Sabtu, 20 Februari 2010

DAYAK JANGKANG: Studi dan Pendekatan Semiotika

Pada bagian awal, baiklah kiranya dipaparkan ihwal kondisi umum dan locus studiorum Dayak Jangkang. Pemaparan tentang dua hal itu penting, selain memberikan latar dan konteks, juga bermanfaat di dalam melokalisir permasalahan.

Dengan demikian, pembahasan menjadi lebih fokus dan terarah serta tidak melebar. Sementara itu, tali temali dan kondisi umum Kalimantan Raya beserta konteks sosial, budaya, ekonomi, dan politik juga tidak terlepas dari pokok bahasan.

Tidak mungkin melepaskan Dayak Jangkang dari koloni Dayak Kalimantan Raya karena merupakan bagian utuh dari padanya. Di pihak lain, Dayak Jangkang pun dapat dilihat sebagai sebuah entitas tersendiri, dengan segala anasir yang dimunculkannya dalam segala bentuk baik yang kasat mata maupun yang tidak seperti nyata dalam adat, budaya, sistem sosial, politik, keagamaan, dan sebagainya.

Locus studiorum (lokasi penelitian) Dayak Jangkang dalam konfigurasi pulau Kalimantan dan wilayah NKRI.

Kondisi Geografis
Jangkang merupakan kecamatan terluas di wilayah Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Luas Kabupaten Sanggau 18.302 km2 dengan kepadatan penduduk per kilometer rata-rata 29 jiwa. Ditinjau dari letak geografisnya, Kabupaten Sanggau terletak di antara 1 derajat 10 menit Lintang Utara dan 0 derajat 35 menit Lintang Selatan dan di antara 109 derajat 45 menit dan 111 derajat 11 menit Bujur Timur.
Adapun batas wilayah kabupaten ini meliputi:
- Sebelah Utara berbatasan dengan Malaysia Timur
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Ketapang
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sintang
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Landak
Sementara batas kecamatan Jangkang sebagai berikut
- Sebelah Utara dengan Kabupaten Sintang
- Sebelah Selatan dengan Kapuas, Mukok
- Sebelah Timur dengan Belitang Hulu, Belitang Hilir
- Sebelah Barat dengan Bonti, Noyan

Luas Wilayah
Di wilayah Provinsi Kalimantan Barat, Kabupaten Sanggau merupakan kabupaten terluas ke-4 (12, 47%). Adapun Jangkang merupakan kecamatan terluas nomor satu di wilayah Kabupaten Sanggau yakni 1.598,20 km2, diikuti kecamatan Meliau 1.495,70 km. Sementara kecamatan terkecil adalah Belitang dengan luas 281.000 km2.

Iklim
Iklim di wilayah Kecamatan Jangkang, sebagaimana terjadi di Kabupaten Sanggau, ialah iklim tropis dengan rata-rata hari hujan sebulan tertinggi 12 hari yang terjadi pada bulan Januari dan Desember. Adapun hujan terendah terjadi pada bulan Juli dan Agustus selama 5 hari. Rata-rata curah hujan terbesar 196 mm yang terjadi pada bulan Januari, sedangkan yang terendah 54 mm yang terjadi pada bulan Juli.

Topografi
Kecamatan Jangkang merupakan daerah dataran tinggi yang berbukit dan berawa. Dialiri oleh Sungai Mengkiang, Sungai Sedua, dan Sungai Ence. Sungai Mengkiang adalah yang terpanjang yang mengalir dari hulu Tinyan (Utak Moncangk) hingga bermuara di Sungai Sekayam (Muara Mengkiyang) tempat pernah menjadi pusat Kerajaan Sanggau pada pemerintahan Dayang Mas.

Sungai Sedua, mengalir dari hulu kampung Sedua dan bermuara di Sungai Sekayam. Di masa lalu, dapat dilayari hingga ke Sanggau. Dari sungai ini pula Ayang, puteri Macan Natos dari ketemenggungan Kopa diculik dan dibawa ke kota raja Sanggau oleh ulu balang raja. Setelah jadi permaisuri raja, Ayang ganti nama menjadi Ratu Ayu.

Jenis Tanah dan Keadaan Lapis Tanah
Sebagaimana umumnya jenis tanah dan lapisan tanah di wilayah Kabupaten Sanggau maka jenis tanah dan lapisan tanah di Jangkang adalah jenis tanah podsolik merah kuning batuan dan padat yang hampir merata di seluruh wilayah yakni 108.880 (hektar), podsolik merah kuning batuan beku dan endapan (24.375 hektar.

Geologi
Pada umumnya, di wilayah kecamatan Jangkang terdapat formasi geologi kwartir (4.687,50), kapur, trias (1.562,50), pistosen (48.295,00), intruksif dan plutonik basah menengah, instruksif plutonik asam, skis hablur (14.375), instruksif dan plutonik asam (1.250,00), lapisan batu dan pemo karbon (51.250). Lapisan tanah pistosen agaknya hampir terdapat di semua wilayah kecamatan Jangkang.

Kekayaan Alam, Flora, dan Fauna
Di wilayah Jangkang masih terdapat hutan lindung (suaka) dan sebagian masih terpelihara dan dalam kondisi cukup baik. Masih terdapat cukup banyak hutan perawan yang belum dirambah, terutama di daerah Ulu Tinyan dan di pegunungan-pegunungan. Gunung Bengkawan dan Gunung Balu (Boruh) termasuk yang dilindungi. Bahkan dianggap keramat, karena itu muncul legenda dan syair-syair lagu yang pada intinya menyerukan agar hutan di pegunungan tersebut tetap lestari karena memberikan banyak manfaat. Hasil-hasil hutan dan kekayaan alam banyak terdapat di sekitar daerah pegunungan dan rawa-rawa.

Jalan raya Mongkau, menjelang Jangkang. Tampak di latar belakang Gunung Romosu dan Gunung Bengkawan yang sangat dilindungi penduduk Jangkang dan sekitar.

Berbagai jenis kayu baik yang terdapat di hutan lindung maupun hutan nonproduktif hingga kini masih dapat ditemui, antara lain: ponyaok, janang, meranti, kayu besi (belian), donyer, tapang, pasak bumi, gaharu, modangk, tengkawang dan lain-lain.

Pasak bumi, salah satu kekayaan alam Jangkang. Tanaman obat ini di Malaysia populer dengan nama "tongkat ali".

Jangkang bahkan dikenal sebagai penghasil buah tengkawang terbesar di Kalimantan Barat. Buah tengkawang multiguna, dapat dijadikan bahan kosmetik, obat-obatan, minyak goreng, dan sebagainya. Akhir-akhir ini, tengkawang mulai ditanam secara terencana dan akan menghasilkan buah pada umur 15-20 tahun. Batang kayunya sangat baik dijadikan papan dan bahan bangunan lainnya. Selain kayu, wilayah Jangkang pun kaya akan berbagai jenis rotan. salah satu jenis yang paling baik ialah rotan saga yang jika dibuat anyaman sangat tahan dan sangat bagus.

Buah dan pohon kayu besi.

Pohon tapang yang tumbuh angkuh di tepian pemandian Atuh Jangkang. Sejak saya kecil hingga saat ini, rasanya pohon tapang ini ya... masih seperti dulu.

Adapun flora yang terkenal adalah anggrek hitam, anggrek tanah, dan anggrek lainnya yang tumbuh liar di dahan dan batang-batang pohon. Kantong semar banyak tumbuh di daerah rawa, terdiri atas berbagai jenis dan ukuran. Kebiasaan orang Jangkang menjadikan kantong semar sebagai wadah membuat kue, baik dari bahan singkong maupun beras ketan.

Rotan saga yang tumbuh subur di kanan dan kiri Sungai Ence. Rotan suka tumbuh di hawa dingin, banyak humus, teduh, dan ada tempat buat melilit.

Sementara fauna langka yang masih bisa dijumpai ialah burung beo, burung koroya (punai), bayan (burung nuri), elang, klampiau, kancil, tupai, beruang madu, ular, dan kucing hutan.

Sosial ekonomi
Hubungan sosial Dayak Jangkang sangat diwarnai tradisi dan adat istiadat. Tiap kali berpapasan, atau berjumpa, mereka selalu bertegur sapa satu sama lain. Masih berlangsung hingga kini praktik gotong royong yang dalam istilah mereka disebut pongiruh untuk bekerja di ladang atau di sawah.

Kerja bakti bersama untuk mengerjakan proyek bersama untuk kepentingan umum masih dilakukan. Menjelang pesta gawai, biasanya penduduk Jangkang ramai-ramai membersihkan got, pekarangan, kampung, dan kini salib menjelang kampung (sebagai ganti pontok urangk). Pranata sosial Dayak Jangkang masih cukup kuat yang bertumpu pada hukum adat dan adat istiadat warisan nenek moyang.

Mata pencaharian utama Dayak Jangkang adalah bertani dan berkebun, sebagian kecil pedagang dan pegawai negeri. Perkebunan karet memberikan kehidupan bagi suku ini sejak zaman kolonial hingga kini. Hingga tahun 1970-an, hasil karet unggulan yang dibuat tipis banyak dijual ke Kuching dan Sarawak setelah selama dua hari menempuh perjalanan kaki lewat Mongkos.

Harga karet berfluktuasi, kadang tinggi, kadang juga rendah. Namun, harganya berkisar antara Rp5.000,00-Rp13.000,00 per kilogram. Sebuah keluarga sehari dapat menghasilkan 5-20 kg karet, bergantung pada luas dan banyaknya karet yang ditanam.

Ketika harga karet sedang memuncak, banyak di antara Dayak Jangkang mengatakan, “Untuk apa jadi pegawai kantor, lebih enak jadi petani!” Dan kini yang ditanam bukan lagi karet lokal, tetapi karet unggul yang bibitnya sebagian disubsidi Pemerintah Daerah, dan sebagian lagi swadaya masyarakat. Bibit karet unggul didapat dari koperasi (Credit Union), dari Malaysia, dan dari Palembang. Selain budidaya karet, perkebunan sawit dan gaharu juga mulai dirambah.

Akan tetapi, Dayak Jangkang cenderung boros dan belum arif di dalam mengelola uang. Ketika mempunyai uang banyak, mereka cenderung konsumtif dan membeli barang yang tidak urgen. Misalnya, membeli parabola, kulkas, sepeda motor, bahkan mobil. Begitu CU Pancur Kasih didirikan di Mongkau dan CU Lantang Tipo di Balai Sebut dibuka, sudah mulai tumbuh kesadaran masyarakat untuk menabung. Pada hari kerja, tampak antrean penduduk menabung dan sebagian meminjam untuk modal kerja.

Perikanan juga cukup mendongkrak perekonomian Jangkang. Beberapa keluarga bahkan tidak melakukan pekerjaan lain, hanya berusaha di bidang perikanan. Air yang melimpah dan bersih memungkinkan perikanan berkembang di Jangkang.

Dikondisikan masih banyak plankton, buah yang jatuh ke sungai, dan bebatuan alam yang masih asri, menjadikan ikan di Jangkang sangat lezat rasanya. Kolam ikan dan karambah banyak dijumpai di Jangkang dan sekitarnya. Banyak orang di luar daerah sengaja datang membeli ikan, utamanya ikan yang dipelihara ialah nila merah, ikan mas, lele, gabus, patin, dan sebagian kecil memelihara ikan arwana.

Administratif Pemerintahan dan Adat Istiadat
Menurut data statistik 2003, Kecamatan Jangkang saat ini berpenduduk 24.228, dengan rincian 12.482 laki-laki dan 11.746 perempuan. Kepadatan penduduk kecamatan Jangkang adalah 15 per km2. Terdapat 11 desa/kelurahan dan 46 dusun.

Sebagaimana kecamatan lainnya di wilayah pedalaman Kalimantan Barat maka kecamatan Jangkang masih kental dengan hukum adat istiadat yang diwariskan nenek moyang secara turun temurun. Adat istiadat dan hukum adat masih memainkan peranan yang cukup besar baik di dalam kehidupan sehari-hari maupun di dalam sistem sosial kekerabatan. Di dalam upaya penyelesaian masalah atau pertikaian, hukum adat juga masih berlaku.

Demikian pula dalam hidup keagamaan, meski sekarang seluruh wilayah kemcatan Jangkang ditambah beberapa kampung/ desa yang masuk kecamatan tetangga, mayoritas penduduknya memeluk agama Katolik, warna atau nuansa budaya lokal masih cukup kental di dalam hukum-hukum Gereja Paroki setempat. Pada lampiran dapat dilihat bagaimana adaptasi atau inkulturasi itu termaktub dalam berbagai Keputusan Dewan Paroki Jangkang tentang Hukum Adat yang Menyangkut Hidup Keagamaan.

Sebagai warga penduduk Kalimantan Raya, Dayak Jangkang patuh pada hukum adat yang berlaku secara umum. Hal ini sudah dimulai sejak abad 18, ketika tujuh ketemenggungan di wilayah Jangkang masuk dalam koordinasi dan bagian dari Dewan Borneo. Dayak Jangkang juga mengirim dua macan (temenggung)-nya mengikuti Musyawarah Besar Dewan Adat se-Borneo yang diadakan di Tumbang Anoi pada 22 Mei-24 Juli 1894.

Metodologi dan pendekatan
Buku ini merupakan hasil pengolahan dari studi pustaka, riset lapangan, wawancara, serta refleksi kritis penulis terhadap asal usul, cara hidup, cara berada, dan masa depan Dayak Jangkang. Studi pustakanya sendiri sudah mulai dilakukan sejak 1984, ketika penulis mulai mencurahkan perhatian pada studi etnologi khususnya etnis Dayak. Minat dan perhatian penulis kemudian dimatangkan ketika adanya kewajiban akademis untuk menulis skripsi sebagai syarat meraih gelar S-1 di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang tahun 1987, dengan judul "Sistem Religi Suku Dayak: Konsepsi mengenai Realitas Mutlak, Alam, dan Manusia".

Secara koinsidental, etnis Dayak menjadi perhatian publik begitu kerusuhan sosial bernuansa etnis terjadi secara hampir beruntun di Kalimantan Barat. Sebagaimana dapat dilihat dari kronologi peristiwa, semakin hari konflik semakin padat. Hal ini antara lain terjadi karena pihak aparat dan penegak hukum kurang memahami kebudayaan dan adat istiadat setempat, sehingga penyelesaian masalah tidak sampai ke akar-akarnya.

Monumen perdamaian memang telah ditancapkan tahun 2000 di Kecamatan Samalantan, Kab. Sambas. Namun, akar konfliknya sendiri tidak diurai sampai tuntas apalagi dicarikan solusi dengan benar dan baik. Hingga hari ini, sejatinya, bumi Borneo masih menyimpan bara api berupa potensi konflik. Sewaktu-waktu, jika diprovokasi atau terjadi pemicu, bara itu siap meledak.

Untuk memahami budaya dan adat istiadat lokal, diperlukan pemahaman dan penafsiran yang benar, bukan hanya sebatas apa yang kasat mata, namun juga melihat simbol-simbol dan makna (konotatif) yang ada di baliknya. Dengan demikian, pemahaman akan etnis Dayak menjadi semakin utuh dan menyeluruh, tidak sebatas stereotip yang mungkin saja salah, dan memang, kerap keliru (tentang seringnya persepsi ini keliru dapat dibaca lebih lanjut dalam Hy Ruchlis, Clear Thinking, 1990: 176-192.)

Dunia akademik terpanggil untuk mengubah dan meluruskan stereotip yang keliru. Hal ini bukan mustahil dilalukan, salah satu tujuan penulisan buku ini adalah mengubah stereotif dan membongkar mitos-mitos yang terselubung serta coba menjelaskannya dari sudut pendekatan semiotika ala Roland Barthes.

Sebagai contoh betapa pentingnya memahami signifier dan signified di kalangan Dayak Jangkang dan Dayak pada umumnya, betapa tanda (signifier) membawa celurit dan parang dalam keadaan terhunus (tidak disarungkan) adalah penanda (signified) menantang berkelahi. Dayak Jangkang tidak pernah membawa pedang dalam keadaan terhunus, selalu disarungkan, dan diikat pada pinggang menghadap ke depan. Dalam hukum adat istiadat Dayak Jangkang, ada sanksi adat bagi orang yang membawa senjata tajam tanpa disarungkan.

Ternyata tanda ini telah keliru ditafsirkan etnis lain. Salah satu pemicu clash antara Dayak-Madura ialah tidak memahami budaya dan simbol lokal seperti ini. Sudah akar permasalahan konflik tidak dipahami, penyelesaiannya pun tidak melalui pendekatan budaya.

Di sinilah ilmu semiotika memainkan peranan. Dan buku ini coba merekonstruksi dan menjelaskan semua simbol dan mitologi Dayak Jangkang khususnya dan Daya Kalimantan Raya pada umumnya.


Roland Barthes. (Atas) Diagram alur teori Barthes tentang simbol dan mitologi.
Sumber gambar/diagram: wikipedia/Daniel Chandler

Sebagaimana diketahui, semiotika secara etimologi berasal dari kata Yunani semeion, dalam Bahasa Inggris sign, dan dalam bahasa Indonesia adalah lambang atau simbol. Secara sederhana, semiotik dapat disebut sebagai studi tentang simbol-simbol atau dalam istilah Daniel Chandler “the study of signs” (Chandler, 2004: 2).

Namun, pengertian ini masih menyisakan pertanyaan: Apa yang dimaksudkan dengan lambang? Banyak orang berasumsi bahwa semiotik ialah studi tentang simbol-simbol visual. Padahal, semiotika bukan hanya sebatas simbol visual. Lalu, apakah semiotik itu? Definisi semiotik yang lebih luas diberikan Umberto Eco yang menyatakan bahwa

“...semiotics is concerned with everything that can be taken as a sign (Eco, 1976: 7). Semiotics involves the study not only of what we refer to as “signs” in everyday speech, but of anything which “stands for” something else. In a semiotic sense, signs take the form of words, images, sounds, gestures and objects. Contemporary semioticians study signs not in isolation but as a parts of semiotics “sign-systems” (such as a medium or genre). They study how meanings are made and how reality is represented.

Semiotics is concerned with meaning-making and representation in many forms, perharps most obviously in the form of “text” and media. Such term are interpreted very broadly. For the semiotician, a “text” can exist in any medium and may be verbal, non-verbal, or both, despite the logocentric bias of this distinction. The term text usually refers to a message which has been recorded in some way (e.g. writing, audio- and video-recording) so that it is physically independent of its sender or receiver. A text is an assemblage of signs (such as words, images, sounds and/or gestures) constructed (and interpreted) with reference to the conventions associated with a genre and in a particular medium of communication.


Studi semiotika modern dibangun berdasarkan teori-teori sejumlah ahli bahasa dan filosof yang menjadi terpesona oleh bagaimana manusia memberi makna pada dunia sekitar dengan menciptakan tanda-tanda dan bagaimana tanda-tanda ini berinteraksi satu sama lain untuk membentuk bahasa dan praktik budaya.

Bagi ahli semiotika, bidang-bidang penting penyelidikan meliputi hubungan antara tanda dan benda, atau konsep, bagaimana hubungan antara berbagai tanda-tanda (misalnya, bagaimana tanda berhenti dan sebuah tanda batas kecepatan saling berhubungan?); dan hubungan antara tanda-tanda dan orang yang menafsirkan tanda tersebut.

Semiotika memiliki implikasi luas bagi linguistik karena semua bahasa pada galibnya terdiri atas tanda-tanda. Ketika berbicara atau menulis, sesungguhnya manusia berkomunikasi dengan kata-kata yang merupakan tanda-tanda. Susunan huruf tertentu yang membentuk kata adalah penanda, dan makna kata yang dituliskan atau diucapkan itu adalah apa ditandakan.

Jadi, melalui penggunaan tanda, manusia dapat mengekspresikan ide tentang apa saja, misalnya tentang manusia, benda, dan konsep yang tidak hadir secara fisik hanya dengan mengacu benda tersebut melalui kata-kata. Proses penafsiran dan pemaknaan ini merupakan inti dari semua bahasa.

Semiotika Roland Barthes dan Dayak Jangkang
Sebagaimana diketahui, pelopor dan tokoh semiotika banyak sekali. Namun, lima nama yang selalu muncul dalam studi-studi semiotika yang masing-masing menawarkan pendekatan, tentu saja, dengan kelebihan dan keterbatasannya di dalam upaya mendekati suatu objek. Mereka adalah Ferdinand de Saussure, Charles Sanders Peirce, Roman Osipovich Jakobson, Umberto Eco, dan Roland Barthes.

Dari lima tokoh semiotika yang menonjol tersebut, semiotika ala Roland Barthes agaknya cocok untuk mendekati etnis Dayak Jangkang. Mengapa? Alasannya adalah karena Barthes meletakkan dasar-dasar yang kokoh bagi pendekatan yang lebih baik pada studi-studi ilmu sosial era 1960-an terutama karena metode semiotikanya yang kokoh untuk memahami mitologi. Esai-esai Barthes tentang mitologi kemudian mempengaruhi studi-studi kebudayaan, terutama di Inggris ketika itu.

Sebagai salah satu peletak dasar semiotika, Barthes merujuk kepada "tanda-tanda" dan melihat tanda-tanda sebagai simbol-simbol budaya dan sebagai blok bangunan penting bahasa dan komunikasi. Seorang semiotisian tidak tertarik pada tanda lalu lintas atau tanda berhenti sebatas hanya bendanya saja. Sebaliknya, ia akan menganalisis bahasa atau proses simbolik melalui oktagon merah yang menjadi simbol universal untuk berhenti di persimpangan dan proses kognitif melalui pengendara yang sampai pada pemahaman simbol universal ini.

Dayak Jangkang, sebagai etnis yang menyatu dengan alam dan menjadi ekosistemnya, sarat dengan simbol dan mitos-mitos. Hal ini tampak dari titik permulaan hidup siklus kehidupan etnis ini yang mulai dengan ritual, hingga meninggalnya, sarat dengan simbol dan mitos. Kurang, apalagi tidak, memahami simbol dan mitos yang hingga hari ini masih hidup di kalangan suku ini, sulitlah bagi orang luar berinteraksi, apalagi menjalin relasi dengan mereka dengan baik.

Banyak pakar mengatakan bahwa Kalimantan Barat merupakan laboratorium studi etnologi dan cross culture yang sangat kaya. Pernyataan itu tepat sekali, mengingat wilayah ini rawan konflik antaretnis dan dihuni multietnis dari berbagai latar kebudayaan dan strata sosial ekonomi yang berbeda.

Ihwal yang penting dicatat, sebenarnya faktor pemicu konflik tidak pernah benar-benar dapat tercerabut dari akarnya manakala akar permasalahan, sumber konflik, serta etnis Dayak sebagai indigenous people tidak dipahami secara benar, dengan pendekatan yang lain. Pendekatan hukum tidak cukup, diperlukan pula pemahaman yang menyeluruh terhadap cara hidup dan cara berada etnis Dayak dengan memahami adat istiadat dan simbol-simbol yang hidup dan diyakini sebagai keniscayaan oleh mereka.

Di situlah letak kegagalan aparat penegak hukum dan penguasa daerah Kalimantan ketika terjadi konflik antarsuku. Hampir selalu pendekatan hukum yang dilakukan, bukan pendekatan budaya, dan pendekatan budaya –sebagaimana yang kita lihat dalam bab-bab berikutnya dan terutama lampiran tentang Hukum Adat Dayak Kecamatan Jangkang—sarat dengan simbol dan lambang-lambang.

Contoh paling jelas ihwal simbol dan lambang-lambang ini dapat dilihat dari simbol manusia di kalangan Dayak Jangkang. Dalam bahasa Dayak Jangkang, manusia disebut sebagai NTOYANT. Dalam semiotik, ucapan "ntoyant" adalah siginifier; signifier ini lantas menjadi signified, sebab apabila ditelusuri makna konotatif di balik simbol ini maka ntoyant dibentuk dari kata ntok yang berarti otak dan yant yang berarti berkata.

Jadi, ntoyant sebagai signifier menyimbolkan bahwa manusia, menurut konsep Dayak Jangkang, adalah otak yang dapat berbicara atau otak yang hidup. Dengan kata lain, manusia adalah makhluk hidup dan otak merupakan pusat dari kehidupan. Manusia adalah makhluk hidup yang segala perilaku dan tindak tanduknya berporos pada otak.

Bagi Dayak Jangkang, selain otak, darah juga simbol kehidupan. Simbol ini terkait fakta bahwa sebagian besar tubuh manusia terdiri atas air. Pertumpahan darah, yang dapat memicu dan mengakibatkan kematian batang otak, sangat ditabukan. Jika darah keluar, sengaja atau tidak, orang yang menyebabkannya keluar kena adat "pertumpahan darah". Darah adalah signifier, sedangkan kehidupan adalah signified-nya.

Apabila simbol tentang manusia diterangkan lebih jauh maka konsep manusia di kalangan Dayak Jangkang sama esensinya dengan definisi dalam dunia kedokteran. Dunia kedokteran mendefinisikan bahwa kehidupan manusia berpusat pada batang otak. Dengan demikian, tidak berfungsinya otak sama saja dengan kematian manusia itu sendiri. Dan manusia yang tidak menggunakan otaknya sudah kehilangan esensinya sebagai manusia. Ini sepadan dengan definisi manusia dalam dunia filsafat bahwa manusia adalah binatang yang berakal budi (animal rationale).

Manusia (ruh dan organ tubuhnya) secara gamblang dapat dilihat dari Hukum Adat Dayak Kecamatan Jangkang, Bab 27 tentang Pengganti Alat Tubuh Manusia yang secara terperinci menunjuk signifier dan signified sebagai berikut.

No., Signifier, Signified, Nilai Organ
1. (tuak pati): 1 buah tajau isi 60 liter Darah Rp1.100.000,00
2. Rambut 1 lusin benang hitam Rp18.000,00
3. 1 buah bokor tembaga Tempurung kepala Rp400.000,00
4. 2 buah lotos Biji mata Rp150.000,00
5. 2 buah par tembaga Daun telinga Rp1.000.000,00
6. 2 batang pipa besi Lubang hidung Rp60.000,,00
7. 1 buah oncoi tembaga Batang hidung Rp350.000,00
8. 1 buah pipa tembaga 4 persegi panjang Mulut Rp500.000,00
9. 7 buah beliung/kampak Gigi Rp 105.000,00
10. 1 buah gong cap naga Suara Rp3.000.000,00
11 1 kayu kain putih Kulit Rp80.000,00
12 1 karung tepung terigu Otak Rp67.000,00
13. 1 batang besi parang Tulang punggung Rp10.000,00
14. 1 batang besi parang Tulang ru suk Rp10.000,00
15. 1 batang besi parang Tulang pinggang Rp10.000,00
16. 2 batang besi parang Tulang tangan Rp20.000,00
17. 1 batang besi parang Tulang paha Rp 10.000,00
18. 2 buah pipa tembaga bulat Tulang lutut Rp400.000,00
19. 1 batang besi bulat Tulang betis Rp70.000,00
20. 2 buah serampang besi Jari tangan Rp20.000,00
21. 2 buah serampang besi Jari kaki Rp20.000,00
22. 20 buah skop/cangkul Kuku Rp700.000,00
23. 2 buah talam tembaga Telapak tangan Rp600.000,00
24. 1 pasang sandal kulit Telapak kaki Rp65.000,00
25. 2 buah gima putih Pergelangan tangan Rp200.000,00
26. 10 kg kawat Urat-urat Rp35.000,00
27. 1 buah lila (meriam) Kemaluan Rp3.000.000,00
28. 2 pasang giring-giring Biji kemaluan Rp1.000.000,00
29. 1 buah tajau hijau cap naga Kerangka badan Rp3.000.000,00


Jumlah nilai uang pengganti alat tubuh manusia adalah Rp16.000.000,00 (enam belas juta rupiah). Tentu saja, nilai ini masih merupakan simbol. Apa makna simbol ini? Bagi Dayak Jangkang, Rp16.000.000,00 adalah angka yang tinggi, tak terbatas.

Jadi, bukan berarti itu nilai yang sepadan dengan harga manusia. Atau jika mempunyai uang sebanyak itu boleh menebus nyawa seseorang. Sama sekali tidak! Mengapa? Dalam praktiknya, sulit menemukan barang-barang yang menjadi simbol organ dan nyawa manusia.

Bagaimanakah antarhubungan tanda, penanda, apa yang ditandakan dengan bahasa dan mitologi Dayak Jangkang? Ternyata hubungannya sangat erat, tidak dapat dipisahkan, dan memang harus dimengerti dalam konteks. Misalnya, kata “Ponompa” (penempa, penjadi, pencipta) adalah bahasa yang menunjuk pada petanda dan apa yang ditandakan; simbol ini muncul dalam mitologi –suatu korelasi positif sebagaimana yang dilukiskan dalam diagram alur Roland Barthes.

Atau contoh lain lagi. Mitos seputar kisah penciptaan manusia, asal usul Dayak Jangkang setelah diserang “musuh gelap” di poya tona Tampun Juah, asal usul Bukit Ponongu, asal usul dan filosofi ngayau, mengapa perlu mengadakan tolak bala, memasang pontok urangk pada kiri kanan jalan sebelum masuk kampung, asal usul upacara dan festival, tidak boleh merusak hutan, hingga legenda mengapa makhluk hidup tidak boleh dihinakan; semua itu dapat dijelaskan dengan pendekatan semiotika.

Menarik mengangkat pontok urangk sebagai kajian semiotika. Pontok berarti pantak atau patung dari kayu dan urangk adalah orang merupakan petanda bahwa kampung itu dijaga agar hantu-hantu dan segala yang jahat terhadang sebelum masuk kampung. Tidak sembarang kayu, namun hanya kayu molali untuk membuatnya.

Mitos pertemuan Bujangk Tobalangk yang tengah mancing jelang malam di Lubuk Aji, Sungai Sedua dengan hantu-hantu yang mengayuh perahu ke hulu hendak membinasakan dukun sekaligus kepala kampung yang sombong bernama Belian Tujuh. Sedang Bujangk Tobalangk memancing, hantu-hantu yang berperahu ke hulu sungai Sedua bertemu Bujangk Tobalangk. Ketika ditanya, hantu-hantu akan membinasakan Belian Tujuh dan segenap anak buahnya yang bermukim di hulu, tepi kanan sungai Sedua. Sedangkan Bujangk Tobalangk tidak diganggu, sebab hantu-hantu mengatakan mereka takut pada pontok urangk jika dipasang menghadap keluar kampung dan itu akan menghadang mereka sebelum bisa merangsek masuk untuk menyerang.Sebuah keluarga harus membuat pontok urangk sesuai dengan jumlah jiwa. Jika kurang, maka salah satu atau yang kurang itu menjadi tumbal.

Pontok urangk dan kayu molali: sarat dengan simbol yang perlu dijelaskan dengan pendekatan semiotika.

Dengan demikian, simbol-simbol sebagaimana dipaparkan di atas menunjukkan bahwa bagi Dayak Jangkang manusia tidak ternilai harganya. Oleh karena itu, semiotik ala Barthes sangat tepat untuk mendekati dan menjelaskan cara berada dan cara hidup Dayak Jangkang karena selain dapat menjelaskan makna simbol, juga sanggup membongkar dan menjelaskan makna konotatif di balik mitologi. Simbol dan mitologi hingga hari ini masih hidup dan melekat kuat di kalangan Dayak Jangkang.

Pemahaman akan simbol dan mitologi etnis ini dapat memberikan sumbangsih praktis maupun teoretis di dalam memahami dan berinteraksi dengan Dayak Jangkang dan Dayak pada umumnya -–ihwal yang selama ini senantiasa luput dari bahasan dan pendekatan para antropolog dan peneliti sebelumnya.

Catatan:
Artikel ini adalah Bab 1 Buku saya yang dalam proses penerbitan. Boleh mengutip, asalkan menyebutkan sumbernya.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Il semble que vous soyez un expert dans ce domaine, vos remarques sont tres interessantes, merci.

- Daniel