Potonglah sebuah laporan berita surat kabar. Lalu berikan pada pembaca yang tingkat pendidikannya sama. Pembaca yang satu tinggal di Jakarta, sedangkan yang lain tinggal di sebuah pelosok negeri ini. Tentu pemahaman pembaca akan wacana tersebut akan berbeda satu sama lain.
Pembaca yang tinggal di Jakarta merasa mudah memahaminya, sementara pembaca yang tinggal di pelosok tadi merasa sukar memahaminya.
Mengapa terjadi perbedaan di kalangan pembaca memahami wacana yang sama? Inilah yang menjadi perdebatan yang sengit dari dulu sebelum ditemukannya rumusan bagaimana mengukur dan memformulasikan keterbacaan (readability) sebuah wacana oleh Robert Gunning.
Ditemukannya formula untuk mengukur keterbacaan suatu wacana yang dikenal dengan nama “The Gunning's Fog Index” atau “Fog Readability Formula” atau “Fog Index” ini mengalami proses yang panjang dan tidak datang dengan sendirinya. Gunning mengamati bahwa banyak siswa sekolah menengah yang tidak terampil atau tidak mahir memnaca. Penyebabnya terletak pada wacana atau bacaan yang sukar untuk dimengerti. Banyak wacana yang tidak ditulis secara baik dengan memerhatikan tingkat keterbacaan yang mudah dimengerti target pembaca.
Menurut hasil observasi Gunning, banyak surat kabar dan majalah penuh dengan “fog” atau kabut tebal sehingga menghalangi pikiran atau mata pembaca untuk memahami wacana tersebut.
Faktor penghalang atau kabut tersebut berupa “big words”, yakni kata-kata yang sukar, tidak populer, bersuku kata lebih dari tiga, serta menggunakan kalimat majemuk dan terdiri atas lebih dari delapan kata per kalimat.
Berdasarkan hasil obvervasinya, Gunning menyadari bahwa jika sebuah wacana dipenuhi kabut maka readability-nya akan sukar. Ini yang mendorongnya melakukan riset tentang readability di tempat kerjanya.
Pada 1944, Gunning mendirikan lembaga yang secara khusus didedikasikan untuk mengukur dan menemukan formula keterbacaan suatu wacana. Ia melakukan studi dan membantu lebih dari 60 surat kabar ternama dan majalah di Amerika, juga membantu jurnalis, editor, dan para penulis agar tulisan mereka dipahami pembaca.
Merupakan suatu keniscayaan bahwa keterbacaan suatu wacana ditentukan oleh banyak variabel. Variabel-variabel yang dimaksudkan adalah:
1) Tingkat pendidikan pembaca sehingga berkorelasi dengan kosa kata yang (harus) dikuasainya.
2) Luasnya wawasan atau pengetahuan seorang pembaca.
3) Tempat tinggal dan pergaulan pembaca.
4) Kemampuan seseorang memahami sebuah teks dan mengingatnya.
5) Diksi, atau pilihan kata, asing oleh penulis yang melampaui batas standar kemampuan pembaca.
6) Suku kata yang lebih dari tiga atau lebih dan banyaknya jumlah kata-kata sukar (big words) yang digunakan.
7) Kalimat dalam sebuah wacana yang panjang (lebih dari 7 kata per kalimat). Kalimat yang panjang akan menyulitkan pembaca untuk menghubungkan antara subjek, predikat, objek, dan keterangan. Dengan demikian, otomatis menyulitkan pemahaman sebab pembaca tidak dapat segera menangkap gagasan intinya.
Variabel-variabel di atas merupakan faktor-faktor yang menentukan keterbacaan sebuah wacana. Manakala seorang penulis (jurnalis) di dalam menulis laporan mengabaikan faktor-faktor tersebut di atas, dan menulis tidak didasarkan pada latar belakang audience, dapat dipastikan bahwa tingkat keterbacaan tulisannya sukar dimengerti. Kesulitan ini pada gilirannya mengaburkan pemahaman pembaca akan sebuah wacana, sehingga sebuah wacana yang sukar dipahami dikategorikan sebagai tinggi tingkat “Fog Index”-nya.
Orientasi pada pemahaman yang mudah oleh pembaca akan sebuah teks (laporan jurnalis) inilah yang mendorong Robert Gunning mencari dan akhirnya menemukan suatu formula/ teknik bagaimana menulis dengan jelas. Menurut Gunning, sebuah tulisan yang jelas berawal dari gagasan (fakta dan data) yang jelas pula.
Yang tidak kalah pentingnya ialah bahwa gagasan yang jelas harus ditulis dengan kata-kata yang jelas dalam sebuah kalimat yang jelas pula. Menggunakan kata yang populer, mudah dimengerti, kata yang akrab dekat dengan dunia pembaca, struktur kalimat tidak panjang dan tidak rumit.
Selain diksi atau pilihan kata yang dekat dengan pembaca, suku kata juga perlu diperhatikan, yakni gunakan kata yang terlampau banyak bersuku lebih dari tiga karena akan dihitung sebagai kata yang sukar (big words). Tidak dihitung sebagai big words adalah nama orang dan nama tempat.
Sebelum Robert Gunning menemukan rumusan bagaimana mengukur keterbacaan sebuah wacana pada 1952, dapat dikatakan tidak ada kesepakatan di dalam menetapkan keterbacaan sebuah wacana. Sebuah wacana oleh orang tertentu dikatakan mudah dimengerti, sementara oleh orang lain dikatakan sukar untuk dimengerti.
Terjadi perdebatan menyangkut pemahaman akan sebuah wacana. Mengapa demikian? Hal itu disebabkan oleh berbagai variabel sehingga terjadi perbedaan pemahaman seorang dengan orang lain akan sebuah wacana, padahal tingkat pendidikan mereka sama.
Terdapat banyak pustaka yang membahas mengenai readability (keterbacaan) suatu wacana. Tentu saja, peneliti memilih pustaka yang tepat dan cocok yang mendukung proses, metode, dan hasil penelitian ini. Berikut ini pustaka yang menjadi acuan utama dalam penelitian ini:
1) The Technique of Clear Writing oleh Gunning, R. McGraw-Hill International Book Co; New York, NY 1952.
2) The Measurement of Readability oleh George Roger Klare, Iowa State University Press, 1963.
3) Wikipedia.
4) http://simbon.madpage.com/Fog/fog.cgi
5) http://www.online-utility.org/english/readability_test_and_improve.jsp
6) http://www.readabilityformulas.com/gunning-fog-readability-formula.php
Referensi di atas dengan tegas menyebutkan bahwa suatu wacana dapat diukur keterbacaannya dengan menggunakan alat ukur yang disebut dengan “Fog Index”.
Perlu diberikan catatan bahwa terdapat banyak alat ukur keterbacaan suatu wacana selain Fog Index. Namun, peneliti tidak mengacu kepada formula atau alat ukur yang lain dengan tiga pertimbangan:
Pertama, formula Fog Index orisinal dan merupakan rumusan pertama yang ditemukan untuk mengukur keterbacaan suatu wacana.
Kedua, Fog Index umum digunakan.
Ketiga, formula Fog Index mudah.
Keempat, kendatipun pada awal mula ditemukan Fog Index untuk mengukur keterbacaan wacana dalam bahasa Inggris, formula ini dapat diterapkan dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
Kelima, skala angkanya tidak banyak dan tidak rumit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar