Selasa, 29 September 2009

KETIKA CINTA BERSALIB (novel)

Pengantar
Lama saya mangkir, tidak menulis novel. Padahal, karier kepenulisan saya justru diawali dari karya fiksi. Tatkala M.Djupri, Henri Supriyanto, dan Toto Sonata, para redaktur fiksi harian Suara Indonesia tahun 1980-an, hampir setiap minggu memberi ruang di rubrik "Seni Budaya" untuk puisi-puisi saya. Lalu, Basuki Soejatmiko dari Jawa Pos dan Busos menakar cerber saya laik-muat di media yang di Jawa Timur saat itu populer, lantas sastrawan senior yang juga redaktur budaya harian Surya, Julius Sijaranamual memuat cerber-cerber saya di Surya.

Terinspirasi novelis, sekaligus ilmuwan idola saya, Umberto Eco sang profesor semiotik Universitas Bologna, Italia,yang menulis novel --kemudian jadi film terkenal-- The Name of The Rose, saya menulis novel ini berlatar sejarah Katolik Sanggau, Kalbar. Sembari menyibak lembar-lembar daun lontar sejarah masa lalu, novel ini, harus diakui, memang bernuansa sejarah. Dari 9 jenis novel, ragam novel ini ialah hibrida historical novel dan roman-fleuve.

Ada pepatah, "Mengajar dengan contoh." Mahasiswa semester III Univ. Multimedia Nusantara yang mengambil mata kuliah wajib Creative Writing di akhir kuliah saya tugaskan menulis dan menghasilkan novel yang laik-terbit. Dalam konteks tut wuri handayani itu pula, saya terlecut menulis serial trilogi novel ini.

- Ketika Cinta Bersalib adalah satu dari trilogi novel. Dua lainnya:
- Ketika Cinta Berosario (mengisahkan konflik cinta dua remaja beda agama, sang dara harus memilih: tetap menguntai rosario, ataukah ikut agama pacarnya? Ternyata, sang dara memang menikah dengan pria idaman yang semula beda agama, namun akhirnya mengikuti agama yang ia anut. Rina, dara pelaku utama novel ini, tetap bisa mendaras untaian doa rosario. Puji Tuhan!)
- Ketika Cinta Berkorban (mengisahkan pengorbanan seorang ibu dalam sebuah keluarga Katolik, ketika cinta sang ayah harus berbagi dengan wanita idaman lain/wil).

Saya akan muat secara bersambung. Mulai dengan sepenggal dulu dari babakan buku yang pertama.
rmsp

RINGKASAN CERITA
Cinta milik semua anak manusia. Tak terkecuali Atunarang Embaloh yang, sejak masuk biara, ganti nama jadi Suster Andriana. Nama belia nan rupawan ini berujung dengan “Embaloh” karena waktu lahir, Sungai Embaloh sedang meluap, memuntahkan air bah.

Tumbuh jadi gadis menawan, Atunarang memikat tiap mata yang melihat. Ibarat mawar yang baru mekar, harumnya menyebar ke segala mata angin. Menebar pesona tak ada tara.

Bodinya tinggi semampai. Berkulit kuning langsat. Berjuta sukma tertambat padanya dan ingin memujanya. Atunarang menjalani masa SMA layaknya gadis biasa. Karunia multitalenta, membuat gadis itu dikerubungi banyak pangeran. Tak menghiraukan salah satu. Atunarang hanya menikmati dan menjalani hidup ini bagai sebuah permainan. Homo ludens. Manusia makhluk yang senantiasa bermain, sesuai lakon sandiwara!

Namun, babakan sandiwara hidupnya berubah jadi air mata, ketika menjelang EBTA, gadis manis itu ikut retret dipimpin Frater pujaannya yang juga guru Agama. Usai retret, Atunarang mengutarakan niatnya pada orang tua: tamat SMA, ia tak mau kuliah, tapi mau masuk biara…. Ibu setuju. Tapi Ayah mati-matian menentang rencananya. Dengan segala cara, Ayah mencegahnya jadi gadis berkerudung dan berjubah putih.

Tapi apa hendak dikata? Lulus SMA, Ayah yang otoriter memaksanya masuk Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya. Dan naas. Ketika pulang dari menjenguknya di Surabaya, pesawat Adam Air yang ditumpangi Ayah lenyap di perairan Sulawesi.

Ayah tiada! Atunarang tentu bersedih hati. Namun, Tuhan mungkin memberinya jalan, agar Atunarang bisa kembali meniti jalan panggilan suci….

Atunarang pun berhenti kuliah. Namun, selama kuliah, ia telah meninggalkan titik-titik noda di kampus Unair. Rio, temannya kuliah dan karibnya waktu SMA, menodainya.

Namun, noda hitam masa lalu tak kuasa menghambat keinginannya masuk biara. Setelah mengikrarkan kaul kekal, Andriana ditugaskan menjadi kepala SD di bumi khatulistiwa, tepatnya di kota Sanggau.

Waktu akan menyembuhkan luka, dokter hanyalah merawat. Ya, waktu yang berlalu, akan mengatup luka dan stigmata yang sempat menoreh hati dan meluruhkan bunga kesuciannya.

Bulat tekadnya mengabdikan diri pada Tuhan dan bersumpah jadi pelayan setiap insan. Ia bercita-cita jadi suster yang suci, sebagai silih dan tebusan atas dosa-dosa masa lalu yang nyaris menyeretnya ke tubir yang gulita. Ia yakin, Tuhan senantiasa mengulurkan tangan-Nya merangkul dan sedia tiap saat membuka pintu tobat bagi domba yang mengetuk pintu maaf pada-Nya.

Di SD yang dipimpinnya, Suster Andriana melihat seorang anak mirip mantan kekasihnya. Andriana tidak mengira, kalau anak itu berasal dari benih Rio, kekasihnya semasa kuliah. Tidak mungkin! Ini tentu sebuah ilusi. Obsesi yang jadi bayang-bayang dan selalu mengejarnya ke mana saja akibat karma masa silam. Bukankah jarak bermil-mil serta waktu beribu minggu telah memisahkan mereka?

Ya, beribu minggu telah berlalu. Dan kini Rio benar-benar hadir di depannya. Mereka bertemu di Sanggau. Ternyata, pengusaha kayu kaya itu sengaja menitipkan anaknya pada nenek dan kakeknya di Sanggau lantaran ditinggal mati istrinya dalam sebuah tragedi kecelakaan pesawat Garuda di Jogjakarta.

Bisakah tali cinta yang kusut antara keduanya dirajut kembali? Tetap setiakah Suster Andriana pada panggilannya? Inilah metafora cinta bersalib. Andriana yang semula bukan Katolik, lalu jadi Katolik. Bahkan, memilih panggilan hidup sebagai biarawati. Dengan jalan ini, ia yakin pengabdiannya akan total untuk Tuhan dan sesama.

Menarik ceritanya. Diupayakan juga indah gaya bahasanya. Banyak pesan dalam cerita ini perlu dipetik hikmahnya. Pengarang yang juga sarjana filsafat itu tidak hanya piawai bercerita. Ia juga menggali makna di balik setiap peristiwa. Lalu menyarinya untuk pembaca. Menjadi sebuah kisahan yang tidak saja menghibur, tapi juga berguna. Di sini menjadi genap makna susastra: indah dan berguna (dulce et utile) seperti dikatakan pujangga Romawi kuna, Horatius.

Sebuah kisahan yang unik. Karena dosen Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Multimedia Nusantara, Jakarta ini mengambil setting peristiwa dan menetapkan tempat novel ini akrab dengan pembaca. Dalam menulis novel ini, ia melakukan studi pustaka. Referensi zaman kolonial dibukanya. Tahulah pengarang asal usul nama Sintang dan Sanggau. Menjadi mafhumlah dia mengenai kisah kepahlawanan tokoh Sintang dan Kalbar, Apang Semangai.

Latar sejarah dan lokasi novel ini terjalin dalam bingkai kisah asmara dua anak manusia. Yang satu suster biara, sementara yang lain awam, pengusaha kayu yang kaya. Ikuti kisahnya hingga tamat.

Selamat menikmati!


(1)
SUNGAI Kapuas.
Seberapa dalam airnya? Kala kemarau tiba, cuaca mencerahkan mata memandang onggok-onggok batu yang terhampar di tengah-tengah pusaran segara. Menahan laju air mengalir dari hulu. Dan ketika hujan dari langit tak juga kunjung curah, gerah bumi khatulistiwa kian parah.

Langit bumi khatulistiwa merah merona. Meluruhkan daun-daun ketapang. Mengeringkan sawah-sawah di Mempawah. Membuat Sintang jadi senentang antara Sungai Melawi dan Sungai Kapuas. Sanggau tak lagi hijau dengan rimbun daun-daun sangau (semacam rambutan, konon nama Sanggau berasal dari tanaman ini karena dahulu kala banyak pohon sangau tumbuh liar di pesisir Sungai Sekayam dan Sungai Kapuas).

Kemarau telah memupus segala yang baik dan indah dalam sekejap saja. Ke mana hutan Borneo yang dijuluki sebagai hutan lindung dunia?

Pengusaha telah membabat habis belantaranya. Menyulap Borneo jadi lahan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri akasia. Sementara truk-truk di tepian Kapuas berjejer, siap mengangkut pasir ke kota dari para penambang perusak lingkungan.

Debit air makin surut karena tak ada lagi penyeimbang sebagai peresap dan penahan air. Membuat sungai Kapuas jadi kian dangkal. Sedangkal akal para pengusaha dari kota yang ingin mereguk nikmat sesaat. Merusak dan mencuri di siang hari rumah penduduk dengan segenap isinya.

Ah, betapa sulit kini menebak kedalaman air sungai. Pada zaman dulu, tak masalah melayari Kapuas dengan kapal motor dan tongkang. Mengukur kedalaman airnya dengan suar bambu. Sepanjang musim, air sungai mengalir tak pernah lelah. Tak ada riam-riam. Tak ada kiham. Juga tak ada hambatan dalam perjalanan.

Kini riam-riam Sungai Kapuas mengandaskan segalanya. Perjalanan. Pelayaran. Harapan. Dan juga, mimpi-mimpi!

(2)
Isi otak Suster Andriana siang itu melingkar-lingkar, bagai kisaran air Pancur Aji. Dari susteran, di ketinggian Sungai Liku, matanya terpanah ke tepian Kapuas. Katedral tampak berdiri anggun. Samar-samar pintu utamanya seperti tangan terbuka. Seakan mempersialakan siapa saja untuk masuk ke dalamnya.

Deru mesin motor meraung-raung seperti raksasa batuk, menyeretnya ke bongkah-bongkah kenangan masa silam. Barangkali beribu minggu telah lalu, sebelum ia tiba di Sanggau, kota tempatnya ditugaskan sekarang.

Ketika kakinya pertama kali menginjak bumi Borneo setelah resmi jadi biarawati, suster yang menjemputnya di bandara Supadio, menyuruhnya minum air Sungai Kapuas. “Kualat,kalau tada diminum!” kata rekan sekomunitasnya, setengah memaksa.

Maka Suster Andriana pun menenggak air Sungai Kapuas. Saat itu, ia belum tahu apa maknanya. Baru kemudian, setelah dihadiahi seseorang sebuah kaset lagu daerah Kalbar, Andriana tahu maknanya. Syair lagu “Sungai Kapuas” dalam bahasa setempat menjelaskan banyak, mengapa setiap pendatang baru di Borneo harus minum air Sungai Kapuas.

Sungai Kapuas punye cerite
Bile kite minum aiknye
Tak kan bise melupekannye....


Siapa yang pernah minum air Sungai Kapuas, tak bisa mengelak, dan ingin selalu kembali. Ia dihantui rindu selalu menyatu dengan bumi khatulistiwa. Seperti seorang bayi yang merasa nyaman di kehangatan pelukan ibunya. Demikian tiap pendatang baru rindu direngkuh perut bumi Borneo.

Cinta bumi khatulistiwa tak pernah jemu menebar pesona. Kalau hidup manusia ibarat garis-garis panjang, bisakah sebuah noktah putus, agar pupus kenangan masa lalu? Tidak juga! Bagaimanapun, masa lalu, meski hanya setitik, adalah bagian utuh sebuah kehidupan.

Memandang garis dan tiang-tiang awan bumi khatulistiwa, Andriana terkenang masa remaja. Tatkala cinta bisa menghalang segala daya dan coba memisahkan dua anak manusia. Ketika bunga-bunga sedang kuncup di tangkai ingin dipetik untuk segera dinikmati harum dan indahnya. Segera! Darah muda yang menggelora sering tak kuasa untuk dicegah.

Ya, mereguk manisnya cinta bagai memetik sekuntum bunga. Begitu tergenggam tangan, si bunga layu karena lepas dari tangkainya. Lepas tangkai dari pokok. Menjadikan bunga kering. Tak menarik lagi. Sirna semua indah dan pesonanya karena tersedot oleh radiasi tangan si pemetik.

Meski kerudung dan jubah putih membungkus jasadnya yang halus mulus, dan salib perak kemilau memendar cahaya pada dadanya, Suster Andriana tak kuasa menanggalkan sisi-sisi manusianya. Makin berusaha ia mengekang, makin angan-angan dalam membawanya masuk rentang waktu lalu.

Ah, mengapakah sosok laki-laki itu kembali mengisi relung-relung hatinya, saat ia coba bunuh semua kenangan bersamanya? Mengapa jiwa dan pikiran bisa menembus ruang dan waktu yang fana? Tidak seperti badan yang hanya bisa mengenali waktu sekarang ini dan di sini?

Semayup lagu kondan “Pantai Engkakal” yang dinyanyikan Rafael mengalun lembut dari tape recordernya. Seperti mengantarnya kembali ke masa lalu.

Sudah lama tidak ke hulu, Pantai Engkakal
Skarang ini ke hulu lagi, Pantai Engkakal
Sudah lama tidak bertemu, Pantai Engkakal
Skarang ini kita bertemu, Pantai Engkakal


Adakah rindu menyeretnya menatap kosong ke bawah, ke aliran Sungai Liku yang terus mengalir, tak pernah lekang oleh waktu? Mengapa bongkahan masa lalu seperti mendera-dera? Menyayat lagi luka lama yang kembali menganga, setelah sekian lama pupus, hangus diberangus sang waktu? Lalu, musna bersama mengalirnya air meresap ke terjal-terjal Pantai Engkakal. Mengalir, lalu kandas pada bongkah-bongkah batu riam Kapuas.

Atau memang demikiankah garis hidup yang mesti dijalaninya? Datang, pergi, silih berganti. Bagai aliran Sungai Kapuas?

Teringat Andriana kuliah anatomi yang sempat didalaminya di Universitas Airlangga, Surabaya beberapa tahun silam. Ia termasuk salah satu mahasiswa cerdas, dengan indeks prestasi tinggi. Ujiannya selalu summa cum laude. Tapi yang harus rela drop out dari fakultas kedokteran. Karena memilih meniti jalan panggilan dan mengikuti bisikan Tuhan.

Benar kata dosen mata kuliah anatomi dulu yang kini masih terngiang di telinganya. Manusia bukan hanya seonggok daging belaka. Ia juga lubuk misteri yang tak pernah sepenuhnya dapat terselami. Semakin manusia memahami siapa dirinya, semakin ia tak mengerti. Itulah sebabnya, di kuil Apollo di Delphi, gerbang kota di Yunani,tertulis ”gnothi seauton”. Peringatan agar manusia selalu mengenali dirinya. Dua kata yang sarat makna, kini jadi motto resmi dunia kedokteran.

Dan kini Andriana sedang bergulat dengan pencarian makna perkara siapa dirinya. Semakin mencari, semakin ia bersua tanya. Tak satu pun misteri hidup ini berhasil dicatatnya dengan pena.

Maka diletakkannya pena di atas meja. Serta merta ditutupnya catatan sekolah hari itu. Kini kantor telah sepi. Para karyawan Sekolah Dasar yang dipimpinnya, sudah pulang semua.

Perlahan ia bangkit dari kursi berwarna cokelat berukir yang merupakan pasangan pada sebuah meja besar khas seorang direktris.

Ia mengayun kaki ke arah jendela. Disingkapnya korden. Lalu menyapu pandang ke luar. Setumpuk pekerjaan di hadapannya telah membuat hatinya meloncat-loncat tak menentu. Bola matanya yang biasanya cerah, terbungkus lamunan. Ah, seandainya saja Tuhan mau melenyapkan obsesi yang selama ini mengusik hati dan pikirannya?

Sembari menggeliatkan tubuhnya yang mulai terasa pegal, Andriana meneliti kembali meja tulisnya. Di tempat semula, yang bertumpukan puluhan rapor, kini tinggal beberapa. Hanya beberapa buah saja lagi yang belum diambil oleh orang tua murid.

Lonceng bubar sekolah sudah lama berdentang. Tapi Andriana tetap saja bergeming dari ruang kantornya. Ia sangat mencintai pekerjaannya. Dan merasa sudah terbiasa dengan rutinitas. Mempersembahkan diri, waktu, tenaga, dan seluruh hidupnya untuk orang lain.

Semua itu adalah cita-citanya sejak kecil. Baginya, tidak ada kasih yang lebih besar, kecuali ikut ambil bagian dalam pengorbanan dan penderitaan Kristus, Sang Guru. Buatnya, kesetiaan pada tugas dan panggilan adalah nomor satu. Adakah kebahagiaan yang lebih sempurna, kecuali bahagia mengantar orang lain jadi bahagia?

Tetapi hari ini? Sepotong keraguan diam-diam menyelinap dalam dadanya. Ia seperti tengah diterjang arus Pantai Engkakal. Haruskah ia mengingkari kaul suci yang telah diikrarkannya? Mestikah ia melepas jubah dan kerudung putihnya demi seseorang?

”Selamat siang, Suster....,” gelombang suara tiba-tiba saja menggelegar dari balik pintu kantornya yang separuh menganga, disertai dengan gedoran halus.

”Silakan masuk!” jawabnya, sekenanya, tanpa betul-betul memandang siapa yang baru saja menyapanya.

”Srrrr!” Jantungnya tiba-tiba saja berdegup dengan kencang, ketika bola matanya menatap sosok pria yang kini berdiri persis di depannya. Andriana mengucek-ngucek mata. Seakan tak percaya pada penglihatannya. Lidahnya jadi kelu. Hatinya beku. Syarafnya seketika berdesir.

Dengan tatapan tak percaya, Andriana hanya sanggup mematung. Benarkah apa yang dilihatnya? Bukankah ini hanya fatamorgana? Tidakkah sebuah ilusi karena ia memang tadi merindukannya? Rio Dewanto Rinding Banua. Benarkah dia sosok yang kini sedang berdiri di depannya?

”K... kau?” Andriana hanya sanggup mendesis. Benar-benar ia tak memercayai penglihatannya sendiri. Realitakah yang diinderanya? Ataukah hanya fatamorgana?

”Ya, saya,” sahut Rio. ”Tidak menyangka kita bisa bertemu kembali, setelah sekian lama dipisah oleh batas dan disekat-sekat oleh kesewenang-wenangan dunia.”

Andriana menghela napas. Seakan-akan mengeluh. Mengapa laki-laki itu muncul lagi dalam lembar catatan kehidupannya, setelah sekian lama ia hapus? Mengapa ia menguntitnya ke mari? Apa yang dicarinya?

Andriana benar-benar terkejut. Hatinya masih tak percaya. Dipandangnya lamat-lamat laki-laki yang masih terpaku di depannya.

”Mengapa kau menatapku seperti itu? Seperti singa betina yang siap menerkam mangsa? Kau masih benci padaku, Atunarang Embaloh?” kata Rio, menyapa wanita anggun berkulit putih itu.

Dulu, demikianlah nama asli wanita cantik berjubah dan berkerudung putih dari Embaloh itu. Setelah masuk biara, dan mengikrarkan kaul perdana, Atunarang ganti nama menjadi Andriana.

”Eh... mmm, tidak!” sahut Andriana. Ia membetulkan kerudung putih yang separuh tersingkap. Membuat rambutnya yang hitam lebat bergurai dihembus angin yang bertiup lewat daun-daun jendela yang terbuka....


(3)
Sebelum merdeka, ayah Andriana pernah mondok di tempat yang sekarang menjadi areal Keuskupan Sanggau. Pada mulanya, Paroki Sanggau berasal dari Sejiram. Tahun 1909, Pastor Gonsalvus yang bertugas di Sejiram tiba dan menetap sebulan di Sanggau.
Pastoran Sanggau tahun 1930, yang kini berdiri gereja Katedral dan keuskupan.

Kehadiran Pastor Gonsalvus menarik para pemuda dan gadis Sanggau dan sekitarnya untuk bersekolah ke Sejiram. Menyaksikan gejala itu, tahun 1922, Mgr. Pacifikus Bos OFM Cap dan Pastor Eugenius sengaja datang ke Sanggau khusus mencari tanah untuk rencana mendirikan pastoran.

Lokasi yang dipilih saat itu adalah areal di atas Sungai Liku. Tiga tahun kemudian, 1925, Stasi Sanggau resmi berdiri. Namun, karena belum tersedia tempat, Pastor Cassianus sementara waktu mondok di rumah umat, Mong Seng. Pada 19 Mei 1927, dapur pastoran berdiri. Dan pada 8 Juli 1928 gedung gereja Sanggau untuk pertama kalinya digunakan.

Berarti sudah 80 kali kalender berganti, sejak para padri dan bruder Kapusin mendirikan gereja Sanggau. Adakah yang berubah selama rentang masa usia manusia itu? Suster Andriana tidak tahu persis. Yang ia tahu, panorama Sanggau kini memendar cahaya kemilau. Sejak berangkat ke kantor sekolahnya tadi, pikirannya menerawang jauh ke masa silam.

Katedral.
Ya, mengapa disebut demikian? Andriana ingat kembali kuliahnya waktu novisiat. Berasal dari kata Latin ”cathedra” yang berarti: gereja besar tempat tahta keuskupan. Jadi, setiap gereja disebut katedral, pasti ada uskupnya. Maka salah kaprah jika ada gereja, yang bukan Katolik, menamakan gerejanya katedral. Sebab, katedral hanya ada dalam tradisi dan kamus Gereja Katolik.

Andriana harus mengeraskan hatinya. Ia tak boleh terlihat lemah di hadapan siapa pun. Termasuk di hadapan Rio, pria satu-satunya, selain papanya, yang selalu mengisi relung-relung hatinya.

Sebenarnya, Rio juga tidak kalah terkejut. Rina memang telah sering bercerita mengenai kepala sekolahnya. Tapi sama sekali Rio tidak menyangka, kalau Atunarang Embaloh yang dimaksudkan.

Selama ini, Rina hanya bercerita kepala sekolahnya baik dan sangat sayang padanya. Ketika ditanya, siapa namanya, Rina hanya bilang bahwa kepala sekolahnya disapa Suster Andriana.

”Jadi... kau telah lama rupanya bekerja di sini?” tanya Rio. ”Ternyata bumi hanya selebar daun kelor. Buktinya, kita bertemu lagi, setelah sekian lama berpisah.”

Andriana mengerutkan kening. Di luar dugaannya. Rio telah mengamati dengan saksama gerak gerik dan tingkah lakunya. Ia tak bisa menyangkal kenyataan yang kini sedang dihadapinya. Bumi memang hanya selebar daun kelor. Nyatanya, mereka kini berjumpa lagi, setelah sekian lama dipisah jarak dan disapu waktu.

Di luar kemauan dan kesadarannya. Lelaki yang telah lama ia benam namanya ke dasar laut, kini justru hadir kembali. Nasib, ataukah takdir, kalau sesuatu tanpa dikehendaki datang begitu saja tanpa diundang?

Bagaimanapun, kenyataan harus dihadapi, bukan dihindari. Andriana coba meneguhkan hatinya. Aku harus bisa mengatasi persoalan ini. Ia bertekad dalam hati.

Tetapi gunung es mana di muka bumi ini tak kan cair dibakar sinar matahari? Seperti hati Andriana yang lama beku. Akankah sepotong hati itu cair diterpa hangatnya rona-rona cinta yang terpancar dari bola mata pria yang kini menatapnya?

Ia coba kuatkan hati menerima segala fakta. Andriana sadar. Lelaki itu tak berubah sama sekali. Sorot matanya yang tajam dan bening, masih seperti dulu.

”Kamu masih seperti Atunarang yang dulu kukenal. Sulit ditebak, tapi selalu menebar pesona yang sulit dlukiskan dengan kata,” kembali Rio menggoda wanita itu. Walau nadanya seperti melucu, kata-kata itu bagai petir menyambar di siang hari. Membuat lidah Andriana kelu, tak bisa berkata-kata.

”Hm....” Andriana mengehela napas panjang. Dengan sapu tangan, diusapnya butir-butir keringat yang mulai mengucur di dahinya yang halus mulus. Aura biara telah membuat wanita itu tampak bagai madonna. Bersih. Sebersih bunga teratai. Meski pernah tumbuh di kolam penuh lumpur dan kotor, tetaplah si bunga teratai menebar keindahan dan kesucian. Putih bersih. Indah berseri-seri.

Ya, bongkah-bongkah masa lalu Andriana persis teratai. Pertemuannya dengan Rio sebagai mahasiswa Unair, membuatnya tercemar. Tumbuh di kolam berlumpur menjadikan si teratai sempat tercemar akar dan daunnya. Bagai sebuah penjara yang mengurung jiwa manusia yang hakikatnya bebas mengelana. Dapatkah manusia menjawab teka teki semesta, jika padanya hanya diberi seonggok otak untuk memilah, mana yang baik dan buruk? Sementara yang baik dan buruk itu bisa saja berbeda di mata Sang Pencipta?

Itu mimpi buruk masa lalu. Sudah dikuburnya dalam-dalam, tenggelam bawah batu nisan buaian kedamaian biara. Tapi kalau bukan bagian dirinya, mengapa kenangan itu kini terkuak kembali?

”Kamu masih seperti dulu, Rio. Suka mempermainkan perasaan orang,” akhirnya suara lirih itu meluncur dari mulut Andriana.

”Ah, tidak juga!” sahut Rio seperti kebingungan. ”Apakah prinsipmu yang dulu pernah kau utarakan, masih berlaku sampai hari ini?”

”Prinsip mana yang kau maksud?”

”Kau menutup pintu hati bagi kehadiran lelaki mana pun. Termasuk aku?”

Mendengar pengakuan Rio, Andriana tercenung. Ditatapnya rumpun-rumpun melati. Tetap indah dan setia menebar wangi. Kutilang di ranting-ranting mahoni pun setia bernyanyi. Hati Andriana pun turut bernyanyi-nyanyi.

Sekejap, dan hanya sekejap. Desiran cinta anak manusia sempat membuatnya terkesima. Lupa pada Dia, asal segala cinta.

”Allah Yang Maharahim, aku mencintai Engkau lebih dari segala sesuatu,” seakan telinga Andriana mendengar ”Doa Cinta” yang sedang didaraskan dari kapel biara. Pukul 12.00, tengah hari. Doa Angelus. Cinta Yesus menariknya masuk jauh ke dalam prahara cinta dunia.

Dalam ketermanguannya, Andriana masih menyebut nama Bunda Maria, Madonna. Ibu dari segala ibu. Biar lara sukma. Masih ingat dia ibu Tuhan. Biarlah segala beban dan persoalan yang ia hadapi tumpah ruah di haribaan Tuhan. Sebab, besar kasih setia-Nya bagi orang yang berseru. Meski seruan itu diucap dalam lembah kekelaman.

Matahari yang diam, larut dalam gelinding bola bumi. Di ufuk barat, langit khatulistiwa merah merona. Diam-diam, ada yang terasa damai merasuk dalam jiwanya. Andriana bergetar. Kalau dawai gitar yang bergetar, ia tahu siapa pemetiknya. Tapi jika hatinya kini yang bergetar, siapatah gerangan sang pemetik?
***


Entah berapa untai doa ia lambungkan dalam dada. Berapa juta pinta ia naikkan pada Bapa. Nyatanya, Andriana hanya sanggup diam seribu bahasa. Lidahnya terasa kelu. Pada siapa ia mengadu? Tembakan Rio tepat sasaran yang mematikan. Bahkan, getar-getar hatinya makin terasa kuat membakar. Membuat detak-detak jantungnya berpacu lebih keras.

Makin ia menenangkan diri, makin dirasanya getar-getar kian berpendar. Menjalar dari pori-pori hingga sendi-sendi. Cintakah yang kini menggelora dalam dada? Ia tak tahu jawabnya. Andriana tak mengerti. Ia merasa hampa di antara teka teki semesta.

Ya, manusia hanyalah sebuah noktah kecil di antara berjuta rahasia semesta. Dan kebisuan di ruang kepala sekolah itu hendak menyibak satu babak rahasia cinta anak manusia. Ternyata status dan profesi, tidak serta merta membunuh perasaan manusia sebab esensi manusia sebenarnya sama.

Seberkas cahaya menyelinap merasuk hati wanitanya. Rio senyum penuh makna. Dengan tawa yang ditahan, ”Aku ke sini mengambil rapor anakku, Rina.”

Rindu yang berpacu dengan waktu, menemukan kembali senyawanya. Dan setiap pergantian detik kini menghembuskan napas-napas cinta. Raungan klakson bus Damri jurusan Pontianak-Sintang di jalan raya sama sekali tidak mengusik suasana. Dua anak manusia tenggelam dalam alam pikiran dan masa lalu.

Rio tidak langsung masuk ke inti pembicaraan, tapi Andriana coba menebak apa isi lubuk terdalam hatinya saat ini. Oh, oh. Kesewenang-wenangan nasib! Mengapa tauke besar seperti Rio harus datang sendiri mengambil rapor anaknya? Bagi pebisnis seperti dia, waktu adalah uang. Time is money.

Sederet pertanyaan seperti tak habis-habisnya mengalir dari kepala Andriana. Mengapa lelaki itu datang lagi merasuk hidupnya yang damai sejahtera dan mengusik ketentraman jiwanya? Mengapa? Ya, mengapa? Apakah ia sengaja menyiksaku dan belum puas dengan segala penderitaan yang pernah kualami?

Di dunia yang fana, mustahil menemukan jawab semua rahasia semesta. Ya, tidak setiap tanya bersua jawab. Sering di antara dua manusia yang mencinta, terbentang jembatan khayal yang sanggup memutus kebuntuan. Yang bisa merajut-rajut tali kusut yang putus oleh sekat dan masa waktu.

Mendadak Andriana merasakan denyutan keras menghunjam kepalanya. Telah berapa lamakah mereka dipisah oleh jarak dan waktu? Seribu tahun? Oh, oh, tidak! Belum selama itu.

Bukan, bukan seribu tahun mereka berpisah. Bola dunia baru menggelindingkan waktu sewindu. Delapan tahun. Dan dalam perputaran waktu itu, rupanya Rio sudah menjadi suami dan ayah. Suami dari wanita manakah Rio? Aku tah tahu jawabnya, pikir Andriana. Tapi ayah dari siapa, aku tahu, bisik hati Andriana. Rio adalah ayah Rina, muridnya.

Hadir lagi di ruang mata Andriana sosok dan wajah Rina. Rina salah satu murid kesayangannya. Anak itu manis sekali. Rambutnya yang legam, selalu terkepang dua. Ia agak pendiam, tapi jika bicara, urut benar kata yang diucapkannya. Sorot matanya menunjukkan kecerdasannya. Ia anak gadis berlesung pipi. Jika bibirnya menyungging semyum, aduhai manisnya. Tahi lalat samar-samar yang menempel di bibir tipisnya, membuatnya makin mempesona.

Dipandang sekilas, sama sekali tidak ada kemiripan antara Rina dan Rio. Oleh sebab itu, sejak semula, Andriana sama sekali tak pernah menaruh syak wasangka bahwa Rina adalah anak Rio. Sekali-sekali tidak! Tapi naluri wanitanya seperti magnit yang terus menarik-nariknya untuk selalu dekat dengan anak itu.

Kalau begitu, tentu Rina mirip dengan ibunya. Di manakah ibunya? Mengapa bukan ibu yang mengambil rapor Rina?

”Kamu ke sini hanya untuk mengambil rapor Rina, bukan?” akhirnya Andriana melepas kata-kata. Sarat dengan makna dan terasa tajam menusuk dada Rio.

”Ya..., ya!” kata Rio seperti kehilangan akal. ”Dari dulu, kau selalu memojokkanku dengan pilihan yang sulit.”

”Ya, sekarang aku kepala sekolah di SD ini.”

Suster Andriana mencoba menenangkan dirinya. Percuma belajar psikologi kalau tidak bisa membenamkan perasaan ke dasar agar tak mencuat ke permukaan. Ia berusaha menempatkan diri sebagai kepala sekolah yang berhadapan dengan orang tua murid. Bukan hubungan seperti pria-wanita. Apalagi hubungan masa lalu antara Atunarang Embaloh dan Rio Rindang Banua.

Meski telah berusaha menekan perasaannya, dengan gemetar Andriana menghampiri tumpukan rapor yang tersisa. Diambilnya sebuah. Lalu menyerahkannya pada Rio. ”Rapor anakmu!”

Rio membolak-balik rapor Rina. Dengan saksama diamatinya angka-angka. Semuanya di atas rata-rata. Berarti, standar kompetensi sekolah jauh dilampaui Rina. Benar kata Suster di depannya, Rina adalah anak cerdas.

”Kata-kata Suster sungguh benar. Nilai Rina bagus-bagus. Terima kasih atas bimbingannya selama ini!”

„Kami tidak mengajar, hanya menggali potensi. Dari asalnya, anak itu sudah cerdas.”

”Ah, Suster terlalu memuji. ”

”Bukan memuji, nyatanya begitu.”

Haru biru mengisi ruangan kepala SD yang terletak di Jalan Sudirman Sanggau itu. Pohon-pohon cemara yang berjajar di sepanjang jalan meluruhkan ranting dan daun-daun kering. Burung-burung gereja melayang-layang di naungan gemawan. Lalu menukik ke bawah dan bersembunyi di bilik-bilik atap Gereja Katedral.

Khawatirkah Andriana pada masa depan? Tidak! Ia sama sekali tak ngeri menghadapi masa datang. Ia justru takut pada masa lalu. Takut pada bayangannya sendiri. Andriana memang berlari ke muka, namun matahari khatulistiwa selalu mengejar dan membayanginya. Dan bayangan itu adalah Rio!

Klakson dari arah Jalan Sudirman kembali meraung-raung. Kali ini bukan berasal dari bus Damri. Tapi dari sebuah mobil mercy yang telah lama parkir di luar. Menunggu Rio mengambil rapor anaknya.

Belum sempat Rio bercerita mengenai ibu Rina. Dan belum sempat meluncur pertanyaan dari mulut Andriana mengenai siapa wanita tambatan cinta terakhir Rio, waktu yang iri telah berlalu.

Waktu, demikian penyair Romawi kuna, Horatius, tak ubahnya bagai wanita yang cemburu. Seperti wanita yang cemburu, waktu selalu memisahkan dua manusia yang saling menyinta. ”Carpe diem!”, kata Horatius dalam bukunya Odes yang terbit pada tahun 23 sM.

Dan kini waktu yang cemburu memisahkan Rio dan Andriana lagi. ”Saya buru-buru, telah ditunggu rombongan.”

”K...ke...?” suara Andriana terbata-bata.

”Ke Sintang, studi kelayakan. Perusahaan kami hendak membuka lahan baru bagi perkebunan kelapa sawit. Di Ketapang, kami sudah buka usaha kayu. Mau diversifikasi.”

”Kamu jadi pengusaha tampaknya,” cetus Andriana.

”Kecil-kecilan,” jawab Rio. Sekejap tubuh pria tampan itu lenyap bagai bayangan. Oh, matahari khatulistiwa! Oh hati yang lama mendamba!

”Aku nanti sering lewat jalan ini dan pasti selalu mampir ke sekolah Rina. Rina tinggal sama nenek dan kakeknya. Aku sendiri sering bolak balik Jakarta-Surabaya-Pontianak. Dan bisa jadi, suatu saat benar-benar menetap bila jatuh dalam pelukan cinta bumi khatulistiwa.”

Hm, Rio, pikir Andriana. Dari dulu selalu mengumbar kata cinta. Tapi bagaimana tentang ibu Rina?

”Sampai lain waktu, saya sudah ditunggu. Kami menguber waktu, agar tak sampai gelap tiba di Sintang. ”

”Baiklah,” jawab Andriana sambil matanya tak putus memandang lelaki itu sampai masuk ke dalam mobilnya.

”Tolong jaga dan perhatikan Rina!” pinta Rio sebelum menutup pintu mobil.

Andriana hanya mengangguk. Dalam bayang-bayang matahari khatulistiwa, matanya tak lekang menatap rumah berjalan yang membawa masa lalunya itu menyusuri tepian Kapuas setelah berlabuh sejenak di Pantai Engkakal. Bola matanya terus membayang-bayangi masa lalunya yang pergi, setelah sejenak menambatkan hati.
***

DI kapel biara.
Sore itu, lagu Magnificat seperti menggetarkan hati Suster Andriana. ”Magnificat anima mea Dominum....” Jiwaku memuliakan Tuhan, hatiku bersukaria karena Allah, Penyelamatku. Sebab Ia memerhatikan hamba-Nya yang dina ini....

Lagu pujian Bunda Maria, tatkala rumahnya dikunjungi Elisabeth ibu Yohanes Pembaptis, yang selama ini selalu menentramkan hatinya di kala lara, bagai menguap begitu saja. Sirna disapu oleh deburan sungai Kapuas. Lalu bersatu padu jadi abu, tatkala Sungai Liku bersekutu dengan Sungai Kapuas. Dan segalanya jadi api, tatkala solar dibakar mesin motor yang melintas di ruas-ruas jalan menyusuri Sungai Kapuas.

Sayup-sayup bunyi mesin motor sembilan PK dari Pancur Aji berpacu dengan deru mobil yang melintas di bawah. Andriana khusuk dalam ibadat vespere (doa sore rutin bagi para biarawan-wati).

”Jaga dan perhatikan Rina!” terngiang-ngiang di telinganya kata-kata Rio. Tadi siang, sebelum lelaki itu pamit, kata-kata itu berkali-kali diucapkannya.

”Kenapa saya mesti menjaga Rina? Mengapa bukan ibunya? Ke mana ibu Rina?” seuntai tanya yang belum bersua jawaban kembali menyelinap.

Andriana menggenggam rosario erat-erat, kendati ibadat sore suster-suster sekomunitas telah selesai. Dinaikkannya doa ke surga, semoga ia selalu setia menapaki dan tetap setia jalannya.

Lampu kekal yang memancar dari tabernakel seperti menyendandungkan keabadian. Sinarnya menembus sekat ruang dan waktu. Dan di atas tabernakel, corpus Christi yang tersalib merentangkan kedua tangan-Nya yang terpaku. Namun, mata Andriana seakan melihat Yesus yang tersalib itu justru sedang mengulurkan tangan-Nya.

”Aku perlu tanganmu untuk menolong dan meneruskan berkat. Aku butuh kakimu untuk memberitakan kabar sukacita. Aku juga butuh hatimu untuk menyinta!" seakan begitu Yesus menyapanya.

(4)
Dan seketika roda waktu merengkuhnya kembali ke masa lalu. Hidup lagi penggalan film masa lalu. Ketika benih panggilan yang hanya sebesar biji sesawi itu semayam tumbuh di hatinya. Bibit panggilan yang mulai bersemi ketika SMA, saat ia ikut retret yang dibimbing Frater pujaannya.

Ia ingat masa SMA yang penuh pesona. Gita cinta yang kini kembali menganga. Dan setelah retret, Andriana mengutarakan niatnya pada orang tua. Ibu setuju. Tapi ayah sangat menentang rencananya masuk biara.

”Selama ayah masih hidup,” kata ayahnya berkali-kali. ”Ayah tidak setuju kamu masuk biara!”

”Kenapa?” tanya Andriana.

Percuma mendapatkan jawaban dari ayah. Sebab ternyata ayah tak pernah sudi menjelaskan keberatan-keberatannya.

Sejak itulah hubungan antara Andriana dan ayah mulai renggang. Dengan terpaksa Atunarang Embaloh, namanya waktu itu, menuruti kemauan ayah masuk fakultas kedokteran setamat SMA. Demi ayah yang ia cintai, Atunarang terpaksa melepas keinginannya masuk biara.

Yang ia terus ingat, ”Selama ayah masih hidup, kamu tak boleh masuk biara.” Jadi, kalau begitu, bukankah masih ada celah baginya masuk biara? Yakni kalau ayahnya….?”

Ah, ah! Andriana segera menghapus bayangan buruk itu. Dilema baginya. Ia tak mau ayah lekas-lekas meninggalkan dunia fana di satu pihak. Tapi ia juga ingin segera masuk biara di pihak lain.

”Tetap saja fokus pada ujian SMA dan pada keinginan ayah agar kau jadi dokter,” begitu ayah selalu mengulang kata-katanya.

Dan kini betapa lekasnya waktu berlalu. Merampas masa remajaku, bisik hati Atunarang. Senyampang masih remaja, aku puas-puaskan hari-hariku. Dan demi ayah yang otoriter, akan kutunjukkan bahwa aku juga punya pendirian, tekadnya.

Sejak itu, Andriana seakan punya kepribadian ganda. Di satu pihak, ia penurut dan lemah lembut. Tapi di pihak lain, ia tegar dan keras kepala.
***


(5)
DELAPAN tahun lalu.
Di kota Khatulistiwa, Pontianak. Rio dan Atunarang Embaloh biasa berkeliling kota dengan sepeda motor. Pesiar ke Pasir Panjang, sembari menikmati indahnya desir angin Laut Cina Selatan.

Pemandangan paling indah di kala senja. Waktu lautan hendak menelan rona kemerah-merahan bola matahari. Manakala sang surya hendak menyentuh titik horizon, segalanya tampak bagai zamrut merah merona di atas bumi khatulistiwa.

Sinarnya yang mulia memendar ke mana-mana. Memantulkan lewat permukaan air laut kemilau cahaya Sang Maha Indah. Adakah cinta anak manusia seluas samudera? Yang tetap membuka hati bagi datangnya segala asa lewat tampungan muara sungai segala lara?

Segalanya bagai surga bagi hati yang sudi membuka kisi-kisi cinta. Ketika surya memantulkan nyala ke titik nadirnya kembali, seakan tersirat di sana janji pasti untuk terbit lagi esok hari. Siapa manusia bisa setia seperti matahari? Matahari tak pernah berjanji, tapi selalu muncul tiap pagi?

Dan pantai Pasir Panjang tetaplah misteri. Sebuah buku berisi lembaran-lembaran kosong yang harus diisi catatan anak manusia. Bagai legenda tua yang terus meningatkan, betapa kekuatan cinta tak pernah surut oleh sang waktu. Tak pernah mati, meski jarak dan waktu coba memisahkan. Oleh hereditas dan pilihan profesi.

Bukit-bukit kelapa membiru. Pepohonan cemara meriap-riap. Dan mengalir sungai-sungai, lalu bermuara pada samudera.

Semua serasi, menyenandungkan nyanyi semesta. Untuk semesta, ya untuk semesta ini manusia ada. "Aku akan penuhi isi dunia ini dengan sepasang anak manusia. Biarlah menguasainya. Dan jadi hiasan dan menguasai segala makhluk di muka bumi." Demikian seperti tertulis dalam Kitab Kejadian.

Selalu saja kata itu tak pernah lekang oleh sang waktu, meski sudah beribu, bahkan berjuta tahun lalu difirmankan. Bukankah setiap pasang anak manusia yang kasmaran merasa bahwa hanya mereka yang memiliki dan menguasai dunia ini? Seperti Rio dan Atunarang Embaloh kini. Dua sejoli yang sedang bermain-main di antara gemuruh ombak samudera cinta. Seakan tak peduli pada dunia yang terus berputar mengelilingi peredaran waktu.

Benarlah kata penginjil. Pada awal mula adalah sabda. Sabda itu bersama-sama dengan Allah dan sabda itu adalah Allah. Pada permulaan ada cinta. Cinta itu datangnya dari Allah. Dan cinta itu karunia Allah.

Akan tetapi, cinta pula yang menjerumuskan manusia ke tubir dosa. Hawa cinta pada bujukan ular yang menggodanya. Lupa bahwa cinta telah mengingkari cinta sejatinya pada Allah. Segala kesenangan dan kenikmatan duniawi telah menyeretnya ke alam fana. Akan halnya Adam yang tak berdosa pun, karena cintanya pada tulang rusuknya sendiri, akirnya turut larut dalam tubir dosa.

Itu hakikat dosa yang sebenarnya: menampik cinta Allah. Menduakan cinta-Nya, dan berpaling pada cinta lain yang penuh kepalsuan dan kefanaan.

Maka, dosa sesungguhnya ialah melawan cinta. Dan kini kedua anak manusia itu tengah mereguk titik nikmat indah cinta Allah yang dihembuskan lewat tarikan napas kehidupan. Hanya sehirup. Tapi cukup buat memindahkan isi dunia ini, kecuali mereka berdua.

Pohon-pohon pinus yang berdiri berjajar dan angkuh, seakan turut merasakan getar-getar kebadian bernama cinta. Betapa batu karang pun rela dihempas deburan ombak yang tak jemu-jemunya bergulung. Buihnya yang putih menyapu bibir pantai. Lalu kembali ke tengah, setelah mengangkut sampah-sampah yang menumpuk di tepi pantai.

Dan kini siklus itu berputar ke titik nadir kembali. Tak mungkin untuk melupakan begitu saja jejak-jejak masa lalu, meski waktu mencoba menghapus segalanya. Kata orang, waktu akan menyembuhkan semua luka. Percuma mengobatinya. Namun, nyatanya, Andriana sempat terseret ke potongan garis waktu masa lalu.

”Kamu datang lagi?” tanya Andriana pada lelaki di depannya. Baru tiga hari lalu pria itu datang ke kantornya mengambil rapor anaknya dengan tergesa-gesa.

”Ya, ini menyangkut masa depan anak itu,” sahut Rio.

”Masa depan? Masa depan bagaimana?”

“Aku mendapat telepon dari nenaknya yang mengabarkan hari-hari ini anak itu selalu murung.”

“Murung?” hanya sepatah kata yang sanggup meluncur dari mulut Andriana. Kali ini cuaca mendung. Langit kelabu. Di luar, angin bulan Desember mulai berembus kencang. Meluruhkan daun-daun kering pohon ketapang lalu jatuh ke tanah kembali.

“Ya, begitulah nasib yang harus diterima anak itu.”

“Murung, tapi jika kena, semangatnya bisa dinyalakan dengan bara. Bersamaku, ia selalu tersenyum. Alangkah cantiknya Rina kalau tersenyum. Saya bisa membayangkan, betapa cantik ibunya. Hanya sayang, sorot matanya tampak menyimpan sesuatu!”

“Menyimpan sesuatu? Apa maksudmu?”

“Seakan merindukan seseorang.”

“Ya, ia merindukan sosok seorang ibu!”

Seorang ibu? Tak jelas benar bagi Andriana arah pembicaraan Rio. Logikanya, bukankah kalau ada anak, ada juga ibu? Ke mana ibu Rina? Dan mengapa yang datang dan mengambil rapor ayahnya, bukan ibunya?

Belum sempat meneruskan pertanyaan lain di otaknya, Rio yang membaca pikiran Atunarang memotong. “Tapi anak saya masih ada harapan untuk ceria kembali kan Suster…?”

Dipanggil dengan sebutan “suster” oleh Rio, serasa bagai petir menyambar telinga Andriana. Sadarlah ia kini, bahwa hubungannya dengan pria itu hubungan antara biarawati dengan awam. Bukan hubungan antara pria-wanita biasa.

“Ehm…., ya… bisa, bisa. Rina bisa pulih kembali. Dengan bawaannya yang kurang periang saja ia bisa masuk ranking sepuluh besar, apalagi jika….”

“Jika ada ibunya?”

“Maksud saya, jika Rina didampingi orang tuanya belajar dan diberikan semangat agar kembali menemukan kegembiraan dalam hidupnya.”

“Oh, oh….” hanya anggukan kecil yang bisa diberikan Rio. Sukar dia menemukan kata-kata yang tepat utuk menyahut suster di depannya.

Melihat sikap Rio, hati Suster Andriana jadi trenyuh. Terbayang olehnya sosok dan perangai Rina. Cantik tapi selalu murung. Rasa kasihan tiba-tiba menyelinap dalam sanubarinya. Tapi benarkah demikian gambaran sesungguhnya perasaannya? Siapakah yang sebenarnya pantas untuk dikasihani, Rina ataukah dirinya?

“Ya, kekurangceriaannya itu, suster. Saya harap, tidak mempengaruhi perkembangan jiwanya.”

Kali ini Andriana tidak akan menyia-nyiakan kesepatan. Ia ingin tahu siapa dan di mana ibu Rina.

”Ke mana ibunya?” Andriana tak kuasa lagi menyimpan pertanyaan yang selama ini mengusik pikirannya. Lelaki di depannya tak menjawab. Sebentar-sebentar tampak ia menggigit bibir mencoba menahan perasaan.

”Hilang bersama pesawat Adam Air ketika akan mengikuti seminar di Makassar,” suara Rio lemah.

Mafhumlah kini Andriana, mengapa pada pertemuan pertama Rio menitip Rina padanya untuk dijaga dan dipelihara.

Oh, kejamnya dunia! Seandainya ibu Rina tak transit dulu di Surabaya dan langsung terbang ke Makassar dari Jakarta? Seandainya juga dia tak terikat oleh kaul dan janji presetia mulia? Ya... seandainya? Seandainya?
***

Di biara, di kamarnya yang jauh dari gaba-gaba.
Purnama telah lama sirna. Penguasa malam tenggelam bersama mimpi-mimpi. Memupus segala bayang. Menghilang semua angan.

Cuaca dingin di luar sampai juga di kamarnya. Menembus tembok biara, dingin menusuk badan. Jarum jam terus berpacu melawan sang waktu. Kini waktu yang iri telah menunjukkan angka dua lepas tengah malam.

Tapi tak stitik pun Andriana dihinggapi kantuk. Ia sama sekali tak sanggup memejamkan mata.

Pikirannya melayang ke masa silam. Mengembara bersama derai-derai cemara yang bersiuran ditiup angin malam, di halaman biara tua.

Ditingkah gerisikan suara jangkrik dan burung-burung malam, tak putus-putusnya ia menguntai doa. Menghitung biji-biji rosario di tangannya. Sembari menyimpan harap: esok pagi, kala membuka mata, segalanya jadi baru.

Maka ia pun bisa mulai menyibak lembar baru babakan kehidupan selanjutnya....
***


(6)
DENTANG lonceng biara yang didengarnya subuh itu semayup seperti suara angin. Mendesir-desir membelai tubuhnya yang halus mulus. Ah, kecantikan yang abadi. Tak pernah sirna oleh waktu yang iri. Keperawanan hati memancarkan cinta murni.

Dan bagi Andriana, keperawanan bukan semata-mata terjaganya selaput anak dara yang bisa saja robek oleh kesewenang-wenangan dunia.

Tapi keperawanan pertama-tama adalah soal hati, soal niat yang suci. Keperawanan ialah robeknya selaput yang menghalangi mata hati manusia melihat Allah dalam segala peristiwa dan fenomena.

”Berbahagialah orang yang suci hatinya karena mereka akan melihat Allah” kata Yesus dalam salah satu Sabda Bahagia. Ya, bagi Suster Andriana, keperawan diartikannya sebagai setiap upaya melihat Allah di balik setiap peristiwa. Dan mencoba menangkap makna di balik gejala dari sebuah misteri yang disebut cinta.

Dan masa-masa SMA adalah saat Andriana tercelik matanya. Bahwa Tuhan yang turun dari surga masuk dunia mengenakan pakaian manusia, kini berkarya nyata lewat manusia juga.

Lonceng biara yang berdentang tengah malam itu, bagi Andriana seperti bunyi lonceng sekolahnya waktu SMA. Rohnya memang kuat berjaga, tapi tubuh manusianya lemah. Setelah lelah seharian bekerja di sekolah, pikirannya juga sedang kacau. Malas ia bangun berdoa tengah malam seperti biasa.

Lonceng biara yang berdentang terus memanggil-manggil. Persetan! Kali ini bunyi lonceng benar-benar tak diindahkannya.

Dibuai alam bawah sadarnya, Andriana terlelap dalam tidur.

Kenangan masa lalu menghiasi tidur malamnya. Dan bongkah-bongkah kenangan itu pun kembali menyeruak. Muncul satu demi satu bersama mengalirnya air Sungai Liku....

BUKU akan terbit (ke-52, 53, dan 54): Literary Journalism, Dayak Djongkang, dan Mengenal & Mencintai Kardinal, The Prince of Roman Catholic Church

Jurnalis era the new media dituntut menjadi knowledge worker, sebagaimana tuntutan pada dunia industri maju lain. Dengan demikian, posisi tawarnya makin tinggi dan profesi yang digelutinya menjanjikan ditilik dari status sosial dan segi finansial.

Namun, bagaimana “menghasilkan” jurnalis masa depan yang bukan saja terampil menulis (word smart), tetapi juga cerdas dalam berpikir (logic smart)? Bagaimana mengemas isi (content) media cetak, sehingga dapat bersaing dengan media elektronika yang jauh lebih cepat dan massif dari segi penyampaian?

Di Amerika Serikat, awal 1970-an, ketika tayangan TV dan media elektronika gencar menyerang keberadaan media cetak, tantangan dijawab Tom Wolfe. Wolfe mengenalkan genre baru penulisan media cetak saat itu yang kemudian populer dengan dengan nama “New Journalism”. Yakni fakta, data, informasi, dan wawancara yang dikumpulkan dan ditulis menggunakan elemen-elemen dan kaidah-kaidah sastra.

Menurut Connery, jurnalistik sastrawi ialah reportase yang dikemas dengan storytelling. ”Whether it’s called ”narrative journalism”, new journalism”, ”literary journalism”, or ”journalistic narrative”, the type of writing definied by these terms is blend of reporting and storytelling. ...narrative journalism upholds integrity and profesionalism, as its writers, astute to human experience, paint pictures and emotions with words. The narrative journalist is necessarily wrapped up in social realism, and is ”in fact, a Romantic Reporter, who assumes that reality is to be found by focusing on internal, rahter than external, human processes and movements; that feelings and emotions are more essential to understanding human life than idea”.

Di Indonesia, jurnalistik sastrawi dikenalkan dan dipraktikkan majalah Tempo tahun 1970-an. Meski sudah lewat empat dekade, aliran jurnalistik itu belakangan ini baru booming di negeri kita. Belum ada buku khusus yang mengupasnya. Inilah buku pertama yang secara akademik membahas jurnalistik sastra, menggabungkan word smart dan logic smart. Memenuhi bukan saja kebutuhan akademis, melainkan juga praktisi dan pekerja media.
ISBN 978-602-95532-1-5
Buku ke-52, diterbitkan Penerbit Salemba bekerja sama dengan UMN Press.

Daftar Isi
BAGIAN I
KECERDASAN OLAH KATA, KOMPETENSI MAHASISWA, SEJARAH, DAN PERTEMUAN JURNALISTIK-SASTRA

Bab 1
Kecerdasan Olah Kata (Word smart) dan Peluang Karier
1.1 Redefinisi Kecerdasan: Bukan Hanya IQ
1.2 Multikecerdasan
1.3 Peluang Karier
1.4 Writing Process

Bab 2
Tuntutan Kompetensi dan Pendidikan Jurnalistik di Perguruan Tinggi
2.1 Tuntutan Kompetensi dan Pendidikan Jurnalistik di Perguruan Tinggi
2.2 Membaca Menemukan Gaya
2.3 Pokok Bahasan dan Waktu yang Dibutuhkan

Bab 3
Jurnalistik dan Sastra dalam Lintasan Sejarah
3.1 Jurnalistik Zaman Romawi Kuno
3.2 Gutenberg dan Revolusi Pers
3.3 Sekelebat Sejarah Sastra

Bab 4
Jurnalistik Sastrawi sebagai Jurnalisme Baru
4.1 Ruang Lingkup Jurnalistik dan Sastra
4.2 Nama Lain Literary Journalism
4.3 Elemen Jurnalistik Konvensional
4.3 Sepuluh Elemen Sastra
4.4 Meramu Elemen Sastra
4.5 Karakterisasi
4.6 Point of View (sudut pandang)
4.7 Gaya Bahasa
4.8 Tema
4.9 Jurnalistik Sastrawi: Faksi
4.10 Jurnalistik Sastrawi menurut Para Pakar
4.11 Jurnalistik Sastra dan Perkembangannya di Indonesia
4.12 Sastra, Jurnalistik, dan Masyarakat
Bab 5
Logika sebagai Jalan Nalar Membuktikan dan Merangkaikan Fakta
5.1 Profesi Jurnalis dan Pertanyaan Filsafat
5.2 Logika sebagai Rangkaian Fakta dan Jalan Nalar Pembuktian
5.2.1 Asal Usul Logika
5.2.2 Alam dan kebudayaan Yunani
5.3 Apakah Logika Itu?
5.4 Induksi dan Deduksi: Jalan Menghasilkan PengetahuanBaru
Bab 6
Sillogisme: Jalan Mempraktikkan Deduksi
6.1 Sillogisme Kategoris
6.2 Bentuk-Bentuk Deduksi
6.3 Metateorikal Hasil
6.4 Taksonomi Logika
6.4.1 Logika Aristoteles
6.3.2 Logika Abad Pertengahan
6.3.3 Logika Modern
6.4 Logika dan Komunikasi Sehari-hari
Bab 7
Setiap Wacana Berawal dari Sepatah Kata
7.1 Struktur Bahasa
7.2 Kategori Kalimat
7.3 Argumen
7.4 Kapan Suatu Argumen Dapat Diterima?
7.5 Logika sebagai Cabang Filsafat Ilmu Pengetahuan

Bab 8
Merangkai Term sebagai Unsur Penalaran dengan Gaya Sastra
8.1 Term dan Kata
8.2 Isi dan Luas Term
8.3 Pembagian Term
8.3.1 Term menurut komprehensi
8.3.2 Term menurut ekstensi
8.3.3 Term menurut predikabilia
8.3.4 Term menurut kategori
8.4 Term sebagai Unsur Penalaran
8.5 Cerdas Merangkai Factum Menggunakan Term

Bab 9
Menulis dengan Hati, bukan Opini
9.1 Kode Etik Jurnalistik
9.2 Definisi dan Pengertian Kebenaran
9.3 Menulis Berdasarkan Fakta
9.4 Wacana sebagai Rangkaian Fakta, Bukan Opini
9.5 Jurnalistik Sastrawi: Menulis dengan Hati

Bab 10 Gaya Publikasi Jurnalistik Sastrawi
10.1 Gaya Publikasi
10..2 Unsur dan kaidah Sastrawi dalam Tulisan Kreatif Non-fiksi
10.2.1 Memoir
10.2.2 Biografi
10.2.3 Esai Personal
10.2. 4 Esai sastrawi
10.2.5 Artikel feature
10.2.6 Non-fiksi naratif

Bab 11
Literary Journalism: Paparkan, Jangan Katakan (Show, Don’t Tell)
11.1 Show, Don’t Tell
11.2 Persamaan antara Literary Journalism, Cerpen/Novelet/novel

Bab 12
Lead yang Mengail Minat Pembaca
12.1 Definisi Lead
12.2 Ragam Lead
12.1 Teras Ringkasan (Summary Lead)
12.2 Teras Paparan (Narrative Lead)
12.3 Teras deskripsi (Descriptive Lead)
12.4 Teras Tanya (Question Lead)
12.5 Teras Kutipan Langsung (Quotation Lead)
12.6 Teras Berkomunikasi Langsung (Direct Adress Lead)
12.7 Teras Berifat Teka Teki (Teser Lead)
12.8 Teras Imajinatif (Imaginative Lead)
12.9 Teras Kombinasi (Combination Lead)

Bab 13
Judul yang Memancing Minat Pemvaca
13. 1 Teknik Membuat Judul
13.1.1 Mengambil bulat-bulat nama tokoh utama
13.1.2 Menggabungkan tokoh utama dengan predikat
13.1.3 Simbolis
13.1.4 Alias
13.1.5 Intisari cerita
13.1.6 Persamaan dan Keindahan Bunyi (Eulogi)
13.1.7 Ha sil Akhir
13.2 Kalimat (dan Alinea) Pertama

BAGIAN III
LITERARY JOURNALISM DALAM PRAKTIK

Bab 14 Proximity, Clarity, Accucary, dan Readability
14.1 Empat Kunci Sukses
14.2 Fog Index dan Manfaatnya
14.3 Menerapkan Check Ability

Bab 15
Membaca Menemukan Gaya
15.1 Mencari dan Menempatkan Gagasan Pokok
15.2 Latihan

Gambaran orang Dayak bertelinga panjang berjuntai anting, bercawat, bersongket, makan sirih, tinggal di rumah panjang, pemburu kepala manusia (headhunter); hanyalah kenangan masa lalu. Labeling sebagai suku bangsa primitif dan sejumlah stereotype miring lain, tinggal cerita.

Kini, seiring modernisasi dan pembangunan, etnis Dayak masuk dalam peradaban baru. Tua muda, lelaki maupun perempuan, anak-anak hingga dewasa; semua berperilaku dan ber-modus vivendi seperti layaknya manusia modern. Telepon seluler, antena parabola, kulkas, televisi berwarna sudah jadi hal yang biasa bagi orang Dayak. Mobil dan motor pun bukan barang yang asing bagi mereka. Pendeknya, teknologi canggih dan informasi terkini dari penjuru dunia sudah merasuk bahkan memengaruhi peraaban dan cara hidup mereka.

Semua itu keniscayaan yang membuktikan bahwa etnis Dayak pun punya kemampuan adaptif untuk menghadapi perubahan zaman yang turbulen.

Buku ini merupakan kajian historis Dayak Jangkang, salah satu Land Dayak yang menurut para pakar lingustik dunia menuturkan bahasa Bokidoh. Ditutur lebih dari 45.000 penduduk, bahasa dengan sandi “Djo” di kancah dunia ini masih dan akan tetap eksis.

Diimbuhi sejumlah gambar kuno zaman kolonial yang didapat dari Herman Jozef van Hulten, misionaris Belanda yang menginjakkan kaki di bumi Borneo tahun 1938, foto koleksi Kon.Instituut v.d. Tropen Amsterdam, Romer Museum Hildesheim, dan koleksi pribadi. Menjadikan buku ini bukan saja bernilai historis, tapi juga sebuah studi komprehensif yang membahas kearifan lokal Dayak Jangkang hingga partisipasi politik meeka dalam Perang Majang Desa, filosofi di balik “ngayau” dan tradisi “mangkok merah”, Perjanjian “Tumbang Anoi” antarDayak Borneo 22 Mei - 24 Juli 1894 di Desa Huron Anoi Kahayan Ulu Kalimantan Tengah yang belum banyak diketahui publik, riak-riak politik Dayak dalam Pemilu 1955 serta akar dan sumber konflik etnik di Kalimantan Barat.
Buku ke-53

Saya hanya memuat hingga 2 bab saja dari buku ini. Paus Benedictus XVI kini hampir berusia 80 tahun. Kita tidak tahu, hingga kapan beliau memimpin Gereja Katolik yang jumlah penganutnya di dunia 1,2 miliar itu.

Jelang Konklav, biasanya orang miskin informasi dan pengetahuan tentang Dewan Kardinal, kardinal elektor, termasuk sejarah dan kiprahnya dalam Gereja Katolik. Saya menggali semua data dan informasi itu sejak dua ribu tahun lalu...., menyiapkan naskah ini 3 tahun lamanya, hingga tidur saya sehari antara 4-6 jam saja. Jadi,, buku ini bukan sekadar directory APA dan SIAPA KARDINAL SEDUNIA.

Puji Tuhan, kini naskah telah rampung 90%. Dan dengan sukacita, saya sajikan appetizer ini buat Anda, pembaca.

BAB 1
KARDINAL
DALAM KESATUAN DENGAN PAUS
DAN GEREJA KRISTUS


GEREJA Katolik Roma, juga disebut Gereja Katolik, adalah Gereja Kristus dalam satu kesatuan dengan Paus, yang saat ini dipimpin Paus Benedictus XVI. Gereja Katolik didirikan oleh Yesus sebagai komunitas Kristiani yang tak terbagi, sesuai dengan tradisi. Diletakkan dasarnya oleh Dua Belas Rasul. Gereja Kristus itu sepanjang masa diteruskan oleh Suksesi Apostolik.

Gereja Katolik hari ini tidak hanya Gereja Kristus terbesar, akan tetapi juga organizasi terbesar keagamaan seantero dunia. Menurut Statistical Yearbook of the Church, tdi seantero dunia (akhir 2004) tercatat 1.098.366.000, atau satu dari 6 populasi penduduk sedunia.

Sesuai dengan Kitab Hukum Kanonik, anggota Gereja Katolik yang tercatat itu ialah mereka yang sudah menerima Sakramen Pembaptisan, atau sudah diterima masuk ke dalam Gereja Katolik, dengan mengucapkan pengakuan iman. Jika tidak, mereka tidak diakui sebagai anggota Gereja.

Dalam kehidupan menggereja, Tahta Suci adalah pusat kehidupan Gereja di seluruh dunia yan disebut sebagai Ritus Barat. Sementara itu, dikenal juga 22 Gereja Partikular yang disebut Ritus Timur.

Gereja Katolik dibagi ke dalam wilayah yurisdiksional, yang didasarkan atas territorial tertentu. Standar teritorial unit itu disebut juga, dalam Ritus Latin, diosesan, dan dalam Ritus Timur disebut eparchy, yang dipimpin oleh seorang uskup. Pada pengujung tahun 2004, total jumlah wilayah yurisdiksi, atau see, 2. 755. (Annuario Pontificio 2005).

Arti Kata „kardinal“
Kardinal.
Kita tentu akrab dengan istiah ini. Namun, banyak dari kita belum tahu ihwal seputar arti kata, asal usul, tugas, macam, serta kiprahnya dalam hubungannya dengan Kuria Roma. Apalagi mengenal profil mereka secara lebih dekat dan detail.

Hampir sepuluh abad pertama sejak Petrus diangkat Yesus sebagai kepala Gereja kudus, pengangkatan Paus tidak hanya dipilih oleh kardinal terpilih (cardinal electors) seperti sekarang. Semula Paus, yang juga Uskup Roma, dipilih warga Roma dan keuskupan sekitarnya secara aklamasi. Waktu itu, belum ada tata cara pemilihan yang baku. Namun, dalam pemilihan itu umat memberikan suara.

Pada tahun 769, warga Roma tidak bisa lagi memberikan suara. Seabad berikutnya, peraturan diubah. Kaum bangsawan masih diperkenankan memilih, namun rakyat jelata tidak.

Baru pada 1059 diputuskan bahwa Paus hanya dipilih oleh kardinal. Kini peraturan menetapkan, kardinal yang berusia 80 ke bawah saja yang dapat memberikan suara bagi pemilihan Paus.

Pada zaman pencerahan, kadang kardinal menjadi kepala kabinet sebuah negara. Misalnya, Richeliu yang mengendalikan pemerintahan Prancis saat Louis XIII berkuasa. Hal ini diceritakan dalam novel Three Muskeeters oleh Alexander Dumas.

Secara harfiah, kardinal berarti:
 Pejabat tinggi Vatikan yang diangkat oleh Paus (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001:508).
 Roman Catholic clergy-man ranking below the Pope --Klerus Gereja Katolik Roma di bawah Paus (Dictionary of American English, 2002: 197).
 A priest of very high rank in Roman Catholic Church: Cardinals elect and advise pope –Imam yang tinggi derajatnya dalam Gereja Katolik: Para kardinal memilih dan memberikan nasihat kepada paus (Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, 2003: 177).



Para kardinal in uniform. Inilah pakaian lengkap kardinal, ketika mengikuti konklaf, sesi pemilihan paus.


Pakaian kardinal

Biasanya, pakaian kardinal mirip dengan uskup. Hanya bedanya, jubah resminya berwarna merah, dengan peci warna merah menyala pula.

Karena mengenakan pakaian serba merah, sinonim kardinal ialah burung berkicau dari Amerika Utara.


Burung kardinal: serba merah, dengan biretta yang juga merah mirip pakaian kardinal. Karena itu, dinamakan demikian.

Tugas kardinal
Apa tugas kardinal?

Tugas kardinal yang kasat mata dan yang paling menonjol ialah memilih paus baru, begitu paus terdahulu mangkat. Hal ini tidak bisa dipungkiri, sebab demikianlah kenyataannya karena sesuai dengan Konstitusi Aopostolik „Universi Dominici Gregis“ (selengkapnya lihat lampiran) yang menyebutkan, „Konklaf (pemilihan paus baru oleh kardinal) diadakan antara 15-20 hari setelah paus wafat.

Kardinal diangkat dan ditunjuk oleh Paus untuk memangku tugas-tugas Gerejani, atau untuk memelihara jiwa-jiwa yang ada dalam ancaman. Untuk itulah, dikenal tiga macam kardinal.
 Uskup Kardinal,
 Imam Kardinal, dan
 Diakon Kardinal

Identitas ketiga ranking kardinal ini sangat jelas-tegas. Selain prelat di dalam Gereja, mereka juga para diplomat yang melayani Gereja di Kuria Roma.

Pada saat-saat terakhir kehidupan Paus Yohanes Paulus II, kita dikenalkan adanya terminologi baru lagi mengenai kardinal, yakni in pectore (in = di dalam, pectore = hati). Jadi, kardinal yang nama dan identitasnya hanya Pauslah yang tahu, orang lain tidak tahu. Beredar kabar, di kalangan pers saat itu, kardinal yang dimaksudkan ialah sekretaris pribadi Paus Yohanes Paulus II.

Berapa banyak kardinal?
Total kardinal di seantero dunia 193, tidak termasuk kardinal in pectora. Pada pemilihan Paus Benedictus XVI, terdapat cardinal electors. Tapi, yang mengikuti konklaf kardinal. Artinya, kardinal yang berusia di bawah 80 tahun yang memiliki hak untuk dipilih (papabilis) dan memilih (electors).

Kardinal dari Indonesia
Adakah kardinal di Indonesia? Ada. Nama lengkapnya Julius Ryadi Darmaatmadja. Kardinal yang lahir di Muntilan pada 20 Desember 1934 ini adalah juga Uskup Agung Jakarta --sebelumnya Uskup Semarang.

Pada September 1957 Darmaatmadja masuk novisiat Jesuit di Girisonta. Ia mengikrarkan kaul pada September 1959. Tahun 1964 beliau memeroleh gelar licentiat filsafat di e Nobili College di Poona, India. Pada Desember 1964, ia ditahbiskan imam (selengkapnya lihat biografi, entry D).


BAB 2
KARDINAL
DALAM LINTASAN SEJARAH



Dewan Kardinal, pengangkatannya, jumlah, serta kiprahnya senantiasa mengalami kontekstualisasi atau penyesuaian dari zaman ke zaman. Pada masa Perjanjian Lama, Allah meminta Nabi Musa membujuk 70 tua-tua Israel untuk berkumpul dan membawa mereka ke hadapan wajah Yahwe di Kemah Pertemuan” (Bilangan 11:16).

Itulah dasar biblis, mengapa hingga hari ini Paus mengangkat dan memanggil para kardinal dalam sebuah consistory.

Dekrit Para Paus

Pada Sinode Lateran, 13 April 1059, Nicholas II mengeluarkan dekrit In Nomine Domini (Dalam Nama Tuhan) yang menyatakan bahwa paus harus dipilih oleh enam uskup kardinal.

Pemilihan Innosensius III pada 1130 menjadi praktik yang pertama, di mana tiga golongan cardinal ambil bagian di dalamnya.

Pada 1179, Konsili Lateran III (Konsili Umum Ke-11) menetapkan mengenai pemilihan paus yang memerlukan dua pertiga suara mayoritas. Selama Konsili Lateran III, ALEXANDER III (Licet de Vitanda) menegaskan kembali bahwa pemilihan paus harus diikuti tiga golongan kardinal.

Pada 1274, GREGORIUS X dalam Konstitusi Ubi Periculum menyatakan bahwa kardinal haruslah berkumpul pada konklaf, tidak lebih dari sepuluh hari setelah paus wafat di tempat dia meninggal untuk memilih penggantinya. Paus PAULUS VI mengeluarkan dekrit bahwa konklaf haruslah dimulai tidak kurang dari 15 hari dan tidak lebih dari 20 hari sesudah paus wafat.

GREGORIUS X juga menyatakan bahwa di dalam konklaf, para kardinal haruslah tidur dalam rumah komunal. Pada 1345, CLEMENT X mengizinkzn pemakaian tempat tidur bagi setiap kardinal yang dipisahkan oleh tirai atau tembok. Selanjutnya, LEO XIII mengizinkan setiap kardinal memiliki ruangan sendiri.

Sejak BONOFASIUS VIII (1294-1303), kardinal mengenakan jubah warna merah tua. Topi merah sebelumnya diperkenalkan INNOCENTIUS IV (1243-1254); pada November 1246, ketika bertemu dengan Raja Prancis di Cluny, INNOCENTIUS IV bahkan menganugerahkan topi merah kepada para kardinalnya. Pada 1464, PAULUS II (1464-1471) memutuskan bahwa kardinal harus mengenakan topi merah selama upacara kudus untuk membedakan mereka dari prelate yang lain.

Konstitusi Ubi Periculum dipertegas dekrit Ne Romani yang mengacu hasil Konsili Vienna pada 1311; melarang kardinal, selama Tahta Suci lowong, mengadakan kontak menggunakan apa pun dengan siapa pun selama pemilihan paus berlangsung.
Pada 1492, Lorenzo yang Agung menulis kepada putranya yang paling bungsu, Giovanni dei Medici, diakon cardinal pada usia tiga belas tahun (dia tidak tinggal di Roma hingga usia tujuh belas tahun), dan yang kemudian dikenal dengan Leo X (1513-1521):

Dalam dirimu, saya menaruh harapan, biarlah kasih karunia Tuhan melimpah atas keluarga, dan rasa syukur yang tak terhingga atas usiamu…
Jangan pernah alpa untuk selalau waspada bahwa ini semua bukan karena usahamu, bukan kebijaksanaanmu, bukan pula kehendakmu, yang telah menjadikan engkau seperti sekarang ini. Ini semata-mata karena Tuhan; Dia sendirilah yang memilih engkau sebagai kardinal. Karena itu, engkau harus menunjukkannya dengan hidup suci, senantiasa memberikan contoh dan menghargai kehidupan…
Saya memaklumi bahwa jika tinggal di Roma, yang merupakan sarang dari semua kejahatan, kamu akan menemui kesulitan besar di dalam menjalankan nasihat saya. Ini karena contoh itu gampang menyebar, dan juga lantaran kamu akan menemukan godaan, sehingga lupa akan nasihat ini.


JULIUS II(1503-1513) terpilih sebagai paus dengan suara bulat berkat uang suap serta janji-janji berlebihan pada konklaf yang diadakan haya sehari. Pada 14 Januari 1505, ia menerbitkan bulla yang mendeklarasikan bahwa pemilihan paus sama sekali bebas dari praktik suap-menyuap.

PIUS IV (1559-1565) dengan konstitusi In Eligendis menerbitkan “congregation particularis” yang menyatakan bahwa tiga kardinal, masing-masing dari setiap golongan, bersama dengan Camerlengo mengambil alih kepemimpinan Gereja selama konklaf berlangsung. Pada akhir tiga hari berikutnya, tiga kardinal senior akan mengangkat kongregasi ini.

Pada 3 Desember 1586, dalam bulla Postquam Verus, SIXTUS V menetapkan jumlah maksimum kardinal pada angka 70 (6 Ukup Kardinal, 50 Imam Kardinal, dan 14 Diakon Kardinal).

Kardinal dan Pemilihan Paus
Pada 21 Maret 1591, GREGORIUS XIV mengubah semua peraturan pemilihan paus, termasuk lamanya masa pontifikasi atau tata cara pengangkatan kardinal.
Pada 12 Maret 1622, GREGORIUS XV (Decet Romanum Pontificem) mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa pemilihan harus dilakukan dengan surat suara rahasia (ballot). Ia mengizinkan kardinal untuk mengikuti salah satu dari tiga bentuk pemilihan:

 Scrutinium (pemungutan suara)
 Compromissum (kompromi), atau
 Quasi-inspiratio (sebagai-bisikan hati)

Selain itu, ditegaskan bahwa tidak seorang pun dari kardinal dapat memilih dirinya sendiri. Paus Gregorius XIV juga menetapkan untuk menghitung suara berdasarkan ballot yang harus segera dibakar sesudah perhitungan selesai dilakukan.

Di bawah judul Eminentissimus, (Terkemuka) yang merupakan julukan dari imperium Byzantium dan berlangsung hingga Imperium Suci Roma hingga dari sanalah nanti orang terkemuka masuk ke dalam bilangan para orang terkemuka yang memilih paus. Sesuai dengan saran Richelieu, URBANUS VIII pada 10 Juni 1630 membatasi para pemilih paus hanya para kardinal, yang kemudian disebut sebagai ‘paling termashur’ dan ‘paling mulia’.

Julukan itu dikenakan juga pada Pemilih Gerejani dari Imperium Suci Roma, dan pada Grand Master of the Knights of Malta, yang menyandang gelar itu hari ini, sebagai satu-satunya awam yang begitu dimuliakan.

Pada 24 Mei 1882, LEO XIII mengeluarkan dekrit (Praedecessores Nostri) yang menyatakan bahwa pemilihan dapat diadakan di Roma jika paus wafat ketika sedang jauh dari tahtanya.

Pada 20 Januari 1904, PIUS X dalam bulla Commissum Nobis melarang hak pemerintahan secular untuk memberikan veto selama konklaf. Pada 25 Desember 1904, Paus yang sama menerbitkan Vacante sede Apostolico yang mengkodifikasi legislasi utama yang berkaitan dengan pemilihan paus. PIUS X, Apostolicae Romanorum, AAs, II (1910) 277 menegaskan bahwa oleh karena pekerjaan mereka di Kuria, maka uskup kardinal harus mempunyai uskup Bantu yang akan secara nyata bertempat tinggal di tahta suburbicarian. Namun, BENEDICTUS XV, Ex Actis Tempore AAs VII (1915) 229 mencabut dekrit Pius X.

PIUS XI, dengan Motu proprio, Cum Proxime, pada 1 Maret 1922 memperluas waktu antara paus wafat sampai pada pembukaan konklaf dari 10 menjadi 15 hari; ia memberikan pada para kardinal kekuasaan untuk memperluas rentang waktu sampai maksimum 18 hari.

Pada 8 Desember 1945, PIUS XII, dalam konstitusi Apostolik Vacantis Apostolicae Sedis, mendekritkan bahwa pemilihan harus dihadiri oleh dua pertiga tambah satu untuk menghidari suara pemilih yang memilih dirinya sendiri. Konstitusi yang sama menyatakan bahwa prodiakon kardinal mempunyai privelese melimpahkan pallium atas metropolitan dan hak untuk mengumumkan nama paus baru, setelah terpilih.

Pada Consistory 15 Desember 1958, JOHANES XXIII keluar dari tradisi dengan mengangkat lebih dari 70 kardinal.

Dalam Motu proprio Cum Garavissima pada 15 April 1962, YOHANES XXIII mendekritkan bahwa semua kardinal diangkat ke dalam martabat Episcopal dalam pemilihan.

Dalam Motu proprio Ad Purpuratorum Patrum 11 Februari 1965, PAULUS VI menambahkan Partiark Timur masuk ke dalam bilangan dewan kardinal.

Dalam Motu proprio Ingravescentem Aetatem 21 November 1970, PAULUS VI mendekritkan bahwa kardinal yang berusia 80 tahun:

 Berhenti menjadi anggota kuria dan bebas dari semua organisasi permanen Tahta Suci dan pejabat Negara Vatikan;
 Kehilangan hak untuk memilih paus, dan karena itu, otomatis tidak bias menghadiri konklaf.


Pada Consistory 5 Maret 1973, PAULUS VI menetapkan jumlah maksimum yang mempunyai hak memilih paus sebanyak 120 kardinal.


Pembagian Dewan Kardinal
Dewan kardinal dibagi ke dalam tiga golongan:
 Uskup Kardinal
 Imam Kardinal
 Diakon Kardinal

Uskup kardinal termasuk uskup titular dari tahta suburbicarian Roma, yakni (Ostia Palestrina, Porto dan Santa Rufina, Albano, Vellerti-Segni, Frascati, Sabina-Poggio Mireteto) serta para patriark Gereja Timur.

Tingkatan Episcopal terdiri atas para kardinal yang diberikan oleh paus gelar sebagai gereja suburbicarian. Seorang kardinal tidak dapat mengubah golongan ke Uskup Kardinal; ia haruslah diangkat oleh paus.

Ketua dewan kardinal menyandang tahta Ostia, seperti halnya tahta suburbicarian lain. Ketua dewan kardinal dan wakilnya dipilih oleh Kardinal Uskup dari golongan mereka juga. Uskup cardinal mengbdi purna waktu di Kuria Roma. Tatkala tahta suci mengalami kekosongan, Ketua Dewan Kardinal:

 Mengirimkan undangan kepada para kardinal supaya supaya datang menghadiri konklaf;
 Memanggil para kardinal menghadiri pertemuan, terutama untuk konklaf;
 Jika usianya di bawah 80, ia otomatis sebagai ketua konklaf;
 Jika Ketua Dewan Kardinal menghadiri konklaf, ia mempunyai hak untuk memimpin upacara kudus pemilihan paus baru seandainya paus terpilih belum ditahbiskan uskup.

Imam kardinal adalah uskup di luar kota Roma. Hal ini sesuai dengan hasil Konsili Trente, yang selanjutnya oleh Paus Urbanus VIII pada 1643 dinyatakan bahwa uskup, termasuk kardinal, haruslah tinggal di keuskupan mereka masing-masing.

Kardinal diakon ialah uskup tituler yang secara purna waktu mengabdi Kuria Roma. Sesudah menjadi Diakon Kardinal selama sepuluh tahun, Kardinal Diakon dapat naik kasta ke golongan Imam Kardinal. Sekretaris Tahta Suci masuk ke dalam bilangan Imam Kardinal yang masuk wilayah gerejani Keuskupan Roma dan sekaligus menjadi Imam Agung Basilika Lateran.

Sementara Imam Agung dua basilica patriarchal Roma (St. Petrus Vatikan dan St. Maria Majore) adalah juga kardinal namun biasanya diakon kardinal.

Diakon Kardinal Pertama (proto-deacon) mempunyai hak mengumumkan nama paus baru yang terpilih.

Kardinal mempunyai hak untuk mendengarkan pengakuan dosa dimana-mana di seantreo dunia tanpa tanpa hambatan dan bebas dari yurisdiksi uskup setempat.

Sabtu, 26 September 2009

Aneka Buah Tropis Jangkang


Saya juga punya onderneming (perkebunan) karet di Jangkang. Tidak besar, cuma 4,5 hektar. Latar belakang pondok saya dan saya sedang membelakangi perkebunan.


Jangkang tak hanya kaya budaya dan kearifan tradisional. Wilayah yang penduduknya menuturkan bahasa "Bokidoh" ini juga kaya aneka buah tropis.

Libur Agustus lalu, pas musim buah tropis. Saya sangat menikmati buah yang sangat tidak pernah ditemukan di Jakarta dan tempat lain. Ada kawai, mentawa, sibo, tasam yang bukan saja lezat tapi juga semerbak harum wanginya.

Pernah lihat buah kayu besi? Ternyata, besar-besar. Saya sempat menjepretnya, sekalian dengan daun dan batang pohonnya.

Inilah beberapa di antaranya.






Mentawa nama buah ini. Aduh, nikmatnya. Mana bijinya enak jadi lauk, apalagi jika dicampur tempoyak. Kawai nama buah tropis ini, mirip durian daunnya tapi lebih lebar. Hanya saja, enak kalau dimakan mentah, renyah, ketimbang ketika sudah matang. Inilah buah kayu besi. Ternyata, besar ya? Sebesar lengan orang dewasa.

Adenium is My Hobby

Adenium adalah hobiku, selain membaca, menulis, dan bulutangkis. Hobi yang mendatangkan manfaat.

Berawal dari pemberian saudara iparku (Ko Ahai) satu bonggol dan dua stek, kini pekarangan rumah saya telah dihiasi lebih dari 150 pot adenium, berbagai ukuran, berpuspa warna.

Belajar grafting, menyemai benih, lalu akhirnya saya jadi seorang florist kecil-kecilan. Pernah dua kali dibeli dalam jumlah lumayan besar 2 pick up hasilnya lumayan juga.

Ketika lagi bete menulis, atau sedang mengalami writers's block, saya ke kebun adenium yang selain ada di halaman rumah, juga ditata di atas atap rumah, tingkat dua. Namun, kalau ide datang, buru-buru saya kembali ke tuts komputer lagi.

Inilah beberapa koleksi adenium saya.