Pengantar
Tersurat dalam judul diatas bahwa terdapat tiga variabel, yakni: etika, hukum, dan media baru. Struktur paper ini tidak persis mengikuti alur pemikiran tersebut dengan alasan bahwa sebenarnya etika dan hukum dikodifikasi karena adanya realitas yang muncul baik sebagai ekses maupun sebagai respons atas media baru, sebagaimana tersurat dalam ayat-ayat etika dan hukum media.
Oleh karena itu, pertama-tama akan dibahas apa yang dimaksudkan dengan “media baru”, “suasana psikologi” di news room, dan betapa awak media oleh karena tuntutan kerjanya serba terburu-buru dan penuh pressure sangat rentan melanggar rambu-rambu etika dan ranah hukum media, baik yang sudah diratifikasi maupun yang belum.
Pembahasan
Dengan “media baru” dimaksudkan sebagai media digital, yaitu antitesis dari media lama yang berbasiskan analog. Seperti dicatat Manovich (2001) bahwa “…many new media objects are converted from various forms of old media…. Converting continuous data into a numerical representation is called digitalization” (hlm. 28). Yang termasuk media baru adalah Internet, Web sites, computer multimedia, computer games, CD-Roms dan DVD, dan virtual reality yang menggunakan komputer untuk distribusi dan ekshibisinya (hlm. 19).
Media baru setidaknya memunyai tiga fungsi penting yakni: 1) menghubungkan khalayak dengan informasi dan layanan, 2) memungkinkan kerja sama dengan orang lain, dan 3) membuat konten baru, layanan, komunitas, dan saluran komunikasi yang membantu siapa saja menyampaikan informasi dan jasa.
Sesuai dengan apa yang dikatakan McLuhan (1964) bahwa unsur manusia yang paling dominan di balik pelaksanakan fungsi media tersebut “media is the extension of man.” Meneruskan teori McLuhan ini, dapat dikatakan bahwa baik teknologi media maupun isinya sepenuhnya berada dalam kendali manusia. Jika teori McLuhan diterapkan untuk kasus media baru, dapat dikatakan bahwa apa pun bentuknya maka setiap teknologi adalah perpanjangan dari manusia. Karena itu, media baru bukan semata-mata sebatas alat, melainkan yang paling esensial di dalamnya adalah unsur manusia.
Kita dapat menyebutkan dan membuat senarai tipe manusia yang interplay di dalam media baru yang dimaksud. Mereka dapat individu, kelompok, komunitas, kerumunan, atau organisasi. Agar fokus, paper ini membatasi persoalan hanya pada organisasi –dalam hal ini institusi media yang merupakan kelompok kerja sama antara orang-orang yang diadakan untuk mencapai tujuan bersama.
Sebagai kelompok kerja dengan ciri mencapai tujuan bersama (keuntungan dan pengaruh), insitusi media masih dipersempit lagi pada personil-personil yang terlibat secara langsung dalam proses, penyediaan, dan pengambilan keputusan ketika content atau isi media disajikan.
Dengan demikian, maka juru foto, pekerja pada bagian perpustakaan/dokumentasi, jurnalis, redaktur, pemimpin redaksi dan penanggung jawab suatu institusi media adalah pihak yang bertanggung jawab atas content yang diproduksi dan didistribusi. Oleh karena nature kerjanya, pihak-pihak inilah yang secara langsung berurusan sekaligus berbenturan dengan etika dan hukum media massa, terlebih lagi jurnalis sebagai ujung tombak media massa, sebagaimana dicatat Pearson (2004) berikut ini.
Every day of their working lives journalist make decisions that could have legal or ethical implications. Whether they are conducting an interview in someone’s home, processing a photograph for online publication, editing news footage for that night’s bulletin, or pressing the delay button during a talkback radio program, journalist are existing a discretion that might need to be defended in court. (Pearson, 2004, hlm. 3).
Dari apa yang dipaparkan di atas, kita dapat menangkap “suasana psikologis” yang ada di news room bahwa cara kerja media yang serba tergesa-gesa karena kejar tayang dan under pressure, berpotensi melanggar etika dan hukum. Tentu saja, pelanggaran etika dan hukum haruslah dilihat dalam konteks “sengaja melakukan”, atau “khilaf”, atau melakukannya karena tidak tahu.
Isi suatu media yang paling berpotensi melanggar etika dan hukum. Berbeda ketika zaman oral, manuskrip, dan cetak, kini di era the new media, media elektronik –terutama Internet-- memungkinkan orang sebagai content provider dan awak media, terutama jurnalis dengan mudah tergoda untuk menempuh jalan pintas dengan melakukan plagiarisme atau copy and paste . Tentang hal ini, Pearson sekali lagi mengingatkan.
We live in a digital age, where the boundaries of journalism as a profession are under challenge. Anyone with access to the Internet and some basic sofware can set up as a “content provider”. Journalist can prosper in this environment if they demosntrate a professional awareness of important issues like media law and ethics, which sets apart from the amateurs and the charlantans. (Pearson, hlm. 4).
Sumber gambar:
David Foster, Georgia Institute of Technology ENGL 1101 student.
Diagram vertikal di atas menunjukkan bagaimana dampak teknologi komunikasi pada budaya Barat. Kultur media cetak menentukan revolusi sosial dan memberi daya eversive, sementara media elektrik membuat masyarakat bereaksi.
Terkait dengan kultur, di negara maju pada umumnya, kesadaran akan hak orang lain sudah tinggi, penghargaan atas karya intelektual sudah semakin dijunjung tingi. Di Amerika, Eropa, dan Australia misalnya, tindak plagiat dapat menyeret seseorang pada proses tuntutan dan penuntutan perkara.
Budaya menghargai hak (hasil karya intelektual) orang lain tercermin dalam pasal-pasal etika dan hukum media massa mereka yang bukan saja sangat jelas mengatur sampai detail; akan tetapi etika dan hukum tersebut juga menjawab kebutuhan dan persoalan-persoalan masa kini dan masa datang seputar manusia dan dalam hubungannya dengan the new media (Herbert, 2001; Pearson, 2004; Moore 2008; Neelamalar, 2010).
Di Indonesia, memang sudah ada norma dan hukum yang mengatur bagaimana awak media bersikap dan bertindak dalam proses dan mekanisme kerja sehari-hari. Kode Etik Jurnalistik dan undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta misalnya, dapat disebut sebagai etika profesi dan regulasi dimaksud. Sebagai contoh, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta terutama Bagian Keempat tentang Ciptaan yang Dilindungi Pasal 12 dan Pasal 13 adalah payung hukum yang mengatur bagaimana media harus memilih dan mengemas suatu content-nya.
Pasal 12
(1) Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:
a) buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
f. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni
pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
g. arsitektur;
h. peta;
i. seni batik;
j. fotografi;
k. sinematografi;
l. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil
pengalihwujudan.
(2) Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan Perbanyakan hasil karya itu.
Sebagaimana didefinisikan Random House Compact Unabridged Dictionary (1995), tindak plagiat adalah penggunaan atau imitasi yang bahasa dan pemikirannya sama atau sangat mirip dengan penulis lain dan mengklaim bahwa karya tersebut sebagai karya orisinilnya.
Dalam dunia jurnalistik, plagiat dianggap sebagai pelanggaran atas etika jurnalistik. Hal ini dengan tegas dinyatakan dalam Kode Etik Wartawan Indonesia Pasal 12 bahwa “Wartawan Indonesia tidak melakukan tindakan plagiat, tidak mengutip karya jurnalistik tanpa menyebut sumbernya.” Wartawan yang terbukti melakukan tindak plagiat dikenakan sanksi disipliner, mulai dari teguran lisan, tertulis, hingga pemutusan hubungan kerja.
Dalam praktiknya, beberapa orang terbukti menjiplak dalam konteks jurnalistik. Ada yang menyatakan bahwa mereka dijiplak secara tidak sengaja, alpa menyertakan sumber atau tidak memberikan rincian kutipan yang sesuai. Sementara plagiat di dunia jurnalistik punya sejarah yang jauh lebih lama, sudah terjadi berabad-abad yang silam.
Seiring dengan perkembangan teknologi, terutama Internet, di mana banyak gagasan atau hasil riset atau temuan muncul sebagai teks elektronik yang dengan mudah dapat diakses, telah membuat orang malas bekerja keras dan ingin menempuh jalan pintas. Kemudahan akses menggodanya untuk “mencuri” karya orang lain dan mengklaim sebagai miliknya, sengaja maupun tidak sengaja.
Perlu dicamkan bahwa tindak palagiat berbeda dengan pelanggaran hak cipta. Bisa saja terjadi kedua istilah terjadi secara bersamaan. Pelanggaran hak cipta adalah pelanggaran terhadap hak-hak pemegang hak cipta, ketika objek karya cipta (materi) yang dilindungi oleh hak cipta digunakan tanpa izin. Adapun plagiat berkaitan dengan nama baik dan kredibilitas seseorang yang menjiplak karya penulis aslinya tanpa menyebutkan sumber aslinya.
Etika dan hukum yang menyangkut media memang sudah ada di Indonesia, namun secara detail yang mengatur media baru belum ada. Masih dalam persiapan Undang-Undang Konvergensi Media, akan tetapi hingga kini masih dalam proses; bahkan menurut para pakar namanya saja “konvergensi”, namun isinya bukan konvergensi.
Menurut Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI), teknologi komunikasi haruslah dilihat sebagai “perpanjangan manusia” sebagaimana teori McLuhan, karena itu, yang paling pokok bagaimana isi suatu media didapat secara etis dan legal. Untuk itulah maka ilmu komunikasi fokus pada bagaimana pesan tersebut didapat, diproduksi, kemudian disajikan kepada khalayak dengan berpedoman pada etika dan hukum. Rancangan Undang-Undang (RUU) Konvergensi Media (digital/media online), yang sudah masuk program legislasi nasional (prolegnas) 2010 dan hingga hari ini masih belum ada kejelasan kapan diundangkan.
Oleh karena itu, untuk sementara waktu maka media cetak dan media elektronika payung hukumnya berjalan sendiri sendiri. Misalnya, untuk media cetak mengacu kepada hukum pers (Dewan Pers), sedangkan televisi ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Masih terasa rancu, bahkan tumpang tindih, apakah media mengacu kepada payung hukum UU Telekomunikasi No.36 Tahun 1999, UU Penyiaran No.32 Tahun 2002, UU Pers No.40 Tahun 1999, dan UU Perfilman yang disahkan pada 2009.
Simpulan
Etika terkait norma tentang baik buruk, benar salah, dan tindakan etis bagaimana manusia harus bersikap dan bertindak dalam hubungannya dengan media massa. Jika ada yang melanggar maka sanksinya adalah moral dan sosial. Sementara hukum media massa menyangkut regulasi atau peraturan hukum dan perundang-undangan yang apabila dilanggar mendapat sanksi hukum, dapat pidana dapat pula perdata sesuai dengan kasusnya.
Di negara maju, etika dan hukum media massa sudah sangat jelas mengatur sampai detail, bahkan mengatur etika dan hukum media baru. Sementara di Indonesia, etika media cukup jelas seperti tersurat dalam etika profesi. Akan tetapi, dimensi hukumnya, terutama media baru, masih tumpang tindih, untuk tidak menyebutnya “tidak jelas”. Undang-Undang Konvergensi yang sudah masuk program legislasi nasional (Prolegnas) pada 2010 diharapkan dapat menjadi pedoman etika dan hukum media di Indonesia.
Daftar Pustaka
Herbert, John. (2001). Journalism in the Digital Age: Theory and Practice for Broadcast, Print and On-line Media. Oxford: Focal Press.
Manovich, Lev. (2001). The Language of New Media. Massachusett: MIT Press.
Moore, Roy L dan Michael D. Murray. (2008). Media Law & Ethics. New York: Lawrence Erbaum Associates.
Neelamalar, N. (2010). Media Law and Ethics. New Delhi: PHI Learning Private Limited.
Pearson, Mark. (2004). The Journalist’s Guide to Media Law:Dealing with Legal and Ethical Issues. Australia: Allen & Unwin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar