 1970-an. Meski sudah lewat empat dekade, aliran jurnalistik itu belakangan ini baru booming di negeri kita. Belum ada buku khusus yang mengupasnya. Inilah buku pertama yang secara akademik membahas jurnalistik sastra, menggabungkan word smart dan logic smart. Memenuhi bukan saja kebutuhan akademis, melainkan juga praktisi dan pekerja media.
ISBN 978-602-95532-1-5
Buku ke-52, diterbitkan Penerbit Salemba bekerja sama dengan UMN Press.

Daftar Isi
BAGIAN I
KECERDASAN OLAH KATA, KOMPETENSI MAHASISWA, SEJARAH, DAN PERTEMUAN JURNALISTIK-SASTRA

Bab 1
Kecerdasan Olah Kata (Word smart) dan Peluang Karier
1.1 Redefinisi Kecerdasan: Bukan Hanya IQ
1.2 Multikecerdasan
1.3 Peluang Karier
1.4 Writing Process

Bab 2
Tuntutan Kompetensi dan Pendidikan Jurnalistik di Perguruan Tinggi
2.1 Tuntutan Kompetensi dan Pendidikan Jurnalistik di Perguruan Tinggi
2.2 Membaca Menemukan Gaya
2.3 Pokok Bahasan dan Waktu yang Dibutuhkan

Bab 3
Jurnalistik dan Sastra dalam Lintasan Sejarah
3.1 Jurnalistik Zaman Romawi Kuno
3.2 Gutenberg dan Revolusi Pers
3.3 Sekelebat Sejarah Sastra

Bab 4
Jurnalistik Sastrawi sebagai Jurnalisme Baru
4.1 Ruang Lingkup Jurnalistik dan Sastra
4.2 Nama Lain Literary Journalism
4.3 Elemen Jurnalistik Konvensional
4.3 Sepuluh Elemen Sastra
4.4 Meramu Elemen Sastra
4.5 Karakterisasi
4.6 Point of View (sudut pandang)
4.7 Gaya Bahasa
4.8 Tema
4.9 Jurnalistik Sastrawi: Faksi
4.10 Jurnalistik Sastrawi menurut Para Pakar
4.11 Jurnalistik Sastra dan Perkembangannya di Indonesia
4.12 Sastra, Jurnalistik, dan Masyarakat
Bab 5
Logika sebagai Jalan Nalar Membuktikan dan Merangkaikan Fakta
5.1 Profesi Jurnalis dan Pertanyaan Filsafat
5.2 Logika sebagai Rangkaian Fakta dan Jalan Nalar Pembuktian
5.2.1 Asal Usul Logika
5.2.2 Alam dan kebudayaan Yunani
5.3 Apakah Logika Itu?
5.4 Induksi dan Deduksi: Jalan Menghasilkan PengetahuanBaru
Bab 6
Sillogisme: Jalan Mempraktikkan Deduksi
6.1 Sillogisme Kategoris
6.2 Bentuk-Bentuk Deduksi
6.3 Metateorikal Hasil
6.4 Taksonomi Logika
6.4.1 Logika Aristoteles
6.3.2 Logika Abad Pertengahan
6.3.3 Logika Modern
6.4 Logika dan Komunikasi Sehari-hari
Bab 7
Setiap Wacana Berawal dari Sepatah Kata
7.1 Struktur Bahasa
7.2 Kategori Kalimat
7.3 Argumen
7.4 Kapan Suatu Argumen Dapat Diterima?
7.5 Logika sebagai Cabang Filsafat Ilmu Pengetahuan

Bab 8
Merangkai Term sebagai Unsur Penalaran dengan Gaya Sastra
8.1 Term dan Kata
8.2 Isi dan Luas Term
8.3 Pembagian Term
8.3.1 Term menurut komprehensi
8.3.2 Term menurut ekstensi
8.3.3 Term menurut predikabilia
8.3.4 Term menurut kategori
8.4 Term sebagai Unsur Penalaran
8.5 Cerdas Merangkai Factum Menggunakan Term

Bab 9
Menulis dengan Hati, bukan Opini
9.1 Kode Etik Jurnalistik
9.2 Definisi dan Pengertian Kebenaran
9.3 Menulis Berdasarkan Fakta
9.4 Wacana sebagai Rangkaian Fakta, Bukan Opini
9.5 Jurnalistik Sastrawi: Menulis dengan Hati

Bab 10 Gaya Publikasi Jurnalistik Sastrawi
10.1 Gaya Publikasi
10..2 Unsur dan kaidah Sastrawi dalam Tulisan Kreatif Non-fiksi
10.2.1 Memoir
10.2.2 Biografi
10.2.3 Esai Personal
10.2. 4 Esai sastrawi
10.2.5 Artikel feature
10.2.6 Non-fiksi naratif

Bab 11
Literary Journalism: Paparkan, Jangan Katakan (Show, Don’t Tell)
11.1 Show, Don’t Tell
11.2 Persamaan antara Literary Journalism, Cerpen/Novelet/novel

Bab 12
Lead yang Mengail Minat Pembaca
12.1 Definisi Lead
12.2 Ragam Lead
12.1 Teras Ringkasan (Summary Lead)
12.2 Teras Paparan (Narrative Lead)
12.3 Teras deskripsi (Descriptive Lead)
12.4 Teras Tanya (Question Lead)
12.5 Teras Kutipan Langsung (Quotation Lead)
12.6 Teras Berkomunikasi Langsung (Direct Adress Lead)
12.7 Teras Berifat Teka Teki (Teser Lead)
12.8 Teras Imajinatif (Imaginative Lead)
12.9 Teras Kombinasi (Combination Lead)

Bab 13
Judul yang Memancing Minat Pemvaca
13. 1 Teknik Membuat Judul
13.1.1 Mengambil bulat-bulat nama tokoh utama
13.1.2 Menggabungkan tokoh utama dengan predikat
13.1.3 Simbolis
13.1.4 Alias
13.1.5 Intisari cerita
13.1.6 Persamaan dan Keindahan Bunyi (Eulogi)
13.1.7 Ha sil Akhir
13.2 Kalimat (dan Alinea) Pertama

BAGIAN III
LITERARY JOURNALISM DALAM PRAKTIK

Bab 14 Proximity, Clarity, Accucary, dan Readability
14.1 Empat Kunci Sukses
14.2 Fog Index dan Manfaatnya
14.3 Menerapkan Check Ability

Bab 15
Membaca Menemukan Gaya
15.1 Mencari dan Menempatkan Gagasan Pokok
15.2 Latihan

Gambaran orang Dayak bertelinga panjang berjuntai anting, bercawat, bersongket, makan sirih, tinggal di rumah panjang, pemburu kepala manusia (headhunter); hanyalah kenangan masa lalu. Labeling sebagai suku bangsa primitif dan sejumlah stereotype miring lain, tinggal cerita.

Kini, seiring modernisasi dan pembangunan, etnis Dayak masuk dalam peradaban baru. Tua muda, lelaki maupun perempuan, anak-anak hingga dewasa; semua berperilaku dan ber-modus vivendi seperti layaknya manusia modern. Telepon seluler, antena parabola, kulkas, televisi berwarna sudah jadi hal yang biasa bagi orang Dayak. Mobil dan motor pun bukan barang yang asing bagi mereka. Pendeknya, teknologi canggih dan informasi terkini dari penjuru dunia sudah merasuk bahkan memengaruhi peraaban dan cara hidup mereka.

Semua itu keniscayaan yang membuktikan bahwa etnis Dayak pun punya kemampuan adaptif untuk menghadapi perubahan zaman yang turbulen.

Buku ini merupakan kajian historis Dayak Jangkang, salah satu Land Dayak yang menurut para pakar lingustik dunia menuturkan bahasa Bokidoh. Ditutur lebih dari 45.000 penduduk, bahasa dengan sandi “Djo” di kancah dunia ini masih dan akan tetap eksis.

Diimbuhi sejumlah gambar kuno zaman kolonial yang didapat dari Herman Jozef van Hulten, misionaris Belanda yang menginjakkan kaki di bumi Borneo tahun 1938, foto koleksi Kon.Instituut v.d. Tropen Amsterdam, Romer Museum Hildesheim, dan koleksi pribadi. Menjadikan buku ini bukan saja bernilai historis, tapi juga sebuah studi komprehensif yang membahas kearifan lokal Dayak Jangkang hingga partisipasi politik meeka dalam Perang Majang Desa, filosofi di balik “ngayau” dan tradisi “mangkok merah”, Perjanjian “Tumbang Anoi” antarDayak Borneo 22 Mei - 24 Juli 1894 di Desa Huron Anoi Kahayan Ulu Kalimantan Tengah yang belum banyak diketahui publik, riak-riak politik Dayak dalam Pemilu 1955 serta akar dan sumber konflik etnik di Kalimantan Barat.
Buku ke-53

Saya hanya memuat hingga 2 bab saja dari buku ini. Paus Benedictus XVI kini hampir berusia 80 tahun. Kita tidak tahu, hingga kapan beliau memimpin Gereja Katolik yang jumlah penganutnya di dunia 1,2 miliar itu.

Jelang Konklav, biasanya orang miskin informasi dan pengetahuan tentang Dewan Kardinal, kardinal elektor, termasuk sejarah dan kiprahnya dalam Gereja Katolik. Saya menggali semua data dan informasi itu sejak dua ribu tahun lalu...., menyiapkan naskah ini 3 tahun lamanya, hingga tidur saya sehari antara 4-6 jam saja. Jadi,, buku ini bukan sekadar directory APA dan SIAPA KARDINAL SEDUNIA.

Puji Tuhan, kini naskah telah rampung 90%. Dan dengan sukacita, saya sajikan appetizer ini buat Anda, pembaca.

BAB 1
KARDINAL
DALAM KESATUAN DENGAN PAUS
DAN GEREJA KRISTUS


GEREJA Katolik Roma, juga disebut Gereja Katolik, adalah Gereja Kristus dalam satu kesatuan dengan Paus, yang saat ini dipimpin Paus Benedictus XVI. Gereja Katolik didirikan oleh Yesus sebagai komunitas Kristiani yang tak terbagi, sesuai dengan tradisi. Diletakkan dasarnya oleh Dua Belas Rasul. Gereja Kristus itu sepanjang masa diteruskan oleh Suksesi Apostolik.

Gereja Katolik hari ini tidak hanya Gereja Kristus terbesar, akan tetapi juga organizasi terbesar keagamaan seantero dunia. Menurut Statistical Yearbook of the Church, tdi seantero dunia (akhir 2004) tercatat 1.098.366.000, atau satu dari 6 populasi penduduk sedunia.

Sesuai dengan Kitab Hukum Kanonik, anggota Gereja Katolik yang tercatat itu ialah mereka yang sudah menerima Sakramen Pembaptisan, atau sudah diterima masuk ke dalam Gereja Katolik, dengan mengucapkan pengakuan iman. Jika tidak, mereka tidak diakui sebagai anggota Gereja.

Dalam kehidupan menggereja, Tahta Suci adalah pusat kehidupan Gereja di seluruh dunia yan disebut sebagai Ritus Barat. Sementara itu, dikenal juga 22 Gereja Partikular yang disebut Ritus Timur.

Gereja Katolik dibagi ke dalam wilayah yurisdiksional, yang didasarkan atas territorial tertentu. Standar teritorial unit itu disebut juga, dalam Ritus Latin, diosesan, dan dalam Ritus Timur disebut eparchy, yang dipimpin oleh seorang uskup. Pada pengujung tahun 2004, total jumlah wilayah yurisdiksi, atau see, 2. 755. (Annuario Pontificio 2005).

Arti Kata „kardinal“
Kardinal.
Kita tentu akrab dengan istiah ini. Namun, banyak dari kita belum tahu ihwal seputar arti kata, asal usul, tugas, macam, serta kiprahnya dalam hubungannya dengan Kuria Roma. Apalagi mengenal profil mereka secara lebih dekat dan detail.

Hampir sepuluh abad pertama sejak Petrus diangkat Yesus sebagai kepala Gereja kudus, pengangkatan Paus tidak hanya dipilih oleh kardinal terpilih (cardinal electors) seperti sekarang. Semula Paus, yang juga Uskup Roma, dipilih warga Roma dan keuskupan sekitarnya secara aklamasi. Waktu itu, belum ada tata cara pemilihan yang baku. Namun, dalam pemilihan itu umat memberikan suara.

Pada tahun 769, warga Roma tidak bisa lagi memberikan suara. Seabad berikutnya, peraturan diubah. Kaum bangsawan masih diperkenankan memilih, namun rakyat jelata tidak.

Baru pada 1059 diputuskan bahwa Paus hanya dipilih oleh kardinal. Kini peraturan menetapkan, kardinal yang berusia 80 ke bawah saja yang dapat memberikan suara bagi pemilihan Paus.

Pada zaman pencerahan, kadang kardinal menjadi kepala kabinet sebuah negara. Misalnya, Richeliu yang mengendalikan pemerintahan Prancis saat Louis XIII berkuasa. Hal ini diceritakan dalam novel Three Muskeeters oleh Alexander Dumas.

Secara harfiah, kardinal berarti:
 Pejabat tinggi Vatikan yang diangkat oleh Paus (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001:508).
 Roman Catholic clergy-man ranking below the Pope --Klerus Gereja Katolik Roma di bawah Paus (Dictionary of American English, 2002: 197).
 A priest of very high rank in Roman Catholic Church: Cardinals elect and advise pope –Imam yang tinggi derajatnya dalam Gereja Katolik: Para kardinal memilih dan memberikan nasihat kepada paus (Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, 2003: 177).



Para kardinal in uniform. Inilah pakaian lengkap kardinal, ketika mengikuti konklaf, sesi pemilihan paus.


Pakaian kardinal

Biasanya, pakaian kardinal mirip dengan uskup. Hanya bedanya, jubah resminya berwarna merah, dengan peci warna merah menyala pula.

Karena mengenakan pakaian serba merah, sinonim kardinal ialah burung berkicau dari Amerika Utara.


Burung kardinal: serba merah, dengan biretta yang juga merah mirip pakaian kardinal. Karena itu, dinamakan demikian.

Tugas kardinal
Apa tugas kardinal?

Tugas kardinal yang kasat mata dan yang paling menonjol ialah memilih paus baru, begitu paus terdahulu mangkat. Hal ini tidak bisa dipungkiri, sebab demikianlah kenyataannya karena sesuai dengan Konstitusi Aopostolik „Universi Dominici Gregis“ (selengkapnya lihat lampiran) yang menyebutkan, „Konklaf (pemilihan paus baru oleh kardinal) diadakan antara 15-20 hari setelah paus wafat.

Kardinal diangkat dan ditunjuk oleh Paus untuk memangku tugas-tugas Gerejani, atau untuk memelihara jiwa-jiwa yang ada dalam ancaman. Untuk itulah, dikenal tiga macam kardinal.
 Uskup Kardinal,
 Imam Kardinal, dan
 Diakon Kardinal

Identitas ketiga ranking kardinal ini sangat jelas-tegas. Selain prelat di dalam Gereja, mereka juga para diplomat yang melayani Gereja di Kuria Roma.

Pada saat-saat terakhir kehidupan Paus Yohanes Paulus II, kita dikenalkan adanya terminologi baru lagi mengenai kardinal, yakni in pectore (in = di dalam, pectore = hati). Jadi, kardinal yang nama dan identitasnya hanya Pauslah yang tahu, orang lain tidak tahu. Beredar kabar, di kalangan pers saat itu, kardinal yang dimaksudkan ialah sekretaris pribadi Paus Yohanes Paulus II.

Berapa banyak kardinal?
Total kardinal di seantero dunia 193, tidak termasuk kardinal in pectora. Pada pemilihan Paus Benedictus XVI, terdapat cardinal electors. Tapi, yang mengikuti konklaf kardinal. Artinya, kardinal yang berusia di bawah 80 tahun yang memiliki hak untuk dipilih (papabilis) dan memilih (electors).

Kardinal dari Indonesia
Adakah kardinal di Indonesia? Ada. Nama lengkapnya Julius Ryadi Darmaatmadja. Kardinal yang lahir di Muntilan pada 20 Desember 1934 ini adalah juga Uskup Agung Jakarta --sebelumnya Uskup Semarang.

Pada September 1957 Darmaatmadja masuk novisiat Jesuit di Girisonta. Ia mengikrarkan kaul pada September 1959. Tahun 1964 beliau memeroleh gelar licentiat filsafat di e Nobili College di Poona, India. Pada Desember 1964, ia ditahbiskan imam (selengkapnya lihat biografi, entry D).


BAB 2
KARDINAL
DALAM LINTASAN SEJARAH



Dewan Kardinal, pengangkatannya, jumlah, serta kiprahnya senantiasa mengalami kontekstualisasi atau penyesuaian dari zaman ke zaman. Pada masa Perjanjian Lama, Allah meminta Nabi Musa membujuk 70 tua-tua Israel untuk berkumpul dan membawa mereka ke hadapan wajah Yahwe di Kemah Pertemuan” (Bilangan 11:16).

Itulah dasar biblis, mengapa hingga hari ini Paus mengangkat dan memanggil para kardinal dalam sebuah consistory.

Dekrit Para Paus

Pada Sinode Lateran, 13 April 1059, Nicholas II mengeluarkan dekrit In Nomine Domini (Dalam Nama Tuhan) yang menyatakan bahwa paus harus dipilih oleh enam uskup kardinal.

Pemilihan Innosensius III pada 1130 menjadi praktik yang pertama, di mana tiga golongan cardinal ambil bagian di dalamnya.

Pada 1179, Konsili Lateran III (Konsili Umum Ke-11) menetapkan mengenai pemilihan paus yang memerlukan dua pertiga suara mayoritas. Selama Konsili Lateran III, ALEXANDER III (Licet de Vitanda) menegaskan kembali bahwa pemilihan paus harus diikuti tiga golongan kardinal.

Pada 1274, GREGORIUS X dalam Konstitusi Ubi Periculum menyatakan bahwa kardinal haruslah berkumpul pada konklaf, tidak lebih dari sepuluh hari setelah paus wafat di tempat dia meninggal untuk memilih penggantinya. Paus PAULUS VI mengeluarkan dekrit bahwa konklaf haruslah dimulai tidak kurang dari 15 hari dan tidak lebih dari 20 hari sesudah paus wafat.

GREGORIUS X juga menyatakan bahwa di dalam konklaf, para kardinal haruslah tidur dalam rumah komunal. Pada 1345, CLEMENT X mengizinkzn pemakaian tempat tidur bagi setiap kardinal yang dipisahkan oleh tirai atau tembok. Selanjutnya, LEO XIII mengizinkan setiap kardinal memiliki ruangan sendiri.

Sejak BONOFASIUS VIII (1294-1303), kardinal mengenakan jubah warna merah tua. Topi merah sebelumnya diperkenalkan INNOCENTIUS IV (1243-1254); pada November 1246, ketika bertemu dengan Raja Prancis di Cluny, INNOCENTIUS IV bahkan menganugerahkan topi merah kepada para kardinalnya. Pada 1464, PAULUS II (1464-1471) memutuskan bahwa kardinal harus mengenakan topi merah selama upacara kudus untuk membedakan mereka dari prelate yang lain.

Konstitusi Ubi Periculum dipertegas dekrit Ne Romani yang mengacu hasil Konsili Vienna pada 1311; melarang kardinal, selama Tahta Suci lowong, mengadakan kontak menggunakan apa pun dengan siapa pun selama pemilihan paus berlangsung.
Pada 1492, Lorenzo yang Agung menulis kepada putranya yang paling bungsu, Giovanni dei Medici, diakon cardinal pada usia tiga belas tahun (dia tidak tinggal di Roma hingga usia tujuh belas tahun), dan yang kemudian dikenal dengan Leo X (1513-1521):

Dalam dirimu, saya menaruh harapan, biarlah kasih karunia Tuhan melimpah atas keluarga, dan rasa syukur yang tak terhingga atas usiamu…
Jangan pernah alpa untuk selalau waspada bahwa ini semua bukan karena usahamu, bukan kebijaksanaanmu, bukan pula kehendakmu, yang telah menjadikan engkau seperti sekarang ini. Ini semata-mata karena Tuhan; Dia sendirilah yang memilih engkau sebagai kardinal. Karena itu, engkau harus menunjukkannya dengan hidup suci, senantiasa memberikan contoh dan menghargai kehidupan…
Saya memaklumi bahwa jika tinggal di Roma, yang merupakan sarang dari semua kejahatan, kamu akan menemui kesulitan besar di dalam menjalankan nasihat saya. Ini karena contoh itu gampang menyebar, dan juga lantaran kamu akan menemukan godaan, sehingga lupa akan nasihat ini.


JULIUS II(1503-1513) terpilih sebagai paus dengan suara bulat berkat uang suap serta janji-janji berlebihan pada konklaf yang diadakan haya sehari. Pada 14 Januari 1505, ia menerbitkan bulla yang mendeklarasikan bahwa pemilihan paus sama sekali bebas dari praktik suap-menyuap.

PIUS IV (1559-1565) dengan konstitusi In Eligendis menerbitkan “congregation particularis” yang menyatakan bahwa tiga kardinal, masing-masing dari setiap golongan, bersama dengan Camerlengo mengambil alih kepemimpinan Gereja selama konklaf berlangsung. Pada akhir tiga hari berikutnya, tiga kardinal senior akan mengangkat kongregasi ini.

Pada 3 Desember 1586, dalam bulla Postquam Verus, SIXTUS V menetapkan jumlah maksimum kardinal pada angka 70 (6 Ukup Kardinal, 50 Imam Kardinal, dan 14 Diakon Kardinal).

Kardinal dan Pemilihan Paus
Pada 21 Maret 1591, GREGORIUS XIV mengubah semua peraturan pemilihan paus, termasuk lamanya masa pontifikasi atau tata cara pengangkatan kardinal.
Pada 12 Maret 1622, GREGORIUS XV (Decet Romanum Pontificem) mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa pemilihan harus dilakukan dengan surat suara rahasia (ballot). Ia mengizinkan kardinal untuk mengikuti salah satu dari tiga bentuk pemilihan:

 Scrutinium (pemungutan suara)
 Compromissum (kompromi), atau
 Quasi-inspiratio (sebagai-bisikan hati)

Selain itu, ditegaskan bahwa tidak seorang pun dari kardinal dapat memilih dirinya sendiri. Paus Gregorius XIV juga menetapkan untuk menghitung suara berdasarkan ballot yang harus segera dibakar sesudah perhitungan selesai dilakukan.

Di bawah judul Eminentissimus, (Terkemuka) yang merupakan julukan dari imperium Byzantium dan berlangsung hingga Imperium Suci Roma hingga dari sanalah nanti orang terkemuka masuk ke dalam bilangan para orang terkemuka yang memilih paus. Sesuai dengan saran Richelieu, URBANUS VIII pada 10 Juni 1630 membatasi para pemilih paus hanya para kardinal, yang kemudian disebut sebagai ‘paling termashur’ dan ‘paling mulia’.

Julukan itu dikenakan juga pada Pemilih Gerejani dari Imperium Suci Roma, dan pada Grand Master of the Knights of Malta, yang menyandang gelar itu hari ini, sebagai satu-satunya awam yang begitu dimuliakan.

Pada 24 Mei 1882, LEO XIII mengeluarkan dekrit (Praedecessores Nostri) yang menyatakan bahwa pemilihan dapat diadakan di Roma jika paus wafat ketika sedang jauh dari tahtanya.

Pada 20 Januari 1904, PIUS X dalam bulla Commissum Nobis melarang hak pemerintahan secular untuk memberikan veto selama konklaf. Pada 25 Desember 1904, Paus yang sama menerbitkan Vacante sede Apostolico yang mengkodifikasi legislasi utama yang berkaitan dengan pemilihan paus. PIUS X, Apostolicae Romanorum, AAs, II (1910) 277 menegaskan bahwa oleh karena pekerjaan mereka di Kuria, maka uskup kardinal harus mempunyai uskup Bantu yang akan secara nyata bertempat tinggal di tahta suburbicarian. Namun, BENEDICTUS XV, Ex Actis Tempore AAs VII (1915) 229 mencabut dekrit Pius X.

PIUS XI, dengan Motu proprio, Cum Proxime, pada 1 Maret 1922 memperluas waktu antara paus wafat sampai pada pembukaan konklaf dari 10 menjadi 15 hari; ia memberikan pada para kardinal kekuasaan untuk memperluas rentang waktu sampai maksimum 18 hari.

Pada 8 Desember 1945, PIUS XII, dalam konstitusi Apostolik Vacantis Apostolicae Sedis, mendekritkan bahwa pemilihan harus dihadiri oleh dua pertiga tambah satu untuk menghidari suara pemilih yang memilih dirinya sendiri. Konstitusi yang sama menyatakan bahwa prodiakon kardinal mempunyai privelese melimpahkan pallium atas metropolitan dan hak untuk mengumumkan nama paus baru, setelah terpilih.

Pada Consistory 15 Desember 1958, JOHANES XXIII keluar dari tradisi dengan mengangkat lebih dari 70 kardinal.

Dalam Motu proprio Cum Garavissima pada 15 April 1962, YOHANES XXIII mendekritkan bahwa semua kardinal diangkat ke dalam martabat Episcopal dalam pemilihan.

Dalam Motu proprio Ad Purpuratorum Patrum 11 Februari 1965, PAULUS VI menambahkan Partiark Timur masuk ke dalam bilangan dewan kardinal.

Dalam Motu proprio Ingravescentem Aetatem 21 November 1970, PAULUS VI mendekritkan bahwa kardinal yang berusia 80 tahun:

 Berhenti menjadi anggota kuria dan bebas dari semua organisasi permanen Tahta Suci dan pejabat Negara Vatikan;
 Kehilangan hak untuk memilih paus, dan karena itu, otomatis tidak bias menghadiri konklaf.


Pada Consistory 5 Maret 1973, PAULUS VI menetapkan jumlah maksimum yang mempunyai hak memilih paus sebanyak 120 kardinal.


Pembagian Dewan Kardinal
Dewan kardinal dibagi ke dalam tiga golongan:
 Uskup Kardinal
 Imam Kardinal
 Diakon Kardinal

Uskup kardinal termasuk uskup titular dari tahta suburbicarian Roma, yakni (Ostia Palestrina, Porto dan Santa Rufina, Albano, Vellerti-Segni, Frascati, Sabina-Poggio Mireteto) serta para patriark Gereja Timur.

Tingkatan Episcopal terdiri atas para kardinal yang diberikan oleh paus gelar sebagai gereja suburbicarian. Seorang kardinal tidak dapat mengubah golongan ke Uskup Kardinal; ia haruslah diangkat oleh paus.

Ketua dewan kardinal menyandang tahta Ostia, seperti halnya tahta suburbicarian lain. Ketua dewan kardinal dan wakilnya dipilih oleh Kardinal Uskup dari golongan mereka juga. Uskup cardinal mengbdi purna waktu di Kuria Roma. Tatkala tahta suci mengalami kekosongan, Ketua Dewan Kardinal:

 Mengirimkan undangan kepada para kardinal supaya supaya datang menghadiri konklaf;
 Memanggil para kardinal menghadiri pertemuan, terutama untuk konklaf;
 Jika usianya di bawah 80, ia otomatis sebagai ketua konklaf;
 Jika Ketua Dewan Kardinal menghadiri konklaf, ia mempunyai hak untuk memimpin upacara kudus pemilihan paus baru seandainya paus terpilih belum ditahbiskan uskup.

Imam kardinal adalah uskup di luar kota Roma. Hal ini sesuai dengan hasil Konsili Trente, yang selanjutnya oleh Paus Urbanus VIII pada 1643 dinyatakan bahwa uskup, termasuk kardinal, haruslah tinggal di keuskupan mereka masing-masing.

Kardinal diakon ialah uskup tituler yang secara purna waktu mengabdi Kuria Roma. Sesudah menjadi Diakon Kardinal selama sepuluh tahun, Kardinal Diakon dapat naik kasta ke golongan Imam Kardinal. Sekretaris Tahta Suci masuk ke dalam bilangan Imam Kardinal yang masuk wilayah gerejani Keuskupan Roma dan sekaligus menjadi Imam Agung Basilika Lateran.

Sementara Imam Agung dua basilica patriarchal Roma (St. Petrus Vatikan dan St. Maria Majore) adalah juga kardinal namun biasanya diakon kardinal.

Diakon Kardinal Pertama (proto-deacon) mempunyai hak mengumumkan nama paus baru yang terpilih.

Kardinal mempunyai hak untuk mendengarkan pengakuan dosa dimana-mana di seantreo dunia tanpa tanpa hambatan dan bebas dari yurisdiksi uskup setempat.

Tidak ada komentar: