Susanto’s Facet # 5 (Bab 5)
Non ex voluntate carnis, sed ex Deo nati sunt (Bukan atas kehendak manusia, namun dari Tuhan mereka lahir).
Desa Kie San, Keresidenan Yongchun, Provinsi, Fujian. Gan Peng, salah seorang warga desa itu, coba mengembara. Ia menjejakkan kaki di tanah Jawa pada 1770. Meski bukan marga Gan pertama yang hijrah dari daratan Cina ke Tanah Jawa, Gan toh tercatat sebagai asal trah keluarga besar Gan Peng.
Garis keturunan Gan mulai pembaruan alami, menyatu dengan penduduk asli Jawa. Keluarga ini umumnya bermukim di pesisir utara pulau Jawa, mulai dari Tuban, hingga Indramayu. Pada tahun 1829, jelang usainya Perang Diponegoro (1825-1830), di daerah Kedu, keluarga Kongco Besar Gan Ka Long yang saat itu tinggal di desa Kretek, Keresidenan Kedu, tercerai berai karena pembantaian dan penjarahan. Salah seorang selamat ditolong penduduk setempat. Ia lalu menikah dan melahirkan dua putri.
Kongco Besar Gan Ka Long lalu menurunkan banyak generasi. Salah satunya, Gan Si Cang dan anak perempuan yang lebih dikenal dengan nama Nyai Gede Manila. Salah satu keturunannya menikah dengan Bong Swie Ho yang menurunkan Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid).
Sama seperti Gus Dur, Susanto, yang menyandang nama etnis Liem Kong Hok, ternyata juga berasal dari garis keturunan Gan Peng. Ini dicatat dalam buku Yan Bin’s Genealogy 1770-2004: Silsilah Keturunan Gan Peng (2004: 48).
Gan Peng …. Gan Sam Tjoen…
Tan Gin Hoa ›‹Liem Han Tjioe
Liem Kong Hok ›‹ Tati Sie Kiong Nio
a) Yohana Susanto
b) Patricia Angela Susanto
Catatan: Bisakah dibuat kreasi grafis-visual garis keturunan ini, agar lebih menarik?
Warna Nusantara
Gan (dialek Fujian), Ngan (dialek Canton), atau Yan (dialek Mandarin) berarti: wajah atau warna. Sejak awal, trah Gan Peng sudah memberi warna nusantara yang diteruskan keturunannya hingga hari ini. Warna nusantara keturunan Gan Peng semakin marak, manakala digagas sebuah Reuni Perdana Keluarga Keturunan Gan Peng di Restoran Shangrilla, Jakarta, 14 Februari 2004. Hadir waktu itu Yenny A. Wahid dan K.H. Abdurrahman Wahid. Dan yang menyampaikan sambutan waktu itu adalah Liem Kong Hok.
Liem Kong Hok alias A.B. Susanto menyampaikan sambutan saat reuni Perdana Keluarga Keturunan Gan Peng
Bisakah merajut kembali tali keluarga Gan Peng, setelah dua abad lebih berlalu? Ternyata, bisa. Johan Gondokusumo (Gan Kong Siang), Ketua Asosiasi Marga Gan Indonesia & Paguyuban Keluarga Keturunan Gan Peng berdasarkan riset dan bukti otentik menjelaskan,
Sejak kedatangan leluhur kami, Gan Peng, di Pulau Jawa (Hindia Belanda) pada abad ke-18, atau sekitar tahun 1770, komunikasi dan asimilasi dengan penduduk setempat sudah berjalan secara alami. Sejak leluhur kami, Gan Peng, sampai saat ini sudah 12 generasi. Sesuai dengan garis silsilah, saya adalah generasi ke-8, dan Liem Kong Hok adalah generasi ke-9. Dalam kurun waktu hampir 240 tahun, keturunan Gan Peng sudah berkembang menjadi sebuah keluarga yang sangat besar yang terdiri dari berbagai suku bangsa yang menganut agama dan kepercayaan yang berbeda pula... Ada yang Arab, ada yang Belanda, ada yang Jawa. Walaupun demikian, mereka tetap mengakui adanya tali persaudaraan dan saling menghargai perbedaan di antara mereka. Walaupun sudah disebut orang Arab atau orang Jawa, dengan bangga mereka tetap mengakui bahwa ada darah Tionghoa yang mengalir dalam tubuh mereka. Di sini, saya melihat bukti nyata bahwa unity in diversity atau Bhineka Tunggal Ika bisa berjalan dengan alami dan damai, bila tidak ada permainan tangan-tangan kotor politk.
Seperti Pemerintah Penjajahan Belanda yang untuk mengukuhkan cengkeraman kekuasaanya, menjalankan politik divide et impera yang kemudian diteruskan oleh rezim-rezim pemerintahan di Republik Indonesia untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Antara lain dengan membatasi wilayah kerja mereka hanya di kota-kota besar saja, dengan pemberian kode khusus pada kartu identitas mereka, membatasi profesi kerja mereka, dan yang paling celaka adalah menjadikan mereka sebagai kambing hitam politik. Kondisi ini menjadikan warga keturuan Tionghoa sebagai warganegara yang serba salah dan selalu was-was.
Beruntunglah, sejak K.H. Abdurrahman Wahid menjabat Presiden RI, beliau telah membuat satu langkah besar yaitu menghilangkan semua batasan yang mengungkung kehidupan warganegara Indonesia keturunan Tionghoa di Tanah Airnya sendiri. Saya yakin, karena Gus Dur dan kedua Presiden berikutnya –Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono, menyadari bahwa Indonesia benar-benar harus dikelola berdasarkan falsafah: Bhineka Tunggal Ika. Karena Indonesia bersatu dalam keberagaman, bukan karena diseragamkan.
Menurut Johan, keluarga keturunan Gan Peng adalah bukti kecil bahwa persatuan dalam keberagaman di Indonesia dapat diwujudkan dan dilestarikan secara alami, tanpa intervensi dari pihak mana pun dan dalam bentuk apa pun.
Bagaimana kiprah Liem Kong Hok, yang sekarang lebih dikenal dengan A.B. Susanto, dalam kehidupannya sehari-hari sebagai kawula Indonesia? Di mata Johan, Susanto lebih dikenal sebagai dokter yang beralih profesi ke bidang pendidikan dan konsultan manajemen. Sehingga kiprahnya di bidang sosial politik seolah tenggelam dalam ketenarannya sebagai konsultan manajemen dan tokoh publik. Padahal kiprahnya di bidang sosial politik tidak kalah seriusnya dengan bidang manajemen yang ditekuninya selama ini.
Di bidang politik, kita dapat melihat hubungannya yang intens dengan partai-partai yang berbasis keagamaan dan nasionalisme. „Susanto tidak rikuh duduk bersimpuh dengan para kyai untuk memperjuangkan misi kebangsaannya sebagai seorang warganegara bisa diterima mereka, diapun tidak segan-segan meluangkan waktu untuk berbincang dengan para tokoh nasionalis. Semua ini dia lakukan merupakan kiprah nyata dan kepeduliannya terhadap nasib bangsa dan negaranya, Indonesia! Semuanya dia kerjakan demi mendukung terwujudnya persatuan bangsa dan kesatuan negara Republik Indonesia di bawah payung Bhineka Tunggal Ika. Di bidang sosial, dapat saya lihat dari aktivitasnya yang nyata untuk mendukung dan mengembangkan Paguyuban Keluarga Keturunan Gan Peng. Susanto senantiasa berusaha untuk menghadiri kegiatan paguyuban. Meluangkan waktunya untuk menyusun hymne paguyuban yang kini sudah disosialisasikan kepada keluarga keturunan Gan Peng yang tersebar di seluruh penjuru dunia.“
„Saya menilai, kiprah Susanto sebagai seorang konsultan manajemen dan pakar manajemen kewiraan (leadpreneurship) sebenarnya juga merupakan sumbangsihnya sebagai seorang warganegara dalam mendukung pembangunan dan perkembangan ekonomi di Indonesia yang tak dapat disepelekan. Karena melalui usahanya yang konsisten, saya yakin, sudah banyak kader yang handal dan fasih untuk membangun Indonesia dan mengentaskan masyarakatnya dari kemiskinan dan ketidakmampuan ekonomi. Itulah, saya kira, sosok Liem Kong Hok sebagai seorang warganegara Indonesia!“ imbuh Johan.
Atas kepedulian dan perannya itu, Johan menaruh banyak harap pada Susanto. “Hendaknya ia senantiasa konsisten terhadap komitmen kebangsaannya untuk menjadikan Bhineka Tunggal Ika sebagai wujud nyata persatuan bangsa. Dan melalui persatuan ini diharapkan dapat mewujudkan mimpi seluruh bangsa Indonesia, yaitu masyarakat yang makmur dalam keadilan dan masyarakat yang adil dalam kemakmuran.”
Namun, bisakah seseorang memilih dilahirkan oleh siapa, di negara mana, dan dari suku bangsa apa? Sesekali tidak! Kata-kata bijak pembuka bab ini menjelaskan banyak. Bahwa orang lahir bukan atas kehendak manusia, melainkan dari Tuhan. Senada dengan itu, Horatius, penyair Romawi termasyhur berkata, “Caelum non animum mutant qui trans mare currunt” (Manusia bisa saja mengubah langit, tapi bukan jiwanya, yang berlari menyeberangi segara bebas).
Dalam konteks etnis Tionghoa di Indonesia, mereka lahir dan berada di negera Pancasila ini tentu bukan atas kemauan sendiri. Namun, atas kehendak Dia Yang Mencipta. Tak mengherankan, ketika etnis ini jadi bulan-bulanan dan victim-isasi, banyak pihak tersentuh rasa kemanusiaannya. Lalu berbuat sesuatu.
Salah seorang yang tergerak hatinya berbuat sesuatu adalah A.B. Susanto. Atas nama humanisme, ia coba menghimpun rekan-rekan yang punya kehendak baik (voluntas) sama. Terutama pasca Tragedi Mei 1998, ketika etnis Tionghoa untuk kesekian kali jadi “korban Reformasi”. Tidak jelas benar casus belli-nya. Tahu-tahu amuk massa disasarkan pada para hoa kiauw di negeri ini, padahal penduduknya telah memaklumkan diri sebagai bangsa yang “adil dan beradab”.
Sebagai salah satu tokoh etnis Tionghoa, Susanto, yang juga menyandang nama etnik Liem Kong Hok ini, coba berbuat sebisa mungkin. Berupaya menghapus stigma dan menangkis peraturan, bahkan kerap perlakuan diskriminatif, ia turut memfasilitasi pertemuan para tokoh etnis Tionghoa di Indonesia pasca Tragedi Mei 1998. Dari beberapa kali pertemuan di kantornya, kemudian berbuah kesepakatan membentuk paguyuban yang dikenal dengan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa (PSMTI) yang dideklarasikan pada 28 September 1998.
Ketokohan Susanto sendiri diakui di kalangan etnis Tionghoa. Pada awal PSMTI berdiri, Susanto tercatat sebagai penasihat. Pada periode 2006-2009 sebagai Ketua Dewan Kehormatan. Kiprahnya yang turut mengembalikan etnis Tionghoa sebagai entitas bangsa Indonesia menarik dicermati. Tak berlebihan, Sam Setya Utama mengabadikan namanya masuk senarai Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia.
Bukan Susanto namanya jika sembarang masuk sebuah organisasi. Pantang ia mengorbankan citra profesionalnya untuk suatu kegiatan yang tak tentu arah tujuannya. Apalagi, kegiatan itu negatif. Yang sama sekali jauh dari kemaslahatan umum dan merendahkan martabat dan derajat umat manusia.
Sebagai konsultan manajemen, ia akan mengajukan pertanyaan kritis. Apa visi dan misi organisasi itu? Jika semuanya gamblang, ia bukan hanya mau jadi penggembira. Malah, menyumbangkan apa yang ia bisa.
AB dalam pose mengenakan kostum Tionghoa dalam sebuah acara.
Caption: Susanto menjadi part of solution etnis Tionghoa. Menyumbangkan pikiran dan tenaga atas nama kemanusiaan.
Maka, ketika etnis Tionghoa jadi bulan-bulanan pada kerusuhan Mei 1998, Susanto coba memberi apa yang ia bisa. Memutar kembali rekam peristiwa Tragedi Mei itu, Susanto sempat tercenung. Tergurat garis sendu pada tatap matanya. Meski tetap menyungging senyum seperti biasa, tak cukup menutup ada guratan peristiwa hitam mengganjal hatinya.
“Sehari setelah Tragedi Mei 1998 itu, telepon kantor terus berdering. Kami sampai kewalahan meladeni. Banyak kenalan, sahabat, famili, bahkan klien dan rekan bisnis bertanya. Bagaimana ini? Bagaimana itu? Intinya, pertanyaan berkisar soal tragedi dan bagaimana langkah ke depan menyiasatinya. Sebab jangan sampai warga Tionghoa Indonesia masuk perangkap dan jadi target pemusnahan massal (etnic cleaning). Stigma Tionghoa Indonesia chauvinis, eksklusif, dan elit jangan sampai melekat. Sebab, stigma ini potensial berubah arah jadi victim-isasi,” terang Susanto yang memang dititis darah Tionghoa ini. “Jika sampai demikian, ini yang kita takutkan. Bahaya. Negara dan bangsa ini bisa tercabik-cabik dan jatuh pada perang saudara.”
Bermula dari dering telepon ke kantor, keluhan dan masukan lantas diteruskan di meja diskusi. Dari beberapa kali pertemuan, masukan-masukan kemudian mengkristal pada usulan. Perlu dibentuknya paguyuban etnis Tionghoa yang punya visi dan misi. Maka, lahirlah Paguyuban Sosial Marga Tionghoa (PSMTI).
Visi PSMTI jelas, sebagaimana dapat diunduh dalam situs resminya. Yakni agar, “Orang Tionghoa warga negara Indonesia sebagai etnis/ suku bangsa Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan suku bangsa Indonesia lainnya, dalam menyongsong Indonesia yang lebih demokratis, menjunjung tinggi hak azasi manusia, aman dan sejahtera.” Sementara tiga misi yang diemban, yakni: (1) Meningkatkan kesadaran bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, (2) Memperjuangkan penghapusan peraturan yang diskriminatif bagi orang Tionghoa, dan (3) Memantapkan jati diri dan percaya diri sebagai warga negara Indonesia suku Tionghoa.
Penghapusan Peraturan dan Tindak Diskriminatif
Tujuan didirikannya suatu organisasi, atau badan, dapat dilihat dari dari misinya. Tanpa menafikan dua misi lain, tampaknya misi kedua penting dicatat dan diberi perhatian khusus. Yakni memperjuangkan penghapusan peraturan yang diskriminatif bagi etnis Tionghoa di Indonesia.
JIka menyibak kembali lembar sejarah, peraturan dan tindak diskriminatif terhadap etnis Tionghoa dimulai sejak zaman kolonial Belanda. Saat itu, pemerintahan Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan berupa batasan ruang gerak pada warganegara Tionghoa dengan adanya Passenstelses dan Wijkenstelsel. Sejak tragedi Angke pada tahun 1740, orang Tionghoa tidak diperkenankan bermukim secara bebas. Aturan ini kemudian menubuhkan pecinan. Yakni pemukiman etnis Tionghoa di sejumlah kota besar di Hindia Belanda.
Aturan seperti dirancang pemerintah kolonial itu, tanpa diduga malah menciptakan konsentrasi kegiatan ekonomi orang Tionghoa di perkotaan. Dan tatkala perekonomian dunia beralih ke sektor industri, justru etnis Tionghoa yang paling siap dengan spesialisasi usaha, seperti: transportasi, jasa, makanan-minuman, jamu, peralatan rumah tangga, bahan bangunan, pemintalan, batik, kretek, dan kerajinan.
Bukannya menyudutkan dari sisi ekonomi, aturan tadi malah menjadi rahmat tersembunyi. Etnis Tionghoa kian makmur dengan usaha mereka. Ironisnya, kemakmuran yang dicapai dengan cucuran keringat dan air mata itu, justru lenyap dalam sekejap. Manakala kerusuhan sosial terjadi dan pada mereka ditiupkan bara kebencian berlatar kecemburuan sosial, maka semua usaha jadi sia-sia. Ibarat setitik nila merusak susu sebelanga. Hujan sehari menghapus kemarau setahun.
Ironisnya, peraturan dan tindak diskriminatif seperti terjadi pada zaman kolonial, diteruskan republik, baik masa Orde Lama maupun Orde Baru. Sebagai contoh, Peraturan Pemerintah atau PP No. 10 Tahun 1959. Lalu Instruksi Presiden No. 14/1967. Peraturan ini bukan saja diskriminatif, karena menafikan etnis Tionghoa sebagai warga Negara Indonesia, tetapi juga melarang mereka merayakan Imlek dan melakukan ibadah keagamaannya. Celakanya, peraturan ini menjadi legitimasi meminggirkan etnis Tionghoa dari bumi pertiwi.
Jika menyibak kembali peristiwa kerusuhan sosial di Nusantara, etnis Tionghoa hampir selalu menjadi victim-isasi. Mulai dari Tragedi Angke tahun 1740 di mana jatuh 10.000 korban jiwa. Tragedi kemanusiaan ini sungguh memilukan dan sukar hilang dari lembaran sejarah sebagai catatan yang sungguh kelam.
Berawal dari hal spele, dendam kesumat antarpibadi. Setelah diprovokasi, skala kerusuhan menjadi masif tidak terkendali. Di tengah-tengah ketidakmenentukan, ditiupkan berbagai isu baru, sehingga tersulut amuk massa dan pengerahan kekuatan tentara. Etnis Tionghoa di luar rumah yang berusaha menyelamatkan diri diburu dan dikejar. Sementara yang ada di dalam rumah dan pemukiman dipaksa untuk keluar dengan berbagai cara. Setelah keluar, mereka dihadang pasukan bersenjata lengkap. Jadilah etnis Tionghoa korban seperti terorganisasikan secara rapi sebelumnya (Hembing, 2005: 92-116).
Yang mengenaskan, dalam Tragedi Angke tidak ada pihak yang bertanggung jawab. Penguasa waktu itu (Hindia Belanda) yakni Gubernur Jendral Valckenier dan anggota mejelis VOC W. van Imhoff cuci tangan. Mereka bahkan saling tuding. Namun, lagi-lagi seorang etnis Tionghoa yang jadi kambing hitam, yakni Nie Hoe Kong, kapitan Tionghoa berusia 30 tahun yang menjabat sejak 1736. Alasan Hoe Kong layak dijadikan kambing hitam karena “… ia putra pertama orang ternama saat itu, yaitu Letnan Ni Locko, tetapi juga karena ia memiliki potensi untuk menjadi pemimpin serta kaya raya (Hembing, op. cit. hal. 123). Meski tidak ada bukti-bukti yang mendukung Nie Hoe Kong pantas bertanggung jawab atas Tragedi Angke, toh rumah dan harta bendanya dijarah. Ia lalu diasingkan ke Mollucas, Ambon, dan meninggal di sana.
Dua abad selang Tragedi Angke 1740, peristiwa rasial di Nusantara jarang terdengar muncul ke permukaan. Namun, masuk paruh dasawarsa kedua abad 20, kembali muncul tragedi serupa yang mengorbankan etnis Tionghoa. Misalnya, Peristiwa Solo tahun 1912 dan Kerusuhan di Kudus tahun 1918. Dan pada awal masa Revolusi, antara bulan Mei-Juli 1946 terjadi Tragedi Tangerang. Tragedi berlanjut di perkampungan nelayan etnis Tionghoa di Bagan Siapi-api bulan September 1946. Lalu merambah ke Palembang pada bulan Januari 1947.
Namun, di antara rentetan peristiwa yang berakhir victim-isasi etnis Tionghoa itu, Tragedi Tangerang boleh disebut luar biasa. Bahkan, 11 Juni 1946 dinyatakan sebagai Hari Berkabung bagi warga Tionghoa di Indonesia. Toko dan pabrik milik etnis Tionghoa tutup. Kegiatan terhenti. Seperti dicatat dan dibingkai (media framing) Sin Po yang secara ajeg dan menggelorakan “filosofi Keong”. Namun, segera diberi catatan, bukan berarti menarik diri, tapi sekadar “tiarap”. Sesudah situasi normal, etnis ii kembali berkiprah layaknya warga biasa.
Sebagaimana diketahui, Sin Po adalah nama sebuah surat kabar Tionghoa berbahasa Melayu. Terbit di Nusantara sejak sejak zaman kolonial hingga tahun 1965. Surat kabar ini pertama kali terbit di Jakarta sebagai mingguan pada Oktober 1910. Lalu, berubah menjadi surat kabar harian dua tahun kemudian. Sin Po adalah harian pertama yang memuat teks lagu kebangsaan Indonesia, “Indonesia Raya” dan turut memelopori penggunaan istilah "Indonesia" untuk menggantikan "Hindia-Belanda" sejak Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.
Lebih dari sebulan, Sin Po memberitakan victim-isasi etnis Tionghoa ini. Hal ini dapat disimak pada headline yang mendeskripsikan peristiwa secara emotional truth.
Sinpo: 7 Juni 1946
Pendoedoek Tionghoa di Kebon Baroe lawan serangan. Sariket aken ambil tindakan keras! Djika repoeblik tida berdaja tindes kekatjauan di Tangerang. “Pemboenohan semakin menghebat.”
Noraka Sapoeter Tangerang. Banjak orang Tionghoa dibakar idoep-idoep!
Sinpo 17 Juni 1946:
Bekasi dalem keadaan genting. Ratoesan pelarian Tionghoa banjiri Djatinegara. Beberapa orang Tionghoa jadi korban pemboenoehan.
Sementara itu, Star Weekly, 23 Juni 1946 mencatat, “Kampoeng Djoearingan, Tangerang, Juni 1946. Ternjata di sini banjak orang-orang lelaki jang telah diboenoeh, samentara tida sedikit gadis-gadis telah diperkosa oleh itoe sekawanan srigala beroepa manoesia.” Peristiwa ini, kemudian dikenal dengan “Tragedi Cina Benteng”.
Koran mingguan yang dikelola wartawan keturunan Tionghoa ini memotret tragedi kerusuhan Tangerang, Jawa Barat, Juni 1946, yang menimpa etnis Tionghoa. Sedikitnya ada lima desa, yakni Rajeg, Gandu, Balaraja, Cikupa, dan Mauk, yang dilaporkan membara. Perkampungan Tionghoa di wilayah itu diobrak-abrik massa. Puing-puing berserakan di sana-sini.
Tangerang, sekitar 30 kilometer dari Jakarta, saat itu bergolak karena disulut kabar santer: ada tentara Nica beretnis Tionghoa menurunkan bendera merah-putih dan menggantinya dengan bendera Belanda. Seperti bensin menyambar api, kabar ini kontan meluas dan memicu kemarahan. Apalagi ini zaman perang kemerdekaan. Usia republik yang belum genap setahun, harus menghadapi serbuan tentara Belanda. Dan terjadi ketegangan sosial: di wilayah Tangerang ada sejumlah tuan tanah Tionghoa yang berhadapan dengan penduduk. Meski tak semua keturunan Tionghoa kaya di sana. Puncaknya, tersiar kabar, seorang Nica Tionghoa membakar rumah warga pribumi. “Ini sebab-sebab menimbulken rajat Indonesier poenja goesar, hingga timboellah itoe tragedi Tangerang,” tulis Rosihan Anwar dalam Harian Merdeka, 13 Juni 1946.
Laskar Rakyat yang marah. Lalu menangkapi para lelaki keturunan Tionghoa saat itu. Mereka digiring ke Penjara Mauk. Tanggal 3 Juni 1946, penjara yang berukuran 15 x 15 m itu dipenuhi sekitar 600 lelaki Tionghoa dari seantero Tangerang. Mereka, banyak di antaranya petani miskin, disekap dengan perlakuan yang memprihatinkan. “Malam tida ada lampoe. Orang kentjing dan boewang aer deket soemoer, hingga tempat di sakiternya penoeh kotoran, dan joestroe soemoer itoe poenja aer diboeat minoem, minoemnja dengen bereboetan,” tutur seorang korban penyekapan yang diwawancarai Star Weekly.
Kabar mengenaskan ini, segera menyebar ke Jakarta. Kaum keturunan Cina tergedor hatinya. Senin, 10 Juni 1946, sekitar 40 pemuda Tionghoa yang tergabung dalam Poh An Tui, bergerak ke Tangerang menolong para hoa kiauw yang terancam jiwanya. Mereka dibekali senjata api dan dibagi dua kelompok. Yang pertama mengarah ke Mauk hendak membebaskan tawanan. Kelompok lain menyaksikan reruntuhan sejumlah desa yang banyak dihuni etnis Tionghoa. Tercatat, sekitar 2.000 warga keturunan diungsikan ke Jakarta. Ada yang dinaikkan truk dan sebagian besar berjalan kaki.
Hal itu sesuai dengan apa yang ditulis dilaporkan Sinpo, “Sariket aken ambil tindakan keras! Djika repoeblik tida berdaja tindes kekatjauan di Tangerang.” Yang dimaksudkan dengan “Sariket” ialah para hoa kiauw (mungkin juga termasuk kekuatan lain di luar itu) akan mengambil tindakan tegas jika Negara tidak kuasa menghadapi kerusuhan massal yang menorbankan etnis Tionghoa tersebut. Pekik agar kekejaman segera dihentikan memang akhirnya ditiupkan Pemerintah.
Republik akhirnya membentuk tim terjun ke lapangan guna meninjau dan mengetahui eskalasi tragedi. Tim Peninjau dipimpin langsung Menteri Penerangan Mohamad Natsir. Tergabung dalam tim tersebut Noegroho, Lim Hok Soei,Maskin, Koebagoes Akson sebagai Wakil Kementerian Dalam Negeri, dua aparat dari TRI (Tentara Republik Indonesia), Oey Kim Sen dan Go King Hong (wakil Sin Ming Hui), beserta para wartawan Kadir Said (Antara), Rosihan Anwar (Merdeka),dan Lee Soei Ke (Sin Po).
Jika dicermati, peristiwa tersebut mirip kerusuhan Mei 1998. Usai peristiwa toko dan kantor-kantor milik Tionghoa tutup. Keadaan ini memancing Presiden Habibie turun langsung ke China Town, Glodok Pancoran. Habibie mafhum, jika tidak lekas-lekas dinetralisasi Glodok Building dan sekitarnya maka Negara (Pemerintah) tidak ada income.
Perihal fenomenon lahirnya paguyuban Tionghoa dari masa ke masa, Daniel S. Lev punya tesis menarik. Menurut sejarawan-akademisi, yang juga dikenal sebagai pakar tentang Indonesia itu, ada dua hal yang meletarbelakanginya karena takut sekali. Pertama, didirikannya organisasi, misalnya dulu Sin Ming Hui. Ini merupakan organisasi yang dimaksudkan untuk meno¬long orang, bukan hanya orang Tionghoa, tetapi siapa saja. Teru¬tama orang Tionghoa yang sama sekali tidak punya perlindungan lain. Kedua, setelah peristiwa Tangerang itu, didirikan organisasi keamanan, Pao An Tui. Tujuannya untuk perlindungan secara fisik, kalau perlu. Latar berdirinya PSMTI dan Inti tidak beda dengan itu! Organisasi yang secara tegas menyatakan terbuka ini berdiri lebih didorong semangat humanisme, memberikan rasa aman dan nyaman pada warga Negara Republik Indonesia.
Pada akhir revolusi, didirikan suatu organisasi politik bernama Partai Demokrat Tionghoa Indonesia. Pimpinan orang Tionghoa waktu itu sadar betul bahwa untuk bisa berbuat sesuatu mereka harus punya organisasi. Tapi warga Tionghoa terbentur. Ini karena banyak orang Tionghoa menjauhkan diri dari politik, alergi sekali pada politik.
Sesudah tahun 1950, keadaan jadi makin sulit lagi buat orang Tionghoa. Kewarganegaraan mereka ditolak, atau tidak menentu, dan terjadi banyak insiden. Lalu ada yang mulai masuk macam-macam partai. Ada yang mendekat pada PNI karena memang sudah terbangun hubungan sejak abad-19 para priyayi Jawa dengan Orang Tionghoa. Banyak yang kawin campur, dan sebagainya. Kaum intelektual masuk PSI. Banyak yang masuk Kristen dan Katolik. Bahkan, ada yang masuk Masyumi, NU, dan lain-lain.
Sayangnya, orang Tionghoa yang ada di parlemen tidak selalu bisa memperhatikan persoalan Tionghoa. Padahal, waktu itu keadaan mereka dipersulit. Banyak orang Tionghoa mulai sungguh-sungguh menkhawatirkan nasib mereka. Antara lain karena ketidakpastian tentang kewarganegaraan. Mereka diperas. Tak jarang diancam, dihantam, dan lain-lain. Tahun 1954, suasana mulai genting. Keadaan ini mendorong para pimpinan Tionghoa dari berbagai organisasi berkumpul di Jakarta untuk mendirikan suatu organisasi baru yang bisa mempersatukan. Lahirlah Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Organisasi ini didirikan terutama dimaksudkan untuk menangani masalah kewarganegaraan yang hangat sekali waktu itu. Selain itu, juga untuk mencari semacam jalan keluar bagi minoritas ini. Banyak orang dari berbagai kalangan masuk Baperki. Kemudian, Baperki berkembang sebagai sebuah organisasi massa yang mengutamakan perjuangan politik untuk mencapai tujuan ekonomi, sosial, kebudayaan dan pendidikan.
Baperki didirikan pada tahun 1954 dan menjadi organisasi sosial politik yang dapat diterima oleh berbagai kalangan orang Tionghoa, baik Totok maupun Peranakan. Masalah yang dihadapi para tokoh Baperki yang dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan (Siauw) pada masa itu adalah diskriminasi rasial di berbagai bidang.
Baperki tercatat pernah menjadi peserta dalam Pemilu 1955 untuk memilih anggota DPR (29 September 1955) dan anggota Konstituante (15 Desember 1955). Dalam kedua Pemilu ini, Baperki memperoleh 178.887 suara untuk DPR dan 160.456 suara untuk Konstituante, atau 70% suara dari golongan Tionghoa di Jawa. Dengan jumlah suara sebanyak ini, Baperki berhasil memperoleh satu kursi di DPR dan mendudukkan Siauw sebagai wakilnya. Untuk Konstituante, Baperki diwakili oleh Siauw, Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien (Yap), Go Gien Tjwan, Liem Koen Seng, Oei Poo Djiang, Jan Ave, C.S. Richter. Dua nama terakhir adalah wakil-wakil Baperki untuk golongan Indo.
Jika diperhatikan, para pendiri Baperki sangat beragam latar belakang dan juga pendangan politiknya. Misalnya, Yap Thiam Hien intelektual Kristen, Oey Tjoe Tat intelektual nasionalis, Siauw Giok Tjhan adalah aktivis kemerdekaan yang ideologinya condong ke PKI, Auwyong Peng Koen (P.K. Oyong) adalah tokoh pers yang dekat dengan kelompok Katolik. Sedangkan Inyo Beng Goat dan Tan Po Gwan adalah intelektual yang dekat dengan PSI (Memoar Oei Tjoe Tat, halaman 73-85).
Melihat latar belakang yang berbeda ini, muncul pertanyaan. Apa visi dan misi yang menyatukan mereka? Dari keseluruhan isi Pidato Presiden Soekarno 14 Maret 1963 pada Pembukaan Kongres Nasional ke-8 Baperki dapat disimpulkan bahwa semua pimpinan Baperki orang yang bertanggung jawab dan cinta tanah air. Mereka menyadari, air yang diminum dan udara yang dihirup di bumi yang mereka pijak bernama Indonesia. Uluran tangan bukan semata-mata karena mereka sama etnis dengan kaum yang jadi korban, melainkan juga karena didorong rasa kemanusiaan.
“Meski beragam, toh mereka bisa satu untuk sebuah visi dan misi yang sama. Inilah filosofi keong. Masuk ke dalam manakala mendapat tekanan. Namun, akan keluar manakala keadaan sudah memungkinkan. Tampaknya, filosof ini hampir menjadi dalil di semua tempat di belahan dunia. Utamanya, manakala isu mayoritas-minoriotas dibenturkan dengan berbagai macam konflik dan kepentingan,” jelas Susanto yang pernah meneliti akar persoalan minoritas yang dialami etnis dan golongan di berbagai belahan dunia. “JIka masuk dengan entri mayoritas-minoritas, akan terus ada konflik. Namun, jika bicara soal etnis, maka kita sama dan setara,” imbuh Susanto.
Agaknya, apa yang diutarakan Susanto menegaskan kembali pernyataan Bung Karno pada Pembukaan Kongres Nasional ke-8 Baperki. Menyangkut isu mayoritas-minoritas, Bung Karno memungkas, “Saya tidak akan berkata, suku itu adalah minoritas, suku Dayak adalah minoritas, suku Irian Barat adalah minoritas, suku yang di Sumatera Selatan itu, suku Kubu adalah minoritas, suku Tionghoa adalah minoritas, tidak! Tidak ada minoritas, hanya ada suku-suku, sebab manakala ada minoritas, ada mayoritas. Dan biasanya kalau ada mayoritas, lantas ada exploitation de la minorite par la majorite, exploitatie dari minoriteit majoriteit. Saya, tidak mau apa yang dinamakan golongan Tionghoa, Peranakan Tionghoa. Peranakan Tionghoa itu dieksploitasi oleh golongan yang terbesar dari rakyat Indonesia ini, tidak! Tidak! Engkau adalah bangsa Indonesia, engkau adalah bangsa Indonesia, kita semuanya adalah bangsa Indonesia.”
Pemimpin bangsa sudah menegaskan kesetaraan etnis di Indonesia. Menurut Bung Karno, dalam konfigurasi hidup berbangsa dan bernegara, maka etnis-etnis di Indonesia ibarat kaki, anggota tubuh utuh dari sebuah badan bernama Indonesia. Apabila dicermati, sejak zaman kolonial hingga era Reformasi, eksploitasi etnis Tionghoa selalu saja terjadi. Angkat misalnya kerusuhan sosial seputar Gerakan 30S/PKI. Lagi-lagi peristiwa itu victim-isasi warga Tionghoa. Diteruskan gerakan anti-Tionghoa yang berkobar di Makassar pada 10 November 1965. Aksi serupa terjadi pada 10 Desember 1966 di Medan. Warga Tionghoa dikejar-kejar dan dibantai atas tuduhan bekerja sama dengan pihak komunis. Setahun usai aksi bernuansa etnis di Medan, peristiwa rasial kembali mengguncang bumi khatulistiwa, Kalimantan Barat. Pada kerusuhan yang terjadi bulan November 1967 di Kalbar, ratusan warga Tionghoa meninggal dunia. Puluhan lainnya terpaksa mengungsi ke pesisir-pesisir, meninggalkan harta benda dan semua milik mereka.
Namun, dapatkah menggeneralisasi etnis Tionghoa di Indonesia sebagai hanya memiliki satu kaki? Artinya, pukul rata, semua warga asal berkulit kuning bersih, bermata sipit ini sama saja? Ternyata, tidak! Tahun 1931, misalnya. Penulis dan cendikiawan etnis Tionghoa terkenal, Kwee Tek Hoay mengamati dan mencatat meski satu asal muasal, para hoa kiauw itu sesungguhnya terdistingsi dalam lima golongan.
Pertama, peranakan Tionghoa kaya raya dan kelas menengah. Golongan ini ingin terus tinggal di Indonesia. Mereka juga ingin mengupayakan pendidikan tinggi bagi diri dan generasi berikutnya.
Kedua, golongan miskin yang juga tetap ingin tinggal di Nusantara. Bedanya, golongan kedua ini sudah merasa puas jika putra dan putri mereka dapat membaca dan menulis bahasa Melayu dan huruf Latin.
Ketiga, golongan yang menganut paham nasionalisme Tiongkok. Mereka ingin mengirim putra dan putrinya ke Tiongkok untuk membangun negeri tirai bambu. Kaum ini yakin, pengajaran dan pendidikan bahasa Tionghoa wajib, meski putra dan putri mereka tidak ke Tiongkok.
Keempat, golongan totok yang beraliran utilitarian. Kaum ini mengharapkan identitas Tionghoa, namun tidak yakin bahwa bahasa Tionghoa cukup membekali putra dan putri mereka hidup layak dan leluasa di Nusantara.
Kelima, etnis Tionghoa totok. Golongan ini terutama dari marga Keh (Hakka) dan Konghu (Cantonese) yang ingin kembali ke negeri leluhur.
Lima golongan Tionghoa ini dalam kehidupan sehari-hari berbeda ditilik modus vivendi dan way of life. Demikian pun dalam hal pendidikan. Namun, orang luar kerap menyamaratakan begitu saja. Mengapa etnis Tionghoa kompak saat terjadi krisis? Filosofi keong adalah jawabannya.
Sama seperti berdirinya paguyuban etis Tionghoa di masa lalu, PSMTI lahir dari latar yang sama. Dalam situs resminya, sejarah berdiri Paguyuban Sosial Marga Tionghoa sangat gamblang dipaparkan. “ …didirikan pada tanggal 28 September 1998, dilatarbelakangi terjadinya penjarahan dan kerusuhan Mei 1998 di Jakata dan di tempat lain yang ditujukan terutama pada suku Tionghoa Indonesia.”
Para tokoh masyarakat menyadari ada akar masalah yang perlu didialogkan dan diselesaikan serta diusahakan bisa diselesaikan satu kali untuk selamanya. Susanto adalah tokoh yang sejak dini menyadari hal itu.
Itu sebabnya, dirasa perlu wadah yang kompeten untuk menampung dan menyalurkan aspirasi serta didialogkan dengan Pemerintah, Dewan Perwakilan dan golongan masyarakat untuk menemukan akar masalah dan untuk diselesaikan dengan sebaik–baiknya dan sebijak-bijaknya. Maka melalui 14 orang pendiri, dideklarasikan Organisasi Sosial etnis Tionghoa ini dalam wadah PSMTI.
Upacara deklarasi dihadiri lebih dari 1. 000 orang bertempat di Gedung Sigala–gala, Sunter Jakarta Utara. Disahkan pula Logo, AD ART dan kepengurusan sementara periode 1998 – 2000. Deklarasi ditandai dengan penandatanganan Piagam Pendirian oleh 88 marga seluruh Marga Tionghoa yang ada di Indonesia.
Untuk kepentingan kegiatan operasional di seluruh Indonesia, PSMTI mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar dari Dirjen Sospol Depdagri No. 132 Tahun 1998 tanggal 18 September 1998 dan dibuatkan Akta Notaris Raden Johanes Sarwono. SH No. 55 tanggal 28 Agustus 1998.
Pada periode kepengurusan 1998-2000, ketua PSMTI adalah Brigjen TNI (Purn.) Tedy Jusuf dan wakilnya Drs. Eddie Lembong. Sama seperti Baperki, kemudian ada pengurus yang keluar karena beda pada satu dan lain hal. Pada bulan April 1999, wakil ketua umum Drs. Eddie Lembong dan beberapa pengurus menyatakan keluar dari kepengurusan PSMTI.
Seiring berjalannya waktu, dan dengan tetap memerhatikan perkembangan situasi nasional, Eddie Lembong dan kawan-kawan kemudian mendirikan paguyuban sendiri. Lahirlah nanti paguyuban Indonesia-Tionghoa (disingkat Inti). Ditilik dari visi dan misinya, Inti tidak jauh beda dengan PSMTI.
Mukadimah INTI
Bahwa dilahirkan sebagai suatu etnis bukan merupakan suatu pilihan, melainkan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.
Sejarah mencatat, warga Tionghoa telah berada di Nusantara sejak berabad-abad yang lalu dan ikut serta memperkaya khazanah bumi pertiwi dalam berbagai aspek kehidupan, di antaranya (meliputi) bidang agama, sosial budaya, politik, ekonomi dan perdagangan.
Bahwa lahirnya Republik Indonesia merupakan hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia termasuk warga Tionghoa, oleh karena itu warga Tionghoa adalah bagian integral bangsa Indonesia.
Penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara seharusnya dijalankan dan didasari oleh jiwa dan roh mukadimah UUD 1945, sehingga penyelesaian setiap permasalahan bangsa didasari oleh semangat kebangsaan.
Warga Tionghoa bertekad ikut serta dalam pembangunan bangsa yang lebih bersatu, demokratis, adil dan makmur, guna menghantarkan bangsa Indonesia menuju masyarakat dunia yang lebih bermartabat, damai dan sejahtera.
Untuk mewujudkan cita-cita luhur tersebut, dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kami mendirikan Perhimpunan Indonesia Tionghoa.
Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) merupakan organisasi massa yang bersifat kebangsaan. Ini sesuai dengan semangat Mukadimah UUD 1945, bebas, egaliter, pluralis, inklusif, demokratis, tidak bernaung dan mengikatkan diri kepada salah satu partai politik. Bahkan, keanggotaannya terbuka bagi semua Warga Negara Indonesia yang setuju pada AD/ART INTI.
Yang perlu digarisbawahi, latar belakang berdirinya Inti. Gamblang latar historis dilukiskan bahwa “masalah Tionghoa” di Indonesia merupakan warisan sejarah kolonial yang telah membebani perjalanan sejarah bangsa Indonesia selama ini, 18 WNI yang peduli terhadap hal ini menandatangani Akta Pendirian di Notaris James Herman Rahardjo pada 05 Februari 1999 di Jakarta, serta mendeklarasikan Perhimpunan INTI pada 10 April 1999 yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Kelahiran Perhimpunan INTI.
Tercatat sebagai salah satu pendiri Inti adalah Eddie Lembong yang semula merupakan Wakil Ketua PSMTI. “Putri saya (Patricia Susanto- pen.) aktivis di Inti,” ujar Susanto. Ia melihat, paguyuban etnis Tionghoa lebih dari satu tidak apa-apa. Bahkan, bagus, “karena mencerminkan hidup demokratis dan kebebasan berserikat sebagaimana dijamin dalam UUD ’45.”
Lepas perkara berpisahnya Eddie dkk. dari PSMTI, dan kemudian mendirikan Inti, satu hal penting dicatat dari kiprah paguyuban etnis Tionghoa yang lahir pada masa Reformasi ini. Bertempat di Hotel Omni Batavia, Jakarta, pada tahun 1999 ditelurkan kesepatakan bersama. Dihadiri utusan dari 38 daerah di seluruh tumpah darah Indonesia, etnis Tionghoa Indonesia menyepakati dan mengusulkan dua hal penting. Pertama, menyepakati istilah “Cina” menjadi “Tionghoa”. Dan kedua, mengusulkan perubahan “orang Indonesia asli” pada Pasal 6 UUD ‘45.
Keputusan penting ditelurkan lagi pada Rapat Kerja Nasional III tahun 2002 di Jakarta. Dihadiri utusan dari 117 daerah di Indonesia, disepakati menuntut hak kesetaraan sebagai warga negara bagi etnis Tionghoa di Indonesia. Selain itu, menuntut pula penghapusan peraturan diskriminatif yang ditujukan bagi etnis Tionghoa, termasuk dihapuskannya Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).
Tahun 2003, diadakan Musyawarah Nasional di Denpasar, Bali. Dihadiri utusan dari 257 kota seluruh Indonesia, Munas kali ini menyepakati agar selekas-lekasnya dihapuskan segala bentuk dan rupa peraturan diskriminatif. Selain itu, menyukseskan pembangunan Taman Budaya Tionghoa Indonesia Taman Mini Indonesia Indah. Pada kepengurusan periode 2000-2003, Susanto tercatat sebagai Dewan Penasihat PSMTI.
Usai peristiwa kerusuhan 14-18 Mei 1998, banyak warga Tionghoa mengalami trauma. Entah skenario apa. Hingga kini, kabut masih menyelimuti misteri seputar tragedi yang nyaris mengenyahkan etnis minoritas negeri ini: Tionghoa. Bahkan, pihak keamanan negara yang seharusnya menjaga rust en orde (ketertiban dan keamanan), tidak sedang berada di ibu kota mengawal negara. Tak heran, dalam memoarnya soal kerusuhan Mei ini, Letjen Sintong Panjaitan bertanya sinis, “Di Mana Para Jenderal?”
Barangkali tidak relevan menanyakan keberadaan para jenderal waktu kerusuhan terjadi. Sebagai sebuah instiusi yang dikenal rapi, TNI dan Polri pasti punya standing procedure yang jelas secara komando. Yang jauh lebih penting ialah bagaimana menjaga keamanan warga dan melindungi hak-hak mereka. Terutama warga tak berdosa dan tidak tahu menahu, seperti dialami etnis Tionghoa di Indonesia.
Tragedi Mei 1998 memang sudah lebih satu dasawarsa berlalu. Namun, teka teki mengapa peristiwa itu mengorbankan begitu banyak warga tak bersalah di negeri ini belum juga bersua jawaban.
Saksi bisu peristiwa naas itu, masih ada hingga kini. Pergilah ke wilayah Jakarta Barat dan sekitarnya. Juga di beberapa tempat di kota Tangerang dan Cengkareng. Apalagi, di sekitar Jalan Gajahmada dan Jalan Hayamwuruk, Jakarta Pusat. Entah sengaja, entah karena pemiliknya trauma dan sampai hari ini masih di luar negeri, beberapa ruko dan bangunan rusak dan hangus ketika Tragedi Mei 1998 dibiarkan begitu saja. Pasti ada cerita duka di balik itu semua. Dan kisah duka itu bagai luka menganga, ketika kembali disentuh.
Terlahir sebagai Lim Kong Hok, Susanto mengaku tidak merasa sebagai seorang Tionghoa yang eksklusif. Sekolah dasar hingga sekolah menengah yang dijalaninya di Yogyakarta misalnya, bercampur baur dengan anak-anak pribumi. Pergaulan sehari-hari sama dengan golongan pri. Bahasa yang digunakan, selain bahasa Indonesia, adalah bahasa Jawa.
Dengan demikian, sama sekali jauh dari pikiran menganggap etnis Tionghoa elit dan tidak membaur. Minoriotas memang fakta, terutama jika dilihat rasionya dengan suku bangsa lain. Meski ditilik dari sisi angka populasi kecil, peran etnis Tionghoa pada sektor perdagangan dan jasa di Indonesia sangatlah dominan. Fakta ini dapat dilihat dari kenyataan, betapa di wilayah tertentu seperti Kalimantan Barat, Bangka Belitung, Batam, dan Palembang dominasi etnis Tionghoa sangat terasa.
Namun, berapakah populasi Tionghoa di Indonesia? Berdasarkan volkstelling (sensus penduduk) pada masa Hindia Belanda, populasi Tionghoa di Nusantara mencapai 1.233.000 (2,03%) dari penduduk Indonesia pada tahun 1930. Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun, riset yang dilakukan ahli antropologi Amerika, G.W. Skinner memperkirakan, pada tahun 1961 populasi etnis Tionghoa di Indonesia mencapai 2.505.000 (2,5%).
Pada sensus penduduk tahun 2000, ketika untuk pertama kali responden sensus ditanyai mengenai asal etnis mereka, hanya 1% dari jumlah keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa. Angka yang dipercaya mengenai jumlah etnis Tionghoa-Indonesia saat ini ialah berada pada kisaran angka 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia.
Itu berarti, di antara negara-negara Asia Tenggara, Indonesia menduduki peringkat pertama populasi etnis Tionghoa di luar RRC. Namun, dari segi persentase di bawah Thailand (lihat tabel).
Ethnic Chinese in South East Asia
Thailand 8.3 million (14%)
Malaysia 6.6 million (32%)
Singapore 2.7 million (76%)
Vietnam 2.3 million (3%)
Philippines 1.1 million (1.5%)
Australia 200,000 (1%)
Sumber: Teresita Ang See, 2000.
Bersama Mgr. Pietro Sambi, Susanto pernah meneliti dan mengkaji soal minoritas. Tahun 1991, Pietro Sambi diangkat oleh Paus Yohanes Paulus II menjadi Duta Besar Vatikan untuk Indonesia hingga 1998. Selanjutnya, beliau dipindahtugaskan ke Israel dan Cyprus untuk tugas dan jabatan yang sama. Pada 17 Desember 2005, Paus Benedictus XVI mengangkat Mgr. Pietro Sambi sebagai Dubes Vatikan untuk Amerika Serikat.
Berbagai literatur mereka pelajari. Ditengarai teori-teori seputar minoritas di berbagai wilayah di dunia. Dilakukan studi banding kasus-kasus minoritas yang tejadi di dunia, seperti Sri Lanka, Bangladesh, Brasil, dan sebagainya. Kajian kecil itu, akhirnya sampai pada simpulan yang mencengangkan. Apa simpulan itu? Susanto menyibak rahasianya.
“Peradaban dan keberadaan kaum minoritas akan punah. Kecuali jika ada, bahkan cukup banyak, di antaranya yang berkualitas. Bukan hanya itu. Selain berkualitas, kaum minoritas juga sudi bekerja untuk kepentingan umum. Jika tidak, lambat laun mereka secara alamiah akan hilang dari peredaran dan tidak direken keberadaannya sebagai warga. Hak-hak mereka ditiadakan.”
Susanto yang menyadari dan yakin dengan simpulan itu, coba keluar dari diri sendiri. Ia melakukan sesuatu bukan atas nama etnis, namun atas dasar kemanusiaan. Yang dilakukannya demi kepentingan umum. Hal yang melintas etnis, agama, dan golongan. Ukurannya bukan lagi sempit, tapi luas.
Mgr. Pietro Sambi, Duta Besar Vatikan untuk Indonesia periode 1991-1998.
Menghapus Stigma dan Mencegah Victim-isasi
Apakah dengan membentuk Paguyuban Warga Tionghoa berarti eksklusif? Susanto menjawab jujur dan blak-blakan.
“Sama sekali tidak. Wajar saja, jika dalam kondisi tersedak, orang bersatu padu. Ini naluriah dan sangat alamiah. Pertahanan diri akan muncul, kreativitas akan timbul, dan sense of adaptiveness otomatis keluar dalam keterdesakan. Dalam hal ini, saya punya teori yang saya sebut ‘Teori Keong’. Perhatikan bagaimana cara siput besar mempertahankan diri. Jika menghadapi ancaman, keong akan masuk ke dalam rumahnya. Manusia juga demikian. Jika suatu kaum minoritas terancam bahaya, mereka juga berbuat secara naluriah seperti keong: kembali ke rumah,” papar Susanto.
Rumah yang dimaksudkan, tentu saja, asal usul suku bangsa itu sendiri. Dalam kondisi ketidakmenentuan manakala terancam, tidak ada yang bisa dipercaya, selain keluarga-bangsa sendiri. Tidak mungkin mengharapkan perlindungan dari pihak luar lebih dulu. Maka, tiarap dan masuk rumah adalah langkah penyelamatan pertama yang penting dilakukan. Sembari coba menghimpun kekuatan dari dalam, lalu menjulurkan kepala melihat ke luar memantau situasi jika sudah aman.
Ketika, dan Pasca Tragedi Mei 1998, suasana memang tidak menentu. Masalah pri dan nonpri lagi-lagi dipolitisasi sedemikian rupa. Diembuskan bagai bara api yang siap membakar emosi massa. Tak mengherankan, di Jakarta dan sekitarnya, kaum Tionghoa dan segala harta milik mereka jadi sasaran utama. Toko, bangunan, rumah warga Tionghoa jadi sasaran amuk massa. Kita menyaksikan, tulisan “Milik Pribumi” marak ditempel di pintu-pintu gerbang rumah dan toko penduduk. Ini bukti tak terbantahkan bahwa kaum Tionghoa memang jadi sasaran amukan massa pada waktu itu.
Berapa jumlah korban Tragedi Mei 1998 yang modusnya masih sama dengan membakar amuk massa dengan mengembuskan isu etnis Tionghoa seperti sebelumnya? Tidak ada angka pasti. Yang jelas, Tim Pencari Fakta, tim relawan Romo Sandyawan dkk. dan juga Ester Indahyani Jusuf dari LSM Solidaritas Nusa Bangsa (Tempo 01/XXVII 06 Oktober 1998) mencatat, jumlah korban 168 orang, 20 di antaranya tewas. Bahkan, korban yang dirawat terbukti mengalami kekerasan seksual.
Etnis Tionghoa ke Depan
Lihatlah, betapa semakin dekat jarak kejadian tragedi yang mengorbankan etnis Tionghoa ditilik dari urutan kronologi sejak abad 19. Hampir tiap satu dasawarsa kerusuhan sosial berujung pada victim-isasi etnis Tionghoa. Mencermati kecenderungan itu, wajar jika banyak warga Tionghoa menaruh perhatian jangan sampai kejadian serupa berulang. Sebagaimana dikatakan Soekarno, masalah orang Asia hendaknya diselesaikan Asia (Asians problems solve by Asian). Demikian juga masalah etnis Tionghoa di Indonesia, hendaknya dipecahkan etnis Tionghoa itu sendiri.
Maka, lahirnya paguyuban seperti seperti PSMTI dan Inti di mata Susanto,
“Suatu hal yang wajar. Sama saja seperti orang Minang membentuk paguyuban Minang di Jakarta. Atau orang Betawi membentuk Forum Betawi Rempug (FBR). Dan sejumlah paguyuban etnis lainnya. Jadi, apanya yang eksklusif dan luar biasa dari paguyuban etnis Tionghoa? Tidak ada! Jangan terlalu dihubung-hubungkan dengan hal-hal yang menyudutkan mereka. Filosofi keong adalah metafora yang mudah menjelaskan keberadaan itu.”
Tragedi dan victim-isasi etnis Tionghoa adalah tragedi kemanusiaan. Jika Susanto ditokohkan dalam paguyuban dan larut di dalamnya, itu pertama-tama didorong panggilannya sebagai manusia. Dalam perjalanan, paguyuban Tionghoa era Reformasi terbelah dua jadi PSMTI dan Inti. Namun, Susanto bisa masuk dan berterima di dua paguyuban sekaligus. Nyaris tiap gerak langkah dan kegiatannya dipublikasikan di situs Inti. Sementara di PSMTI, ia tetap dimintai pendapat dan nasihat demi kemaslahatan masyarakat.
SBKRI, dan sejumlah kasus patriot bangsa etnis Tionghoa yang malang melintang mengharumkan nama bangsa Indonesia, namun diperlakukan diskriminatif di masa lalu, merupakan bukti bahwa etnis Tionghoa belum diakui sebagai warga kelas satu. Seiring bergulirnya Reformasi, kran makin terbuka bagi setiap warga Indonesia memasuki bidang penghidupan dan profesi apa saja. Jika dahulu etnis Tionghoa mayoritas hidup dari berdagang dan jasa, maka kini banyak yang terjun ke dunia politik, militer, dan pemerintahan.
Di masa lalu, jangankan menjabat bupati atau wakil gubernur. Menjadi ketua RT saja warga Tionghoa sulit. Catatan biografi tokoh etnis Tionghoa yang dikumpulkan Sam Setya Utama menjadi bukti, lapangan kerja dan profesi apa pun kini dirambah etnis Tionghoa. Di pemerintahan misalnya, etnis Tionghoa menduduki jabatan tinggi. Bupati Bangka Belitung saat ini adalah etnis Tionghoa. Wakil Gubernur Kalimantan Barat periode 2008-2013 adalah etnis Tionghoa, walikota Singkawang etnis Tionghoa.
Susanto di antara pejabat Tionghoa: Eka Tjandra, Basuki Tjahaja
Purnama Ahok (Bupati Belitung Timur), Hasan Karman (walikota Singkawang), dan Adhinusa.
Bagaimana fenomena naiknya etnis Tionghoa ke panggung perpolitikan dan pemerintahan di mata Susanto? “Wajar saja. Ini hak tiap warganegara. Di masa lalu, ini memang sesuatu yang langka sekali. Tapi sekarang, di era Reformasi, tidak lagi. Jika yang bersangkutan memang cakap dan mampu, ya silakan masyarakat yang menilai. Kan kini masyarakat yang menentukan pemilihan langsung pejabat pemerintahan. Jadi, lebih jujur dan objektif.”
“Saya kerap diundang ke Kalimantan Barat oleh Pemda setempat. Mereka lebih open. Menyikapi perubahan dan meresponsnya dengan tanggap. Kami sampai pada kesimpulan, pemerintahan pun seyogiyanya dikelola secara profesional layaknya perusahaan. Pemerintah bertanggung jawab pada stakeholder, yakni rakyatnya sendiri,” ujar Susanto.
Justru kerja sama saling pengertian dapat dibangun dengan pejabat daerah yang juga memahami latar budaya. Seperti terjadi Kalbar, di mana wakil gubernurnya etnis Tionghoa. Didampingi wakil gubernur, Badan Penanaman Modal Daerah (BPMD) Kalbar pernah mempresentasikan investasi di Kalbar kepada rombongan Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI), di Balai Petitih Kantor Gubernur. INTI berjanji memboyong investor Cina ke Kalbar. Teddy Sugiarto, Ketua Rombongan Pengurus INTI mengatakan, pihaknya tertarik dengan pemaparan tersebut dan materinya akan disampaikan kepada Gubernur Guanzhou. Pemerintah Santung juga tertarik, mereka benar-benar mau, asalkan Pemprov Kalbar membuat proposal, kata Teddy. Dalam pemaparan yang disampaikan Kepala BPMD Kalbar, Drs. M. Zeet Hamdy Assovie MTM juga dihadiri Wakil Gubernur Kalbar, Drs. Christiandy Sanjaya S.E., MM.
Kini, setelah satu dasawarsa era reformasi, semua aturan yang membatasi ruang gerak etnis Tionghoa memang akhirnya dihapus. Lahirnya UU No 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan menjamin persamaan hak dan kewajiban seluruh warganegara Indonesia. Meski demikian, dalam tataran praksis, masih ditemukan fenomena diskriminasi yang dialami etnis Tionghoa, terutama dalam masalah pelayanan publik semisal paspor, KTP dan atau dalam hubungan sosial masyarakat. Tapi skala dan intensitasnya sudah tidak seperti dulu lagi.
Memang, diskriminasi seharusnya sudah pupus di bumi pertiwi. Apalagi jika mengingat bahwa dalam sejarah kemerdekaan Indonesia hingga saat ini, etnis Tionghoa banyak memberikan kontribusi. Tidak hanya keringat tapi juga darah. Pada Agustus 1945 misalnya. Tokoh dari etnis Tionghoa seperti Djiaw Kie Siong memperkenankan rumahnya digunakan untuk mempercepat persiapan kemerdekaan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Sementara dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merumuskan UUD'45, terdapat lima orang Tionghoa, yaitu Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw dan Drs. Yap Tjwan Bing.
Selanjutnya, pada masa pasca kemerdekaan hingga saat ini, etnis Tionghoa bersama-sama kelompok lain memberikan kontribusi terhadap pembangunan nasional. Para pengusaha Tionghoa telah mendirikan industri padat karya yang bisa menyerap banyak tenaga kerja serta membayar pajak yang termasuk terbesar di Indonesia.
Beberapa nama turut memberi kontribusi bagi NKRI, antara lain Tan Joe Hok dalam olahraga bulutangkis, Teguh Karya, Fifi Young, dan Tan Tjeng Bok dalam dunia teater dan perfilman ndonesia; dr. Oen Boen Bing di bidang kedokteran; Martha Tilaar sukses pada industri komestik Indonesia; atau Prof. Yohanes Surya yang menjadi arsitek tim Olimpiade Matematika Indonesia merebut medali-medali emas di ajang regional dan internasional.
Sumbangsih etnis Tionghoa yang cinta dan membela tanah air, akhirnya mendorong diusulkannya beberapa tokoh Tionghoa menjadi pahlawan nasional. Menurut sejarawan dan cendikiawan sejarawan Asvi Warman Adam, tokoh Tionghoa pantas diusulkan mendapat gelar pahlawan nasional itu adalah Sie Kong Yon, Mi Hue Kong, dan John Lee. Sie Kong Yong adalah orang Tionghoa yang meminjamkan gedung untuk pelaksanaan Sumpah Pemuda. Mie Hu Kong adalah Kapten Batavia yang melakukan penawanan terhadap pemerintahan VOC pada 1740.
Dari ketiga nama itu, kata Asvi, yang paling representatif untuk mendapat gelar pahlawan adalah John Lee. Pasalnya John Lee dinilai betul-betul berjuang pada tahun 1947. Saat itu, Indonesia sedang mempertahankan kemerdekaannya dari kembalinya penjajah Belanda. Pada masa itu, Indonesia mengalami kesulitan modal.
Bila melihat peran dan kontribusi etnis Tionghoa di atas, diskriminasi yang mereka alami merupakan bentuk ketidakadailan. Tapi persoalannya, mengapa masih ada angapan bahwa Tionghoa adalah orang asing?
Itulah persoalannya. Diskriminasi tersebut disebabkan oleh banyak faktor. Selain faktor politik dan ekonomi juga karena faktor agama. Biasanya, hubungan keduanya renggang karena kepentingan-kepentingan politik.
Namun, blessing in disguise, tragedi Mei 1998 membangkitkan kesadaran etnis Tionghoa bahwa selama ini mereka secara politis mereka tidak berdaya sama sekali. Terbukti setelah jatuhnya rezim Orde Baru, berbagai kelompok peranakan Tionghoa segera membentuk partai politik, paguyuban, perhimpunan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan sebagainya, antara lain Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (PARTI), Partai Bhineka Tunggal Ika (PBI), Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI), Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI), Solidaritas Nusa Bangsa (“SNB”), Gerakan Anti Diskriminasi (GANDI), Solidaritas Pemuda Pemudi Indonesia Untuk Keadilan (SIMPATIK) dan sebagainya.
Dalam perjalanannya, karena banyak menghadapi kendala, semangat yang pada mulanya mengebu-gebu perlahan-lahan mulai menyurut. Sebagaimana yang terjadi pada partai-partai politik dan organisasi nasional lainnya, perpecahan telah menjadi mode yang menimpa partai-partai politik dan organisasi-organisasi di kalangan etnis Tionghoa. Hingga hari ini, tiga dari sekian banyak organisasi dan partai politik bentukan etnis Tionghoa yang masih bertahan hingga saat ini adalah INTI, PSMTI dan PARTI.
Seperti dilihat oleh AB Ghifari, Susanto adalah “Tokoh Tionghoa yang berdiri di atas semua paguyuban. Hubungan antarsesama dibinanya berkelanjutan tanpa memerhatikan perbedaan-perbedaan yang ada. Ia selalu mengedepankan hubungan kesetaraan antarmanusia, antargolongan, dan antarbangsa.”
Susanto, ternyata, ada di mana-mana. Tapi tidak akan ke mana-mana. Sebab ia lahir dari perut bumi pertiwi Indonesia.
Daftar Pustaka
Ang See, Teresita. 2000. Intercultural Relations, Cultural Transformation, and Identity: the ethnic Chinese : selected papers presented at the 1998 ISSCO conference International Society for the Study of Chinese Overseas, Kaisa Para sa Kaunlarande.
Gondokusumo, Johan. 2004. Yan Bin’s Genealogy 1770-2004: Silsilah Keturunan Gan Peng. Jakarta: Paguyuban Keluarg Keturunan Gan.
Graaf, H.J. dkk. 1998. Cina Muslim di Jawa Abad CV dan XVI antara Historisitas dan Mitos. Yogya: Tiara Wacana Yogya.
Satya Dharma, Eddie Kusuma, S. 1998. Etnis Tionghoa dalam politik Indonesia: sebelum dan sesudah reformasi. Suara Kebangsan [i.e. Kebangsaan] Tionghoa Indonesia (SAKTI) dan Asosiasi Wartawan Muslim (AWAM) Indonesia, 2006.
Sidharta, Myra (Penyunting). 1989. 100 Tahun Kwee Tek Hoay. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Sinar Harapan, “Tokoh Tionghoa Diusulkan Jadi Pahlawan”13/11/07.
Suryadinata, Leo. 2004. Chinese Indonesians: State Policy, Monoculture and Multiculturalism. Eastern Universities Press
Sukarno, “Perjuangan Hilangkan Perasaan Tidak Enak Mayoritas-Minoritas” amanat Pembukaan Kongres Nasional ke-8 Baperki di Istana Olahraga Gelora Bung Karno, Jakarta, tanggal 14 Maret 1963. Amanat dibukukan oleh Panitia Peringatan 100 Tahun Bung arno, Bung Karno : Gerakan Massa dan Mahasiswa. 2001. Jakarta: PT Grasindo.
Taher, Tarmizi dr. H. 1998. Masyarakat Cina: Ketahanan Nasional dan Integrasi Bangsa di Indonesia. Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM).
Wijayakusuma, Hembing. 2005. Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Internet
majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1998/10/06/INT/mbm.19981006.INT95675.id.
http://wapedia.mobi/id/Tan_Joe_Hok
http://smpbruder.blog.friendster.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar