Selasa, 22 September 2009

Produksi Buku Tempo Doeloe: Book is Wings!

Benarkah the new media menafikan kertas, sehingga era baru itu disebut paperless? Barangkali tidak seekstrem itu.

Tak semua perkara yang dilakukan Belanda di Nusantara jelek dan, karena itu, wajib dihujat. Upaya Belanda melakukan alih teknologi cetak di Jalan Prapatan (dekat gereja Anglikan, Jakarta sekarang) misalnya, pantas dipuji. Lalu jasa pemerintah kolonial memajukan budaya tulis-baca-cetak di Nusantara, sungguh luar biasa. Belandalah yang merintis berdirinya Balai Pustaka.

Yang menakjubkan, bagaimana Belanda membangun jaringan dan komunitas pecinta dan pembeli buku. Tak lama setelah kemerdekaan, masa kejayaan penerbitan buku ditorehkan. First run (terbitan perdana) buku bisa menembus oplah 50 ribu –rekor yang saat ini sulit untuk dicapai, bahkan oleh penerbit besar sekalipun.

Rasanya, dibanding tempo doeloe, kini dunia penerbitan buku mengalami set back. Ada apa dengan dunia penerbitan buku Indonesia?

***

Pernah saya menulis kolom di sebuah majalah nasional. Judulnya “Penerbit Tiga Ribu”. Tulisan itu menyindir, sekaligus menggugah semua pihak. Mengapa dengan penduduk lebih dari 200 juta, terbitan perdana sebuah buku jarang menembus angka 3 ribu?

Daya belikah faktor penyebabnya? Tidak! Lihat saja di mal dan pusat perbelanjaan. Banyak orang yang punya duit, tapi mereka tidak membeli buku. Faktor melek huruf? Tidak juga! Lihat saja negara berkembang, seperti India dan Thailand. Buta huruf di sana cukup banyak, tapi masyarakatnya suka membaca dan banyak yang membeli buku. Kalau begitu, apanya yang salah?

Penelitian yang pernah dilakukan LPPM menunjuk, faktor penyebabnya adalah perilaku konsumsi masyarakat Indonesia yang tidak kondusif. Selain pengaruh budaya lisan yang masih kental, kebiasaan orang berduit di Indonesia bukan membaca dan membeli buku, tapi nonton televisi.

Sebenarnya, perilaku itu bisa saja digeser dengan sebuah upaya sistematis dan strategis. Namun, bukan porsi tulisan ini membahasnya. Tulisan ini hanya mengenang kembali masa kejayaan yang pernah dialami penerbit buku tempo doeloe.

Jasa Kompeni
Haruslah diakui, kompeni sangat berjasa memelekhurufkan bangsa kita. Kompeni juga “berjasa” mengangkat pujangga-pujangga Nusantara muncul ke permukaan. Tak syak lagi, Balai Pustaka (Volklectuur) yang berdiri tahun 1917 adalah penerbit yang banyak melahirkan pujangga (dan penulis) lokal. Antara tahun 1917-1942, Balai Pustaka menerbitkan sekitar 2.000 judul buku. Dan tahun 1930, Balai Pustaka menjual 300.000 kopi buku (Eduard Kimman, 1981: 89).

Tahun 1920-an, boleh dibilang mulai bangkitnya pujangga Nusantara, antara lain dengan terbitnya karya-karya berikut:

1. Novel Nur Sutan Iskandar berjudul Apa Dajaku karena Aku Perempuan (Indonesisische Drukkerij, 1922) dan Tjinta jang Membawa Maut (Balai Pustaka, 1926).
2. St. Takdir Alisjahbana dengan Lajar Terkembang (Balai Pustaka, 1926).
3. Armijn Pane dengan Belenggu (Pustaka Rakjat, 1940).
4. Hamka dengan Tenggelamnja Kapal van der Wijck dan Merantau ke Deli (1939).
5. Idrus dengan Surabaja (Merdeka Press, 1947).
6. Pramoedya Ananta Toer dengan Krandji Bekasi Djatuh (1947) Keluarga Gerilja (Pembangunan, 1950), Ditepi Kali Bekasi (Gapura, 1951).
7. Mochtar Lubis, Tidak Ada Hari Esok (Gapura, 1950), Djalan Tak Ada Udjung (1952), Sendja di Djakarta (1963).
8. Nugroho Notosusanto dengan Hudjan Kepagian (1958).
9. Ajip Rosidi dengan Perdjalanan Penganten (1958).
10. Motinggo Boesje dengan Nasihat untuk Anak-anak (1963).
11. Chairil Anwar dengan Deru Tjampur Debu dan Kerikil Tadjam jang Terampas dan jang Putus.


Di samping penerbit yang dikembangkan kompeni, penerbit penduduk asli Indonesia (indigenous publishers) mula-mula berkembang di Sumatra, dengan Limbago Minangkabau, Drukkerij Merapi (Bukittinggi), dan Almoenir (Padang).

Percetakan dan penerbit lokal mencetak dan menjual cerita-cerita lokal pula, seperti seri Lukisan Poejangga, Pergaulan, dan Dunia Pengalaman. Setelah itu, berkembang produksi roman picisan di seluruh kota Sumatra. Baru kemudian, tahun 1917, mendapat saingan dari Jakarta dengan tampilnya Balai Pustaka.

Tak lama berselang setelah merdeka, 1947, tampil penerbit Pembangunan –kerja sama antara Belanda dengan segelintir tokoh intelektual Indonesia. Tahun 1950, penerbit Pembangunan mempekerjakan 70 karyawan, 4 di antaranya orang Belanda.

Sebagai penerbit, Pembangunan boleh disebut sukses besar, dengan produksi yang cukup fantastis. Pembangunan menerbitkan karya-karya:
• Ir. Soekarno berjudul Sarinah, edisi kedua, sebanyak 50.000 eksemplar pada 1951.
• Hatta dengan judul Koperasi (1954).
• Chairil Anwar dengan Deru Tjampur Debu (1949).

Antara tahun 1949-1956, diterbitkan 50-70 judul buku. Penerbit Pembangunan menjadi market leader penerbit buku, dengan meraup 50% pasar saat itu.

Djambatan pada tahun 1953 menjadi penerbit yang agresif, dengan Roeswita Pamuntjak sebagai tokoh penting. Saat itu, Djambatan yang berkantor di Jalan Kramat Raja mempekerjakan 30 karyawan. Struktur organisasi penerbitan sudah mengenal adanya pembagian tugas yang jelas antara redaksi dan pemasaran. Jumlah produksi per tahun antara 150-200 judul, dengan oplah antara 3.000-7.500 eksemplar.

Tahun 1953, Masagung (Tjio Wie Tay) dan rekannya Adisuria (The Kie Hoat) mendirikan N.V. Gunung Agung. Hingga tahun 1964, Gunung Agung menolak menjadi anggota asosiasi penerbit Indonesia. Gunug Agung mengkhususkan pada penerbitan biografi, yang dicetak antara 3.000-5000 eksemplar. Sepanjang sejarahnya, biografi Soekarno yang paling laris, terjual 150.000 eksemplar.

Memasuki dekade 1970-an, dunia penerbitan (dan percetakan) memulai babak baru, dengan lahirnya perctakan dan penerbit PT Gramedia. Mula-mula menerbitkan buku terjemahan. Lalu masuk ke kamus. Seterusnya, membukukan cerita bersambung yang dimuat harian Kompas, seperti Karmila karya Marga T yang hingga kini mengalami cetak ulang lebih dari 20 kali!

Di tahun 1970-an itu pula, banyak lahir penerbit baru. Apalagi suasana sangat kondusif, dengan diproyekkannya sejumlah buku bacaan oleh Pemerintah, yang dikenal dengan Proyek Inpres Bacaan.

Buku = Jantung dan Pilar Media Cetak
Dalam arti yang luas, buku mencakup semua tulisan dan gambar yang ditulis dan dilukis atas segala macam materi, seperti: papyrus, lontar, perkamen, dan kertas dengan berbagai macam bentuknya. Ada yang berbentuk gulungan, dilubangi, diikat, atau dijilid.

Buku merupakan hasil dari perekaman dan perbanyakan (multiplikasi) yang paling populer. Berbeda dengan media cetak lain, seperti majalah, koran, tabloid, buku dirancang untuk dibaca dengan tidak terlalu memperhatikan aspek kebaruannya karena waktu terbitnya tidak begitu mempengaruhi.

Buku ialah alat komunikasi berjangka waktu panjang dan mungkin sarana komunikasi yang paling berpengaruh pada kerkembangan kebudayaan dan peradaban umat manusia. Di dalam buku dipusatkan dan dikumpulkan hasil pemikiran dan pengalaman manusia daripada sarana komunikasi lainnya. Sebagai alat pendidikan, buku berpengaruh pada anak didik daripada sarana-sarana lainnya (Ensiklopedi Indonesia, hal. 538-539).

Karena fungsi dan peranannya yang sangat sentral di dalam mengomunikasikan, mendokumentasikan, serta menyebarluaskan hasil pemikiran (dan budaya) manusia, maka buku disebut sebagai inti dan pilar media cetak. Tidak ada media cetak lain, selain buku, yang begitu lama dan tinggi kandungan nilai hasil olah pikir dan olah budaya manusia di dalamnya. Itulah sebabnya, di dalam membuat karya tulis (makalah, skripsi, tesis, disertasi atau menulis buku), referensi dari buku menjadi sangat tinggi nilai ilmiahnya dibandingkan sumber dari media cetak lainnya.

Potensi Pasar Buku di Indonesia
Dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa, semestinya Indonesia menjadi lahan bisnis buku yang sangat subur. Sayangnya, potensi luar biasa itu belum sepenuhnya bisa diaktualisasikan.

Persoalannya banyak sekali. Mulai dari masih rendahnya minat baca dan daya beli masyarakat, transportasi antarpulau yang belum sepenuhnya lancar sehingga berakibat pada ongkos pengiriman, langkanya para penulis, masih kurang dihargainya profesi penerbit, hingga masalah mahalnya harga kertas dan biaya cetak. Semua itu tali temali, yang menyebabkan bisnis buku dari dulu hingga kini kembang kempis.

Meski kondisi umum demikian, kita menyaksikan masih banyak penerbit buku yang sejak berdiri puluhan tahun lalu, hingga kini masih tetap eksis. Bahkan, dari tahun ke tahun terus-menerus menaikkan jumlah produksinya. Tidak hanya penerbit yang tergabung dalam holding company dengan core business percetakan dan penerbitan, penerbit buku milik keluarga dan pribadi pun terus maju dan berkembang.

Jakarta adalah lokasi paling subur bagi penerbit mendirikan basis. Namun, seiring dengan otonomi daerah dan semakin membaiknya perekonomian nasional, di daerah-daerah pun banyak penerbit bercokol. Kota-kota besar di Jawa menduduki posisi kedua setelah Jakarta, menyusul kota besar lain di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian, dan NTT.

Sejak buku pertama dikenal di Nusantara, minat baca yang minim dan daya beli yang rendah tetap ditunjuk sebagai alasan mengapa orang tidak membeli buku.

Di era 1970-an, ketika televisi, radio, dan film mulai masuk ke dalam kehidupan masyarakat, pengaruh media elektronika dianggap sebagai biang mengapa orang malas membaca. Dekade 1980, 1990, hingga memasuki milenium baru, pengaruh televisi tetap yang paling pokok disebut-sebut sebagai faktor yang mempengaruhi budaya baca masyarakat.

Meskipun media cetak, termasuk buku, lebih dulu hadir sebagai produk budaya, pengaruh media elektronika merasuk kehidupan umat manusia tidak dapat dibendung.1 Gejala umum menunjukkan, dalam konfigurasi perilaku konsumen terhadap media, maka buku menduduki posisi paling bawah.
Hierarki kebutuhan masyarakat terhadap media sbb:
1. televisi
2. radio
3. surat kabar
4. majalah
5. buku

Televisi itu “rakus”, demikian kata para pakar. Hal itu karena kehadiran televisi serta merta mempengaruhi pola hidup dan pola konsumsi masyarakat. Semakin ke bawah, semakin sedikit pula konsumen media.
Dan buku? Dari zaman kolonial sampai kini terus-menerus dihadapkan pada masalah klasik: segmen yang sangat kecil, dengan Jawa (plus Madura) dan Sumatera sebagai pasar utama.

Eduard Kimman mencatat, pada zaman kemerdekaan di tahun 1930-an, menurut sensus 1930, terdapat 14,8 penduduk melek huruf di Nusantara. Meski demikian, budaya membaca sangat tinggi waktu itu. Pulau Jawa dan Madura tercatat paling banyak jumlah taman bacaannya yang diprakarsai oleh Balai Pustaka.

Sebagai contoh, tahun 1925 terdapat 2.200 taman pustaka yang buku-bukunya diterbitkan dalam berbahasa Melayu. Selain itu, terdapat 400 perpustakaan serupa yang tidak diprakarsai Balai Pustaka, yang menyediakan buku.

Itu berarti, di tahun 1925, terdapat 2.600 perpustakaan, dan data buku yang dipinjam sekitar 1,9 juta setahun. Tahun 1930 meningkat menjadi 3.000 perpustakaan, dengan peminjam per tahun 2,7 buku. Itulah cikal bakal masyarakat perbukuan, yang terus berkembang hingga kini.

Di Amerika Serikat, tiap bulan November dirayakan BOOK WEEK (pekan buku). Di Indonesia, Hari Buku Nasional diperingati setiap tanggal 21 Mei. Peringatan tersebut ditetapkan dalam Kongres I Persatuan Toko Buku Indonesia (PTBI) yang diadakan pada bulan Juni 1958.

Sebenarnya, tanpa hari buku pun kita perlu membaca buku tiap hari. Book is wings!

Tidak ada komentar: