RINGKASAN EKSEKUTIF
Tempo edisi 4-10 Februari 2008 memuat gambar Soeharto dan anak-anaknya mirip adegan The Last Supper di mana Yesus mengadakan perjamuan terakhir dengan murid-murid-Nya. Peristiwa perjamuan kudus ini penting bagi orang Kristen karena dua hal.
Pertama, pada saat perjamuan terakhir itulah Yesus memberikan perintah yang menjadi inti ajaranKristen: perintah cinta kasih.
Kedua, pada perjamuan kudus itu pua Yesus memberikan keteladan bagi hidup Kristen yang sejati: saling melayani sebagaimana yang dicontohkan-Nya melalui peristiwa pembasuhan kaki para murid.
Karena esensi dan sentralnya peristiwa jamuan malam terakhir itu, orang Kristen menganggap bahwa peristiwa Injil yang diabadikan Leonardo da Vinci melalui mahakarya lukisan The Last Supper sangat keramat. Karena itu, hendaknya jangan diplesetkan dan dijadikan parodi.
Penelitian ini menganalisis dengan menggunakan teori media, yakni framing dan rekonstruksi untuk mengetahui apa motif dan tujuan proses kreatif dan publikasi Majalah Tempo . Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat dua bingkai besar yakni:
Pertama, sebagai parodi.
Kedua, motif ekonomi untuk menaikkan oplah.
PRAKATA
Tidak biasanya orang Kristen, apalagi Katolik, melakukan protes, apalagi kecaman keras ketika agamanya dilecehkan. Mereka beranggapan bahwa Tuhan orang Kristen tidak akan menambah kemuliaan-Nya apabila dipuji dan disanjung puja . Sebaliknya, tidak mengurangi kekudusan-Nya manakala dihujat.
Akan tetapi, tidak demikian ketika Majalah Tempo edisi khusus memuat dan mempublikasikan parodi The Last Supper di mana Soeharto memberikan pesan terakhir kepada anak-anaknya. Serangkaian protes mengalir, sampai pada tuntutan agar Tempo kembali dibredel apabila tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Terlepas dari efek terpaan, kami tertarik untuk meneliti bagaimana Tempo membingkai isu tersebut dan bagaimana fenomena sosial di balik adegan Soeharto dan anak-anaknya. Framing dan rekonstruksi oleh Tempo menjadi pusat penelitian ini.
Dalam proses penelitian hingga dipublikasikannya hasil penelitian ini, banyak pihak turut membantu dan memfasilitasi proses penelitian itu. Untuk itu, kami mengucapkan terima kasih kepada Prof. Yohanes Surya, Ph.D., J. Prajitno, M.S.c., Dr. Ir. Sugiarto, Dr. P.M. Winarno, Andrey Andoko, M.Sc., Bertha Sri Eko, M.Si., dan rekan-rekan dosen UMN.
Semoga laporan hasil penelitian ini memberikan inspirasi dan semakin menggugah nurani kita sebagai sivitas akademika untuk memberikan sumbangsih yang nyata bagi masyarakat. Analisis framing dan rekonstruksi sampul Tempo yang kontroversial itu semoga dapat secara rasional dan argumentatif menjelaskan motif dan tindakan Tempo dilihat dari sisi media dan komunikasi.
Jakarta, 22 April 2008
Peneliti
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam proses kerja jurnalistik, sebenarnya setiap awak suatu media sudah dibekali dengan rambu-rambu dan peraturan-peraturan. Dari yang bersifat etika normatif, undang-undang, hingga kode etik --dalam hal ini kode etik jurnalistik. Sedemikian detailnya, sehingga untuk meliput, menulis, dan mempublikasikan suatu bidang yang sensitif, awak media dibekali dengan pedoman. Sebagai contoh, di dalam menulis dan mempublikasikan peristiwa keagamaan ada pedomannya sendiri. Butir 3 “Sepuluh Pedoman Penulisan Bidang Agama” yang menjadi acuan awak suatu media untuk memuat berita/ peristiwa seputar masalah agama mencatat demikian, “Wartawan menyadari dalam menyajikan tulisan, berita, ulasan dalam bidang agama harus memiliki nalar khalayak (sense of audience) yang tepat, agar mengetahui betul lapisan masyarakat mana yang menjadi sasaran tulisan.”
Masalahnya, meski norma dan aturan sudah ada, dalam praktik jurnalistik ada saja pemberitaan yang melanggar norma dan peraturan yang berlaku. Sebagai contoh, sampul muka majalah Tempo edisi 4-10 Februari 2008 memuat gambar Soeharto dan anak-anaknya mirip adegan The Last Supper. Langsung saja majalah berita mingguan dengan slogan “Enak Dibaca dan Perlu” itu kontan menuai reaksi. Perwakilan organisasi Katolik, bukan hierarki Gereja, mendatangi majalah yang berkantor di Jl. Proklamasi, Jakarta Pusat itu. Mereka bukan memrotes, tetapi meminta penjelasan: Apa motivasi di balik kerja bareng awak majalah yang telah berkali-kali mendapat peringatan, bahkan pernah dibredel itu?
Penjelasan yang didapat dari perwakilan Tempo ialah bahwa mereka “hanya” mengambil inspirasi lukisan mahakarya Leonardo da Vinci sebagai parodi. Sama sekali tidak terbetik niatan untuk menyinggung salah satu pihak dan golongan mana pun. Kenyataannya, ada pihak yang tersinggung dan tidak dapat menerima. Tempo edisi kontoversial itu tidak ditarik, namun laku keras sebagai komoditas. Menjadi dilema, ketika seni dan etika bertubrukan dan masing-masing berkutat pada pendirian.
Penelitian ini mencoba merekonstruksi fenomena sosial –dalam hal ini fenomena di balik gambar Soeharto dan anak-akanya dalam adegan the Last Supper Tempo-- menengarai kriteria dan syarat-syarat seni, serta nilai etika dalam hubungannya dengan seni visual dan kerja jurnalistik dengan mengangkat sampul Tempo edisi 4-10 Februari 2008 sebagai contoh kasus.
Dengan menggunakan teori framing dan rekonstruksi sosial, peneliti menguak seperti apa bingkai yang dipakai Tempo dalam menyajikan gambar “Setelah Dia Pergi” dan mengungkap fenomena sosial di balik sampul majalah tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Terdapat dua jenis pustaka penting yang menjadi bahan utama di dalam penelitian ini.
Pertama, pertama objek kajian (sampul Tempo edisi 4-10 Februari 2008 yang memuat gambar Soeharto dan anak-anaknya mirip adegan The Last Supper. Sumber objek ini penting karena menjadi objek untuk merekonstruksi seperti apakah awak Tempo membingkai (framing) fenomena sosial di balik gambar tersebut.
Kedua, referensi yang secara akademis dapat dipertanggungjawabkan dijadikan “pisau analisis” untuk merekonstruksi fenomena sosial di balik sampul Tempo tersebut. Sebagaimana diakui awak Tempo bahwa mereka “hanya menjadikan lukisan Leonardo da Vinci sebagai parodi”. Dan dalam penjelasan kepada publik, perwakilan Tempo mengatakan bahwa “di luar negeri parodi the Last Supper seperti yang mereka lakukan sudah biasa”.
Lukisan Leonardo da Vinci yang secara internasional dikenal sebagai “The Last Supper” di Indonesia diterjemahkan sebagai lukisan “Malam Perjamuan Akhir”. Pada malam menjelang hari wafat, Yesus mengadakan perpajuam makan malam yang terakhir kalinya dengan para murid-Nya. Ihwal peristiwa ini, Kitab Suci (Injil) mengisahkannya demikian.
1) Matius 26:26 “Dan ketika mereka sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-murid-Nya dan berkata: “Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku.”
Selanjutnya, Matius 26:27 “Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: “Minumlah, kamu semua, dari cawan ini.”
Kemudian, Matius 26:28 “Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa.”
2) Markus 14:22 “Dan ketika Yesus dan murid-murid-Nya sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: “Ambillah, inilah tubuh-Ku.”
Masih dalam Injil Markus 14:23 “Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka, dan mereka semuanya minum dari cawan itu.
Markus 14:24 “Dan Ia berkata kepada mereka: “Inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang.
3) Lukas :
Lukas 22:19: “Lalu Ia mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka, kata-Nya: “Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku.”
Selanjutnya Lukas 22:20 mencatat demikian: “Demikian juga dibuat-Nya dengan cawan sesudah makan; Ia berkata: “Cawan ini adalah perjanjian baru oleh darah-Ku, yang ditumpahkan bagi kamu.
4) Yoh 6:48-59 juga mengisahkan mengenai Perjamuan Kudus itu.
Berdasarkan ayat Kitab Suci di atas maka kalangan Kristen meyakini bahwa peristiwa Perjamuan Malam Terakhir ini sebagai Perjamuan Suci atau kerap dikatakan “Perjamuan Tuhan”. Karena itu, janganlah sesuatu yang suci dan kudus diperolok-olokan sebagai sebuah parodi. Memang pesan dan efeknya sangat bagus dan luar biasa, tetapi apakah tidak ada peristiwa atau momentum lain dengan gambar yang lain pula yang dapat dipakai untuk memparodikan fenomena sosial saat itu?
Memang, seperti dikatakan perwakilan Tempo, parodi dengan gambar yang sama kerap dipakai media luar negeri. Akan tetapi, Tempo lupa bahwa di luar negeri konteks komunikasinya berbeda dengan di Indonesia. Jika di luar negeri, terutama di Amerika dan Eropa, konteks komunikasi adalah low context di mana orang terus terang, berbicara to the point, dan tingkat sensivitas religiusnya tidak seperti Indonesia di mana rata-rata konteks komunikasi orang Indonesia adalah high context communication.
Apa yang dikatakan perwakilan Tempo memang benar. Media luar negeri kerap menggunakan lukisan Leonardo da Vinci yang objeknya adalah peristiwa Perjamuan Terakhir Yesus dengan murid-murid-Nya tersebut sebagai paroki. Dalam http://culturepopped.blogspot.com/2007/04/suddenly-last-supper.html misalnya, memang dapat disaksikan terdapat banyak parodi oleh media atas adegan peristiwa yang sama dengan Tempo. Tidak kurang dari 50 parodi oleh media yang pada bagian pembahasan akan dipaparkan beberapa contoh sebagai bahan perbandingan.
Adapun landasan teori yang dipakai dalam penelitian ini ialah framing atau bingkai
Gitlin, Todd. 1980. The Whole World Is Watching: Mass Media in the Making and Unmaking of the New Left. Berkeley, CA, Los Angeles, CA & London, U.K.: University of California Press mencatat tentang framing sebagai berikut.
"Frames are principles of selection, emphasis and presentation composed of little tacit theories about what exists, what happens, and what matters."
(Gitlin 1980: 6).
Durham, Frank D. 2001. “Breaching Powerful Boundaries: A Postmodern Critique of Framing” yang dimuat dalam Framing Public Life: Perspectives on Media and our Understanding of the Social World, Ed. Stephen D Reese, Oscar H Gandy, and August E Grant. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
Maher, T. Michael. 2001. “Framing: An Emerging Paradigm or a Phase of Agenda Setting” yang dimuat dalam Framing Public Life: Perspectives on Media and our Understanding of the Social World, Ed. Stephen D Reese, Oscar H Gandy, and August E Grant. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
Reese, Stephen D. 2001. “Prologue - Framing Public Life: A Bridging Model for Media Research” yang dimuat dalam Framing Public Life: Perspectives on Media and our Understanding of the Social World, Ed. Stephen D Reese, Oscar H Gandy, and August E Grant. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
Scheufele, Dietram A. 1999. "Framing as a Theory of Media Effects" yang dimuat pada Journal of Communication 49 (4): 103-22.
Tankard, James W., Laura Handerson, Jackie Sillberman, Kriss Bliss, and Salma Ghanem. 1991. “Media Frames: Approaches to Conceptualization and Measurement” sebuah paper yang dipresentasikan pada the Association for Education in Journalism and Mass Communication, Boston, MA, August 7-10, 1991.
Tankard, James W., Jr. 2001. “The Empirical Approach to the Study of Media Framing” dalam Framing Public Life: Perspectives on Media and our Understanding of the Social World, Ed. Stephen D Reese, Oscar H Gandy, and August E Grant. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
Pustaka tersebut di atas pada intinya menjelaskan bahwa suatu media di dalam proses meliput, menulis, melakukan wawancara, mengolah (mengedit),sampai menyajikan suatu peristiwa atau suatu berita sebenarnya mempunyai bingkai atau kerangka pandang sendiri yang di dalam studi ilmu komunikasi (massa) disebut “framing”.
Bingkai atau kerangka pemberitaan suatu media dipenuhi dan dipengaruhi oleh idelologi media tersebut. Ideologi suatu media ini jika ditelusuri merupakan cerminan dari budaya korporat media yang bersangkutan. Sajian atau menu suatu media, karena itu, tidak dapat terlepas dari ideologi media yang bersangkutan sehingga mempengaruhi dan mewarnai pola atau sudut pemberitaannya. Warna pemberitaan tersebut jika direkonstruksi menggambarkan fenomena yang mencerminkan realitas sosial.
BAB III
METODE PENELITIAN
Pertama-tama tentu saja peneliti berhadapan langsung dengan objek penelitian, dalam hal ini sampul majalah Tempo edisi edisi 4-10 Februari 2008 , yang memuat adegan Soeharto mengadakan pesta perjamuan terakhir bersama dengan putra dan putrinya. Yang menarik, terdapat headline besar-besar di atasnya “Setelah Dia Pergi”.
Sumber: majalah Tempo edisi 4-10 Februari 2008.
Tentu saja, tulisan pada judul Tempo ini sarat dengan parodi dan, karena itu, provokatif. Masyarakat tentu masih sangat kuat ingatan kolektifnya mengenai sepak terjang Soeharto, putra-putri, kroni-kroni, serta pilar-pilar yang melembaga yang mendukung tegaknya Orde Baru yang merupakan simbol kedikdayaan dan kediktatoran Soeharto.
Dalam adegan tampak Soeharto sedang memberikan pesan-pesan terakhir, suatu adegan yang sangat persis dengan apa yang dilakukan Yesus lebih dari dua ribu tahun yang silam. Sehari menjelang wafat, Yesus mengadakan perjamuan terakhir bersama dengan para murid.
Tentu saja, publik Indonesia merasa kaget oleh ulah Tempo yang menjadikan lukisan Leonardo da Vinci sebagai parodi untuk “menyindir dan mengritik” Soeharto dan putra putrinya. Tidak dapat dielakkan lagi, ulah Tempo ini kontan menuai reaksi dimasyarakat karena kontroversial. Tempo sendiri, setelah diprotes, kantornya didemo, dan diancam akan digugat di pengadilan, membela diri. Apakah pembelaan dan pengakuan Tempo jujur seperti apa adanya?
Memang terdapat dua silang pendapat.
Pertama, Tempo merasa itu sesuatu yang lumrah dan mengatakan hanya parodi dan hal yang sama sering dilakukan media luar negeri.
Kedua, momentum perjamuan terakhir ini oleh orang Kristen diakui sangat penting –dan karena itu sakral— sebab pada saat itu Yesus memberikan wejangan atau perintah yang terakhir pada para murid. Perintah itu sangat esensial dan menjadi inti dari ajaran Kristen yakni: perintah cinta kasih. Dan yang tidak kalah pentingnya pada esensi perjamuan kudus itu ialah contoh yang diberikan Yesus pada murid-Nya untuk melayani orang lain, suatu tindakan dan perbuatan nyata sebagaimana ditunjukkan-Nya dengan membasuh kaki para murid dan membagi-bagi roti (makanan) dan mengedarkan cawan anggur kepada para murid. Ucapan dan tindakan Yesus ini menjadi teladan bagi orang Kristen dan menganggap bahwa itulah hakikat dari ajaran dan perbuatan Yesus selama menjalankan tugas perutusan-Nya di dunia ini. Karena itu, sajian dan kerja jurnalistik perbuatan Tempo dirasakan sebagai tindakan yang melecehkan.
Sampul majalah Tempo tersebut merupakan framing atau bingkai yang merefleksikan fenomena sosial. Para awak Tempo yang bekerja menyediakan dan kemudian menghidangkanmenu tersebut dibingkai oleh sebuah ideologi Tempo juga. Pada bagian pembahasan akan diteliti ada apa di balik proses kreatif pembingkaian tersebut dengan metode rekonstruksi untuk mengetahui motivasi, tujuan, efek, serta pengaruh terpaan media.
BAB IV
PEMBAHASAN
Perhatikanlah secara saksama berapa jumlah orang yang mengelilingi Yesus, 12 muridnya. Sementara Soeharto dikelilingi oleh enam anaknya. Yesus diapit oleh enam orang di kiri dan kanan, sedangkan Soeharto diapit tiga orang di kiri dan kanan beliau. Posisi tiga orang di kiri Soeharto dan Yesus, hampir sama. Di mana Mbak Tutut menengok ke kiri dan mendengarkan bisikan adiknya, Tommy. Hanya tangan Mbak Titi yang berbeda.
Pada sebelah kanan juga nyaris sama posisinya. Yang berbeda hanya tangan Bambang yang tidak mangacungkan jari telunjuknya.
Sumber: http://www.rosgallery.com/album/The_Last_Supper.jpg
4.1 Rekonstruksi
Sepak terjang keluarga Cendana, dengan Soeharto sebagai sentralnya, sudah umum diketahui. Begitu naik ke tampuk kekuasaan pasca kejatuhan Soekarno pada 1965, Soeharto membangun sebuah orde yang dikenal dengan nama ”Orde Baru” sebagai antitesis dari orde sebelumnya, yakni Orde Lama.
Mulailah Soeharto membangun imperium di Indonesia. Taktik yang dipakainya sangatlah brilian dan terbukti jitu di dalam menopang kekuasaannya di negeri ini selama 32 tahun. Menurut George Junus Aditjondro (1998) harta kekayaan keluarga Cendana sangat luar biasa. Karena itu, ketika Indonesia dilanda krisis multidimensional sejak 1997, rakyat meradang dan memusuhi keluarga Cendana. Apa pun yang “bau bau” Cendana berikut pilar-pilar yang selama ini mendukung dan melanggengkan kekuasaan Soeharto, berusaha untuk disingkirkan.
Terdapat setidaknya tiga pilar yang selama ini mendukung dan melanggengkan kekuasaan Soeharto, yakni
1) Keluarga Cendana dengan segala mitra bisnis, jaringan, dan kroni-kroninya
2) Militer
3) Pengusaha yang mendapat kemudahan dan menopang ekonomi Orde Baru
4) Golkar, termasuk onderbow-nya.
Dari sekian banyak pilar yang mendukung dan melanggengkan kekuasaan Soeharto maka keluarga Cendana yang oleh masyarakat dianggap paling penting, meski bukan yang paling dominan. Penting karena keluarga Cendanalah pihak yang paling banyak meraup keuntungan dan yang paling benyak memetik manfaat dari kekuasaan Soeharto. Tidak terbilang lagi harta kekayaan, kemudahan, dan kenyamanan yang diperoleh keluarga Cendana saat Soeharto berkuasa.
Karena itu, wajarlah jika situasi yang kontras dengan keadaan masyarakat pada saaat gambar sampul depan Tempo dipublikasikan, menimbulkan amarah karena berpotensi memrpvokasi masyarakat. Tempo jeli dan pandai menangkap realitas sosial masyarakat tersebut. Gambar sampul depan dengan tulisan “Setelah Dia Pergi” terasa bagai petir menyambar di siang bolong. Pesan komunikasi yang disampaikan Tempo ialah bahwa setelah Seoharto pergi maka harta kekayaan akan diwariskan kepada anak-anaknya. Inilah wasiat atau pesan terakhir Soeharto sehingga gambar sampul Tempo sesungguhnya jika direkonstruksi menggambarkan realitas sosial masyarakat, baik lewat gambar (visual) maupun lewat bahasa (tulisan).
4.2 Framing
Apa yang menjadi latar atau motivasi dalam proses kreatif awak Tempo memplesetkan adegan perjamuan Malam Terakhir di mana Yesus dan memberi ”perintah” kepada para murid untuk saling mencintai satu sama lain dan memberikan keteladanan untuk melayani dengan adegan Soeharto dan anak-anaknya? Apa yang dipikirkan Tempo setelah ”dia” Soeharto pergi dari dunia ini dan apa yang akan terjadi pada bisnis keluarga Cendana?
Jawaban atas pertanyaan di atas tersebut menarik untuk diteliti, yakni bagaimana Tempo membingkai/framing adegan Soeharto dan anak-anaknya mirip perjamuan kudus. Analisis framing menunjukkan terdapat dua bingkai yang berikut ini.
Sebagaimana diakui Pemimpin Redaksi Tempo, Toriq Hadad, “Kami hanya mengambil inspirasi dari sebuah gambar yang dilukis Leonardo da Vinci.... Perbedaan tafsir ini kami hormati dan saya sebagai pemimpin Majalah Tempo mohon maaf apabila gambar ini dianggap menistakan umat Kristiani.” Jika ini merupakan pengakuan yang jujur maka bingkai penafsiran Tempo adalah parodi. Karena di luar negeri parodi gambar yang sama sering dilakukan media maka Tempo merasa bahwa itu merupakan preseden. Sayang sekali bahwa faktor konteks budaya dan level komunikasi antara Barat dan Timur di mana Barat adalah low context dan Timur high context dinafikan Tempo.
Sementara framing yang tidak kasat mata dan tidak dengan lugas dikatakan Tempo ialah bahwa sarat muatan atau bingkai ekonomi di balik proses kreatif dan publikasi the Last Supper gaya Tempo. Terbukti nomor tersebut laris, bahkan mengalami cetak ulang. Jarang kita mendengar majalah cetak ulang, selain buku.
4.3 Parodi dalam wilayah dan kriteria estetika
Seni dan etika kadang sama dan sebangun, namun kerap pula bertubrukan. Sama dan sebangun, manakala seni dan etika kedua-duanya mengandung empat dimensi sekaligus: baik, indah, benar, dan berguna. Hal ini sesuai dengan definisi estetika, “Aesthetics is commonly known as the study of sensory or sensory-emotional values, sometimes called judgments of sentiment and taste (Wikipedia).
Perlu diberikan catatan bahwa estetika berkaitan dengan penilaian seseorang akan nilai-nilai keindahan. Nilai-nilai keindahan bergantung pada persepsi, pengertian, pendidikan, latar budaya, dan pencerapan seseorang. Namun, ada juga nilai keindahan yang bersifat universal. (Judgments of aesthetic value clearly rely on our ability to discriminate at a sensory level. Aesthetics examines what makes something beautiful, sublime, disgusting, fun, cute, silly, entertaining, pretentious, discordant, harmonious, boring, humorous, or tragic.)
Sampul depan Tempo yang menghebohkan itu adalah modifikasi dari lukisan The Last Supper atau Jamuan Makan Malam Terakhir karya Leonardo da Vinci yang melukiskan Yesus berada di tengah meja makan, dikelilingi murid-murid-Nya. Pada saat itulah, Yesus memberikan wejangan terakhir pada para murid. Bahwa kelak, setelah Ia pergi dari dunia ini, mereka harus saling menyinta dan tolong-menolong. Wasiat Yesus pada last supper itulah yang kemudian melahirkan hukum tertinggi bagi orang Kristen: cinta kasih.
Slogan Tempo sendiri sebenarnya bagus. Jika saja menjadi napas dan semangat corporate culture setiap insan yang bekerja di sana, betapa indahnya. Sebab, itulah yang dikehendaki dari setiap media dan jurnalis. Seperti diperingatkan Horatius, pujangga Romawi kuno, bahwa setiap penulis adalah guru moral. Dan media, termasuk media cetak, akhirnya bermuara hanya pada dua ihwal: dulce (indah) dan utile (berguna). Persis slogan Tempo, enak dibaca dan perlu.
Memang benar bahwa di luar negeri parodi the last Supper ini sudah biasa. Unduh saja http://culturepopped.blogspot.com/2007/04/suddenly-last-supper.html di sana terdapat lebih dari 50 parodi The Last Supper. Namun, tentu saja suasana dan kultur Barat dan Indonesia berbeda.
Mickey Mouse Last Supper: Mickey Mouse, superstar kartun pertama, seperti Yesus.
Hollywood Last Super. Marilyn Monroe menempati kursi Yesus.
Fast Food Last Supper: Kol. Sanders sebagai Yesus, hidangan KFC menjadi hidangan yang siap dibagi-bagi.
Sayangnya, ketika sidang menentukan akan seperti apakah sampul edisi 4-10 Februari, Tempo telah khilaf pada aspek utile (perlu). Pertimbangan pasar agaknya lebih dikedepankan. Hal ini terbukti dari pernyataan mewakili lembaga, bahwa “...Kami minta maaf, namun tidak akan menarik majalah edisi The Last Supper dari peredaran.”
Protes masyarakat atas Tempo yang dituding melanggar etiket.
Sumber: http://cache.daylife.com/imageserve/0eFc8M781o4C1/610x.jpg
4.4 Sense of audience
Terus terang, Tempo memang enak dibaca. Gaya jurnalistiknya yang sastrawi, sering dipakai sebagai contoh di ruang kuliah. Penelitian berusaha netral, karena itu, tidak memihak atau menghakimi salah satu pihak. Sekadar memaparkan persoalan, bahwa dalam kerja jurnalistik ada yang disebut sense of audience, atau nalar khalayak, yang perlu diperhatikan seorang jurnalis. Seorang wartawan boleh pintar dan ini baik. Namun, seorang yang pintar namun tidak bermoral, akan menjadi perusak yang hebat.
Ada apa dengan awak Tempo, sehingga dalam edisi the last supper alpa mempertimbangkan nalar khalayak? Apakah pertimbangannya semata-mata hanya parodi? Barangkali pertimbangannya untuk mendongkrak oplah. Dan sejumlah “barangkali” yang lain. Hanya awak Tempo yang mafhum semua pertimbangan itu!
Pengujung tahun 1970-an, ketika waktu itu Tempo satu-satunya majalah berita mingguan terdepan di negeri ini, para wartawan bidang agama telah mencetuskan “10 Pedoman Penulisan Bidang Agama”.
Pedoman butir 3 “Wartawan menyadari dalam menyajikan tulisan, berita, ulasan dalam bidang agama harus memiliki nalar khalayak (sense of audience) yang tepat, agar mengetahui betul lapisan masyarakat mana yang menjadi sasaran tulisan.” Sedangkan butir 4 menyatakan, “Wartawan menyadari bahwa mempersoalkan masalah yang menyangkut khilafiyah yaitu masalah-masalah yang dapat menimbulkan perbedaan pendapat di bidang agama dapat mengganggu kerukunan intern umat beragama, karena itu harus dijauhi dalam tulisannya.”
Kita tidak tahu persis, apakah awak Tempo yang urun rembuk menentukan sampul The Last Supper sudah lahir tahun 1970-an. Ataukah mereka sama sekali tidak pernah dibekali pengetahuan tentang kesepuluh pedoman itu?
Jika tidak, dan mereka bukan lulusan Fakultas Ilmu Komunikasi yang sudah kuliah “Etika dan filsafat Ilmu Komunikasi” maka kurikulum pelatihan wartawan pemula hendaknya memasukkan etika dan kode etik jurnalistik. Dan khusus wartawan bidang agama, diberikan lebih mendalam mengenai psychographic and demographic proximity yang wajib memerhatikan check ability serta 10 pedoman penulisan bidang agama.
Jika ini dilakukan, niscaya dalam menjalankan kerja jurnalistik, wartawan tidak akan terjerembab melakukan kesalahan fatal yang menyangkut agama. Wartawan akan terasah dan senantiasa bekerja dibimbing sense of audience!
Lukisan The Last Supper termasuk visual art. Visual art didefinisikan sebagai, “Aransemen dari warna, bentuk, atau elemen dalam suatu sikap yang mengafeksi rasa akan keindahan, khususnya hasil karya yang indah dalam bentuk grafis atau medium plastik”. Ciri-ciri seni sudah dideskripsikan Wollheim sebagai “Satu dari persoalan tradisional tereksklusif (sulit untuk ditangkap) dari kebudayaan manusia”. Sering seni didefinisikan pula sebagai “kendaraan” untuk mengekspresikan dan mengomunikasikan emosi dan ide sebagai mimesis atau representasi. Leo Tolstoy mengidentifikasikan seni sebagai “Penggunaan makna tidak langsung untuk mengomunikasikan sesuatu dari seorang ke orang lain. Sementara Benedetto Croce dan R.G. Collingwood selangkah melebihi pandangan kaum idealis yang memandang bahwa seni adalah ekspresi dari emosi; oleh karena itu, hakiki karya seni sesungguhnya terletak pada pemikiran si penciptanya (the work of art therefore essentially exists in the mind of the creator).
Jika The Last Supper sebagai the work of art dan mencerminkan the mind Leonardo da Vinci, apa yang sebenarnya ada dalam pikiran Da Vinci ketika mencipta lukisan itu? Tentu saja, seorang pelukis tidak hidup dalam sebuah ruang hampa. Persepsi, setting (tempat dan waktu) turut menentukan hasil karya seni tersebut. Ada objek yang dilukis (perjamuan kudus), namun objek itu adalah hasil permenungan dan pemikiran sang pelukuis. Artinya, lukisan Da Vinci bukan potret jurnalistik yang menangkap suatu peristiwa dan menyajikan peristiwa itu kepada khalayak.
Apabila dicermati, lukisan Da Vinci sarat dengan muatan simbolik. Terdapat 12 rasul yang pemikiran (angka) ini mengacu ke 12 anak Yakub dan 12 suku Israel, kemudian 12 bulan dalam siklus tahunan. Ke-12 suku itu mengitari tabernakel terbagi dalam empat kelompok, masing-masing tiga, searah empat mata angin (selengkapnya lihat http://www.jewishvirtuallibrary.org/jsource/Judaism/tribes.html). Jika diperhatikan, lukisan Da Vinci tidak terlepas dari mind set ini, cermatilah bahwa ke-12 murid dalam perjamuan terakhir terbagi dalam empat grup.
Da Vinci hidup pada abad pertengahan, sedangkan peristiwa perjamuan terakhir berlangsung pada sekitar separuh dari abad pertama. Sangat kental sekali nuansa dan alam pemikiran abad pertengahan dalam karya The Last Supper. Suasana dan alam kehidupan Yesus dan murid-Nya waktu perjamuan terakhir berlangsung, apakah konteks kehidupan sosial masyarakat waktu itu ada kebiasaan makan bersama di meja makan? Bukankah makan di meja makan khas Eropa abad pertengahan? Lagi pula, di atas meja, tidak tampak piala (cawan). Sampai di sini kita mau tidak mau harus mengamanini adagium bahwa the work of art therefore essentially exists in the mind of the creator.
Persoalannya kemudian ialah, apakah seni dapat dijadikan alasan modifikasi mahakarya lukisan The Last Supper? Dapatkah lukisan Leonardo da Vinci, berdiri sendiri, semata-mata dilihat dan dianggap benda profan? Di sini kita tidak dapat lepas dari karya seni sebagai karya seni, oleh karena sebuah karya seni tidak berada di ruang hampa dan tanpa makna; sebagaimana ditegaskan Wollheim bahwa karya seni selalu terhubung dengan objeknya (Richard Wollheim, Art and its objects, 1980).
Di sini tidak bisa dipisahkan antara isi (objek lukisan/pesan) dan media (lukisan, cat, dan kanvas). Memang lukisan adalah karya tangan manusia, namun ia adalah simbol kesakralan bagi umat Kristen. Objeknya yang sakral, lalu disandingkan dengan ihwal yang profan. Di sinilah sentimentalitas keagamaan itu muncul!
Dan di situ pula parodi itu terjadi, seperti diakui Tempo, dan mereka menganggapnya tidak apa-apa. Padahal, mustahil antara lukisan sebagai karya seni berdiri sendiri, lepas dari objeknya. Kedalaman makna karya Da Vinci inilah yang mungkin tidak dipahami orang bukan Kristen, sehingga jadi heran, “Gitu aja kok tersinggung!”
Padahal, bagi orang Kristen, jamuan makan malam terakhir sangat dalam maknanya. Seperti diperingati dan diperagakan pada tiap malam Kamis Putih dalam upacara pembasuhan kaki, pesan penting The Last Supper adalah supaya tiap orang saling melayani. “Yang besar di antara kamu ialah dia yang menjadi pelayan”, demikian pesan terakhir Yesus, sebelum Ia pergi.
Bagi orang Kristen, sungguh dalam hikmah di balik pesan terakhir itu! Pelayan adalah orang besar. Akal manusia tidak dapat menyelaminya dengan mudah. Tapi jika diselisik, benar kata-kata itu. Ambil contoh dalam dunia olah raga dan bisnis. Bukankah orang yang paling banyak melayani, dialah yang menang? Bulutangkis misalnya, pemain yang banyak melakukan servis (melayani), dia menang. Demikian pula dalam bisnis. Yang dapat melayani pelanggan hingga puas, dia akan menerima imbalannya.
Kini, banyak pesan terakhir pada The Last Supper itu diadaptasi di dunia bisnis dan kepemimpinan. Beredar banyak buku tentang pemimpin yang melayani atau perusahaan yang melayani (pelanggan). Itulah sebabnya, pesan terakhir Yesus pada para murid lalu dianggap wasiat oleh orang Kristen. Dan lazimnya setiap wasiat, ia akan terus terngiang. Karenanya, dianggap keramat. Dan hanya patut diucap dan dibicarakan penuh khidmat, sambil merunduk hormat.
Oleh karena itu, melihat sampul Tempo, kita jadi mengerti, mengapa hati sebagian orang jadi miris. Masak iya, Yesus disamakan dengan Soeharto? Emangnya, Junjungan kami hanya didudukkan sama rendah dengan manusia biasa? Inilah yang menusuk hati sebagian orang Kristen, sehingga mereka melakukan dialog dan menanyakan duduk perkaranya ke Tempo.
Itu pulalah yang mendorong segelintir orang Kristen (bukan hierarki Gereja) yakni perwakilan dari Forum Alumni Perhimpunan Mahasiswa Katolik RI, Forum Masyarakat Katolik Indonesia, Solidaritas Masyarakat Katolik RI, Perhimpunan Mahasiswa Katolik, Pemuda Katolik, Tim Pembela Kebebasan Beragama, dan Wanita Katolik RI datang ke kantor, dan berdialog dengan Tempo. Mereka menanyakan, dan ingin mendapat klarifikasi, mengapa Tempo berbuat demikian?
Dalam dialog, pimpinan Tempo meminta maaf dan mengatakan, pemuatan gambar The Last Supper tidak hendak menyinggung siapa pun. Maksud memang tidak menyinggung, tapi faktanya, ada yang tersinggung. Di sini kita masuk pada debat filsafat etika, maksud yang baik harus ditunjukkan dengan cara-cara dan hasil yang baik pula.
Senada dengan ini, misalnya, bisakah kita mengatakan waktu hendak mencemplungkan orang ke dasar laut, “Maksud saya kamu tidak mati, hanya bercanda biar Anda bermain-main dengan ombak!” Nyatanya, orang yang dicemplungkan tersebut merasa takut dan sakit, dan perlahan-lahan, hingga akhirnya, mati lemas.
BAB V
SIMPULAN/SARAN
Setelah edisi The Last Supper terbit, cukupkah Tempo hanya meminta maaf? Selama hampir dua jam, perwakilan umat Katolik yang mendatangi kantor Tempo, berdialog dengan jajaran pimpinannya. Dari Tempo, hadir Pemimpin Redaksi Toriq Hadad, Redaktur Eksekutif Wahyu Muryadi, Redaktur Senior Fikri Jufri, dan awak redaksi lainnya. Kedua pihak, yang merugikan dan merasa dirugikan, berdialog.
Yang menarik, “Kami hanya mengambil inspirasi dari sebuah gambar yang dilukis Leonardo da Vinci.... Perbedaan tafsir ini kami hormati dan saya sebagai pemimpin Majalah Tempo mohon maaf apabila gambar ini dianggap menistakan umat Kristiani,” ujar Toriq Hadad. Agaknya, Tempo tahu betul “kelemahan” orang Kristen dan cerdik memanfaatkannya. No violent, bahkan memaafkan.
Tapi bagaimanapun, ini preseden! Jika nanti ada media yang berbuat hal yang sama, cukuplah seperti yang Tempo lakukan. Minta maaf dan persoalan selesai. Tinggal mengatakan, “Kita beda tafsir!”
Dua kubu terbelah atas ”perbuatan” Tempo. Kubu yang pertama, menolak dan mengecam dengan keras. Kubu yang lain, dapat memahami. Umumnya, kubu ini diwakili kaum intelektual, agamawan yang mapan, dan mereka yang sudah matang dari segi perkembangan rohani. Prof. Magnis Suseno bahkan menulis di kolom surat pembaca majalah Hidup, agar umat Kristen jangan terpancing dan murka. Sementara Pendeta Daniel Taruli Asi Harahap (www.rumametmet.com, 6 Februari 2008) mencatat demikian,
Sebagian orang Kristen, terutama dari kalangan Katolik dan ortodoks memperlakukan lukisan tokoh-tokoh Alkitab dan bapa-bapa gereja tidak sekadar lukisan atau dekorasi, tetapi bagian dari perlengkapan ibadah, bahkan ikon, benda suci, Kitab Suci dalam rupa atau gambar. Di sinilah masalahnya. Tempo tentu bisa dianggap tidak sensitif terhadap keyakinan pemeluk agama Kristen khususnya Katolik yang meninggikan lukisan-lukisan agama itu.
Namun, bukan hanya umat Katolik yang merasa terusik. Lukisan Da Vinci telah lama merasuk ke dalam kehidupan umat Kristen secara keseluruhan. Lukisan itu begitu banyak dipasang di ruang tamu Kristen (bukan hanya Katolik) dan menjadi simbol kekristenan yang paling populer sesudah salib. Apalagi lukisan itu merujuk kepada sakramen perjamuan kudus yang diamanatkan oleh Yesus. Pertanyaan di sini: mengapa Tempo menggunakan simbol keagamaan yang sangat penting ini untuk pemberitaannya tentang Soeharto setelah dia (Soeharto) pergi?
Namun jangan gusar. Bukan Tempo yang pertama kali mengutak-atik lukisan The Last Supper. Kalau tidak percaya: googling saja atau lacak saja di internet. Dengan mudah kita bertemu lukisan atau karikatur yang mengambil Last Supper sebagai inspirasinya. Sebagian inspiring dan sebagian lagi konyol.
Sementara itu, Partai Damai Sejahtera (PDS) meminta semua pihak agar selalu berhati-hati dalam menampilkan masalah sensitif terutama menyangkut nilai sakral agama. Wakil Ketua Umum PDS, Denny Tewu, mengatakan, jajaran DPP PDS malah menggelar rapat khusus membahas cover Tempo tersebut.
Dari reaksi yang berbeda di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa penilaian estetik terjadi melalui apa yang disebut perbedaan sensori (sensory discrimination). Itu sebabnya, filsuf-moralis David Hume menyatakan bahwa kehalusan rasa tidak hanya terkait dengan “Kemampuan untuk mendeteksi semua bahan dalam suatu komposisi”, tetapi juga bertautan dengan “Turut merasakan (David Hume, “Of the Standard of Taste”. In David Hume: Essays Moral Political and Literary. Indianapolis, Literary Classics 5, 1987).
Tempo memang meminta maaf atas perbuatannya. Meski permintaan maaf tidak selalu dapat menyelesaikan persoalan, toh menurut Leo Batubara, Wakil Ketua Dewan Pers, hal itu sudah lebih dari cukup. “Itu nilai tukar yang mahal”, katanya pada diskusi 19 Maret 2008 di Hotel Sofyan, Jakarta.
Model framing sebagai teori media efek agaknya perlu dipakai untuk mengetahui motivasi awak Tempo. Mustahil awak Tempo tidak mafhum makna lukisan Da Vinci bagi orang Kristen.
Persoalannya, siapa yang tahu persis motivasi dan tujuan modifikasi karya Da Vinci oleh Tempo? Apakah tujuannya sekadar kiat untuk mendongkrak oplah, ataukah ada motif lain? Di sini kejujuran memainkan peranan penting dalam penilaian.
Daftar Pustaka
Aditjondro, George Junus. 1998. Harta Jarahan Harto .Jakarta. Pustaka Demokrasi.
Richard Wollheim. 1980. Art and its objects. Cambridge: Cambridge University Press.
Putra, Masri Sareb. “Setelah ‘Tempo’ Terbit” dalam Suara Pembaruan, 15 Februari 2008.
Tempo edisi 4-10 Februari 2008.
The American Heritage Dictionary: Fourth Edition. Retrieved on January 18, 2007.
Levinson, Jerrold. 2003. The Oxford Handbook of Aesthetics. Oxford: Oxford university Press.
Online:
http://hherawati.wordpress.com/2008/02/05/the-last-supper/
http://www.ccsr.ac.uk/methods/publications/frameanalysis/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar