Kamis, 30 Desember 2010

Mengutip dan Mengolah Sumber

Tidak ada sesuatu yang baru di atas muka bumi (di bawah matahari). Adagium terkenal ini pun berlaku dalam dunia ilmiah, termasuk dunia kepenulisan kreatif.

Tidak ada yang baru, dalam arti segala yang ada di jagat raya ini sudah diberikan Allah sebagai karunia kepada makhluk-Nya. Banyak hal yang belum diketahui manusia, sehingga untuk itu, diperlukan akal budi untuk memahami dan mengenalnya. Lahirlah ilmu pengetahuan dan teknolog sebagai upaya sistematis dan diakletis manusia di dalam upaya mencoba memahami dan menyelami rahasia semesta.

Mengutip dan mengolah sumber agar tidak plagiat mengenal berbagai cara atau gaya. Setidaknya, dikenal lima cara atau gaya dalam mengutip sumber yakni
1) Harvard Citation Style
2) Chicago & Turabian Style
3) MLA Style
4) British Standard (numeric) system
5) Oxford Referencing System
Kelima cara atau gaya mengutip dan mengolah sumber ini berbeda satu sama lain, meski jika titilik dari substansi atau kelengkapan informasi dan data yang disajikan pada hakikatnya sama saja. Oleh karena itu, semestinya tidak ada alasan untuk fanatik atau mengharuskan menggunakan dan menerapkan salah satu gaya.

Yang ada hanyalah kebiasaan atau kekonsistenan di dalam penerapannya. Sering latar belakang pendidikan dan tradisilah yang membuat seseorang menganut salah satu gaya. Akan tetapi, manakala ia bergabung dalam komunitas atau masuk dalam tradisi tertentu hendaknya menyesuaikan dengan gaya yang dianut. Tidak perlu bersikukuh dengan gaya yang sudah pernah diterapkan sebab gaya bukanlah substansi itu sendiri, substansinya ialah kelengkapan data dan informasi yang disajikan.

Ciri-ciri dan contoh masing-masing cara atau gaya dalam mengutip sumber akan dibahas pada bab tersendiri.

KIAT TIDAK PLAGIAT

Plagiat dalam dunia ilmiah tidak dapat dibenarkan. Sebab, plagiat adalah tindakan mengingkari kejujuran. Padahal, kejujuran dalam dunia ilmiah adalah harga mati, tidak bisa ditawar-tawar.

Meski demikian, masih saja kita menjumpai bukti, insan akademik melanggar kaidah tadi. Di sebuah perguruan tinggi negeri terkemuka di Jogja, seorang dosen langsung jatuh pamor dan harganya, gara-gara menjiplak karya ilmiah orang lain, menulis namanya sebagai penemu dan pembuat, padahal sebagian besar karya orang lain. Lagi pula, cara-cara yang ditempuh kurang etis, sehingga berujung pada sanksi sosial dan sanksi pidana.

Tidak berarti plagiat lalu menjadi momok bagi seseorang untuk tidak mengangkat pena sama sekali. Berkaitan dengan dunia tulis-menulis, lebih-lebih menulis ilmiah, bolehkah penulis mengutip sumber luar yang sekiranya mendukung atau membenarkan ide-ide dan hasil temuannya? Boleh sekali, malah sangat dianjurkan. Yang penting, penulis jujur pada sumber. Sumber yang digunakannya sebagai rujukan/referensi, atau bahan yang diolahnya menjadi tulisan, hendaknya disebutkan dengan jujur (bagaimana mengutip sumber, akan dijelaskan pada bagian tersendiri).

Mengutip tanpa menyebut dengan jujur sumbernya, dapat diseret ke meja hijau dengan dakwaan pelanggaran terhadap Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Sebagai penulis, kita perlu mafhum soal Hak Cipta, sehingga terhindar dari perkara pidana.

Pasal 15 butir a Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002, menegaskan, “Dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta: penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.”

Asalkan jujur pada sumber, tidak ada masalah di dalam menulis buku ajar seorang dosen mengutip sumber lain, baik untuk mendukung hasil temuannya, maupun untuk mengembangkan ide-idenya.

MENGAPA DAN BAGAIMANA
MENGUTIP SUMBER?

Namanya saja mengutip maka sebuah kutipan haruslah sesuai dengan aslinya, baik dalam hal tanda baca, ejaan, kata, dan kalimat –kecuali jika ada kata atau kalimat tertentu yang sengaja dihilangkan karena dianggap tidak relevan.

Apabila sebuah kutipan secara gramatikal maupun dari keutuhan gagasan merupakan sebuah kalimat maka suatu kutipan tidak diawali dengan huruf kapital, walaupun aslinya ditulis dengan huruf kapital.

Sebagai contoh (teks aslinya) sebagai berikut.

Get friends to do it for you. It’s easier for others to see our mistakes than it is for us to spot them.

Sebagai penulis, kita ingin mengutip sumber asli karya Jean Marie Stine (1997) ini untuk mendukung pendapat kita bahwa jasa rekan atau kolega penting untuk membantu mengedit naskah dan bahwa kerap orang lain lebih jeli melihat kesalahan daripada penulisnya sendiri. Jika secara gramatikal dan merupakan satu kesatuan gagasan maka huruf G pada “Get” yang dalam naskah alinya kapital, dalam sebuah kutipan menjadi huruf kecil. Misalnya,

Agar hasil tulisan semakin sempurna, Marie Stine (1997) menganjurkan kepada setiap penulis, “get friends to do it for you.“

Bagaimana teknik mengutip sumber?
Lazimnya, jika kutipan hanya terdiri atas satu sampai dengan tiga kalimat saja, kutipan langsung masuk dalam body text (paparan), baru menyebutkan sumbernya dipetik dari mana.

Seorang penulis ingin mencari pembenaran idenya, bahwa naskah buku yang baik itu perlu distrategikan pengadaannya. Untuk itu, industri penerbitan perlu membangun jejaring agar mendapat naskah yang bagus. Setelah lama mencari, akhirnya ia menemukan pendapat praktisi sekaligus pakar di bidangnya. Si penulis memutuskan untuk memasukkan pandangan praktisi dan pakar tadi.

Contoh:
Pakar, sekaligus praktisi perbukuan dari Bandung, Bambang Trim (2005) menegaskan bahwa “penerbit perlu bahan baku buku berupa naskah. Tanpa naskah penerbit tidak akan bisa hidup.”

Akan tetapi, jika tidak mengutip persis sumbernya, dan hanya memasukkan intinya saja, bisa demikian.

Buku yang baik perlu distrategikan pengadaannya. Untuk itu, industri penerbitan perlu membangun jejaring agar mendapat naskah yang bagus untuk diterbitkan (Bambang Trim, 2005).

Manakala dirasakan bahwa ide pokok sumber yang dikutip sulit dilacak karena sudah diolah —seperti memasak cap cay atau mendirikan bangunan— maka sumber itu tidak perlu disebut.
Ada juga kutipan dari sumber ukuran huruf atau jenis huruf dibedakan dari bahasan pokok.

Contoh:
Marketing, menurut Kotler dan Armstrong (2006) “in the new sense marketing must be understood of satisfying customer needs. …marketing is a social and managerial process by which individuals and groups obtain what they need and want through creating and exchanging value with others.”

Terutama dalam karya ilmiah, termasuk buku ajar, kutip-mengutip menjadi hal yang lazim. Namun, banyak akademisi merasa canggung, bahkan ada yang merasa khawatir, apakah di dalam penulisan karya ilmiah dibenarkan mengutip sumber lain? Sejauh mana boleh mengutip, sehingga si pengutip tidak disebut plagiat dan tidak melanggar hukum? Mengapa harus mengutip dan adakah kiat-kiatnya?
Sebagai penulis, kita sebenarnya meramu berbagai bahan menjadi sajian yang tidak saja enak rasanya, tapi juga menarik bentuknya. Kutipan yang terlampau banyak, dapat menyeret seorang penulis pada tuduhan ia hanyalah mengkompilasi, atau malah melakukan plagiat. Sebaliknya, tidak mengutip sama sekali, akan dipertanyakan, apakah seluruh gagasan, informasi, fakta, serta temuan yang dutulisnya benar merupakan gagasan orisinalnya?
Mengutip sumber lazim dilakukan penulis pada setiap karya tulis ilmiah, selain buku. Demi menghindari pelanggaran hak cipta, dan dengan mempertimbangkan etika dalam penulisan karya ilmiah, penulis perlu mengetahui kaidah-kaidah mengutip.
Kapan seorang penulis harus mengutip sumber? Penulis mengutip sumber ketika:
1. Sumber tersebut benar-benar diperlukan untuk mendukung gagasan penulis bahwa sebelum itu pernah ada orang lain yang menyampaikan dan atau melempar gagasan serupa.
2. Membuktikan permasalahan dan persoalan yang Anda sampaikan.
3. Mengritik atau mengamini premis atau temuan orang lain.
4. Membangun argumen/ simpulan Anda sendiri dengan menggunakan premis-premis yang sudah ada sebelumnya.
5. Menggarisbawahi gagasan atau bagian tertentu.

Hal yang perlu dihindari ialah, kutipan yang tidak menambah makna apa-apa dalam bangun tulisan Anda. Jangan sekali-kali mengutip sumber dengan tujuan untuk “memamerkan” bahwa Anda telah membaca sumber itu, padahal tidak relevan dengan topik yang sedang dibahas. Buang jauh kesombongan intelektual seperti itu, sebab Anda akan membangun citra yang kurang baik.

Mengutip sumber langsung memang lazim dan kerap sangat berguna. Namun, namanya mengutip, jangan sekali-kali melakukan kesalahan ketika mengutip. Kutiplah dengan saksama dan seakurat mungkin.

Kalau ternyata terdapat kesalahan dalam teks yang dikutip, penulis dapat memberikan catatan khusus langsung pada teks dengan tanda kurung, lalu diberi catatan ‘sic.’, yakni singkatan dari sicut (Latin) yang berarti : memang demikianlah aslinya (tercetak). Atau, sesuai dengan petunjuk dari Depdiknas-Pusat Bahasa seperti termuat dalam buku Pedoman Umum EYD, berikan tanda siku [ ] mengapit kutipan yang ternyata salah itu.

Contoh teks asli:
Menteri Tenaga Kera di Jakarta mengatakan bahwa para buruh akan dinaikkan upahnya dua kali lipat tahun depan.

Sebagai penulis, Anda menyaksikan, terdapat kesalahan fatal pada kata ‘Kera’. Seharusnya, Kerja. Jadi, tercetak kurang huruf r. Anda mengutip, namun tak mau konyol dengan melakukan kesalahan serupa. Bagaimana caranya?

1. Cara pertama
Menteri Tenaga Ker[j]a di Jakarta mengatakan bahwa para buruh akan dinaikkan upahnya dua kali lipat tahun depan.
2. Cara kedua
Menteri Tenaga Kera (sic.) di Jakarta mengatakan bahwa para buruh akan dinaikkan upahnya dua kali lipat tahun depan.

CARA MENGUTIP

Dalam dunia ilmiah, mengutip karya, temuan, hasil penelitian, atau gagasan orang lain—terutama pakar—tidak diharamkan. Bahkan, untuk sebagian akademisi, kutipan itu sangat vital, asalkan jujur pada sumber.

Apa kompensasi bagi orang yang karya ciptanya dikutip? Kompensasinya ialah, dengan dikutipnya karya, temuan, hasil penelitian, atau gagasan tadi, pencetusnya akan jadi populer dan dikenal. Dengan dikenal, ia akan mendapat efek domino. Ini namanya kontraproduktif, atau win-win solution.
Dalam mengutip, terdapat dua cara yang lazim digunakan yakni:
1) Sistem Harvard.
2) Sistem numerik.

Yang paling disukai dalam penulisan karya ilmiah ialah cara mengutip dengan sistem Harvard. Selain paling umum, sistem mengutip ala Harvard juga gampang, selain memudahkan penulis di dalam menggunakan dan menelusuri kembali sumber atau rujukan.
Sistem Harvard sendiri mengenal dua pola : (1) kutipan yang terintegrasi dalam teks dan (2) rujukan bibliografis.

a. Kutipan yang terintegrasi atau tekstual
Untuk kutipan ini, biasanya halaman sumber dicantumkan, sebab penulis merujuk langsung pada sumber yang dikutip.

Contoh 1:
Ada banyak ragam lead. Masing-masing penulis buku jarang menyepakati jumlahnya, namun mereka umumnya sepakat bahwa lead berfungsi mengantar pembaca memasuki sebuah tulisan. Dengan membaca lead, orang sudah mafhum inti tulisan. Seperti ditegaskan R. Masri Sareb Putra (2006):

Dalam dunia jurnalistik, lead juga disebut sebagai “teras berita”. Pada sebuah rumah, teras selalu berada di bagian depan. Fungsinya sebagai ruang khusus sebelum memasuki ruang utama (inti) (hlm. 58).

Contoh 2:
Di era multimedia, banyak pakar mencemaskan semakin sedikitnya orang menggunakan kertas sebagai media komunikasi. Namun, R. Masri Sareb Putra (2007) melihat sebaliknya. Kertas dan media digital tidak saling meniadakan, justru saling melengkapi. Tidak ada media lain, selain kertas, yang dapat menggantikan proses pendidikan, utamanya belajar-mengajar. Pendidikan hampir selalu berkaitan dengan proses dan kegiatan cetak-mencetak. Karena itu, pertumbuhan media akan dibarenngi pula dengan semakin dihargainya profesi penulis. Bahkan, prospeknya sangat cerah.

Karena pemilik copyright (sumber) telah disebut dan juga tahunnya, maka dua hal ini tidak menjadi persoalan. Namun, pembaca tentu penasaran, minimal bertanya-tanya, sumber yang dikutip? Apa judul sumber yang dikutip, dalam bentuk publikasi apa, apa penerbitnya?

Kalau sumber yang dikutip berupa koran dan majalah, niscaya jumlah halamannya tidak sampai 58. Jurnal mungkin halamannya sampai 58. Tapi yang paling mungkin adalah buku. Bagaimana mengacu ke sumber? Untuk memudahkan pembaca, penulis perlu mencantumkan sumber yang dukutipnya lengkap dalam Daftar Pustaka. Dengan mencantumkannya dalam Daftar Pustaka, maka pembaca dapat menyelisik sumber yang dikutip, jika memerlukannya.

Bagaimana dengan kutipan pada contoh 2, di mana sumber tidak dicantumkan? Dilihat dari isinya, memang tidak perlu mencantumkan sumber, sebab sesungguhnya itu bukan kutipan teks, namun kutipan opini/gagasan/hasil temuan dari nara sumber. Penulis telah meringkasnya dengan bahasanya sendiri, ia menulis intisari saja dari sumber yang ia petik. Cara mengacu sumber asli, juga sama dengan contoh 1, yakni melacaknya dari Daftar Pustaka. Ternyata, setelah mencari, akhirnya contoh kutipan kedua itu dipetik dari buku Menulis: Meningkatkan dan Menjual Kecerdasan Verbal-Lingustik Anda, penerbit Dioma, 2005, hlm. 115.

Yang sama dari contoh 1 dan 2, kutipan yang terintegrasi perlu dibedakan body text (asli tulisan Anda) dengan kutipan. Agar berbeda, dapat keduanya menggunakan point huruf (font size) yang berbeda, atau dengan jenis huruf (tipologi) yang berbeda.
Selain kedua contoh tersebut, kita masih sering menemukan berbagai variasi lain dari cara mengutip model Harvard. Misalnya,
1. Sebuah riset baru-baru ini (James Pennebaker 2007) menemukan bahwa menulis banyak sekali manfaatnya, antara lain menulis dapat menghilangkan trauma-trauma masa lalu.
2. Parakitri T. Simbolon (2006) mencatat terdapat 16 ragam lead.
3. Studi-studi mutakhir mengenai komunikasi sampai pada kesimpulan, setiap bangsa memiliki persepsi masing-masing terhadap sebuah perilaku atau simbol yang sama (lihat misalnya Carté dan Fox 2006).
4. Dalam studi mengenai efek atau pengaruh penonton Anfield, psikolog bernama Kampret Terbang Tinggi (2007, hlm. 113) menyebut bahwa penonton di stadion Anfield adalah pemain ke-12 pasukan merah Liverpool. Tidak mengherankan, jika bermain di kandang, Liverpool hampir selalu menang. Sebab, mereka berhadapan dengan 11 pemain lawan.

Itu adalah contoh dan sejumlah variasi model kutipan Harvard. Memang masih menyisakan perdebatan, seperti cara mengutip ala Harvard mengurangi kelancaran (dan kenyamanan) membaca.

Oleh karena itu, penulis hendaknya mengurangi jumlah rujukan tekstual yang dipetik. Lagi pula, akan muncul kecurigaan: benarkah penulis membaca seluruh sumber yang dikutip? Bukankah litani yang dikutip itu bukan ihwal yang bermaksud memamerkan atau untuk gagah-gagahan?

Dalam mengutip gaya Harvard, hindari kutipan seperti yang berikut ini.

Tidak ada kesepakatan soal definisi komunikasi (Laswell, 1937; Little John 2005; Rupert Murdoch 1998; Astrid Susanto 2001; Brian Clegg 2001; Jamiludin Ritonga 2005; Wiryono, 2005; Dani Vardiansyah 2005; Lidia Evelina 2006; Masri Sareb Putra 2006; Arifin Harahap 2006; Zaenal Abidin 2006; Emrus Sihombing 2006; Ati Cahayani 2006; Jenni Purba 2006; Jalaludin Rahmat 2006; Berta Sri Eko 2007; Carté dan Fox 2006; Rozikis dan Ambulu 2007; Thomson 2007; Kukuh Prihmanto 2007; Ande-ande Lumut 2007, Djoko Bodo 2007; Lita Mawarni 2007; Dian Utama Purnama et at. 2006, 2007). Dengan ada begitu banyak definisi komunikasi, maka justru pengertian komunikasi jadi simpang siur. Dari kesepakatan para pakar untuk tidak bersepakat soal definisi komunikasi, dapat disimpulkan, upaya membangun komunikasi untuk menyepakai definisi komunikasi mengalami diskomunikasi. Dengan demikian, terjadikah komunikasi ketika membahas definisi komunikasi, sebab dari awal para pakar sudah mengalami diskomunikasi?

b. Kutipan dan cara mengatur rujukan bibliografis
Rujukan berasal dari kata ”rujuk” yang berarti: acuan. Makna kata ini sepadan dengan referensi (to refer = mengacu). Adapun bibliografi berasal dari kat Yunani biblos atau ta biblia (jamak) yang berarti buku dan grafein yang berarti tulisan atau ilmu. Jadi, bibliografi ialah buku yang di dalamnya terkandung tulisan dan atau gambar. Rujukan dalam bentuk tulisan, baik cetak maupun etektronik, dapat ditulis berdasarkan kategori medianya seperti contoh berikut.

1. Mengutip dan mengatur rujukan dari buku

Carté dan Fox (2004) Bridging the Culture Gap: A Practical Guide to International Business Communication, London, Kogan Page.

2. Mengutip dari koran, majalah, jurnal

Vanda Gunawan (2007) “Hati-hati dengan Kambing Guling” Nirmala, edisi Mei, halaman 24.

3. Mengutip dari sumber internet
Abdul Aziz, Tunku (diakaes 10 Mei 2007), Transparency International (Online) http://www.transparency.org (http://transparencymauritius.intnet.mu/cpiwhat2.htm)

Masih menjadi bahan perdebatan, manakah pola (gaya) yang paling benar? Bukan soal benar tidaknya, tapi soal praktis atau kelaziman dan mana yang paling banyak digunakan orang. Umumnya, kalangan akademis menggunakan gaya Harvard, sebab dibandingkan dengan yang dianjurkan Pusat Bahasa, model Harvard masih lebih sederhana dan mudah.

Akan halnya, apakah nama penulis harus dibalik ataukah tidak, masih perlu diperdebatkan. Mengapa umumnya nama penulis luar, terutama Barat, dibalik? Ini karena mereka mengenal nama kecil, nama keluarga, dan nama diri. Di Indonesia, kecuali bangsa tertentu, tidak mengenal seperti ini. Maka, apakah nama mesti dibalik atau tidak dalam tata krama penulisan sumber di Indonesia, sangat tergantung konteks.

Sebagai contoh, inilah cara mengutip bibliografi seperti dianjurkan Depdiknas-Pusat Bahasa.

Partao, Zainal Abidin. 2006. Teknik Lobi dan Diplomasi untuk Insan Public Relations. Jakarta : PT Indeks.

Debat soal ini pernah terjadi pada pada forum ilmiah ketika FKGUI menyelenggarakan teknik penulisan buku ajar tahun 2006. Debat dan adu argumentasi akhirnya sampai pada simpulan, cara mana yang dipilih, tidak persoalan. Yang penting, di dalam mengutip, data yang dibutuhkan pembaca lengkap. Kalau data tidak lengkap, maka menggunakan cara mengutip yang dirasa paling hebat pun jadi tidak banyak faedah. Jika sumber yang dikutip lengkap datanya, maka dengan menggunakan gaya mana pun, kutipan jadi mudah untuk dilacak.

Kata, atau frasa, apa yang dapat digunakan untuk memulai kutipan? Banyak cara dapat digunakan untuk memulai kutipan. Berikut ini frasa yang lazim digunakan mengawali kutipan dalam penulisan karya ilmiah.

Si anu….
Menurut si anu….
Menurut pendapat si anu…
Menurut pandangan si anu…
Seperti di-…. si anu….

Frasa tersebut dapat digunakan secara bervariasi, sehingga tidak membosankan. Lazimnya, setelah frasa, diikuti kata yang berikut ini.
menulis
mencatat
berargumen
menemukan.
menyimpulkan
mengomentari
menegaskan
menyarankan
mengobservasi
memasukkan
menyatakan
mengemukakan
menolak
mengklaim
menyepakati
menunjukkan
mengatakan
menjelaskan

Setiap kata mengandung nuansa sendiri-sendiri, kapan sebaiknya digunakan, bergantung pada konteks. Kalau misalnya pendapat yang dikutip memang dibukukan, namun sebelumnya disampaikan pada prosiding seminar, maka kata “mengatakan” masuk akal. Namun, kalau pendapat dalam bentuk karya cetak, kata “mengatakan” terasa janggal; akan lebih baik jika “menulis” atau “mencatat”.

Di Kanada dan Amerika, koma tidak pernah berada di luar tanda petik. Tanda baca koma (,) selalu merupakan bagian utuh dari kutipan, atau penulis yang dikutip. Sebagai contoh:

"I am a man/ more sinned against than sinning," Lear pronounces in Act 3, Scene 2 (59-60).

Bagaimana di Indonesia? Tampaknya, tidak ada keseragaman untuk itu. Ada penulis yang menempatkan tanda koma (,) seperti cara Kanada dan Amerika, namun ada pula yang menempatkannya setelah tanda petik. Manakah yang baku? Di sini kembali lagi pada pilihan dan kelaziman. Jika ingin dianggap setara negara maju, maka tempuhlah cara penulisan ilmiah seperti mereka juga!

dari BAB 6 naskah buku Kiat Menghindar Plagiat (PT Indeks, dalam proses penerbitan)

Tidak ada komentar: