Selasa, 07 Desember 2010

The Triple Bottom Line

Saya ingin berkisah mengenai sebuah buku yang ditulis Andy Savitz dan Karl Weber yang terbit pada 2006.

Judul dan isinya sangat inspiratif The Triple Bottom Line: How Today's Best-Run Companies are Achieving Economic, Social, and Environmental Success — And How You Can Too.

Buku ini bukan hanya cerdas. Namun juga menggugat, sekaligus mencelikkan dan mengetuk hati para pemimpin bisnis agar merumuskan kembali apa tujuan perusahaan?

Sebagaimana dapat dilihat dari judulnya, perusahaan masa datang tidak cukup hanya memetik keuntungan sebanyak-banyaknya, melainkan juga peduli pada masalah sosial dan lingkungan hidup.

Ketiganya dijalankan serentak dan sama-sama harus sukses. Inilah kunci pertahanan perusahaan masa datang. Karena itu, muncul istilah tiga pilar atau populer dengan Triple Bottom Line.

Disebut demikian, karena triple (tiga) menunjuk pada people, planet, profit yang kerap pula disingkat TBL atau 3BL dan juga dikenal dengan "the three pillars”.

Namun, sebelum populer seiring terbitnya buku tersebut, sejatinya triple bottom line sudah pernah digagas oleh John Elkington pada tahun 1994. Ia kemudian memerluas dan mengartikulasikan pemikiran tersebut dalam Cannibals with Forks: the Triple Bottom Line of 21st Century Business.

Meski demikian, orang lebih terpukau dengan karya Andy Savitz yang menegaskan bahwa TBL terdiri dari people (masyarakat), planet (lingkungan sosial) dan keuntungan (ekonomi). Sebenarnya, frasa ini pada awal mula diciptakan untuk Shell dengan konsep keberlanjutan, dipengaruhi oleh pemikiran abad ke 20 Urbanis Patrick Geddes tentang rakyat, pekerjaan, dan tempat. BTL coba menggambarkan garis triple bottom dan tujuan yang keberlanjutan.
***
Savitz menggagas bahwa tuntutan TBL merupakan tanggung jawab perusahaan dengan pemangku kepentingan terletak bukan hanya pada pemegang saham.

Dalam hal ini, stakeholders mengacu kepada siapa saja yang dipengaruhi, baik secara langsung atau tidak langsung, oleh tindakan perusahaan.

Menurut teori stakeholders, entitas bisnis harus digunakan sebagai wahana untuk mengkoordinasikan kepentingan para pihak terkait, bukan hanya memaksimalkan dan menunaikan kepentingan pemegang saham (pemilik) keuntungan.

Oleh karena itu, perusahaan masa datang harus bertitik pangkal pada tiga pilar sebagai berikut.

People (modal manusia) sebagai pilar pertama ialah orang berkaitan dengan praktik bisnis yang adil dan menguntungkan terhadap buruh dan masyarakat dan daerah tempat perusahaan menjalankan bisnisnya.

Sebuah perusahaan yang peduli pada TBL akan memerhatikan struktur sosial timbal balik di mana kesejahteraan perusahaan, tenaga kerja, dan kepentingan stakeholders lainnya saling bergantung, saling membutuhkan, dan saling menopang satu sama lain.

Sebuah perusahaan yang berbasis TBL berupaya memberikan banyak manfaat pada masyarakat sekitar, bukan mengeksploitasi atau membahayakan setiap kelompok dari mereka.

Hilir dari sebagian keuntungan dari pemasaran barang jadi haruslah kembali ke produsen asli yang memasok bahan baku tadi. Misalnya, seorang petani dalam praktik perdagangan pertanian yang adil akan memeroleh kembali harga pupuk dan alat-alat pertanian yang murah.

Secara konkret, bisnis yang menjalankan TBL tidak akan menggunakan tenaga kerja anak dan memantau semua perusahaan yang dikontrak untuk tidak mengeksploitasi buruh anak, akan membayar gaji yang adil dan tepat waktu kepada para pekerja, memelihara lingkungan kerja yang aman dan menoleransi jam kerja, dan tidak akan mengeksploitasi masyarakat atau perusahaan tenaga kerja.

Sebuah bisnis yang menjalankan TBL juga biasanya berusaha untuk "memberikan kembali" dengan berkontribusi terhadap kekuatan dan pertumbuhan masyarakat dengan menekankan kepedulian pada masalah kesehatan dan pendidikan masyarakat sekitar.

Planet (bumi sebagai modal dan sumber daya alam) sebagai pilar kedua mengacu pada praktik-praktik pelestarian dan pemeliharaan lingkungan hidup yang berkelanjutan. Sebuah upaya perusahaan untuk mendapatkan keuntungan TBL ialah bukan hanya menyatu dan bersahabat dengan alam, tetapi juga tidak merusak tatanan alam, mengurangi dampak lingkungan dan menjaganya agar tetap lestari.

Sebuah perusahaan yang peduli pada TBL berupaya mengelola konsumsi energi dan non-energi terbarukan dan mengurangi pemborosan manufaktur serta limbah beracun dan mengolahnya, sebelum membuangnya dengan cara yang aman dan legal.

Sementara sampah-sampah organik dapat diolah menjadi pupuk dan diolah dengan cara yang baik dan aman agar tidak merusak lingkungan. Sebuah perusahaan triple bottom line tidak menghasilkan produk yang berbahaya atau merusak seperti senjata, bahan kimia beracun, atau baterai yang mengandung logam berat yang berbahaya.

Saat ini, biaya untuk membuang produk non-degradable atau beracun ditanggung oleh pemerintah dan warga di dekat lokasi pembuangan dan tempat lain.

Dalam pola pikir TBL, sebuah perusahaan yang memroduksi dan memasarkan produk yang akan menimbulkan masalah sampah tidak harus diberi tumpangan gratis oleh masyarakat.

Itu akan lebih adil bagi usaha yang memproduksi dan menjual produk bermasalah untuk menanggung sebagian dari biaya pembuangan akhirnya. Banyak perusahaan meninggalkan “sampah” di sekitar setelah mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya.

Praktik ekologis yang merusak, seperti penebangan hutan atau praktik membahayakan sumber daya lainnya akan dihindari oleh perusahaan TBL.

Sering kali keberlanjutan lingkungan adalah program lebih menguntungkan bagi bisnis dalam jangka panjang. Argumen bahwa biaya lebih besar untuk membuat perusahaan atau menciptakan produk ramah lingkungan sering sebagai lips service ketika program bisnis dianalisis selama periode waktu tertentu dan jauh praktik dari visi misi yang dicanangkan.

Perusahaan yang bergerak pada sektor swasta yang peduli terhadap tanggung jawab sosial perusahaan menunjukkan komitmen yang kuat pada TBL. Bahkan, sebagian besar keuntungan perusahaan dialokasikan untuk menangani masalah-masalah ekologi.

Profit (keuntungan) sebagai pilar ketiga adalah nilai ekonomi yang dibuat oleh organisasi setelah dikurangi biaya semua masukan, termasuk biaya modal diikat (cost of the capital tied up).

Oleh karena itu, berbeda dari definisi laba akuntansi tradisional. Dalam konsep aslinya, dalam kerangka keberlanjutan, aspek "keuntungan" perlu dilihat sebagai manfaat ekonomi riil yang dapat dinikmati oleh masyarakat dan lingkungan sekitar.

Ini adalah dampak ekonomi riil organisasi tersebut terhadap lingkungan ekonomi. Hal ini sering membingungkan karena konsep awal perusahaan terbatas pada keuntungan internal yang dibuat oleh sebuah perusahaan atau organisasi (yang bagaimanapun tetap merupakan titik awal yang penting untuk bisnis).

Oleh karena itu, pendekatan TBL yang asli tidak dapat ditafsirkan sebagai laba akuntansi tradisional perusahaan hanya ditambah dampak sosial dan lingkungan kecuali "keuntungan" dari entitas lain, termasuk manfaat sosial.

Gagasan, atau filosofi apa di balik ditekankannya secara serempak TBL?
Andy Savitz mengajak perusahaan berpikir melampaui zamannya. Kebanyakan orang mengira bahwa perusahaan yang baik dan benar ialah yang berorientasi pada profit dan menafikan planet dan people. Benar, namun ini konsep lama yang harus segera masuk ke dalam kotak pandora.

Palingkan wajah dan lihatlah betapa perusahaan-perusahaan dan praktik bisnis di Amerika dicaci maki dunia karena skandal keuangan, kecerobohan mengabaikan lingkungan dan kepentingan umum. Nama-nama perusahaan secara jelas disebutkan dalam buku ini, mulai dari Enron hingga Worldcom dan ImClone.

Kasus yang dialami dan menimpa lembaga-lembaga bisnis yang mengabaikan TBL cukup menampar wajah para eksekutif. Mereka lalu bertanya dan berefleksi: apakah cukup hanya menyenangkan para pemangku kepentingan dan mendapatkan keuntungan?

Keuntungan sejati adalah jika sebuah perusahaan dapat memberdayakan masyarakat sekitar dan menyatu dengan alam. Para eksekutif lalu mengatakan bahwa keuntungan sejati adalah profit yang diraih dalam sweet spot.

Andy Savitz membeberkan dalam The Triple Bottom Line bahwa tempat kepentingan perusahaan (spot) dan masyarakat bersinggungan. Ini adalah paradigma baru untuk mengukur bottom line bahwa keuntungan perusahaan berjalan seiring dengan lingkungan dan masyarakat sekitar.

Savitz, mantan kepala PricewaterhouseCooper's mengatakan bahwa perusahaan yang ingin usahanya beberlanjutan, harus bersedia mengubah mindset-nya bahwa lingkungan dan masyarakat sekitar adalah pilar lain yang menopang tetap tegaknya perusahaan. Keduanya tidak boleh dimanipulasi, sebaliknya diberdayakan dan dilestarikan.

Boleh dikatakan bahwa TBL adalah cetak biru bagi para eksekutif dan perusahaan untuk menemukan jalan menjadi perusahaan yang berkelanjutan, menguntungkan, dan yang memunyai masa depan di era di mana masalah lingkungan dan sosial tidak lagi lepas dari perusahaan.

Buku ini juga merupakan hasil dari studi kasus beberapa perusahaan yang bandel dan perusahaan yang ramah lingkungan dan peduli pada masyarakat, antara lain: Hershey Foods, PPL, Toyota, GE, Wal-Mart, McDonalds, dan Exxon.

Istilah “berkelanjutan” perlu didefinisi ulang oleh lembaga bisnis. Di masa datang, hal itu berarti bahwa sebuah perusahaan yang menciptakan keuntungan bagi para pemegang saham, sekaligus melindungi lingkungan dan meningkatkan kehidupan orang-orang dengan siapa perusahaan itu berinteraksi.

Perusahaan mengoperasikan sehingga kepentingan bisnis dan kepentingan lingkungan dan masyarakat bersinggungan. Sebuah bisnis yang berkelanjutan meretas kesempatan yang sangat baik menjadi lebih sukses besok dari saat ini, dan sisanya sukses, bukan hanya untuk bulan atau bahkan bertahun-tahun, namun selama beberapa dekade atau generasi.

Di masa datang, lembaga bisnis diharapkan menemukan cara-cara untuk menjadi bagian dari solusi atas masalah yang dihadapi dunia, lingkungan, dan masyarakat.

Kini banyak perusahaan berlomba-lomba mencari cara terbaik untuk mengubah tantangan menjadi peluang. Ketika bisnis dan kepentingan masyarakat tumpang tindih, sebenarnya tidak ada dikotomi, namun semua pihak saling diuntungkan.

Karena itu, buku Savitz lebih dari sekedar melihat kembali apa yang telah dilakukan perusahaan --utamanya di Amerika— sebagai benar atau salah.

Lebih dari itu, Savitz membantu para pemimpin bisnis melihat ke depan bagaimana perusahaan yang mereka kelola dapat menemukan spot kondusif dan menyenangkan, mulai dari langkah-langkah sederhana seperti mengurangi konsumsi energi dan kecelakaan kerja karyawan menjadi bisnis yang kompleks untuk menciptakan pembangunan ekonomi saat melakukan deal bisnis dengan orang yang masih terbelakang.

"Bisnis," tulis Savitz, "dipaksa untuk merespons kondisi sosial, perubahan ekonomi dan lingkungan di dunia sekitar. Sama seperti pemanasan global pada dasarnya mengubah lanskap komersial dan peraturan untuk energi dan perusahaan mobil, sehingga munculnya HIV / AIDS, SARS dan malaria, serta wabah penyakit yang persisten telah mengubah model bisnis dasar bagi perusahaan farmasi.

Sama seperti Nike berubah dengan penemuan anak yang bekerja di pabrik-pabrik di luar negeri, sehingga Wal-Mart sekarang dihadapkan dengan biaya tinggi dari upah yang rendah dan McDonalds dengan masalah obesitas.

Masalah yang sama diciptakan Dell, Apple, dan IBM menciptakan komputer pribadi karena itu mereka harus menjembatani kesenjangan digital.”
"Perusahaan yang benar-benar berkelanjutan," simpul Savitz "tidak akan perlu menulis cek untuk amal dan tidak perlu memberi kembali kepada masyarakat setempat dalam bentuk barang atau uang. Mengapa? Karena operasi sehari-hari perusahaan tidak akan menghilangkan masyarakat, tapi akan memperkaya mereka.

Dengan mempekerjakan masyarakat sekitar dan memelihara lingkungan, sebuah perusahaan dengan sendirinya makin mencengkeramkankan tumpuan kakinya dengan menambahkan dua pilar yang membuatnya makin kokoh dan berkelanjutan, selain pilar keuntungan.

Hanya mengandalkan pilar keuntungan saja, sebuah perusahaan akan rapuh. Namun, dengan menambahkan dua pilar lain, yakni masyarakat dan lingkungan, sebuah perusahaan akan kokoh.

Tidak ada komentar: