Jumat, 10 Desember 2010

Jurnalistik Sastrawi dan Perkembangannya di Indonesia

A. Latar Belakang
The new journalism, atau jurnalistik sastrawi (bukan jurnalisme sastrawi, sebab tidak pernah dua kata sifat menjadi satu, dan ini salah kaprah!) kini kembali jadi perbincangan hangat. Terutama setelah Molly Blair (2006) merilis disertasinya Putting the Storytelling Back into Stories: Creative Non-fiction in Tertiary Journalism Education, yang membahas mengenai unsur-unsur atau apa yang membentuk senyawa journalism . Separuh menggugat, Blair menyebut contoh apa jenis tulisan yang mengandung jurnalistik dan mana yang tidak. Lebih lanjut, ia memaparkan secara detail posisi jurnalistik sastrawi dalam konfigurasi media hari ini.

Selanjutnya, Cindy Royal and Dr. James Tankard dalam “The Convergence of Literary Journalism and the World Wide Web: The Case of Blackhawk Down” menjelaskan bahwa “The concept of Literary Journalism is one that has sparked much debate.

In contrast to standard reportage, which is characterized by objectivity, direct language, and the inverted pyramid style, literary journalism seeks to communicate facts through narrative storytelling and literary techniques. The concept itself has been described with a variety of terms, including new journalism, creative nonfiction, intimate journalism or literary nonfiction. The
phrase "New Journalism" was popularized in a book of that title by Tom Wolfe. He cited the works of talented feature writers of the day — Gay Talese, Jimmy Breslin, Truman Capote, Hunter S. Thompson, Joan Didion, Norman Mailer — as well as examples of his own writing. He also pointed out writers throughout history that had written in a style that would be commensurate with that of literary journalism, including Stephen Crane, George Orwell, Charles Dickens, and John Hersey. Wolfe's own description of this style is that "it just might be possible to write journalism that would…read like a novel." But, he adds, its power over fiction writing is "the simple fact that the reader knows all this actually happened.”6 What the literary journalist tries to do is to convey a deeper truth than the mere presentation of facts can accomplish. Fiction writers can enjoy the license to create, to make things fit, to apply just the appropriate symbol to
convey meaning. Literary journalists must work within the boundaries of dialogue and scenarios that they have either witnessed or had conveyed to them by witnesses or documentation of such events!”

B. Tinjauan Pustaka

Aminuddin, Drs., MPd. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Atmowiloto, Arswendo. 2004. Mengarang Itu Gampang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Blair, Molly. 2006. Putting the storytelling back into stories: Creative Non-fiction in tertiary journalism education.
Bonneff, Marcel. Komik Indonesia. 1998. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Capaldi, Nicholas. 1987. The Arts of Deception: An Introduction to Critical Thinking. Prometheus Books.
Connery, Thomas B., ed. 1992. A Sourcebook of American Literary Journalism. New York: Greenwood Press.
Creme, Phyllis dan Mary R. Lea. 2003. Writing at University. England: Open University Press.
Friedlander/ Lee. 2008. Feature Writing for Newspapers and Magazines. USA: Pearson.
Eneste, Pamusuk. 1986. Mengapa & Bagaimana Saya Mengarang. Jakarta: PT Gunung Agung.
Gil Jr., Generoso J. 1993. Wartawan Asia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Hernowo (editor). 2004. Quantum Writing. Bandung: Penerbit MLC.
Heryanto, Ariel. 1985. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: CV. Rajawali.
Hersey, John. 1946. Hiroshima.
Hollowell, J. 1977. Fact & fiction: the new journalism and the nonfiction novel. University of North Carolina Press.
Holtz, Herman, 1992. How to Start and Run a Writing & Editing Business. 1992. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Humes, Edward. 2007. “A Brief Introduction to Narrative Nonfiction”.
Itule, Bruce and Douglas Anderson. 2003. News Writing and Reporting for Today's Media. MCGraw Hill International.
Kovach, Bill dan Tom Rosentiel. 2007. The Elements of Journalism. Random House Inc.
Kump, Peter. 1999. Break-Through Rapid Reading. New York: Prentice Hall Press.
MacDougall, Curtis. 1972. Interpretative Reporting (Six Edition). New York: The Macmillan.
Mohamad, Goenawan. 1996. Seandainya Saya Wartawan Tempo. Jakarta: Isai-Yayasan Alumni Tempo.
Prent, K. CM,dkk. 1969. Kamus Latin-Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2007. Jakarta: Balai Pustaka.
Putra Sareb, R. Masri dan Yenni Hardididjaja. 2007. How to Write and Market a Novel: Panduan bagi Novelis, Pendidik, dan Industri Penerbitan. Bandung: Kolbu.
Putra Sareb, R. Masri. 2008. 101 Hari Menulis & Menerbitkan Novel. Jakarta: Sangkan Paran Media.
-----------------------------. 2006. Teknik Menulis Berita dan Feature. Jakarta: PT Indeks.
-----------------------------. 2008. 101 Writing Businesses You Can Start from Home. Surabaya: Brilliant Book.
-----------------------------. 2009. Literary Journalism (Jurnalistik Sastrawi). Jakarta: Salemba Empat.
Rae, Leslie. 2005. Using Presentation: The Art of Training and Development (terj.) 2005. Jakarta: Gramedia Direct Selling.
Rampan, Korrie Layun. 2000. Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Jakarta: PT Grasindo.
------------------------------. 2000. Leksikon Susastra Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Soules, Marshall. 2004. “Feature Writing”
Simbolon, Parakitri T. 1997. Vademekum Wartawan: Reportase Dasar. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Smith, Dianne, MJE. “Feature Writing”. Texas: Alief Hastings High SchoolHouston.
Stine, Jean Marie. 1997. Writing Successful Sefl-Help & How to Book. New York: John Willey & Sons, Inc.
Stoltz, Paul G. 1997. Adversity Quotient. New York: John Wiley &
Sims, Norman, ed. 1990. Literary Journalism in the Twentieth Century. New York: Oxford University Press.
The Bangkok Post (Internet version). 2000. “Teaching Feature Stories”.
Underwood, Dough, 2008. Journalism and the Novel: Truth and Fiction, 1700-2000. Cambridge.
Winterowd, W. Ross. 1990. The Rhetoric of the "Other" Literature. Illinois: Southern Illinois University.
Manuskrip
Swingley, Sheryl. “Hot 100” News Writing Tips.
Sumber internet
www.nieman.harvard.edu/narrative
http://members.tripod.com/dscorpio/images/literary_elements.ppt
Cindy Royal and Dr. James “The Convergence of Literary Journalism and the World Wide Web: The Case of Blackhawk Down Tankard” http://www.cindyroyal.com/bhd.pdf



C. Nama Lain Literary Journalism
Setidaknya, terdapat 15 nama lain untuk literary journalism .
1) The new journalism
2) Narrative journalism
3) Journalistic narrative
4) Narrative nonfiction writing
5) Literary of fact
6) Factual fiction
7) Documentary narrative
8) Reporting and story telling
9) Romantic reporting
10) Feature stories (Bangkok Post)
11) The literature of actuality
12) Literary nonfiction
13) Jurnalistik sastrawi
14) Jurnalisme sastra
15) Faksi (Fakta yang ditulis dengan elemen dan kadiah fiksi)

Apa pun nama yang diberikan pada literary journalism, yang kadang dipertukarkan, yang pasti substansinya sama saja. Yakni fakta, data, informasi, dan wawancara yang dikumpulkan dan ditulis dengan elemen-elemen dan kaidah-kaidah sastra. Atau kebenaran yang dikemas dengan menyentuh hati dan emosi pembaca seperti dikemukakan Connery ,

”Whether it’s called ”narrative journalism”, ”new journalism”, ”literary journalism”, or ”journalistic narrative”, the type of writing definied by these terms is blend of reporting and storytelling. Although this offshoot of traditional journalism does not employ the pure objectively that is often associated with the profession, narrative journalism upholds integrity and profesionalism, as its writers, astute to human experience, paint pictures and emotions with words. The narrative journalist is necessarily wrapped up in social realism, and is ”in fact, a Romantic Reporter, who assumes that reality is to be found by focusing on internal, rahter than external, human processes and movements; that feelings and emotions are more essential to understanding human life than ideas.” (Connery, 17).

Khusus untuk istilah Indonesia, tidak dianjurkan menggunakan ”jurnalisme sastrawi” sebagaimana dipakai oleh kalangan tertentu. Mengapa? Karena ditilik dari kaidah bahasa (hukum menerangkan dan diterangkan) terjadi salah kaprah di dalam pengadaptasian literary journalism. Akhiran –ism dalam Inggris tidak harus diterjemahkan isme, yang berarti: paham, atau aliran. Namun, kerap juga menunjukkan kata benda. Tidak pernah ada dua kata sama-sama kata sifat (menerangkan).
Dengan demikian, jurnalime sastrawi salah kaprah sebab berarti aliran jurnalistik yang bersifat atau berkaidah sastra. Istilah yang dianjurkan adalah jurnalistik sastrawi atau jurnalisme sastra.

D. Ruang Lingkup Jurnalistik dan Sastra
Ketika membahas ide awal dan proses kelahiran acta diurna, ruang lingkup serta kegiatan jurnalistik, sudah disinggung syarat-syarat jurnalistik . Bahwa di dalam kegiatan reportase terkandung pengertian yang luas, mencakup proses pencarian dan pengumpulan berita, teknik menulis atau melaporkan, mengedit dan menerbitkan berita, serta kewajiban pasca terbit.
Dilihat dari menu sajian, atau content, biasanya sebuah media membagi menunya ke dalam dua bagian besar: Fiksi dan Nonfiksi. Dua bagian besar ini masih dipecah-pecah lagi ke dalam rubrik (dari kata Latin ruber = merah yang kemudian mengalami evolusi makna dan diartikan sebagai pita merah, penyekat, atau book mark yang memisahkan ragam tulisan satu dengan yang lain.
Di manakah tempat literary journalism dalam konfigurasi ragam tulisan dan menu sebuah media? Dahulu, orang menamakannya dengan ”feature” yang diartikan sebagai tulisan/ karangan khas (Goenawan Mohammad, 1996) sebagai bahan atau unsur pelengkap dari berita.
Seiring dengan berjalannya waktu, sesuai perkembangan teknologi dan konteks sosial masyarakat, feature mengalami evolusi makna. Ia bukan lagi sekadar imbuhan atau pelangkap, melainkan bagian utuh dari menu utama itu sendiri. Kini sudah tidak ada lagi dikotomi atau garis-tegas antara berita dan feature. Terutama dalam sajian media terkini di mana banyak berita dijadikan atau disajikan dalam bentuk feature, sebagaimana ditegaskan Bruce Itule & Douglas Anderson (2003) dalam News Writing and Reporting for Today's Media.

”There is no firm line between a news story and feature, particulary in contemporary media when many news stories are ”featurized”. For instance, the result of an Olympic competition may be hard news: ”Canadian driver Anne Montmogny Montminy claimed her second medal in synchronized diving today.” A featurized story might begin: ”As a girl jumping off a log into the strean running behind her house, Anne Monmigny never dreamed she would leap into the spotlight of Olympic diving competitio.” One approach emphasizes the facts of the event, while the feature displaces the facts to accomodate the human interest of the story. Most news broadcast or publications combine the two to reach a wider audience.”

Jelaslah bahwa media hari ini tidak lagi berpandangan seperti dulu yang menganggap dan memosisikan feature sebagai imbuhan, atau menu suplemen. Baik hard news maupun soft news sama-sama diperlukan media siar mapun media cetak untuk menjangkau khalayak yang lebih luas lagi.
Selanjutnya, Bruce dkk. mencatat bahwa media hari ini mengumpulkan dan menentukan menu yang disajikan dengan mempertimbangkan dan berpedoman pada tujuh aspek yang berikut ini.
1) timeliness (aktualitas menu yang terikat oleh waktu)
2) proximity (kedekatan dengan pembaca)
3) consequence (daya terpa atau pengaruh menu itu)
4) the perceived interest of the audience (sejauh mana menu itu menarik minat khalayak)
5) competition (punya daya saing dengan media lain)
6) editorial goals (tujuan atau kebijakan editorial)
7) influence of advertisers (apakah menu yang disajikan relevan dengan target bidik sehingga menarik minat pengiklan untuk menjangkau sasaran).

Lazimnya, feature dibagi ke dalam lima macam.
1) Personality profiles. Profil pribadi yang ditulis untuk membawa pembaca lebih dekat dan mengenal secara pribadi dalam dan luar berita. Wawancara dan pengamatan, seperti halnya creative writing, digunakan sedemikian rupa untuk menggambarkan lukisan yang hidup tentang seorang tokoh.
2) Human interest stories. Yakni kisahan yang menyangkut atau menggelitik nurani kemanusiaan yang ditulis untuk menunjukkan suatu pokok secara detail atau sisi praktisnya, emosional, dan nilai hiburannya.
3) Tred stories. Sebuah kisah yang sedang nge-trend tentang seseorang (misalnya bintang pop, atau artis yang sedang skandal) yang punya dampak pada masyarakat. Jenis ini sangat menarik karena orang ingin membaca atau mendengar sesuatu ihwal isu terkini yang menarik.
4) In-depth stories. Sajian yang disuguhkan pada pembaca setelah mengalami proses riset dan wawancara, in-depth stories yang memuaskan keingintahuan pembaca dan dapat mengobati rasa penasaran mereka.
5) Backgrounders. Kerap juga disebut analysis piec (analisis berita) yang memberikan bingkai, latar, serta memberikan proyeksi tentang masa depan. Tulisan feature jenis ini membawa pembaca memasuki masa datang, menjelaskan bagaimana keadaan negeri kemudian hari, organisasi, seorang tokoh diangkat menjadi fenomena sosial pada zamannya.

Sementara itu, Molly Blair dalam kajian terkininya menempatkan feature dan literary journalism sebagai tiang penyangga yang bersama-sama membangun Creative Writing. Meskipun banyak kesamaan, ditinjau dari gaya publikasinya, keduanya berbeda (lihat diagram). Dengan kata lain, ciri pembeda antara jurnalistik konvensional dan jurnalistik sastra terletak pada struktur dinamikanya .

E. Komprehensi dan Karakteristik Jurnalistik Sastrawi
Oleh karena menggunakan kaidah dan elemen-elemen sastra dalam penulisannya maka genre tulisan naratif nonfiksi ini disebut the literature of fact atau fakta yang ditulis secara sastrawi. Istilah lain ialah fakta yang ditulis dengan kaidah dan elemen-elemen fiksi (disingkat: faksi). Ada pula pakar yang menyebutnya the literature of reality (Barbara Laounsberry, 1996).
Dalam faksi, seorang jurnalis mengandalkan reportase lanjut, menggunakan rekap publik dan catatan historis, dokumen yang sah, buku harian, catatan pribadi, dan publikasi resmi lainnya, database, dan Web sites. Jurnalistik sastrawi yang efektif mencelikkan pembaca, memberikan pencerahan, menyibak wawasan serta meningkatkan kualitas hidup mereka sehari-hari. Dengan demikian, pembaca diperkaya bukan saja oleh informasi yang lengkap dan akurat, tetapi mereka juga mafhum lingkungan, dunia luar, institusi, dan aneka peristiwa.
Karena itu, jurnalistik sastrawi dituntut untuk:
a) Kredibel (akurat dalam merangkai dan menyajikan fakta, patuh pada etika). Jurnalis melakukan observasi.
b) Mengandung nilai artistik (kualitas sastra)

Di dalamnya sekaligus juga terkandung metafor nilai artistik:
a) Karya jurnalistik sastra merupakan jendela dan cermin sekaligus (both a window and a mirror).
b) Jendela: Menyibak bagi pembaca pandangan unik tentang dunia, jalan hidup, dan subkultur
c) Cermin: memberikan pada pembaca hikmah dan pengalaman-pengalaman hidup yang dapat menjadi bahan refleksi pada situasi hidup yang nyata (kondisi kemanusiaan).

Faktor pembeda model jurnalistik tradisional dan Literary Journalism tampak pada:
a) Konstruksi model jurnalistik tradisional didasarkan pada fakta.
b) Konstruksi literary journalism didasarkan pada cita rasa sastra (benar terjadi, rekreatif/anekdot).

Adapun cita rasa sastra terasa pada senyawa naratif dramatik yang mengandung tujuan, komplikasi, atau konflik. Ada awal, tengah, dan akhir dan punya struktur (misalnya, komplikasi, pengembangan, sudut pandang, resolusi).

Sementara teknik penulisannya memerhatikan:
a) Cita rasa sastra (dramatic narrative)
b) Karakterisasi (kedalaman psikologis)
c) Deskripsi (sensory/status details)
d) Dialog (versus kutipan)
e) Point of View (versus “objective” stance)
f) Metafor/Simile
g) Gaya sastra (irony, symbolism, flash back, foreshadowing)

Seorang jurnalis sastrawi semata-mata menulis berdasarkan fakta. Menghindari opini, namun menguji pengamatannya dan berbagai informasi melalui riset, dan selalu melakukan rek dan ricek. Ia juga selalu dituntut menggunakan referensi yang akurat dan tepercaya (check ability).
Jadi, tulisan kreatif nonfiksi mempunyai berbagai sinonim yang kerap dipertukarkan. Meski demikian, apa pun sebutannya, yang jelas genre ini menggunakan elemen-elemen dan kaidah-kaidah sastra dalam penulisannya (a type of writing which uses literary skills in the writing of nonfiction).
Jurnalistik sastrawi merupakan bagian dari tulisan non-fiksi kreatif. Jika non-fiksi kreatif menggambarkan genre dari suatu tulisan, maka “jurnalistik” melukiskan bukan semata-mata genre tulisan, namun juga karya fotografi dan editorial, sebagaimana ditegaskan Blair (2006: 21),

“The term ‘creative non-fiction’ describes a genre of writing, but the term ‘journalism’ describes a genre which includes not only writing, but also the work of photographers and editors. Perhaps for this reason, ‘journalism’ is a concept that even the journalism community struggles to define adequately.”

Karena merupakan hibrida dari sastra dan jurnalistik, sebenarnya karya sastra menjadi inspirasi bagi para pelopor aliran baru jurnalistik ini untuk mengemas factum menjadi laporan jurnalistik yang tidak membosankan. Sudah sejak lama, bahkan ketika zaman Yunani kuna dan kekaisaran Romawi, sudah disadari bahwa karya sastra –meski fiktif— dapat menjadi sarana pendidikan.

Diagram
Dinamika struktur jurnalistik sastrawi dan persilangan antara jurnalistik dan sastra

Molly Blair, 2006: 143.

Dalam konteks itu, syair-syair Homeros dijadikan bahan pengajaran untuk mendidik warga Yunani (Hellas). Kaum terpelajar, cerdik cendikia, serta putra dan putri bangsawan diajarkan seni sastra terutama puisi (ars poetica) dan seni tulis (ars scribendi). Karya sastra selain menghibur, juga mencerahkan dan mengasah kehalusan jiwa. Di dalam karya sastra terkandung banyak hikmat kebijaksanaan, pesan-pesan moral yang nilainya tiada tara. Oleh sebab itu, hingga kini sastra diajarkan di sekolah-sekolah formal.
Berikut ini karya literary journalism terpilih dari daftar Top 100 abad ke-20 jurnalistik terbaik Amerika oleh sebuah panel ahli yang diselenggarakan New York University School of Journalism.

Tabel
Karya jurnalistik sastrawi terbaik dunia abad 20

No. Jurnalis Karya Jurnalistik Sastrawi Tahun
1. John Hersey Hiroshima 1946
18. Tom Wolfe The Electric Kool-Aid Acid Test 1968
19. Norman Mailer The Armies of the Night 1968
36. Joseph Mitchell Up in the Old Hotel and Other Stories 1992
43. Gay Talese Fame and Obscurity 1970
48. Tom Wolfe The Right Stuff 1979
54. John McPhee The John McPhee Reader 1976

Para peraih karya jurnalistik terbaik dunia abad 20 tersebut adalah jurnalis sekaligus penulis cerita yang ulung. Mereka juga esais yang rajin membaca. Dengan membaca, jurnalis menemukan gaya dan kaya dengan variasi diksi. Merekalah yang memelopori kelahiran jurnalistik sastrawi, semangat dan ruh yang sama juga menginspirasi kelahiran jurnalistik sastrawi di Indonesia yang juga dipelopori oleh jurnalis-sastrawan.

F. Jurnalistik Sastrawi menurut Para Pakar
Banyak pakar coba mendefinisikan apa yang dimaksudkan dengan ”jurnalistik sastrawi”.
1) Menurut W. Ross Winterowd, seorang penulis andal. “Narrative journalism uses the novellist’s techniques and the reporter’s meticulousness and energy to create a more penetrating view of reality.”
2) DeNeen L. Brown dari The Washington Post menegaskan bahwa literary journalism bertumpu pada kebenaran, namun harus dibungkus dengan indah. “A lead should enter your subject’s thoughts and establish an “intimate relationship” with the reader. You’re really saying: sit down and listen to me.”
3) Cynthia Gorney, dekan University of California mencatat, “You have to know five times as much as you’re ever going to use in the story. The only really essential quality of the writer is crazed curiosity. You should be passionately interested in everything.”
4) Mark Kramer, empat tahun seusai menjelaskan idenya mengenai literary journalism dalam Quill, menulis artikel untuk Neiman Reports mengenai kembalinya jurnalisme naratif pada surat kabar. Memang tidak jelas-tegas ia menggunakan terminologi ‘literary journalism’ dalam artikel itu, namun genre penulisan jelas digambarkan. Tulisan naratif, sebagaimana didefinisikan Kramer “… has a much wider application than literary journalism, as it enables writers to take what they like from the well of creative techniques and apply them to their work as they see fit. There is not the prescriptive formula that the piece must be a work of tireless immersion in the subject, or the assumption that it will be a lengthy piece of prose.”
Kramer (2000, pp.2,3) menyarankan bahwa perkawinan antara tulisan kreatif dan jurnalistik mengggunakan teknik bercerita (storytelling techniques) yang dapat digunakan pada hampir semua news story.
5) Professor Mark Massé dalam Introduction to Literary Journalism dengan mengutip pendapat Truman Capote, pengarang In Cold Blood mencatat bahwa literary journalism ”… combined the power of truth and the drama of story.”
6) Molly Blair dalam Putting the Storytelling Back into Stories: Creative Non-fiction in Tertiary Journalism Education menjelaskan bahwa jurnalistik sastrawi adalah genre dari creative non-fiction. Ragam tulisan fakta yang dikemas menggunakan kaidah dan elemen-elemen sastrawi.
7) Truman Capote, pengarang In Cold Blood menyebut bahwa jurnalistik sastrawi ialah “a serious new art form that combined the power of truth and the drama of story.”
8) Sebuah situs resmi penulisan kreatif Lit Pot Press, Inc. mencatat, “Creative nonfiction is urgent, complex, intelligent, and written in a strong and distinctive voice, immersing and transporting the reader. It can come in many forms, including, but not limited to:
~ literary memoir
~ essay
~ satire and parody
~ literary diaries
~ literary journalism.
…1,000 to 4,000 words in length.”
9) Wikipedia
“Creative nonfiction (sometimes known as literary nonfiction) is a type of writing which uses literary skills in the writing of nonfiction. A work of creative nonfiction, if well-written, is factually true and artistically elegant. Creative nonfiction contrasts with other nonfiction, such as technical writing or journalism, which should also contain accurate information, but is not primarily written in service to its craft.”

G. Jurnalistik Sastrawi di Indonesia
Kendati di Indonesia baru populer dekade 1990-an, sebenarnya sejak kelahirannya pada 1970-an majalah Tempo sudah mempraktikkan jurnalistik sastrawi. Teknik reportase, ramuan menulis, manajemen, hingga distribusi Tempo yang khas itu merupakan hasil racikan sendiri. Seperti dipaparkan Goenawan Mohamad, Tempo ketika berdiri merupakan satu-satunya media (cetak) yang menulis laporan dengan teknik bercerita. Kemudian hari, banyak media mengikuti, seakan-akan cara dan teknik penulisan berkisah itu merupakan pakem dan telah lama ada. Padahal, Tempo menemukannya sendiri dengan jatuh bangun dan coba-coba.
Tentang hal itu, Goenawan menulis, “Sebelum ada Tempo, hanya ada dua jenis penulisan dalam koran dan majalah di Indonesia: berita yang lempang (straight news) seperti di koran, atau artikel, seperti “kolom”. Tempo lahir dengan menyajikan cara penulisan yang berbeda sama sekali –yang sekarang jadi pola di penulisan jurnalistik Indonesia (dan sering tidak pada tempatnya dipakai): bagaimana menyusun sebuah berita tentang sebuah kejadian sebagai sebuah cerita pendek.” (Seandainya Saya Wartawan Tempo, 1997: 4).
Mengapa Tempo begitu mudah memulai dan mengadopsi “jurnalistik-baru” ini? Agaknya, itu karena para awak Tempo (jurnalis, fotografer, hingga jajaran pimpinannya) banyak yang juga sastrawan.
Otomatis, mereka merangkai dan menulis fakta terpengaruh gaya sastra juga, menggunakan teknik serta cermat menerapkan elemen-elemen sastra dalam penulisan dan laporan jurnalistik mereka. Sebagai contoh, Goenawan Mohamad, Putu Wijaya, Eka Budianta, Fikri Jufri, Lelila Chudori, dan Bondan Winarno. Ditambah kolumnis yang juga sastrawan seperti Ehma Ainun Najib, Parakitri T. Simbolon, Christianto Wibisono, Jakob Sumardjo, Korrie Layun Rampan, dan Taufik Ismail.
Masih ada jurnalis-sastrawan yang pada awal kemunculan jurnalistik sastrawi dekade 80-an, turut ambil bagian secara aktif memberikan warna pada jurnalistik sastrawi khas Indonesia.
Sebagai contoh, Remy Sylado yang bekerja sebagai redaktur majalah Aktuil, Korrie Layun Rampan di majalah Sarinah, Marianne Katoppo yang bekerja di PSH Grup, Julius Siyaranamual yang bekerja di Harian Surya, Titie Said yang bekerja pada majalah Kartini, Yudhistira ANM Massardi yang bekerja pada beberapa majalah mingguan umum, Seno Gumira Ajidarma bekerja di Jakarta-Jakarta, dan Veven Wardhana yang bekerja di tabloid Citra.
Tradisi jurnalistik sastrawi para pelopor itu, diteruskan generasi berikut, yang juga jurnalis-sastrawan. Para jurnalis-sastrawan itu sukses, terbukti dari penghargaan tingkat nasional maupun internasional yang mereka raih.
Akan tetapi, lepas dari pengakuan itu, karya-karya mereka sanggup “menyihir” pembaca dan menjadi tulisan yang kehadirannya senantiasa ditunggu-tunggu. Sebagai contoh, Ahmadun Y. Herfanda yang bekerja di Republika, Ayu Utami di Matra dan beberapa majalah lain, dan Fira Basuki yang bekerja di majalah Cosmopolitan.
Fira Basuki, Ahmadun Y. Herfanda, dan Ayu Utami: jurnalis-sastrawan yang turut mewarnai dan menyosialisasikan jurnalistik sastrawi.Selanjutnya, para awak jurnal Pantau juga gencar menyosialiasikan jurnalistik sastrawi, dengan memberikan pelatihan bagi sejumlah jurnalis baik pada tataran lokal maupun nasional.
Baru akhir-akhir ini, perguruan tinggi turut aktif ambil bagian di dalam pengembangan dan inseminasi jurnalistik sastrawi, namun belum secara holistik sebagai sebuah kajian ilmu seperti di luar negeri .
Hal ini tampak dari beberapa buku dan substansi materi perkuliahan yang masih berpandangan lama, menganggap bahwa jurnalistik sastra, atau feature, ialah “pelengkap” dari hard news.
Padahal, hakikat jurnalistik sastra tidaklah demikian, ia substansi dengan genre yang memunyai tempat dan daya pikat tersendiri dalam konfigurasi jurnalistik modern. Bahkan, karena daya pikatnya, jurnalistik sastra dapat bersaing dengan berita-berita keras dan kecepatan media elektronik di dalam men-deliver informasi kepada khalayak.
Para jurnalis-sastrawan dan sastrawan-penulis itu, sadar atau tidak, telah membawa warna, nuansa, dan gaya baru jurnalistik yang di Inggris, Amerika, dan Australia memang sudah lama dipraktikkan sebagaimana dicatat Blair (op.cit.: 22)

“The first major example of the crossover between the literary and the journalistic occurred in 1846 when the London Daily News was published with Charles Dickens as founding editor. In Australia, in the mid 1860s, newspapers included in their weekly publications serialised novels and other literary reading matter (Morrison, 1993, p.64). In the late 1880s The Bulletin began to publish regularly the works of writers such as Henry Lawson and Banjo Patterson (Australian Government Department of Communications p.1). In 1923 the weekly news magazine Time was launched in America, followed in 1925 by the New Yorker and in 1933 by Life, Sport Illustrated and Fortune (Stephens, 1997, p.xxi). In Australia, what would become the world’s highest circulating magazine per capita, Australian Women’s Weekly, also emerged in 1933. While this publication is well known today as a monthly magazine, the Weekly was in newspaper format at its inception ("History: The Australian Women's Weekly", 2004, p.1).

Apabila dibandingkan dengan Amerika, Inggris, dan Australia yang sudah lebih dulu mempraktikkan jurnalistik sastrawi, kondisi di Indonesia juga kurang lebih sama. Hibrida antara jurnalistik dan sastra pada era 1970-an juga muncul melalui majalah Tempo dan majalah bulanan Intisari dan Trubus. Gaya penulisan, elemen-elemen, maupun struktur jurnalistik di majalah-majalah tersebut mengandung dan menerapkan teknik penulisan sastra.
Mengapa terjadi hibrida jurnalistik dan sastra pada media yang disebutkan di atas? Jawabannya tentu karena ideologi dan pengaruh dari warna kepenulisan yang dibawakan oleh para sastrawan yang bekerja di media tersebut.

H. Penutup
Jurnalistik sastrawi di Amerika dipelopori jurnalis-sastrawan atau sastrawan-jurnalis, demikian pula halnya di Indonesia. Dimulai Tempo dan Pantau, aliran jurnalistik yang berkisah ini kini hampir dapat ditemukan hampir pada media cetak Indonesia –khususnya majalah berita mingguan dan harian edisi hari Minggu.
Para jurnalis Indonesia perlu terus mengembangkan dan meningkatkan karya jurnalistik sastrawi yang bermutu tinggi. Mengapa? Sebab genre jurnalistik ini bukan lagi sekadar imbuhan, atau menu tambahan, dalam sebuah media cetak, melainkan juga merupakan menu utama itu sendiri. Bahkan, dapat dikatakan faktor diferensiasi, sebab fakta yang ditulis dengan kaidah dan elemen-elemen sastra (literary of fact) ini tidak dapat disajikan oleh media mana pun, kecuali media cetak.

Tidak ada komentar: