Rabu, 08 Desember 2010

Teori Rumor: Di Balik Amandemen Pasal 7 UUD 1945 mengenai Masa Jabatan Presiden RI.

RINGKASAN EKSEKUTIF




Dalam kehidupan sehari-hari, dikenal level-level komunikasi. Umumnya level komunikasi dibagi dua: 1) low context dan 2) high context.
Pada level low context, pesan atau isi komunikasi dapat dengan mudah dimengerti sebab disampaikan lewat kata dan kalimat yang jelas dan lugas. Sebaliknya, pada high context, pesan atau isi komunikasi sukar dimengerti karena disampaikan secara simbolik dan tidak langsung.
Rumor adalah salah satu bentuk komunikasi, dalam hal ini komunikasi yang berada pada aras high context. Dalam penelitian ini, rumor adalah salah satu strategi dalam komunikasi politik yang dipakai Partai Demokrat lewat corong Ruhut Sitompul untuk mengomunikasikan sesuatu dengan melempar isu amandemen Pasal 7 UUD 1945 mengenai masa jabatan presiden RI.
Beredar setidaknya lima rumor setelah isu tersebut dilempar ke publik. Manakah yang paling mendekati kebenaran? Penelitian ini menjelaskannya dengan menggunakan pisau analisis teori rumor.

PRAKATA



Rumor berusia setua umur umat manusia. Boleh dikatakan bahwa rumor sudah menjadi keniscayaan dalam kehidupan bersama. Apa pun isu dapat berkembang menjadi rumor, menyusul berbagai spekulasi dan penasfiran tentangnya. Itu sebabnya, rumor disebut sebagai ubiquitous: ada di mana-mana dan keberadaannya secara serentak.
Meski tidak dapat dipisahkan dari kehidupan umat manusia, rumor secara akademik-ilmiah baru diteliti para pakar pada pengujung abad ke-18. Gordon William Allport, murid William Stern pada 1947 baru mencelikkan banyak orang bahwa rumor bukanlah sesuatu yang sepele karena rumor ternyata sebuah bentuk komunikasi, dalam hal ini komunikasi tingkat tinggi (high context communication).
Tertarik untuk mengetahui tujuan, motivasi, transmisi, serta effek rumor mengenai isu perpanjangan masa jabatan presiden dan amandemen Pasal 7 UUD 1945, saya melakukan penelitian ini.
Dalam proses penelitian hingga dipublikasikannya hasil penelitian ini, banyak pihak turut membantu dan memfasilitasi proses penelitian itu. Untuk itu, kami mengucapkan terima kasih kepada Prof. Yohanes Surya, Ph.D., J. Prajitno, M.S.c., Dr. Ir. Sugiarto, Dr. P.M. Winarno, Andrey Andoko, M.Sc., Bertha Sri Eko, M.Si., dan rekan-rekan dosen UMN. Secara khusus, terima kasih disampaikan kepada Prof. Tjipta Lesmana, Ph.D. karena dari beliau peneliti mendapatkan pengetahuan dan kemampuan menganalisis seputar rumor politik.
Semoga laporan hasil penelitian ini memberikan inspirasi dan semakin menggugah nurani kita sebagai sivitas akademika untuk memberikan sumbangsih yang nyata bagi masyarakat.
Jakarta, 2 September 2010
Peneliti


BAB I
PENDAHULUAN:
KOMUNIKASI DAN KOMUNIKASI POLITIK



Sebagaimana diketahui bahwa terdapat lebih dari 100-an teori komunikasi yang bisa saja berbeda satu sama lain karena konsep dan definisinya berangkat dari sudut tertentu, misalnya dari sudut pesan, media, dan sebagainya (Miller, 2005). Akan tetapi, jika diperhatikan dengan saksama bahwa semua teori komunikasi berada dalam naungan satu payung ilmu, yakni ilmu komunikasi (Griffin, 2006). Pertanyaannya: apakah yang dimaksudkan dengan “komunikasi”?

1.1 Komunikasi
Sesungguhnya, terdapat banyak definisi komunikasi. Ada definisi yang abstrak dan ada yang sangat spesifik. Miller (2005: 4-5) mencatat setidaknya terdapat 15 definisi komunikasi yang apabila disarikan intinya sama seperti apa yang dikemukakan oleh Harold H. Lasswell (1927) yang sudah menjadi keniscayaan.
Menurut Lasswell, komunikasi ialah:
Who (says) What (to) Whom (in) What Channel (with) What Effect.

Dengan kata lain, komunikasi ialah proses penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain dengan menggunakan channel atau media tertentu kepada orang lain dengan maksud tertentu dan efek tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat Gerbner (1966) dalam Miller (2005: 4) yang mendefinisikan komunikasi sebagai “Communication is social interaction through symbols and message systems”.
Tjipta Lesmana (2010) menyebutkan terdapat lima syarat dalam komunikasi yakni:
1) Harus ada komunikator (orang yang menyampaikan pesan)
2) Harus ada komunikan (orang yang menerima pesan komunikator).
Kadangkala sukar untuk memisahkan atau melihat, manakah yang lebih dulu memulai dalam komunikasi. Komunikator dan komunikan tidak begitu jelas, sehingga untuk menggampangkannya disebut sebagai interekten.
3) Message (pesan).
4) Channel (media) sebagai kendaraan, antara lain dalam bentuk mulut, bunga, wayang. Pada hakikatnya, semua yang kita pakai adalah channel (warna lingerie tertentu (hitam), misalnya punya simbol tertentu.
5) Komunikasi punya objective atau tujuan tertentu.

Untuk menyampaikan pesan kepada komunikan atau kepada sasaran, banyak cara dan banyak media dapat dipilih. Setiap media mempunyai keunggulan dan keterbatasannya. Cara menyampaikan pesan pun dapat bermacam-macam, mulai dari cara yang langsung dan tidak menuntut banyak pemaknaan atau penafsiran (hight context ) sampai pada cara yang tidak langsung (low context ). Bahkan, cara menyampaikan pesan dapat melalui rumor. Karena itu, rumor perlu dipelajari, direkonstruksi, dan dicari maknanya yang terdalam. Sebab, dengan mempelajari rumor, akan diketahui motivasi rumor, tujuan, asal usul, transmisi, hingga efeknya. Dengan kata lain, rumor dapat disebut sebagai bentuk komunikasi yang berada dalam tataran hight context.
Dalam dunia politik, rumor merupakan hal yang biasa terjadi. Rumor bahkan dalam dunia politik menjadi salah satu taktik entah untuk menjatuhkan lawan, mengetes situasi kondisi (test the water) untuk mengetahui reaksi lawan, entah untuk memancing bagaimana opini publik. Sedemikian ampuhnya rumor sehingga dapat menjadi sarana komunikasi politik untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu baik pesan kepada kepada lawan politik maupun pesan kepada publik yang lebih luas.

1.2 Komunikasi Politik
Di depan sudah dijelaskan definisi “komunikasi”. Sebelum masuk ke dalam pengertian “komunikasi politik”, baiklah dikemukakan lebih dahulu apa yang dimaksudkan dengan “politik”. Masih mengacu kepada Lasswell, “poltitik” didefinisikannya sebagai
“Who gets what, when, and how.”

Definisi politik tersebut diafirmasi pakar sekaligus akademisi bidang politik Amir Santoso (2010) yang menyebutkan bahwa para akademisi bidang politik selalu mengacu kepada definisi politik dari Lasswell tersebut. Dalam konteks definisi komunikasi dan politik ini rumor politik berkembang biak, bertransmisi, simpang siur, dan mempunyai efek tertentu. Dengan demikian, rumor dalam ranah politik dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk komunikasi, dalam hal ini komunikasi politik. Apakah yang dimaksudkan dengan “komunikasi politik”. Komunikasi politik ialah bidang kajian komunikasi yang memusatkan perhatian pada politik. Komunikasi sering dipengaruhi oleh keputusan politik dan sebaliknya (Political communication is a field of communications that is concerned with politics. Communication often influences political decisions and vice versa) .
Ke dalam konteks komunikasi politik itulah kita menempatkan rumor di balik isu perpanjangan masa jabatan Presiden Republik Indonesia oleh Ruhut Sitompul, salah satu tokoh kunci Partai Demokrat. Tidak mungkin tidak ada motivasi dan tujuan politik di balik isu tersebut. Pasti ada agenda tertentu di balik isu tersebut. Agenda tersembunyi itu akan dibahas pada bab tersendiri. Pada bagian ini cukuplah dikatakan bahwa rumor merupakan salah satu dari komunikasi politik. Isu di balik perpanjangan masa jabatan presiden yang kemudian menjadi rumor adalah bentuk komunikasi politik, yakni suatu taktik dari Partai Demokrat umtuk mengomunikasikan dan menggolkan agenda politiknya.
Menurut James Chesebro , terdapat lima pendekatan kritis untuk komunikasi politik pada zaman sekarang:
1) Pendekatan Machiavellian yang melihat hubungan kekuasaaan.
2) Pendekatan Ikonik di mana simbol menjadi sangat penting.
3) Pendekatan Ritualistik yang mengedepankan sifat superfisial tindakan politik, manipulasi dari simbol-simbol.
4) Pendekatan Konfirmasi di mana aspek politik dipandang sebagai orang yang kita dukung.
5) Pendekatan Dramatistik di mana politik direkonstruksi secara simbolik (Kenneth Burke).
Rumor di balik perpanjangan masa jabatan Presiden RI yang dihembuskan Ruhut Sitompul dapat dimasukkan ke dalam komunikasi politik. Kita akan melihatnya pada bagian pembahasan apa yang menjadi motivasi, tujuan, bentuk tranmisi, serta efek pesan (komunikasi) dalam ranah politik tersebut.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA




Definisi komunikasi dan politik menurut Lasswell dalam Propaganda Technique in the World War (1927) dan karya Lasswell lainnya bersama Abraham Kaplan Power and Society (1952) cukup penting sebagai dasar pijakan di dalam memahami rumor dalam konteks komunikasi politik.
Rumor cecara lebih spesifik dibahas oleh Gordon Allport dan Joseph Postman dalam karya mereka berjudul Psychology of Rumor (1947). Rumor sebenarnya bukanlah sesuatu yang sama sekali baru. Sejak manusia hidup dan mulai berinteraksi sosial, rumor sebenarnya sudah ada. Bahkan, dalam kehidupan sehari-hari, rumor dapat dikatakan menjadi menu santapan yang disukai setiap orang. Hanya saja, sebagai sebuah objek kajian ilmiah, rumor baru mengemuka ketika Gordon Allport dan Joseph Postman mulai mencurahkan perhatian pada topik tersebut.
Hasil studi Gordon Allport dan Joseph Postman mulai menarik perhatian publik sehingga semakin intens meneliti rumor lebih lanjut. Setelah itu, muncul berbagai studi dengan objek kajian yang sama dengan yang sebelumnya, akan tetapi pendekatan yang digunakan adalah pendekatan psikologi seperti karya Nicholas Difonzo berjudul Rumor Psychology: Social and Organizational Approaches yang diterbitkan American Psychological Association (APA); 1 edition (September 30, 2006).
Di tempat lain, peneliti dan ahli rumor Nicholas DiFonzo dan Prashant Bordia melakukan investigasi bagaimana rumor mulai dan menyebar, akurasi dari berbagai tipe humor, dan bagaimana rumor dapat dikontrol, khususnya bagaimana propagasi humor tersebar melalui saluran media dan melalui organisasi. Tidak pelak lagi bahwa rumor demikian merasuki kehidupan dan struktur sosial dan wilayah organisasi. Rumor menarik perhatian, menggugah emosi, merangsang orang untuk terlibat di dalam isu yang dirumorkan, dan bahkan rumor dapat mempengaruhi perilaku dan tindakan, selain rumor itu sendiri bersifat ubiquitous.
Nicholas DiFonzo dan Prashant Bordia (op.cit.) mencatat bahwa transmisi rumor didorong oleh tiga motivasi psikologis yang berikut ini:
1) motivations--fact-finding (motivasi akan penemuan fakta)
2) relationship-enhancement (peningkatan-hubungan),
3) self-enhancement (peningkatan-diri)
Ketiganya membantu seseorang atau kelompok bersikap di dalam menghadapi ketidakpastian mengenai benar tidaknya rumor tersebut. Rumor terjalin erat dengan sejumlah fenomena sosial dan organisasi, termasuk kognisi sosial, pembentukan sikap dan pemeliharaan, prasangka dan stereotif, dinamika kelompok, hubungan interpersonal dan antargolongan, pengaruh sosial, dan kepercayaan organisasional dan komunikasi. Berbeda dengan rumor bencana alam, rumor organisasi cenderung sangat akurat, dengan akurasi yang terpengaruh oleh kognitif, motivasi, kelompok situasional, dan faktor jaringan. DiFonzo dan Bordia kemudian menjelaskan bagaimana manajer dapat paling efektif mengelola dan menolak rumor dan menyimpulkan bahwa kepercayaan karyawan dalam manajemen menghambat aktivitas rumor.
Taylor Buckner dalam studinya yang kemudian dipublikasikan pada 1965 berjudul “A Theory of Rumor Transmission” yang dimuat dalam The Public Opinion Quarterly Vol. 29, No. 1, Spring 1965, halaman 54-70) lebih lanjut menjelaskan tentang transmisi rumor. Bagaimana asal mula, transmisi, serta motivasi rumor, akan dijelaskan pada bagian pembahasan.

BAB III
METODE PENELITIAN



Para peneliti ilmu sosial Perancis dan Jerman mengembangkan konsep dan definisi rumor berdasarkan karya pemikir Jerman, William Stern (1902). Sebagaimana diketahui bahwa Stern melakukan eksperimen pada rumor yang meliputi "rantai subjek" yang menyampaikan cerita dari "mulut ke telinga" tanpa harus mengulang atau menjelaskannya. Stern menemukan bahwa cerita tersebut dipersingkat sampai pada akhir dari rantai. Salah seorang mahasiswa William Stern yang mengembangkan dan menekuni penelitian mengenai rumor adalah Gordon Allport.
Rumor semakin menjadi perhatian ketika Gordon Allport dan Joseph Postman menerbitkan buku berjudul Psychology of Rumor (1947). Intisari buku tersebut mencatat bahwa rumor “...grows shorter, more concise, more easily grasped and told” (halaman 75).
Di masa lampau, rumor lebih dari banyak dilihat dari pendekatan psikologi. Pada awal abad 21, banyak pakar yang mengembangkan pendekatan rumor dari sisi komunikasi politik, utamanya Jayson Harsin (2006). Yang paling menarik dan, karena itu, cocok dengan dengan konteks penelitian ini, ialah melihat rumor dalam ranah strategi komunikasi politik. Rumor as Political Communication Strategy (2006).
Taylor Buckner lebih spesifik menelisik bagaimana transmisi rumor (rumor chains and nets) dengan melihat bagaimana asal usul rumor, pesannya, penyebarannya, hingga pada bagaimana interaksi antarorang atau dampak rumor yang menerpa khalayak. Menurut Buckner (1965), terdapat dua pola rumor, yakni serial chain (rantai seri) dan multiple interaction network (jaringan interaksi majemuk) .
Rantai seri rumor tampak sebagai berikut:
A -->B--> C-->D -->E -->F
Sumber: Taylor Buckner (1965).

Transmisi rumor dengan pola rantai seri ini, sebagaimana tampak dalam gambar, berjalan linear dari orang pertama ke orang yang berikutnya, dan seterusnya, sampai di ujung. Sangat bisa jadi, seperti penelitian yang dilakukan William Stern, pesan atau isi rumor dari orang pertama sampai orang terakhir sudah lain isi pesannya, terdistorsi, tidak sebagaimana awalnya. Seperti dalam permainan “menyampaikan pesan”, isi pesan akan lain sama sekali sampai pada mata rantai terakhir manakala dalam proses penyampaian pesan itu terjadi gangguan atau noise. Distorsi informasi tidak dapat dihindari manakala di dalam proses transmisi rumor terjadi gangguan-gangguan.
Sementara transmisi rumor dengan pola yang kedua, yakni jaringan interaksi majemuk, lebih kompleks. Sebagaimana tampak dalam gambar bahwa banyak orang yang mendengar rumor yang berasal dari lebih dari satu sumber. Jaringan interaksi majemuk rumor jika digambarkan akan tampak sebagai berikut.

Sumber: Taylor Buckner (1965).

Kedua pola ini ialah konstruksi jenis rumor yang boleh dikatakan ideal. Dalam setiap situasi masyarakat, kedua jenis pola rumor ini akan terjadi. Rumor yang sama dapat mengubah pola dari rantai ke jaringan dan kembali ke rantai lagi. Karakteristik masyarakat melalui rumor yang menyebar menyebabkan kecenderungan struktural terhadap pembentukan rantai baik serial atau jaringan multi-interaksi.
Pada tebel 1 berikut ini tampak bagaimana pola rumor dan orientasi dan efek yang diharapkan pada transmisi rumor.
Pattern Critical Set Uncritical Set Transmission Set
Serial Chain Slight decline in accuracy through memory flaws. Truth/falsity ratio remains high* Slight increase in distortion. Truth/falsity ratio drops at each interaction. Rapid decline in information. Leveling, sharpening, assimilation.
Multiple-interaction network Increasing accuracy as rumor moves through net. Truth/falsity ratio rises rapidly. Great increase of distortion as accurate rumor is lost in false ones. Radical drop in truth/falsity ratio. (Hypothetical). Very slow decline in information. Rumor stays intact.
* Truth/falsity ratio is arrived at by dividing the number of true items by the number of false items in the message. As such it is useful only when there are true or false items in the message, not, that is to say, in past laboratory experiments, where the items are neither true nor false, since they are unrelated to an external reality.
Sumber: H. Taylor Buckner dalam “A Theory of Rumor Transmission” dalam The Public Opinion Quarterly Vol. 29, No. 1, Spring 1965, pp. 54-70)

BAB IV
PEMBAHASAN




Sebelum masuk ke dalam pembahasan mengenai tujuan, asal usul, transimisi, serta efek komunikasi seputar rumor perpanjangan masa jabatan presiden, baiklah kiranya dipaparkan lebih dahulu landasan teori rumor. Landasan teori ini penting sebagai “pisau analisis” untuk membedah rumor dan untuk menjelaskan fenomena di seputar rumor tersebut.

4.1 Alasan memilih teori
Perlu diberikan catatan bahwa peneliti memilih teori rumor yang dipakai dalam penelitian ini karena tiga alasan:
Pertama, teori rumor oleh Gordon Allport dan Joseph Postman (Psychology of Rumor, 1947) ialah studi pertama dan komprehensif mengenai rumor yang menyebutkan dan menjelaskan ciri-ciri rumor. Teori dan temuan mereka dapat digunakan untuk menjelaskan bahwa rumor politik seputar perpanjangan masa jabatan presiden memenuhi karena memenuhi ciri-ciri rumor sebagaimana yang dimaksud.
Kedua, teori Gordon Allport dan Joseph Postman mengenai rumor dapat dipakai untuk menjelaskan fenomena di balik rumor yang berkembang di Indonesia karena teori tersebut bersifat universal dan, karena itu, berlaku di mana-mana.
Ketiga, teori rumor Gordon Allport dan Joseph Postman diteguhkan atau diafirmasi oleh pakar yang lain, seperti Tylor Buckner dan Nicholas DiFonzo dan Prashant Bordia. Anak-anak teori rumor ini mendukung teori utama dan karena itu juga dapat menjelaskan fenomena rumor di Indonesia.
Harsin (2006) secara telak menyebutkan bahwa rumor merupakan salah satu strategi komunikasi politik. Ia memperkenalkan konsep "bom rumor" yang disebutnya sebagai respons terhadap fenomena empiris komunikasi rumoresque luas dalam hubungan kontemporer antara media dan politik, terutama dalam konvergensi yang kompleks berbagai bentuk media, mulai dari telepon seluler dan internet, untuk radio, TV, dan cetak. Oleh karena itu, sebelum menjelaskan mengenai efek dan bom rumor, Harsin lebih dulu mulai dengan definisi rumor sebagai klaim kebenaran yang diragukan dan yang sering tidak memiliki sumber yang jelas, bahkan jika asal-usul ideologis atau partisan dan niat yang jelas. Dia kemudian memperlakukan itu sebagai strategi retorika tertentu dalam konteks saat ini media dan politik dalam banyak masyarakat.
Dalam konteks itu, Harsin memperluas dan kemudiann menunjukkan ciri-ciri rumor dalam hubungannya dengan komunikasi politik yang berikut ini:
1) Krisis verifikasi,
2) Sebuah konteks ketidakpastian publik atau kecemasan tentang kelompok politik, angka, atau menyebabkan, yang bom rumor mengatasi atau transfer ke lawan.
3) Sebuah jelas partisan bahkan jika sumber anonim (mis. "penasihat yang tidak disebutkan namanya untuk presiden"), yang bertujuan untuk keuntungan politis dari difusi bom rumor itu.
4) Sebuah difusi cepat melalui elektronik dimediasi masyarakat sangat maju di mana berita perjalanan cepat.

Harsin menempatkan "bom rumor" dalam genre komunikasi lainnya, seperti disinformasi (informasi palsu yang disengaja) dan propaganda, sebagai rumor yang telah dilihat oleh orang lain. Namun, ia juga membedakannya dari konsep-konsep ini juga, karena disinformasi sering terlalu dikaitkan dengan pemerintah, dan propaganda merupakan konsep yang bervariasi secara luas digunakan untuk menggambarkan upaya untuk mengontrol pendapat tanpa memperhatikan etika dan akurasi laporan. Demikian pula, "spin" adalah istilah umum untuk komunikasi politik strategis yang mencoba untuk bingkai atau frame kembali suatu peristiwa atau pernyataan dengan cara yang secara politis menguntungkan satu sisi dan merugikan yang lain, meskipun pada intinya mungkin hanya menjadi herring merah (Bennett 2003, hal 130). Selain itu, sebuah "kampanye kotor" adalah istilah yang longgar berarti upaya yang terkoordinasi untuk menyerang karakter seseorang. Tidak seperti "kampanye kotor," bom rumor tidak perlu tentang mendiskreditkan seseorang (seperti kasus misalnya di klaim tentang Irak dan 9 / 11 atau senjata pemusnah massal pindah ke Syria). Spin merujuk terlalu khusus untuk sebuah acara dan kembali nya-framing. bom Rumor mungkin berusaha untuk memproduksi acara sendiri.
Sebuah bom rumor dapat dilihat sebagai memiliki beberapa karakteristik dari konsep-konsep umum, tapi bom rumor terjadi dalam kondisi budaya dan sejarah yang sangat khusus. Mereka tidak rumor interpersonal tentang mulut ke telinga sebagai rumor penelitian telah banyak tertarik Mereka mulai dalam hubungan antara sengaja "disinformers" dan media, apakah berita TV, talk show, koran, radio, atau internet. Mereka kemudian beredar di media ini, mungkin namun belum tentu menghasilkan difusi rumor mulut ke telinga interpersonal. Harsin ingin membedakan bom rumor dari konsep yang lebih umum lainnya rumor dengan menekankan perubahan dalam politik, teknologi media, dan budaya. Menurut Harsin, rumor dalam politik selalu ada, tapi perubahan baru-baru ini telah menciptakan lingkungan yang matang untuk jenis baru desas-desus politik: sebuah media baru "budaya konvergensi" di mana informasi yang dihasilkan di internet dapat mempengaruhi produksi konten media dalam bentuk lain ;. teknologi media baru dan nilai-nilai bisnis yang menekankan kecepatan dan sirkulasi yang menggabungkan dengan nilai-nilai hiburan dalam berita, pemasaran politik, dan keinginan publik berita tabloid bahwa cermin genre hiburan lainny

4.2 Definisi rumor
Apakah yang dimaksudkan dengan “rumor”?
Berikut ini beberapa definisi rumor :
1) “gunjingan” (Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 968)
2) “A flying or popular report; the common talk; hence, publicfame; notoriety”.[1913 Webster]
3) “A current story passing from one person to another,without any known authority for its truth; -- in this sense often personified.” [1913 Webster]


Tidak berbeda dengan definisi leksikal di atas, Tjipta Lesmana (2010) mendefinisikan rumor sebagai berikut.

Rumor ialah informasi tentang suatu masalah penting terkait dengan kepentingan umum (public interest) yang masih kontroversial dan sumbernya tidak jelas atau tidak berdasar pada fakta sama sekali.

4.3 Landasan teori rumor
Teori-teori dan pendapat-pendapat mengenai rumor jika dicermati dengan saksama berangkat dari kerangka teori yang dibangun oleh Gordon Willard Allport (November 11, 1897 – October 9, 1967) mengenai rumor.
Dalam kehidupan sehari-hari, kerap muncul berbagai topik yang menjadi buah perbincangan di masyarakat yang tujuan, asal usul, dan ciri-cirinya serupa dengan rumor, namun sebenarnya apabila dikaji sangatlah berbeda. Berbicara menegenai rumor maka terdapat tiga hal yang perlu dibedakan:
1) Gossip
2) Issues/ isu
3) Desas-desus (Sas-sus)

Dalam kehidupan sehari-hari, dalam bidang apa pun juga (misalnya di kantor, di univesitas, di rumah) dan dunia politik, rumor selalu ada dan hangat. Terutama di dunia politik, rumor sudah seperti menjadi santapan sehari-hari. Misalnya, rumor mengenai resuffle kabinet, SBY yang terbelenggu oleh partai politik mitra koalisi. Dalam bisnis pun, rumor menyeruak seperti rumor mengenai peperangan bisnsis antara Hypermart dan Carrefour. Di perusahaan juga demikian, rumor mengemuka sebagai sebuah fenomena publik seperti soal kenaikan gaji.
Sedemikian pentingnya, sehingga kita perlu mempelajari rumor sebab rumor ternyata penting dalam kehidupan. Ilmu apa pun harus dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu haruslah dapat dimanfaatkan. Ilmu dan teori-teori yang dipelajari dimanfaatkan secara positif, bukan negatif. Invensi ilmu mengenai senjuata nuklir misalnya, baik, namun haruslah dimanfaatkan secara positif.
Dalam konteks itu maka rumor haruslah dipahami dengan meletakkannya dalam sebuah kerangka teoretis. Rumor paling banyak digunakan dalam dunia politik dan dunia bisnis. Sebab pada hakikatnya bisnis itu perang, sama keras dan kotornya dengan dunia politik. Filsuf Cina kuna, Sun Tsu mengatakan bahwa bisnis itu adalah perang.
Jadi, rumor selalu menyangkut kepentingan atau interest umum. Dalam rumor, terdapat isu tertentu dan harus mengandung unsur-unsur yang berikut ini:

1) Public interest
Rumor 2) Kontroversial (sumber tidak jelas, tidak pasti)
3) Sumber tidak jelas, tidak pasti
4) Masalahnya harus penting

Itulah anasir-anasir rumor. Dari keempat anasir tersebut maka kontroversial adalah yang paling penting. Mengapa? Karena kontroversial dapat menimbulkan pro dan kontra. Misalnya, rumor mengenai perpanjangan masa jabatan presiden lebih dari dua periode, bergulir demikian jauh, semakin jauh maka rumornya berkembang semakin remang-remang.
Dalam kasus perpanjangan masa jabatan presiden lebih dari dua periode misalnya, jelas bahwa rumor yang beredar memenuhi unsur-unsur di atas. Rumor tersebut menarik bagi publik sehingga dibicarakan di mana-mana. Bukan hanya politisi dan lawan politik Partai Demokrat yang membicarakannya, juga kalangan akademisi, praktisi dan ahli hukum, menimbulkan pro dan kontra.
Mengapa demikian? Sebab jika itu merupakan news maka fakta selalu berdasar pada fakta, rumor tidaklah faktual. Di Inggris, ada koran The Sun. Koran ini mengekspos soal rumor dan gosip. Namun, kadang juga rumor dan gosip yang diberitakan bergulir. Ketika dibantah maka lama kelamaan kebenaran rumor atau gosip menjadi jelas atau menjadi semakin tidak jelas sama sekali. Jadi, rumor dan gosip dapat dilihat sebagai test the water.
Semakin penting dan semakin kontroversial sebuah rumor maka semakin luas rumor tersebut beredar. Dengan demikian,
- Semakin tinggi ketidakjelasan (ambiguitas) rumor maka semakin meluas rumor beredar.
- Sebaliknya, semakin tinggi tingkat kejelasan (clarity) suatu rumor maka semakin peredaran rumor itu berkurang.
Itu sebabnya, setiap kali ada masalah penting yang tidak jelas (ambigu) akan selalu disertai dengan munculnya rumor.
Menurut Lenin, jika rumor/opini tertentu yang beredar di masyarakat tidak dibantah atau ditanggapi maka opini tersebut akan menjadi fakta atau dianggap benar oleh masyarakat. Masyarakat akan mempersepsikan rumor yang beredar itu sebagai benar.
Karena itu, rumor harus secepatnya ditanggapi dan diselesaikan. Rumor hanya bisa dibantai atau dipatahkan dengan satu senjata: FAKTA. Orang yang dirumorkan harus bisa menyajikan bukti-bukti terhadap apa yang dirumorkan. Mengapa? Sebab semakin rumor tidak bisa dibantah maka semakin ramai rumor itu beredar. Namun, bantahan tidak akan ada efeknya manakala tidak disertai dengan bukti-bukti.
Tentang asal usul atau motifnya, rumor dapat digunakan untuk:
1) Menghantam orang lain
2) Test the water (Orde Baru kerap menggunakannya!)
Jadi, rumor dapat muncul dengan sendirinya, sering bukan merupakan hasil rekayasa asalkan ada isu yang: penting, kontroversial, dan tidak jelas. Akan tetapi, ada juga sebagian rumor merupakan hasil rekayasa. Milsanya, di kantor, rumor mengenai kenaikan gaji. Karyawan lama tidak naik gaji, membuat rumor, membuat strategi, timbul kasak kusuk, sehingga manajemen yang membaca situasi akan menjadi bahaya jika rumor ini tidak ditanggapi, sehingga pada akhirnya menaikkan gaji. Ini contoh rumor yang direkayasa. Jadi, ada proses terjadinya rumor.
Pada akhirnya, apa perbedaan antara rumor dan gossip? Sama-sama informasi yang kontroversial dan belum tentu benar. Namun, perbedaannya dapat dilihat sebagai berikut:
Rumor: isunya menyangkut public interest, agak serius.
Gossip: isunya menyangkut orang per orang, sering menyangkut selebritas.

4.4 Rumor perpanjangan masa jabatan presiden lebih dari dua periode
Tidak ada angin, tidak ada guntur, tiba-tiba saja kita dikejutkan soal isu perpanjangan masa jabatan Presiden Republik Indonesia. Isu perpanjangan masa jabatan presiden RI lebih dari dua periode ini datang dari Ruhut Sitompul , salah satu politikus Partai Demokrat yang Ketua Dewan Pembinanya adalah Presiden Presiden Republik Indonesia sendiri, Susilo Bambang Yudhoyono. Ruhut melemparkan isu agar masa jabatan presiden dapat diperpanjang bukan hanya hanya 2 x 5 tahun sebagaimana yang diundangkan, melainkan bisa lebih dari itu.
Menyusul isu yang dilemparkan Ruhut mengenai perpanjangan masa jabatan Presiden RI lebih dari dua periode ini, beredar rumor yang berikut ini.
1) Ruhut sendiri yang mewacanakan perpanjangan masa jabatan presiden lebih dari dua periode.
2) Jangan-jangan Ruhut melempar isu karena “disuruh” oleh Presiden SBY.
3) Perpanjangan masa jabatan presiden lebih dari dua periode adalah kehendak partai.
Ada apa di balik rumor ini? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, baiklah kiranya jika dipaparkan lebih dahulu apa yang dimaksudkan dengan rumor. Paparan mengenai asal usul, jenis, tujuan, transmisi, serta efek humor akan dijadikan pisau analisis untuk menjelaskan fenomena di balik rumor yang beredar begitu Ruhut Sitompul mewacanakan perpanjangan masa jabatan Presiden RI lebih dari dua periode.
Menurut Wakil Ketua MPR Hajrianto Y. Thohari, perubahan masa jabatan presiden dan wakil presiden sangat terbuka lebar. Menurut Thohari, perubahan periodesasi masa jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode bisa terjadi jika mayoritas anggota MPR menginginkan untuk mengamandemen undang-undang yang sudah ada (Rakyat Merdeka, 14 Agustus 2010).
Tidak pelak lagi, di mata para lawan politik dan kaum yang kritis, apa yang dilontarkan Ruhut tidak lain tidak bukan adalah test the water untuk melihat reaksi publik. Ruhut memamg mengaku bahwa usulannya murni bersifat pribadi. Namun, mengingat posisinya di Partai Demokrat sangat strategis, yakni sebagai Ketua Departemen Komunikasi dan Informatika dalam struktur Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat (PD) yang baru hasil Munas Bandung, mustahil Ruhut melempar isu demikian tanpa “udang di balik batu”-nya.
Menurut Syamsuddin Haris (2010), posisi Ruhut yang strategis dalam struktur DPP PD tersebut secara otomatis akan menempatkannya sebagai ”juru bicara” partai sehingga pernyataan publik yang dilontarkannya tentu tidak bisa dipandang berdiri sendiri. Dengan demikian, mustahil Ruhut berbicara atas nama pribadi sebab nalar publik akan langsung menghubungkannya dengan agenda tertentu yang diusung oleh partai.
Dalam kapasitasnya sebagai salah seorang pimpinan dalam struktur DPP Partai Demokrat, usulan kontroversial Ruhut Sitompul sangat mungkin telah diketahui oleh unsur pimpinan partai lainnya, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selaku Ketua Dewan Pembina.
Tjipta Lesmana (2007) menegaskan bahwa rumor dalam dunia politik memainkan peranan yang sangat penting. Ditegaskan bahwa substansi rumor dalam khazanah politik lebih serius . Dalam politik, rumor kerap dipakai untuk mengantam lawan. Atau jika tidak, untuk mengetes apakah lawan atau publik setuju dengan agenda tertentu. Misalnya, Senator John Tower tercatat pernah nyaris terpilih sebagai Menteri Pertahanan Amerika. Pada saat prakualifikasi, ia diakui piawai sebab lama menjadi anggota sebuah Komite di Senat yang menangani masalah militer dan pertahanan. Akan tetapi, menjelang dengar pendapat dengan Senat, beredar rumor bahwa Tower semasa muda termasuk tipe womanizing, di samping suka minum. Ia kemudian dicecer oleh Senat. Sebelum Senat mengambil keputusan, tiba-tiba muncul seorang perempuan yang mengaku pernah dilecehkan (secara seksual) ketika berada di dalam lift berdua dengan Tower.
Apa motivasi diciptakan dan digulirkannya rumor? Selain untuk mengetes situasi dan untuk menjaring opini publik serta untuk mendapatkan informasi, rumor juga bertujuan untuk memperjelas fragmentasi informasi. Namun, rumor terutama berfungsi untuk mengorganisir anggota kelompok atau organisasi, termasuk orang luar, dalam sebuah koalisi (Lesmana, op.cit).

4.5 Analisis di balik rumor perpanjangan masa jabatan presiden
Tingkat ambiguitas dan kontroversialnya rumor ini pun sangat tinggi. Oleh karena itu, beredar banyak versi, dan publik jadi bertanya-tanya: manakah yang paling benar?
Sebagai contoh betapa ambigu dan kontroversialnya rumor ini, pada berita Metrotvnews.com Ruhut mengklaim, “SBY tidak menolak.” Ditegaskannya bahwa sejauh ini belum ada tokoh sebanding dengan SBY. Buktinya, selama 10 tahun reformasi lima tahun di antaranya Indonesia memiliki tiga presiden dalam periode pendek. Presiden Habibie menjabat tak sampai setahun, sedangkan Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri masing-masing sekitar dua tahun. Menurut Ruhut, SBY yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu, kata Ruhut, tidak mau intervensi, tapi maunya mengalir. "SBY itu pemimpin yang diberikan dan dirahmati Allah," paparnya Ruhut.
Sementara itu, rumor yang sama ditanggapi sebaliknya oleh SBY sendiri. Pada berita tvOne disebutkan bahwa SBY menolak masa jabatan presiden diperpanjang. Apakah “penolakan” ini hanya basa basi dari seorang SBY? Bisa jadi demikian, sebab salah satu tujuan rumor memang untuk melakukan test the water. Setelah melakukan tes dan diketetahui bahwa hasilnya sebagian besar publik tidak menghendaki SBY maju lagi pada pilpres yang berikutnya, SBY menyatakan menampik isu amandeman Pasal 5 UUD 1945 mengenai periodeisasi masa jabatan presiden RI.
Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa meski menuai kritik dan penolakan, secara prosedural amendemen UUD 1945 terkait masa jabatan presiden tetap bisa dilakukan. “Prosedurnya terserah MPR saja, karena kalaupun harus menolak gagasan itu, juga akan kembali pada sikap MPR,” ujar Mahfud.
Yang paling keras menanggapi isu yang dilempar Ruhut adalah Hakim Saifuddin. Kepada wartawan Sinar Harapan “Itu artinya berpikir flash back dan merusak tatanan demokrasi yang sebetulnya sudah mulai terbangun,” kata Wakil Ketua Majelis Permu-syaratan Rakyat (MPR) Lukman Hakim Saifuddin.
Sama kerasnya dengan Lukman Hakim Saifuddin adalah Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon dan Irman Gusman Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Menurut Irman Gusman pernyataan Ruhut sepatutnya tak usah ditanggapi panjang, sebab pernyataan yang dikemukakannya hanya ajang mencari popularitas yang tak mengindahkan konstitusi yang mengatur ketetapan masa jabatan presiden.
Di tempat lain Boni Hargens, Pengamat politik dari Universitas Indonesia, mengatakan bahwa perbuatan Ruhut sebagai tindakan yang tak waras. Bukan hanya itu, lanjut Boni, keinginannya menjadikan Yudhoyono presiden kembali di Pilpres 2014 itu sama saja dengan merendahkan Partai Demokrat yang kini di bawah kepemimpinan Anas Urbaningrum. Anas sendiri memastikan Yudhoyono tidak akan bersedia menjabat untuk tiga periode, kendati ada rakyat yang mengharapkan. Ia juga menegaskan bahwa pernyataan Ruhut bukan pandangan atau pendirian Partai Demokrat .
Dalam hal isu yang dilemparkan ke publik oleh Ruhut Sitompul yang serta merta menuai berbagai rumor, manakah rumor yang benar atau paling mendekati kebenaran? Sebelum menjawab pertanyaan ini, baiklah kiranya diketengahkan beberapa asumsi yang melatarinya.
Pertama, gagasan mengenai perpanjangan masa jabatan presiden lebih dari dua periode murni datang dari Ruhut Sitompul sebagaimana yang diakuinya.
Kedua, Partai Demokrat sangat yakin bahwa Pemerintahan SBY sukses. Berbagai indikator untuk membuktikan kesuksesan itu sering dikemukakan, seperti kenaikan pertumbuhan ekonomi nasional, menguatnya nilai tukar rupiah, semakin turunnya angka kemiskinan, dan semakin meningkatnya daya beli masyarakat. Gembar-gembor ihwal kesuksesan Pemerintahan SBY ini bahkan sering diiklankan.
Ketiga, Partai Demokrat berasumsi bahwa tidak ada atau belum ada satu pun putra terbaik bangsa Indonesia sekualitas atau sebaik SBY. SBY masih segar bugar dan kondisinya masih prima untuk memimpin bangsa dan negara Indonesia. Karena itu, hendaknya sosok yang sangat berharga dan tidak ada duanya itu jangan disia-siakan hanya karena masa jabatannya dibatasi oleh konstitusi. Dalam pandangan Partai Demokrat, konstitusi adalah buatan manusia. Jadi, manusia bisa mengubah atau mengamandemen konstitusi yang mengatur masa jabatan presiden asalkan perubahan atau amandemen itu dilakukan secara konstitusional.
Dalam konteks itulah maka salah satu pentolan Partai Demokrat melempar isu untuk mengamandemen terutama Pasal 7 UUD 1945 yang berbunyi, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.
Di mata Partai Demokrat, sah-sah saja melakukan amandemen asalkan sesuai prosedur dan proses, apalagi sebelumnya sudah ada preseden amandemen Pasal 7 UUD 1945 yang sebelum diamandemen berbunyi “presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali.”
Keempat, orang-orang sekitar SBY yang mengusulkannya dan yang disuruh menjadi corongnya adalah Ruhut. Mengapa? Karena orang-orang sekitar akan mendapatkan banyak manfaat apabila SBY terus memangku jabatan sebagai presiden.
Kelima, SBY sendiri yang ingin maju lagi dalam pilpres mendatang. Karena kini pilpres langsung oleh rakyat, SBY sangat yakin bahwa rakyat masih mendukungnya, sehingga batasan masa jabatan presiden lebih dari dua periode perlu untuk ditinjau dan diubah.
Dari kelima rumor di atas, manakah yang paling benar dan paling mendekati kebenaran?
Berdasarkan teori rumor sebagaimana dipaparkan di muka, dapat disimpulan bahwa rumor yang pertama sangat lemah dan kurang berdasar. Sangat tidak masuk akal ide mengenai perpanjangan masa jabatan presiden lebih dari dua periode datang dari Ruhut, mengingat pribadi dan kapasitasnya di Partai Demokrat adalah “corong”. Apalagi, selama ini masyarakat sangat mengenal siapa Ruhut dan menyangsikan kesungguhannya memikirkan, apalagi memperjuangkan nasib rakyat. Yang dipikirkannya adalah diri sendiri dan kelompoknya.
Rumor yang kedua mendekati kebenaran sebab dengan mata telanjang kita menyaksikan gembar-gembornya memang demikian. Akan tetapi, argumennya sangat lemah karena cenderung politis dan memanipulasi data statistik, sebab sumbernya adalah dari Biro Pusat Statistik yang nota bene berafiliasi dengan Pemerintahan SBY. Angka-angka yang dijadikan indikator untuk mengklaim bahwa pemerintahan SBY sukses cenderung manipulatif dan kurang independen.
Rumor yang ketiga dan keempat adalah rumor yang paling mendekati kebenaran. Seperti pengalaman sebelumnya, orang-orang sekitar presiden yang sebenarnya bernafsu presiden incumbent untuk dicalonkan lagi ketimbang presidennya sendiri. Orang-orang dekat dan pihak yang memetik keuntungan dari SBY menjadi presiden ingin terus mereguk kenikmatan berada di sekitar, minimal mereka tidak akan diganggu selama lima tahun jika masa jabatan SBY diperpanjang lebih dari dua periode. Dengan demikian, bisnis dan pengaruh (kekuasaan) mereka akan langgeng dan mereka tidak ingin semua itu berlalu begitu saja seiring dengan berakhirnya masa jabatan Presiden SBY nanti pada Oktober 2014.
Rumor yang kelima yang simpang siurnya mengatakan bahwa SBY sendiri yang ingin memperpanjang masa jabatan lebih dari dua periode, dibantah sendir oleh SBY. Terlepas dari jujur dan tidak jujur, bantahan ini dapat menjadi bukti bahwa rumor ini patah atau lemah dengan sendirinya. Simpulan ini berdasarkan asumsi Stalin bahwa “jika suatu rumor tidak dibantah maka rumor yang tidak dibantah tersebut akan dianggap benar dan opini publik akan percaya demikian.” Rumor bahwa SBY sendiri ingin maju dalam pilpres selanjutnya, dibantah sendiri oleh SBY (lihat Lampiran).

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN




Rumor ialah salah satu bentuk komunikasi, dalam hal ini komunikasi pada ranah high context. Karena berada dalam ranah high context maka rumor harus direkonstruksi dan ditafsirkan sebab pesan komunikasinya tidak jelas dinyatakan melalui kata-kata yang langsung dimengerti.
Terkait dengan rumor politik seputar Pasal 7 UUD 1945 mengenai masa jabatan presiden yang menegaskan bahwa masa jabatan presiden (hanya) dua periode, namun diusulkan oleh Ruhut Sitompul untuk diamandemen, beredar setidaknya lima rumor. Rumor tersebut beredar karena memenuhi syarat-syarat sebagai rumor sebagaimana ditegaskan grand theory rumor bahwa rumor haruslah: terkait dengan public interest, kontroversial, tingkat ambiguitasnya tinggi, dan sangat penting.
Dari lima rumor yang bergulir di balik amandemen Pasal 7 UUD 1945 maka rumor ketiga (Partai Demokrat berasumsi bahwa tidak ada atau belum ada satu pun putra terbaik bangsa Indonesia sekualitas atau sebaik SBY karena itu mencalonkan kembali untuk ketiga kalinya SBY dan melempar isu amandemen untuk melakukan test the water) dan keempat (orang-orang sekitar SBY yang mengusulkannya dan yang disuruh menjadi corongnya adalah Ruhut) yang mendekati kebenaran.







DAFTAR PUSTAKA


Cetak:
Allport, G. W. and L. Postman. 1947. The Psychology of Rumor. New York: Holt.
DeVito, Joseph A. 2007. The Interpersonal Communication Book. Boston: Pearson.
DiFonzo and Prashant Bordia. 2007. Rumor Psychology: Social and Organizational Approaches. California: American Psychological Association.
Griffin, G. 2006. A Frist Look at Communication Theory. New York: MCGraw Hill.
Lasswell, Harold D. and Abraham Kaplan. 1952. Power and Society. London: Routledge and Kegan Paul.
Lesmana, Tjipta. 2010. “Teori Komunikasi”, materi perkuliah Program Magister Komunikasi, Universitas Pelita Harapan.
Littlejohn, Stephen W. and Karen A. Foss. 2008. Theories of Human Communication. Belmont: Thomson Wadsworth.
Miller, Katherine. 2005. Communication Theories. New York: MCGraw-Hill.
Ruben, Brent D. and Lea P. Stewart. 2006. Communication and Human Behavior. Boston: Pearson.
Santoso, Amir. 2010. “Ekonomi-Politik Media”, materi perkuliahan Program Magister Komunikasi, Universitas Pelita Harapan.
Syamsuddin Haris. “Masa Jabatan Presiden” dalam Seputar Indonesia, 26 Agustus 2010.

Online:
http://www.tbuckner.com/Rumor.htm
Harsin, Jayson. The Rumour Bomb: Theorising the Convergence of New and Old Trends in Mediated US Politics [online]. Southern Review: Communication, Politics & Culture; Volume 39, Issue 1; 2006; 84-110; - http://search.informit.com.au/documentSummary;dn=264848460677220;res=E-LIBRARY
Wikipedia

Lampiran-Lampiran:

Masa Jabatan Presiden Cukup Satu Periode
Kamis, 02 September 2010 | 08:56 WIB
TEMPO Interaktif, Mengapa masa jabatan presiden harus dibatasi? Sebab, jika tidak dibatasi, berpotensi menjadi alat yang efektif untuk melanggengkan otoritarianisme kekuasaan. Itulah sebabnya, pembatasan masa jabatan presiden menjadi salah satu agenda prioritas gerakan reformasi. Ketika Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat digelar pertama kali pasca-Orde Baru, Oktober 1999, pembatasan masa jabatan presiden sudah menjadi salah satu ketetapan dalam amendemen pertama Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam Pasal 7 UUD 1945 sebelum diamendemen disebutkan, presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Ketentuan inilah yang membuat Presiden Soeharto dipilih terus-menerus hingga periode ketujuh. Andaikan tak ada gerakan reformasi, sangat mungkin Soeharto bisa menjadi presiden seumur hidup.

Setelah diamendemen, Pasal 7 UUD 1945 menjadi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Dengan ketentuan ini, masa jabatan presiden dan wakil presiden dibatasi maksimal dua periode.
Dengan demikian, memunculkan wacana untuk memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode sama artinya dengan mengusulkan amendemen (kembali) Pasal 7 UUD 1945. Sebagai wacana, tak ada salahnya. Tapi, untuk menyetujuinya, tentu akan menjadi masalah besar.
Membuka peluang amendemen (kembali) UUD 1945 sama artinya dengan membuka peluang (pula) bagi upaya mengembalikan UUD 1945 ke naskah aslinya. Bila ini yang terjadi, berarti arah jarum jam reformasi yang sudah berdetak kencang itu harus kita tarik kembali ke belakang. Kita bisa terperangkap kembali dalam rezim otoriter yang tanpa batas.
Soal masa jabatan presiden, menurut saya untuk dua periode saja sudah terlalu lama dan bisa dipastikan kurang efektif karena pada jabatan periode kedua biasanya lebih buruk daripada periode pertama. Kondisi ini bisa kita pahami, karena pada periode pertama presiden merasa dituntut bekerja lebih baik karena ada harapan untuk bisa terpilih kembali pada periode berikutnya. Sedangkan untuk periode keduanya, harapan itu sudah tidak ada lagi.
Usulan untuk memperpanjang masa jabatan presiden hingga periode ketiga patut dicurigai: pertama, karena ia betul-betul menikmati jabatan itu dengan segala fasilitas dan protokoler yang mengistimewakan dirinya sehingga tak mau melepaskannya kepada orang lain. Ibaratnya, sekali duduk, karena merasa nikmat, ia lupa berdiri.
Kedua, mungkin juga karena ia tak punya lahan pengabdian (pekerjaan) selain menjadi presiden. Sehingga, ketika berhenti dari jabatan Presiden, hal itu dianggap sebagai akhir dari segalanya. Ketiga, mungkin ia haus kekuasaan. Bagaikan pengembara di gurun pasir, kekuasaan menjadi seperti telaga pelepas dahaga.
Kemungkinan yang paling buruk, usulan perpanjangan masa jabatan bisa juga karena dilandasi rasa bersalah. Bila jabatannya berakhir, kesalahan-kesalahannya akan terungkap. Dengan kata lain, bila sudah tak punya kekuasaan lagi, siapa pun bisa mengungkap kesalahan-kesalahannya. Tapi, bila masa jabatannya diperpanjang, ia masih punya waktu yang panjang pula untuk menghapus kesalahan, atau untuk merekayasa secara hukum agar kesalahan-kesalahannya bisa dimaafkan.
Sebagai arena pengabdian, jabatan presiden, seperti juga gubernur, bupati, dan wali kota, seyogianya cukup dijalankan dalam satu periode. Dalam satu periode itulah pengabdian bisa dimaksimalkan agar selanjutnya bisa memberikan peluang lebih banyak kepada orang lain untuk memberi pengabdian yang sama. Dan hasil kerja maksimal dalam satu periode yang ia lakukan bisa menjadi contoh yang baik bagi para penggantinya. *



SBY Tolak Masa Jabatan Presiden Diperpanjang
Rabu, 18 Agustus 2010 18:22 WIB
Jakarta,(tvOne)
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menolak usulan pencabutan atau pengubahan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945, tentang pembatasan masa jabatan Presiden paling lama dua periode. Pasalnya, wacana ini berdampak adanya penyelewengan wewenang.
"Seorang SBY dan saya rasa semua sependapat untuk menolak dan menentang pikiran-pikiran seperti itu," kata Presiden Yudhoyono saat berpidato dalam acara peringatan Hari Konstitusi di Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta, Rabu (18/8).
Tanggapan Presiden tersebut menyusul adanya wacana Ketua Divisi Hubungan Masyarakat Partai Demokrat Ruhut Sitompul agar amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tentang pembatasan masa jabatan presiden dirubah, sehingga Yudhoyono bisa menjabat lebih dari dua periode.
Presiden menyatakan pembatasan masa jabatan adalah hasil amendemen pertama UUD 1945. Beliau menegaskan dirinya termasuk orang yang mendorong ide pembatasan masa jabatan presiden untuk mengurangi potensi penyalahgunaan kewenangan.
"Saya dorong supaya masa jabatan presiden dibatasi, paling lama dua kali," kata Yudhoyono.
Menurut Presiden, kekuasaan yang terlalu lama berada di tangan seseorang akan menimbulkan berbagai penyimpangan, antara lain korupsi.
Indonesia telah mengalami sejarah panjang model kepemimpinan presiden seumur hidup dan presiden yang dipilih hingga enam kali. Pengalaman sejarah itu, kata Presiden, tidak baik untuk kemajuan bangsa. (Ant)




Sinar Harapan, Kamis, 19 Agustus 2010
Perpanjangan Masa Jabatan Presiden Khianati Reformasi

Jakarta – Usulan kader Partai Demokrat tentang perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode menuai kritikan.

Meski secara prosedural perubahan itu mungkin dilakukan, namun dinilai mengkhianati semangat reformasi dan merusak tatanan demokrasi.Kritik tersebut muncul karena amendemen Undang Undang Dasar (UUD) 1945 yang dilakukan tahun 1999 dilakukan berdasarkan tuntutan rakyat untuk memba¬tasi masa jabatan presiden. Pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soe-harto selama 32 tahun telah cukup menciptakan trauma.
“Itu artinya berpikir flash back dan merusak tatanan demokrasi yang sebetulnya sudah mulai terbangun,” kata Wakil Ketua Majelis Permu¬syaratan Rakyat (MPR) Lukman Hakim Saifuddin kepada SH, Kamis (19/8).
Sementara itu, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengatakan, perpanjangan masa jabatan ini secara substansial ber¬potensi merusak demokrasi. Sebagus apa pun kualitas seorang pemimpin, tetap ha¬ rus dibatasi masa jabatannya. Mantan Ketua MK Jimly Assiddiqhi bahkan percaya ide ini tak akan diterima mayoritas. Selain itu, ide tersebut dinilai dapat mengganggu stabilitas sistem. “Kita ini membutuhkan stabilitas sistem, jangan setiap ada ide baru, kita ubah UU. Jadi tidak mungkinlah,” katanya.
Wacana perpanjangan masa jabatan yang pertama kali dilontarkan oleh kader Partai Demokrat Ruhut Si¬tom¬pul ini ternyata juga di¬tentang oleh Presiden Su¬silo Bambang Yudhoyono. Dalam peringatan Hari Konstitusi di Gedung MPR, Rabu (18/8), Yudhoyono mengatakan amen¬demen tahun 1999 dilakukan untuk men¬cegah kekuasaan Presiden menjadi terlalu besar dan korup. “Oleh karena itu kalau ada pikiran kembali untuk diubah, seorang SBY menentang pikiran seperti itu,” ungkapnya.

Tak Anggap Tabu
Namun Yudhoyono me¬nambahkan, agar rakyat tak menganggap tabu perubahan UUD 1945 jika di kemudian hari diperlukan. Ia menga¬ta¬kan UUD 1945 haruslah dapat bersifat adaptif dan bersifat menjawab kebutuhan di masa mendatang. “Meskipun UUD tidak boleh sering berubah, setiap saat berubah. Namun manakala terjadi perkembangan zaman yang sangat fundamental maka pembahasan perubahan UUD tidak dinafikan,” ungkapnya.
Hal senada disampaikan Ketua DPR Marzukie Alie. Ia menegaskan bahwa amendemen UUD 1945 untuk kepentingan konsolidasi demokrasi perlu dilakukan, namun tidak perlu menambah masa jabatan presiden.

Dimungkinkan
Meski menuai kritik dan penolakan, secara prosedural amendemen UUD 1945 terkait masa jabatan presiden tetap bisa dilakukan. “Prosedurnya terserah MPR saja, karena kalaupun harus menolak gagasan itu, juga akan kembali pada sikap MPR,” ujar Mahfud. Jimly juga menyebut kemungkinan itu. Namun, ia menekankan bahwa hal tersebut hanya boleh berlaku untuk presiden yang akan datang. “Sehingga kalau mau diperpanjang menjadi tiga periode, berlaku untuk presiden yang akan datang, bukan yang sekarang. Dengan begitu akan lebih fair,” ungkapnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon juga mengungkap wacana tersebut bisa saja digulirkan di tahun mendatang. “Kemungkinan akan seperti itu, karena politik. Bisa saja terjadi melalui sekretariat gabungan.” ungkapnya. Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Boni Hargens, mengatakan perbuatan Ruhut sebagai tindakan yang tak waras. Bukan hanya itu, lanjut Boni, keinginannya menjadikan Yudhoyono presiden kembali di Pilpres 2014 itu sama saja dengan merendahkan Partai Demokrat yang kini di bawah kepemimpinan Anas Urbaningrum. Anas sendiri memastikan Yudhoyono tidak akan bersedia menjabat untuk tiga periode, kendati ada rakyat yang mengharapkan. Ia juga menegaskan bahwa pernyataan Ruhut bukan pandangan atau pendirian Partai Demokrat.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra malah menuding isu amendemen UUD 1945 ini hanya bola panas yang sengaja digulirkan sehingga tugas utama pemerintah menjadi terbengkalai.
Sementara itu, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman menilai pernyataan Ruhut sepatutnya tak usah ditanggapi panjang, sebab pernyataan yang dikemukakannya hanya ajang mencari popularitas yang tak mengindahkan konstitusi yang mengatur ketetapan masa jabatan presiden. (ninuk cucu suwanti/web warouw/novan dwi putranto/heru guntoro/cr-10/cr-11)



Perpanjangan Masa Jabatan Presiden
Pengamat hukum tata negara Dr Johanes Tubahelan SH.MHum berpendapat wacana perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode, bertolak belakang dengan semangat reformasi dan akan mengarah pada kediktatoran.
“Kediktatoran ini sangat dirasakan pada masa Orde Lama dan Orde Baru,” kata Tubahelan yang juga dosen pada Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Sabtu.
Ketua Ombudsman RI Perwakilan NTT-NTB itu mencontohkan Soekarno menduduki tahta kekuasaan sebagai presiden sampai 22 tahun dan Soeharto sampai 32 tahun.
“Semuanya ini terjadi akibat tidak adanya batasan masa jabatan kepala negara secara jelas dan tegas dalam UUD. Karena itu, wacana perpanjangan masa jabatan presiden ini sebaiknya diakhiri saja,” katanya.
Menurut dia, pada masa reformasi seluruh komponen bangsa telah bersepakat untuk membatasi masa jabatan presiden hanya dua periode atau setelah lima tahun pertama dapat dipilih untuk satu periode lagi.
Tubahelan mengatakan pembatasan masa jabatan presiden ini, secara teori dapat dibenarkan dan dalam demokrasi setiap kekuasaan politik harus dibatasi baik substansi maupun masa jabatan.
Selain itu, kekuasan seorang pejabat negara jika tidak dibatasi atau terlalu lama berkuasa cenderung otoriter dan diktator yang mengarah pada korup.
“Hal ini, terbukti dari praktik kekuasaan Soekarno dan Soeharto,” katanya mencontohkan.
Oleh karena itu, gagasan menambah masa jabatan presiden menjadi tiga periode menunjukkan kerdilnya wawasan penggagas yang tidak memahami semangat reformasi.
Secara konstitusional, katanya, masa jabatan presiden telah diatur dalam pasal 7 UUD 1945 yakni lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.
Menurut dia, idealnya mengamendemen suatu konstitusi tidak boleh dilakukan terlalu cepat, sepanjang belum ada suatu perubahan keadaan yang memaksa untuk harus diadakan amendemen lagi dalam waktu dekat.
“Tidak ada argumentasi yang mendasar untuk memperpanjang masa jabatan presiden, dari dua periode menjadi tiga periode, kecuali telah terbukti bahwa dengan adanya pembatasan masa jabatan presiden 2 x 5 tahun memiliki kelemahan yang merugikan bangsa Indonesia, sehingga perlu diubah lagi,” katanya.
Di Amerika Serikat, misalnya, masa jabatan presiden 2 x 4 tahun telah berjalan lama tanpa ada perubahan, serta tidak dipersoalkan.
Amendemen belum tepat karena periode kepemimpinan presiden harus dibatasi hanya dua periode agar tidak cenderung korup dan absolud, demikian Johanes Tubahelan.



SBY Tolak Perpanjangan Masa Jabatan Presiden
KESRANEWS -- 18 AGUSTUS: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menolak wacana pencabutan atau pengubahan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 tentang pembatasan masa jabatan Presiden paling lama dua periode.
"Seorang SBY dan saya rasa semua sependapat untuk menolak dan menentang pikiran-pikiran seperti itu," kata Presiden Yudhoyono saat berpidato dalam acara peringatan Hari Konstitusi di Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta, Rabu (18/8).
Presiden menyatakan hal itu terkait dengan pemberitaan sejumlah media yang mengutip pernyataan politisi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul.
Ruhut mewacaanakan amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tentang pembatasan masa jabatan presiden sehingga Yudhoyono bisa menjabat lebih dari dua periode.
Presiden Yudhoyono menyatakan pembatasan masa jabatan adalah hasil amendemen pertama UUD 1945. Pada saat amendemen itu, Yudhoyono adalah Ketua Fraksi TNI di DPR dan sependapat untuk membatasi masa jabatan presiden paling lama dua periode. "Saya sebagai pelaku utama dan terlibat langsung," katanya.
Kepala Negara menegaskan dirinya termasuk orang yang mendorong ide pembatasan masa jabatan presiden untuk mengurangi potensi penyalahgunaan kewenangan.
"Saya dorong supaya masa jabatan presiden dibatasi, paling lama dua kali," kata Yudhoyono. (moh)
Sumber: http://www.menkokesra.go.id/content/sby-tolak-perpanjangan-masa-jabatan-presiden



Ketua MK Tolak Perpanjangan Jabatan Presiden

Jakarta – Polemik tentang masa jabatan presiden mendapat tanggapan dari banyak kalangan. Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD mengatakan sejak memasuki era reformasi, ada banyak reformasi diantaranya adalah membatasi masa jabatan presiden.
Ia mempertanyakan wacana agar periode masa jabatan Presiden bisa diperpanjang lebih dari dua periode.
Menurutnya pandangan yang disampaikan politisi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, sudah merusak tatanan demokrasi. Masa jabatan presiden maksimal dua periode yang kini tercantum Undang-undang Dasar itu sudah cukup ideal.
"Kalau saya jadi MPRnya, bisa memutuskan saya akan menolak itu," ujar Mahfud ketika memasuki ruang seminar peringatan Hari Konstitusi dan HUT ke-65 MPR RI di Gedung Nusantara V Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (18/8).
Mahfud MD menjelaskan, sejak tahun 1999 bangsa ini melakukan reformasi di antaranya adalah membatasi masa jabatan Presiden dan menggeser fungsi legislasi dari eksekutif ke legislatif. Karena itu, jika hal ini mau diubah lagi, merupakan sebuah langkah mundur.
"Sebagus apa pun seseorang menjadi Presiden, menurut saya tetap harus dibatasi masa jabatannya," tambahnya.
Sementara itu Wakil Ketua DPR, Pramono Anung, menilai, masa jabatan presiden yang sudah ditetapkan selama dua tahun itu adalah salah satu buah reformasi. Bila point tentang itu mengalami perubahan, itu artinya Indonesia mengalami kemunduran.
"Prestasi gerakan reformasi yang paling utama adalah memberi batasan masa jabatan Presiden selama dua tahun," tegas Pramono yang juga mantan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan ini.
Oleh karena itu, menurutnya ide Ruhut sama sekali bertentangan dengan perkembangan demokrasi di Tanah Air. Artinya sama dengan kembali ke era orde baru, maka kembali ke zaman otoriter.
"Kita tidak boleh mundur ke era otoriter," kritik Pramono.
Sebelumnya, perlu diketahui Ruhut mengusulkan agar dilakukan amandemen undang-undang masa jabatan presiden.
"Karena saat ini belum ada tokoh bangsa yang bisa menyaingi presiden kita yang sekarang, Bapak SBY," kata Ruhut Sitompul.
Sementara itu Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso menilai menggelontorkan wacana untuk memperpanjang masa jabatan Presiden adalah wacana yang gagah berani dalam situasi politik saat ini. Namun akan memicu polemik yang berkepanjangan dan menguras energi bangsa.
“Sebuah ide yang berani, hebat, dan gagah berani usulan yang digulirkan oleh Ruhut Sitompul. Namun atas pertimbangan apa, dan motifnya apa untuk melanggengkan masa jabatan Presiden,” kata Priyo.
Menurutnya, secara teoritis tentu bisa, karena Demokrat pemenang pemilu 2009 dan tentu bisa memobilisasi wacana tersebut. Namun DPR saat ini menunggu bola yang bergulir, apakah ini sebagai pencerah politik, atau karena baru-baru ini pidato kenegaraan SBY.
“Memang hari-hari ini figur SBY adalah figur yang sulit dicari padanannya dengan tokoh-tokoh lainnya, untuk hari ini SBY oke,” ujar Priyo
Priyo menjelaskan, perpanjangan masa jabatan presiden melalui amandemen konstitusi secara teoritis dapat dilakukan, karena konstitusi saat ini bukan sesuatu yang dianggap sakral seperti di masa lalu. Konstitusi tidak sakral, tapi hidup di tengah masyarakat. Namun, tentunya akan menguras energi bangsa dan memicu polemik berkepanjangan.
“Pembatasan masa jabatan presiden itu harus dibatasi, agar tidak terjadinya abuse of power penyalahgunaan kekuasaan,” tutupnya. (ahf/bng)
Sumber: http://erabaru.net/top-news/37-news2/16512-ketua-mk-tolak-perpanjangan-jabatan-presiden



Ruhut: SBY Tak Menolak Usulan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden
Polkam / Rabu, 18 Agustus 2010 13:15 WIB
Metrotvnews.com, Jakarta: Politikus Partai Demokrat Ruhut Sitompul membuka rahasia. Usulannya agar masa jabatan presiden diperpanjang selama tiga periode sudah disampaikan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lima bulan lalu. Ketika itu SBY tengah menggelar pertemuan dengan para menteri Kabinet Indonesia Bersatu jilid II. "Mereka semua tercengang dengan pendapat saya," kata Ruhut di DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Rabu (18/8).
Saat itu, kata Ruhut, ia menegaskan sejauh ini belum ada tokoh sebanding dengan SBY. Buktinya, selama 10 tahun reformasi lima tahun di antaranya Indonesia memiliki tiga presiden dalam periode pendek. Presiden Habibie menjabat tak sampai setahun, sedangkan Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri masing-masing sekitar dua tahun.
Saat itu, kata Ruhut, SBY menolak secara halus dengan mengatakan, "Selama 4,5 tahun (ke depan) kita yakin akan ada pemimpin yang baik. Kita bekerja untuk rakyat." Menurut Ruhut, SBY tidak menolak. Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu, kata Ruhut, tidak mau intervensi, tapi maunya mengalir. "SBY itu pemimpin yang diberikan dan dirahmati Allah," kata Ruhut.
Ruhut menegaskan, ia mengumbar usulannya ke publik karena pidato kenegaraan SBY, 17 Agustus kemarin, dihujat banyak pihak. Ruhut membantah usulan ini perintah petinggi Demokrat. "Ini pendapat pribadi. Kalau Partai Demokrat mendukung, saya bersyukur," kata Ruhut.

Ruhut kembali memuji-muji pribadi SBY. Menurut Ruhut, SBY merupakan presiden pertama yang terpilih melalui pemilihan langsung. Bahkan, ia terpilih dua kali berturut-turut dalam satu putaran. Perolehan suara dalam pemilu 2009 bahkan mencapai lebih 60 persen. "Usulan ini bukan mau SBY. Ini mau Ruhut. Saya akan mempertanggungjawabkan ide ini," kata Ruhut. (Andhini/DOR)



MASA JABATAN PRESIDEN
27 Agustus 2010 oleh syamsuddinharis
Kontroversi usulan Ruhut Sitompul tentang amandemen konstitusi dalam rangka perpanjangan masa jabatan presiden tampaknya belum berakhir. Meski Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah membantah dan menegaskan komitmennya untuk berhenti pada 2014, penegasan itu tampaknya belum memuaskan publik. Mengapa?
Pertama-tama perlu digarisbawahi bahwa Ruhut Sitompul adalah Ketua Departemen Komunikasi dan Informatika dalam struktur Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat (PD) yang baru hasil Munas Bandung. Posisi Ruhut yang cukup strategis dalam struktur DPP PD ini tentu menempatkannya sebagai ”juru bicara” partai sehingga pernyataan publik yang dilontarkannya tentu tidak bisa dipandang berdiri sendiri.
Dalam kapasitas sebagai salah seorang pimpinan dalam struktur DPP PD, usulan kontroversial Ruhut Sitompul sangat mungkin telah diketahui oleh unsur pimpinan partai lainnya, termasuk Presiden Yudhoyono selaku Ketua Dewan Pembina. Karena itu sangat wajar pula jika muncul berbagai analisis yang meragukan bahwa usulan amandemen konstitusi sebagai pendapat pribadi Ruhut Sitompul. Dalam bahasa lain, usulan Ruhut bisa jadi memang merupakan bagian dari strategi partai dalam rangka memperoleh respon publik atas wacana tiga kali masa jabatan presiden, terutama bagi Yudhoyono.
Percaya Diri Berlebihan
Pertanyaannya kemudian, jika wacana tiga kali masa jabatan presiden menjadi bagian dari strategi politik PD, lantas apa kira-kira faktor yang melatarbelakanginya?
Pertama, kepercayaan diri berlebihan dari kalangan internal PD bahwa Yudhoyono adalah presiden yang paling berhasil dibandingkan presiden-presiden pasca-Soeharto, mulai dari BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, hingga Megawati. Keberhasilan Presiden Yudhoyono terpilih kembali untuk kedua kalinya dalam Pemilu 2009 adalah dasar utama yang membentuk kepercayaan diri berlebihan di kalangan internal PD tersebut. Di sisi lain, kalangan internal PD belum melihat adanya kandidat lain di luar Yudhoyono yang pantas diusung kembali dalam Pemilu 2014.
Kedua, kepercayaan diri berlebihan yang dimiliki oleh Presiden Yudhoyono sendiri atas keberhasilannya seperti tercermin dalam pidato-pidato Presiden, termasuk Pidato Kenegaraan pada 16 Agustus 2010 di depan sidang bersama DPR dan DPD. Seperti terekam dalam laporan berbagai media, dalam pidatonya tersebut Presiden Yudhoyono lebih banyak memuji keberhasilan kepemimpinannya ketimbang menyampaikan secara jujur dan obyektif berbagai persoalan bangsa kita yang tak kunjung terselesaikan.
Ketiga, semakin menguat dan mengentalnya budaya kultus individu terhadap diri Presiden Yudhoyono dari para elite politik di sekitar Yudhoyono dan lingkaran dalam Istana Presiden. Akibatnya, bukan hanya muncul usulan sangat naif seperti dilontarkan Ruhut, melainkan juga upaya mencari pembenaran oleh para staf khusus Presiden atas berbagai sikap, perilaku, dan ucapan Yudhoyono.
Menikmati Kultus
Sebagian fenomena kultus individu terhadap diri Presiden Yudhoyono itulah yang secara kasat mata tampak dalam pembagian paket cinderamata yang antara lain berisi buku tentang Agus Harimurti Yudhoyono dan buku batik yang memuat foto-foto Ani Yudhoyono dalam upacara peringatan Proklamasi di Istana Merdeka pekan lalu. Penilaian serupa dapat diberikan atas sisipan lagu ciptaan Yudhoyono ”Matahari Bersinar” di antara lagu-lagu heroik-patriotik serta lagu-lagu daerah pada momentum yang sama.
Juru bicara kepresidenan Julian Adrian Pasha memang membantah bahwa pembagian cinderamata, begitu pula penyisipan lagu ”Mentari Bersinar” ciptaan Yudhoyono, adalah inisiatif pejabat Rumah Tangga Kepresidenan. Akan tetapi, jika inisiatif itu dianggap tidak menyenangkan bagi Yudhoyono dan bahkan mencemarkan nama baik keluarga Cikeas, semestinya ada sanksi bagi para pejabat Istana. Apabila sanksi itu tidak ada maka dapat disimpulkan bahwa Presiden Yudhoyono tampaknya memang ”menikmati” kultus individu yang dipergelarkan kalangan lingkaran dalam Istana Presiden terhadap dirinya.
Uraian singkat di atas menggarisbawahi bahwa dalam situasi dan kultur demikian usulan perpanjangan masa jabatan presiden yang dilontarkan Ruhut Sitompul tampaknya bukan semata-mata inisiatif mantan pengacara yang pernah berafiliasi ke Partai Golkar tersebut. Ia dapat dipandang sekaligus sebagai strategi politik PD dan orang-orang dekat Presiden dalam mencari peluang melanggengkan kekuasaan Yudhoyono melalui amandemen konstitusi.
Personalisasi Kekuasaan

Barangkali inilah bahaya besar yang tengah dihadapi bangsa kita, yakni ketika kecenderungan personalisasi kekuasaan telah menghinggapi para pemimpin negeri ini. Personalisasi kekuasaan lazimnya berawal ketika para pemimpin gagal memisahkan urusan negara di satu pihak, dan urusan keluarga di pihak lain.
Padahal, kejatuhan para kepala negara dan kepala pemerintahan di banyak negara sedang berkembang pada umumnya berpangkal pada kegagalan dalam soal ini, yakni tatkala urusan keluarga yang bersifat privat dipandang dan diperlakukan sebagai urusan negara yang bersifat publik.. Seperti diketahui, Presiden Soeharto juga jatuh atau dipaksa mundur dari jabatannya lantaran telanjur mengidentikkan diri sebagai negara Orde Baru itu sendiri selama hampir tiga dekade kekuasaannya.
Oleh karena itu sebelum bahaya besar tersebut mengancam masa depan bangsa kita, pimpinan PD dan Presiden Yudhoyono sendiri semestinya memberikan klarifikasi yang lebih jernih tentang usulan kontroversial Ruhut Sitompul. Jika usulan itu semata-mata inisiatif Ruhut pribadi semestinya yang bersangkutan memperoleh sanksi sepadan secara organisasi karena usulan kontroversial yang tak hanya mempermalukan partai, tetapi juga menimbulkan persepsi negatif publik kepada Presiden Yudhoyono.
Di sisi lain, parpol-parpol di luar PD semestinya juga tidak terkesan mencoba ”mengail di air yang keruh”. Persoalannya, fondasi utama yang melatarbelakangi munculnya gerakan reformasi pada 1997-1998 adalah penolakan secara mutlak dan permanen terhadap masa jabatan presiden lebih dari dua periode. Karena itu jika Pasal 7 UUD 1945 hasil amandemen pada 1999 diubah kembali, maka negeri kita tinggal selangkah lagi kembali ke sistem politik otoriter.
(Dimuat dalam Seputar Indonesia, 26 Agustus 2010).

Tidak ada komentar: