Minggu, 15 Maret 2009

Literary Journalism sebagai Mata Kuliah di Perguruan Tinggi

catatan:
Ini merupakan sepenggal dari buku yang sedang dalam proses penerbitan "Literary Journalism sebagai Mata Kuliah di Perguruan Tinggi". Silakan diunduh dan dimanfaatkan, dengan, tentu saja, tidak lupa menyebutkan sumbernya. Ide dasar substansi kompetensi pendidikan jurnalistik di perguruan tinggi mengacu pada karya Molly Blair, "Putting the storytelling back into stories: Creative non-fiction in tertiary journalism education", 2006. Bahwa seorang jurnalis masa depan dituntut cerdas (logic smart) sekaligus terampil menulis (word smart). Maka, logika bahasa yang memungkinkan seorang menghasilkan clear writing menjadi cukup proporsional dalam bahasan, sebelum ia dapat menulis dengan menarik dan bernas (clear writing. Dengan kata lain, sebelum tahu melakukan sesuatu (know how), seseorang harus tahu mengenai apa yang dilakukan (know what) lebih dulu. rmsp


Bab 3

Merangkai Term
sebagai Unsur Penalaran
dengan Gaya Sastra





Apakah yang dimaksudkan dengan ”penalaran”?
Kata dasar penalaran adalah ”nalar” yang berarti: akal budi, pertimbangan mengenai baik buruk, aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir logis, jangkauan pikir, kekuatan pikir yang kata dasarnya sudah mendapatkan prefiks ke-an (KBBI, 2007: 772).

3.1 Term dan Kata
Dalam logika, penalaran merupakan konsep paling umum yang menunjuk pada salah satu proses pemikiran untuk sampai pada suatu kesimpulan sebagai pernyataan baru dari beberapa pernyataan lain yang sudah diketahui (Surajiyo dkk., 2006: 20). Pernyataan-pernyataan terdiri atas pengertian-pengertian sebagai unsurnya yang memunyai batas-batas tertentu untuk menghindarkan dan menafikan kekaburan dan ketidakjelasan arti.
Pengertian merupakan dasar dari semua bentuk penalaran. Sering pengertian juga disebut sebagai ”konsep” atau ”ide”. Konsep berasal dari kata Latin, concipio yang berarti: mengambil (menerima, memasukkan) dalam dirinya; menerima; menangkap; mengisap; menyerap; menampung (K. Prent, dkk., 1969: 167).
Dalam logika, konsep diartikan sebagai ”hasil tangkapan akal budi manusia terhadap suatu objek”. Manakala konsep diungkapkan dalam bentuk verbal (kata) dan simbol, maka pengungkapan tersebut dinamakan term.
Jadi, term ialah bentuk atau ujud (forma), sedangkan pengertian adalah isi (content)-nya. Term ialah pernyataan lahiriah dari pengertian. Jika ungkapan pengertian terdiri atas sepatah kata, maka sebuah term disebut sebagai ”term sederhana”. Contoh term sederhana:

api
awan
asap
air
badai
kabut
manusia
debu
binatang


Sementara itu, kata sendiri dapat dibedakan menjadi dua:
1) kata kategorimatis, dan
2) kata sinkategorimatis
Disebut kategorimatis karena sepatah kata jenis ini dapat dan sanggup untuk mengungkapkan secara utuh suatu pengertian yang berdiri sendiri tanpa bantuan kata lain.
Sebagai contoh kata kategorimatis adalah nama diri (Luciano, Laksmi, Ega, Albert, Engge, Hari, Istman, Steffi); kata sifat (pintar, cantik, baik, sopan, sederhana, rajin); serta istilah yang mengandung pengertian umum (binatang, manusia, tumbuhan).
Adapun kata sinkategorimatis ialah kata yang tidak dapat berdiri sendiri (sin/bahasa Yunani = bersama-sama/dengan) jika tidak dibantu oleh kata lain. Misalnya, kata adalah, merupakan, jika, semua, tapi, sebagian, setiap, barangsiapa, atau, untuk.
Karena itu, kata berbeda dengan term. Term mengandung pengertian, sedangkan kata ada yang mengandung pengertian dan ada kata yang tidak mengandung pengertian kecuali jika dirangkaikan dengan kata lain untuk membentuk pengertian. Misalnya, kata semua akan mengandung arti jika dirangkaikan dengan kata mahasiswa menjadi semua mahasiswa.

3.2 Isi dan Luas Term
Dalam logika, isi suatu pernyataan dinamakan juga komprehensi (comprehension). Adapun luas suatu pernyataan disebut ekstensi (extension). Setiap pengertian mengandung isi dan luas.

Contoh korelasi antara isi dan luas term:

Term Isi Luas
hewan berbadan
makan
minum
berindera binatang
manusia
manusia berbadan
makan
minum
berindera
berjiwa
ber akal budi
manusia
kambing berbadan
makan
minum
berindera
berbulu
berjenggot
berkuku genap
tanduknya bergeronggang
memamah biak
hewan peliharaan
makan rumput kambing
mahasiswa tugas utamanya belajar
menuntut ilmu di lembaga formal
kuliah di sekolah tinggi atau universitas
siswa TK-SMA
mahasiswa
gunung tinggi
menjulang
bukit besar
lebih dari 600 m menara
gunung
dosen berbadan

Isi atau komprehensi menunjuk pada keseluruhan arti yang dimaksudkan oleh suatu term. Misalnya, term ”magnet” adalah setiap bahan yang dapat menarik logam besi. Term ”manusia” ialah makhluk yang berakal budi.
Adapun luas atau ekstensi ialah keseluruhan hal yang ditunjuk oleh term. Misalnya, term ”hewan” dapat menunjuk pada ikan, sapi, ayam, ular, dan sebagainya yang dapat ditunujuk atau disebut sebagai hewan.
Antara isi dan luas term terdapat korelasi yang saling berbalikan. Apabila yang satu bertambah, maka yang lain akan berkurang. Sebaliknya, apabila yang satu berkurang, maka yang lainnya akan bertambah.
Seperti dicatat Vloemans (1985), terdapat empat kemungkinan korelasi antara isi dan luas sebuah term.
1) Makin bertambah isi term, makin berkurang luasnya
2) Makin berkurang isi term, makin bertambah luasnya
3) Makin bertambah luas term, makin berkurang isinya
4) Makin berkurang luas term, makin bertambah isinya

3.3 Pembagian Term
Dilihat dari sifatnya, term dapat dibagi dalam empat kelompok.
1) Term menurut kompherensi
2) Term menurut ekstensi
3) Term menurut predikabilia
4) Term menurut kategori

3.3.1 Term menurut komprehensi
Term menurut komprehensinya, dapat dibagi ke dalam hakikat dan sifat. Hakikat term ada dua (1) hakikat yang konkret dan (2) hakikat yang abstrak.
Hakikat disebut konkret jika menunjuk hal, atau segala sesuatu, yang berkualitas dan bereksistensi tertentu. Misalnya, sapi, orang, burung, dan sebagainya.
Hakikat disebut abstrak jika menyatakan kualitas, terlepas dari eksistensi tertentu. Misalnya, kebinatangan, kemanusiaan, ketuhanan.

3.3.2 Term menurut ekstensi
Term menurut ekstensi ialah term yang dilihat dari cakupan luasnya, yakni yang bersifat umum dan bersifat khusus.
Terdapat dua dua macam term umum, yakni term universal dan term kolektif. Term universal yaitu term yang mengandung sifat umum tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Contoh: tumbuhan, manusia, hewan.
Adapun term kolektif menunjuk pada kelompok atau kolektivitas tertentu, seperti: bangsa Melayu Polynesia, Arab, Eropa, dll.

3.3.3 Term menurut predikabilia
Term menurut predikabilia ialah term untuk menerangkan sesuatu. Terdapat dua term predikabilia mengenai zat (genus/jenis) dan (spesies/ golongan); tiga mengenai sifat (diferensia/pembeda), proprium (sifat khusus), dan aksidens (kebetulan).
(1) Genus ialah jenis, kelas, golongan, keseluruhan ciri yang didukung oleh ciri-ciri anggota kelasnya. Misalnya, manusia dan hewan ialah anggota yang sama, didukung ciri-ciri yang sama-sama: berbadan, makan, minum, berindera.
(2) Spesies ialah satuan dasar klasifikasi yang menunjukkan hakikat bersamaan bentuk maupun sifatnya, sehingga dapat memisahkan dari golongan lain. Misalnya, term burung dan binatang. Dalam contoh ini, burung adalah spesies dari binatang. Genus manusia pembejalar pada pendidikian formal spesiesnya dapat berupa anak TK, SD, SMP, SMA, dan mahasiswa.
(3) Sesuai dengan namannya, diferensia ialah pembeda yang menunjuk pada hakikat suatu golongan, sehingga terwujud kelompok diri. Misalnya, manusia adalah hewan yangberakal budi (animal rationale), sebab hakikat berakal budi ini merupakan ciri khusus manusia yang membedakannya dari hewan lain.
(4) Proprium ialah sifat khusus sebagai predikat yang melekat pada hakikat sesuatu sehingga dimiliki oleh seluruh anggota golongan. Sifat khusus ini merupakan kelanjutan dari diferensia di luar hakikat, namun berhubungan. Misalnya, hewan berkaki dua, dapat terbang, berbulu, bersayap untuk term burung.
(5) Aksidens ialah sifat kebetulan sebagai predikat yang tidak ada hubungannya dengan hakikat yang dimiliki seluruh anggota golongan. Misalnya, berambut keriting, berkumis, berjenggot, gemuk, langsing.

Sekarang kita masukkan dalam proposisi (pengkalimatan) contoh term ”manusia” ditinjau dari term predikabilia.
Genus: hewan
Spesies: manusia
Diferensia: berakal budi
Proprium: mahasiswa UMN semester IV Jurusan Jurnalistik
Aksidens: berambut keriting dan berbadan gemuk.

Maka proposisinya sbb:

Manusia, hewan berakal budi itu, adalah mahasiswa UMN semester IV Jurusan Jurnalistik yang berambut keriting dan berbadan gemuk.


3.3.4 Term menurut kategori
Ikon dan penemu logika, Aristoteles dalam Categoria (Stanford Encyclopedia Philosophy: Aristotle’s Logic,) membagi term ke dalam sepuluh kategori: cek lagi urutannya!
1) substansi,
2) kuantitas,
3) kualitas,
4) relasi,
5) aksi,
6) passi,
7) ruang/tempat,
8) waktu,
9) sikap, dan
10) keadaan.
Menutut Aristoteles, kategori (katêgoria) berarti "predikat". Predications dapat dikelompokkan ke dalam beberapa “jenis predikat” lagi (genê tôn katêgoriôn). Untuk menunjuk pada klasifikasi ini, kerap digunakan istilah “jenis predikat”, atau cukup “predikat” saja, yang dalam bahasa Latin disebut categoria yang dalam studi kita dinamakan kategori.
Substansi ialah suatu hal yang terlepas dari hal yang lainnya. Misalnya, komputer, pen, meja, kursi, dapur, mal, dan sebagainya.
Kuantitas ialah suatu sifat yang menunjuk pada pengertian jumlah atau luasnya sesuatu/substansi. Misalnya, besar, kecil, satu kilo, selusin, dan sebagainya.
Kualitas ialah suatu sifat yang menunjuk pada atribut sesuatu/substansi. Misalnya, pintar, rapi, cantik, indah, dan sebagainya.
Relasi ialah hubungan antara satu hal dengan hal lain dan hubungan itu terjadi karena ada sifat yang menghubungkannya. Misalnya, ibu, bos, panglima, permaisuri, dan sebagainya.
Ruang/tempat ialah sesuatu yang menyertai perwujudan di tempat/ruang sesatu itu ada.Misalnya, di mal, di kampus, di Semarang, di lantai III, dan sebagainya.

Tabel: Kategori menurut contoh Aristoteles

Yunani Indonesia Literally Contoh
ousia
tode ti
ti esti Substansi Substansi
"ini"
apa-ini manusia, kuda
Socrates
"Socrates adalah manusia"
poson Kuantitas Berapa banyak Empat langkah, lima kali, satu ton
poion Kualitas Seperti apa putih, melek huruf
pros ti Relasi Berhubungan dengan apa separuh, lebih besar, istri, anak
pou Ruang/tempat Di mana Di Plaza Summarecon, di pasar
pote Waktu Kapan kemarin, tahun lalu
keisthai Posisi Menjadi situasi terletak, duduk
echein Kebiasaan Memiliki sifat cemburu
poiein Aksi/sikap melakukan memotong, membakar
paschein Passi undergoing terpotong, terbakar

Waktu ialah sesuatu yang menyatakan waktu tertentu. Misalnya, tadi siang, kemarin, besok, minggu lalu, dan sebagainya.
Posisi yang menjadi aksi/sikap ialah suatu tindakan/keadaan tertentu. Misalnya, berdiri, duduk, belajar, mencatat, menghafal, dan sebagainya.
Kebiasaan (habit) yang menjadi keadaan ialah term yang menunjuk pada suasana tertentu. Misalnya, cemburu, senang, susah, cemas, gelisah, marah, dan sebagainya.
Aksi ialah suatu tindakan dan tindakan itu dapat memengaruhi yang lain. Misalnya, menulis, menerima, membungkus, merayu, dan sebagainya.
Passi ialah sesuatu ditindak oleh hal lain atau dipengaruhi oleh yang lain. Misalnya, dicintai, dinamakan, diampu, diperbaiki, dan sebagainya.

3.4 Term sebagai Unsur Penalaran
Jika nalar ialah akal budi, pertimbangan mengenai baik buruk, aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir logis, jangkauan pikir, dan kekuatan pikir; maka di dalam menyatakan nalar tersebut secara simbolik diperlukan kata sebagai unsur bahasa.
Di dalam menyatakan penalaran, yang merupakan fakta, seseorang dituntut hanya –dan hanya— menyatakan kebenaran. Masalahnya, apa yang dimaksudkan dengan ”kebenaran”? Apakah kebenaran itu mutlak, ataukah fakta yang sudah dimaknai dan ditafsirkan?
Seperti ditegaskan Molly Blair (2006: 84), jurnalistik sastrawi haruslah bertumpu pada kebenaran (truth) dan hanya fakta (only facts), dan fakta yang disampaikan sanggup menggugah emosi pembaca (emotional truth). Di dalam tehnik penulisannya, menggunakan teknik sastra atau fiksi (fiction writing techniques) yang bertumpu pada:


 Emosi (emotion)
 Adegan (scene)
 Sudut pandang (point of view)
 Dialog (dialogue)
 Karakter (character)

Bagaimana antarhubungan jurnalistik sastrawi-kebenaran-teknik penulisan fiksi diagram berikut ini menjelaskannya. Kotak dengan cetak tebal menunjukkan ”jurnalistik sastrawi-kebenaran-teknik penulisan fiksi”, sedangkan kotak dengan cetak miring adalah unsur-unsurnya.


Sumber: Molly Blair


3.5 Cerdas Merangkai Factum Menggunakan Term
Seorang jurnalis dituntut dapat mengenali factum, lalu mengaitkan factum satu dengan factum lain menjadi rangkaian facta. Setelah itu, ia baru merangkaikan factum secara sastrawi menggunakan simbol bahasa (term) menurut kategori dan menulisnya menggunakan kaidah-kaidah sastra.
Misalnya, diketahui fakta sbb:

Substansi Socrates
Kuantitas Sekali
Kualitas berpengaruh
Relasi lebih sering
Ruang/tempat Di Athena
Waktu tiga ribu tahun
Posisi duduk
Kebiasaan berjubah
Aksi mengajar
Passi terstruktur

Dari tabel di atas, maka susunan factum sbb:
Socrates (substansi) sekali (kuantitas) jenius (kualitas) lebih sering (relasi) di Athena (ruang/tempat) tiga ribu tahun lalu (waktu), duduk (posisi) berjubah (kebiasaan) mengajar (aksi) terpandang (passi).
Jika factum disusun, maka rangkaian faktanya sbb:

Socrates sekali jenius di Athenai tiga ribu tahun lalu duduk berjubah mengajar terstruktur.

Kini, fakta itu hendak dirangkai dan ditulis secara jurnalistik sastrawi, dengan tetap berpatokan pada data apa adanya. Seorang jurnalis tidak boleh menambah, mengurangi, atau mengimbuhi fakta dan memasukkan opininya. Sudut pandang menggunakan orang ketiga. Sifat berita yang hard news diubah menjadi soft news, menggunakan tehnik narasi (bercerita), artistik, bahasa sastra, dan menggugah emosi. Ada setting waktu dan tempat. Karakter dipertajam dan dikembangkan, kuat dengan lebih banyak menonjolkan posisi, kebiasaan, aksi, dan passi karakter (Socrates) sebagai substansi.
Maka jadilah literary journalism sebagai berikut.

Athena, tiga ribu tahun lalu. Socrates duduk Ia mengenakan jubah ketika mengajar. Sekali saja disampaikan secara terstruktur. Ia memang manusia jenius.

Demikianlah, kita sudah mulai masuk bagaimana caranya mengenali dan menyusun factum. Lalu, merangkaikan factum-factum menjadi kalimat singkat yang ditulis secara sastrawi.



BAB 4

Fakta dan Opini



Tujuan pembelajaran:

Sesudah membaca bab ini, Anda akan memahami:
 Ciri-ciri fakta dan opini
 Feature sebagai rangkaian factum-factum



Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik dengan tegas menyebutkan bahwa, “Wartawan Indonesia … tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi….”
Dalam sebuah berita, atau tulisan fature, wartawan tidak boleh memasukkan opininya sendiri. Si penulis feature harus mengungkapkan fakta, bukan khayalan atau imajinasinya sendiri (factum, non fictum). Di sini nalar (clear thinking) menjadi sangat penting digunakan, untuk memisahkan dan memilah-milah, manakah fakta dan manakah opini atau persepsi.

4.1 Apa yang dimaksudkan dengan fakta?
Etimologi dan leksilkal fakta:
(a) Etimologi atau asal usul kata fakta. Fakta berasal dari kata benda Latin factum (jamaknya: facta) dan kata kerjanya facere yang berarti: peristiwa atau kejadian. Kita sering mendengar istilah “Post factum” yang artinya: setelah peristiwa itu terjadi.
(b) Leksikal atau makna/definisi dari kamus:
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 312) “Fakta ialah keadaan, peristiwa yang merupakan kenyataan, sesuatu yang benar-benar terjadi.”

Adapun opini:
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 800) “Pendapat, pikiran, pendirian.”

4.2 Wacana sebagai Rangkaian Fakta, Bukan Opini
Sebuah laporan jurnalistik ialah feature/ creative nonfiction yang ditulis hal-hal nyata, bukan fiksi. Selain indah karena ditulis menggunakan kaidah dan diksi secara sastrawi, laporan/ tulisan haruslah mengandung kebenaran (truth) yang dirangkai sedemikian rupa, mengandung nilai berita, memuat unsur-unsur berita (5 W+1 H), sehingga feature utuh dari sisi jurnalistik.
Karena itu, tulisan feature dibangun dari factum. Factum satu dengan factum lain haruslah:
1) benar
2) dapat dipertanggungjawabkan
3) berkorelasi
4) berkorespondensi
5) sistematis
6) pragmatis
Sebagai sebuah karya jurnalistik, feature haruslah menarik dengan memerhatikan psikologi dan kedekatan dengan audience. Nalar khalayak (sense of audience) haruslah diperhatikan oleh penulis feature, agar tulisannya dapat bersaing dengan berita lain yang bersifat hard news. Jadi, yang harus diperhatikan penulis feature bukan semata-mata isi (content), tetapi juga nilai ekonomis suatu peristiwa/fakta.

Diagram: inverted pyramid model of traditional journalism



Jelasnya, literary journalism ialah faksi (fakta yang ditulis dengan kaidah-kaidah fiksi/sastra). Pada hard news, model penulisan menggunakan piramida terbalik. Sementara pada soft news, menggunakan bentuk kolase, gabungan, atau model segi empat (R. Masri Sareb Putra, Teknik Menulis Berita dan Feature, 2006: 52-53) yang merupakan satu kesatuan saling mendukung.
Dasar menulis jurnalistik sastrawi sama dengan berita keras, tetap mengandalkan fakta dan kebenaran. Hanya saja, enam unsur (5W+1H) bermetamorfosis menjadi narasi yang dideskripsikan sedemikian rupa, sehingga terarah pada emosional.

Nalar khalayak (sense of audience) haruslah diperhatikan oleh penulis feature, agar tulisannya dapat bersaing dengan berita lain yang bersifat hard news.

Itu sebabnya, Molly Blair mengatakan bahwa jurnalistik sastra adalah hibrida dari sastra dan tulisan nonfiksi yang juga disebut sebagai jurnalistik baru (new journalism). Turunan yang dihasilkan dari perkawninan sastra dan nonfiksi yang berlainan ragam penulisan ini apabila dibuatkan diagramnya akan menjadi demikian.
Jurnalistik sastrawi menggabungkan antara elemen-elemen nonfiksi dengan elemen-elemen sastra. Tidak ada, dan tidak boleh ada, opini dan bukan-fakta dalam laporan jurnalistik sastrawi.

Tebel: Perbedaan antara sastra dan non-fiksi:

Literary elements Non-fiction elements
story/narration essay form
place/scene/setting explanation/exposition
characterization standard rhetorical patterns
author personally engaged focuses on ideas, facts
(not language)
literary voice/feel researched facts
artistic, instinctual
polished language




BAB 5


Pendekatan Dinamik Jurnalistik Sastrawi dan Sejarahnya




Tujuan pembelajaran:

Sesudah membaca bab ini, Anda akan memahami:
 Pendekatan dinamik jurnalistik sastrawi
 Sejarah dan para pelopor Literary Journalism
 Jurnalistik sastrawi dan perkembangannya di Indonesia

The New Journalism, atau jurnalistik baru, tentu ada sejarahnya. Dikatakan “baru” karena merupakan hibrida dari pola jurnalistik konvensional (pola lama) dengan model piramida terbalik dan gaya sastrawi yang menerapkan elemen-elemen dan kaidah sastra (Blair, 2006).
Dilihat dari dinamika waktu (time dynamic) berita-berita keras adalah ciri tulisan model konvensional yang memiliki tenggat waktu singkat. Sebaliknya, jurnalistik sastrawi memiliki tenggat waktu panjang, bergantung pada gaya publikasi. Namun, beberapa tulisan jurnalistik sastrawi bersinggungan (crossover) dengan jurnalistik model konvensional dilihat dari time-line, terutama ketika mengulas detail sebuah peristiwa human interest.

5.1 Pendekatan Dinamik
Dilihat dari dinamikanya, jurnalistik sastrawi memunyai banyak kesamaan dengan ragam tulisan lain sebagai himpunan dan turunan langsung dari karya tulis kreatif non-fiksi (creative non-fiction). Sebagaimana tampak pada diagram, dari sisi teknik penulisan, jurnalistik sastrawi memiliki saudara kembar, yakni
 Memoar
 Biografi
 Esai personal
 Esai sastrawi
 Artikel feature
 Non-fiksi naratif


Sumber: Blair, 2006: 108



BAB 6
Literary Journalism:
Elemen dan Konfigurasinya dalam Jurnalistik Modern




Tujuan pembelajaran:
Sesudah membaca bab ini, Anda akan memahami:
 Dinamika pendekatan, dinamika editorial, dinamika kebenaran, dinamika struktur, dinamika bahasa, dan dinamika waktu jurnalisme sastrawi
 Elemen dan konfigurasi jurnalistik sastrawi dalam jurnalistik modern
 Persamaan dan perbedaan feature dan karya sastra



Sekadar menyegarkan ingatan kembali, bahwa sesungguhnya terdapat perbedaan mendasar antara mengarang dan menulis.
Mengarang ialah proses menuangkan gagasan/ide kreatif dan imajinatif sedemikian rupa, sehingga menjadi sebuah karya fiktif sesuai dengan bentuk (ragam)-nya.
Sementara menulis ialah proses menuangkan gagasan/ ide/data/fakta ke dalam bahasa tulisan. Sedemikian rupa, sehingga menjadi sebuah karya tulis nonfiktif yang bernilai sesuai dengan bentuk/ragamnya. Ada fakta untuk dirangkaikan menjadi kalimat. Rangkaian fakta ialah wacana yang bebas dari fiksi dan imajinasi. Di dalam proses penulisan itu, si penulis dibimbing oleh kejujuran untuk menyampaikan fakta apa adanya dan berbagi informasi kepada khalayak.
Dalam tulisan fiksi, ada keleluasaan bagi pengarang untuk menabrak rambu-rambu kebahasaan, tidak sebagaimana tulisan nonfiksi. Bahasa gaul, terutama dalam dialog, sah-sah saja dalam sebuah karangan.
Demikian pula dengan pengkalimatan, tidak harus sebuah kalimat terdiri atas kalimat yang lengkap subjek, predikat, dan objek (SPO)-nya. Bahkan, sering kita jumpai dalam karangan fiksi, sebuah kalimat, terdiri atas sepatah kata saja. Hal ini tidak masalah, sebab kadangkala sepatah kata dalam sebuah kalimat efeknya sangat luar biasa! Di sini, sebagai penulis fiksi, kita harus sanggup mendayagunakan sepatah kata untuk mencapai efek tertentu, sehingga terarah pada emosional pembaca.
Akan tetapi, kaidah-kaidah sastra dalam karya tulis nonfiksi dapat diterapkan pada jurnalistik sastrawi. Dengan catatan, jangan demi mengejar keindahan tulisan (diksi) sebuah karya jurnalistik lantas menafikan fakta. Kata, dalam karya jurnalistik, ialah alat penyampai gagasan.
Sebagai contoh, berikut ini narasi sebuah karya fiksi:

Senja turun perlahan, menyingkap kelam. Bukit Zaitun tampak bagai wanita tua, kusut dan mengkerut. Segalanya jadi serba marut. Kusut! Sekusut hati Dina.

Sepatah kata dalam satu kalimat “Kusut!” justru sangat luar biasa power-nya. Ia dengan penuh daya melukiskan, betapa tak menentunya hati Dina. Sebuah lukisan, dan perumpamaan, yang mudah ditangkap dan tidak memerlukan kerja keras untuk mengabstraksinya.
Meski dalam karangan fiksi dimungkinkan seorang pengarang melanggar pakem kebahasaan dan pengkalimatan, toh ada segi yang tidak bisa ditoleransi. Tidak ada kompromi dalam pengunaan tanda baca, huruf kapital, akurasi nama, dan penggunaan ejaan. Tidak dapat dibenarkan, kalau seorang pengarang tidak bisa membedakan kapan “di” penulisannya dipisah dan kapan diserangkaikan. Demikian pula, tidak dapat dimaafkan jika seorang pengarang tidak bisa apakah huruf pertama dalam dua kata “pisang ambon” ditulis kapital ataukah tidak.
Sekali lagi, alah bisa karena biasa. Maka, biasakan diri Anda mengacu pada kamus kalau ragu-ragu. Jadikan kamus tidak hanya alat kerja, tapi juga teman Anda.

Persamaan antara Feature, Cerpen, dan Novel
Dilihat dari proses, ragam, dan gayanya, terdapat banyak kesamaan antara feature dan cerpen, novelet, dan novel.

Persamaan Literary Journalism dan Cerpen/Novelet/novel
Literary Journalism
Cerpen/Novelet/Novel

1. Tulisan kreatif, cukup panjang, yang membutuhkan imajinasi.
1. Tulisan kreatif, cukup panjang, yang membutuhkan imajinasi.

2. Deskriptif dan naratif 2. Deskriptif dan naratif
3. Rangkaian peristiwa tali-temali. 3. Rangkaian peristiwa tali-temali.
4. Sering ditulis menggunakan alur (kaidah 1,2,3) atau kronologis.
4. Sering ditulis menggunakan alur (kaidah) 1,2,3 atau kronologis.

5. Tokoh utama (objek) sering diangkat menjadi fokus, lalu dikisahkah juga tokoh (objek) lain sejauh relevan atau yang bertujuan untuk mengontraskan atau menambah hidupnya suasana.
5. Tokoh utama (objek) sering diangkat menjadi fokus, lalu dikisahkah juga tokoh (objek) lain sejauh relevan atau yang bertujuan untuk mengontraskan atau menambah hidupnya suasana.

6. Menggunakan teknik tarik-ulur (suspense) untuk mempermainkan psikologi audience.
6. Menggunakan teknik tarik-ulur (suspense) untuk mempermainkan psikologi audience.

7. Akhir (ending) tulisan jelas. 7. Akhir (ending) tulisan jelas.
8. Ada pesan (message) yang terkandung di dalamnya.
8. Ada pesan (message) yang terkandung di dalamnya.




Perbedaan Literary Journalism dan Cerpen/Novelet/novel
Literary Journalism
Cerpen/Novelet/Novel

1. Melulu didasarkan pada fakta yang sesungguhnya, unsur khayalan tidak boleh ada di dalamnya.
1. Karya fiksi, rekaan.
2. Tidak boleh menulis/melukiskan sesuatu yang tidak sungguh nyata dan tidak sungguh terjadi.

2. Boleh berbuat sesuka hati. Mau bikin apa saja, terserah! Pengarang “mahakuasa” atas karyanya. Di sini kata “penciptaan” menjadi genap, yakni creare  creatio (creationis)  to create  creation = mencipta, penciptaan, hasil kreasi. Karena itu, seorang penulis disebut kreatif! Dan karya tulis yang dihasilkannya adalah karya kreatif.

3. Tidak melakukan rekayasa, misalnya memaksakan apa yang ada di kepala penulis, lalu ditaruh pada mulut orang lain. Misalnya, agar bagian tertentu dari feature menarik, si penulis berpikir alangkah baiknya jika nara sumber (objek) mengatakan, “Kingkong pun bisa menjadi komisaris perusahaan jika kerjanya cuma begitu” –sebuah feature yang mengangkat ihwal perusahaan BUMN yang produknya sangat dibutuhkan, namun berkinerja buruk. Padahal, nara sumber tidak menyebut demikian, ketika pertanyaan yang diajukan si penulis, nara sumber cuma diam, atau mengangguk. Jadi, pernyataan tadi hanyalah simpulan dari penulis, bukan datang dari nara sumber.



Novelis yang sudah banyak makan asam garam, barangkali tidak perlu lagi membuat outline. Outline sudah ada di kepalanya. Ia sudah tahu seberapa porsi untuk intro, pengembangan, inti cerita, dan simpulannya.
Namun, novelis pemula tetap perlu membuat oret-oretan, atau bagan, sebelum mengarang sebuah novel. Untuk apa? Kalau dalam sebuah penjelajahan, bagan berfungsi sebagai kompas. Bagan ialah penunjuk ke arah mana kita hendak melangkah.
Dalam praktiknya, kadang bagan tidak ditaati sepenuhnya. Tatkala menghadap komputer, atau mesin tik, muncul ide baru. Seorang novelis tergoda untuk mengembangkan ide yang sudah dibuatnya dalam bagan.
Salahkah tindakan seperti itu? Tidak! Meski melanggar aturan yang sudah ditetapkan sendiri, asalkan hasil akhirnya bagus, tidak menjadi masalah. Asalkan jalinan cerita dirasakan logis, tidak jadi soal. Bagan tidak hanya diperlukan sebagai arah, tapi kadang juga sebagai pemancing datangnya ide-ide baru.
Mula-mula, tetapkanlah sebuah tema untuk novel Anda. Lalu, petakan ide-ide Anda. Tulislah langkah demi langkah adegan yang menurut Anda menarik. Lalu pilihlah yang paling unik. Telitilah, apakah biasa-biasa saja, tidak unik, dan tidak punya greget? Apakah menarik? Adakah sesuatu yang baru?
Sebagai contoh, Anda akan menulis sebuah novel dengan setting sekolah. Tema kisah cinta. Kalau kisah cinta antara siswa dan siswa, sudah biasa –dan Anda tidak mau menulis hal yang biasa. Anda ingin karya Anda unik, lalu bagaimana?

1 komentar:

Angel Michael mengatakan...

Wah, Selamat ya atas Blog-nya, bagus, sebagai perwujudan Mencerdaskan bangsa niy (^_^), keep the good work