Masalah yang dihadapi oleh industri film di Inggris sesungguhnya kompleks, tidak dapat hanya dilihat dari salah satu aspek saja, yakni terjadinya persaingan film-film lokal (Inggris) vis a vis film produksi Hollywood. Akan tetapi, fenomena tersebut haruslah dilihat dalam kerangka besar globalisasi dan bagaimana perkembangan media memengaruhi kultur suatu masyarakat.
Baik kiranya terlebih dahulu dimengerti apa yang dimaksudkan dengan “kebudayaan”. Menurut E.B. Tylor (1871) kultur ialah, “that complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law, customs, and many other capabilities and habits acquired by...[members] of society."
Dalam kerangka kultur inilah dapat dijelaskan bagaimana film produksi Hollywood sebagai media merasuk masyarakat Inggris. Hubungan antara kultur-media dan sebaliknya inilah sebenarnya inti permasalahan yang dihadapi industri film di Inggris berhadapan dengan film produksi Hollywood.
Untuk menjelaskan masalah yang dihadapi oleh industri film di Inggris dapat menggunakan teori McLuhan. Dalam Understanding Media: The Extension of Man (1964) McLuhan menyebutkan bahwa media memengaruhi masyarakat (the medium is a message). Pemikiran yang paling penting dari McLuhan ialah apa yang disebutnya sebagai “the global village”, yakni sebuah dunia yang tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu. Ini merupakan perkembangan dari “kampung kecil”, sebuah masyarakat tradisional yang guyub, apa pun yang terjadi semua warga tahu.
Dalam “global village”, masyarakat dunia tidak lagi tersekat oleh batas negara-bangsa, teknologi komunikasi memungkinkan orang berkomunikasi dan berinteraksi kapan pun dan di mana pun.
McLuhan juga sudah membayangkan bahwa World Wide Web (WWW) memungkinkan warga dunia menjadi satu dalam jaringan Internet yang disebutnya sebagai "electronic interdependence", yakni suatu era di mana media elektronik menggantikan visual culture dan oral culture. Dalam era globalisasi (digitalisasi) tersebut, manusia akan bergerak dari individualisme dan fragmentasi ke identitas kolektif berdasarkan satu kesamaan tertentu dan organisasi seperti itulah yang disebut sebagai “global village”.
Dalam kerangka “global village”, masalah industri film di Inggris berhadapan dengan serbuan film-film produksi Hollywood dapat dijelaskan dalam lima poin yang berikut ini.
Pertama, Inggris adalah negara yang membuka diri atas masuknya produksi luar negeri. Menunut Gamble (1988). Inggris membuka diri terutama sejak Perdana Menteri Margareth Thatcher yang dikenal sebagai neoliberalisme membuka diri terhadap dunia luar. Dengan terbukanya kran atas impor film luar negeri, utamanya film produksi Hollywood, Inggris tidak lagi sebuah kampung kecil yang hanya mengonsumsi produksi film dalam negeri, tetapi juga mengonsumsi film-film impor.
Kedua, struktur masyarakat Inggris yang mengedepankan prinsip kebebasan individu, persamaan hak, dan demokratisasi memungkinkan masuknya film asing. Tidak ada fatwa dari pemerintah dan lembaga agama di Inggris yang melarang atau mengharamkan film tertentu masuk ke Inggris, seperti yang terjadi di Indonesia di mana Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang melarang atau mengharamkan film tertentu . Pemerintah dan masyarakat Inggris lebih terbuka dan menyerahkan sepenuhnya seleksi atas film impor dari segi kualitas dan mekanisme pasar. Film yang bermutu pasti diterima pasar, sedangkan yang tidak bermutu dan tidak mengikuti selera pasar, akan hilang dari peredaran sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran .
Ketiga, teknologi yang digunakan dalam memproduksi film impor produksi Hollywood demikian canggih, sehingga menarik bagi masyarakat Inggris. Hampir semua film produksi Hollywood menggunakan teknologi tiga dimensi (3-D) yang secara faktual menaikkan omset penjualan film tersebut. Di Inggris, harga tiket menonton film 3-D lebih mahal 40% dibandingkan film dengan teknologi “biasa”.
Keempat, pada umumnya cerita film Hollywood digarap dengan serius, memerhatikan pasar yang terdidik dan semakin terbuka. Dengan kata lain, film produksi Hollywood umumnya film yang mengajak berpikir kritis, membongkar mitos, cerita tidak muda ditebak; sementara di sisi lain tidak lupa menyuguhkan hiburan (entertainment). Ini sesuai dengan nature manusia, bahwa hidup ini adalah sebuah drama dan setiap orang adalah pemainnya. Orang yang menonton film produksi Hollywood seperti ini merasa seperti mengalami sendiri dan ia mendapatkan “sesuatu” (manfaat) usai menonton film tersebut.
Kelima, durasi film Hollywood umumnya tidak lebih dari 2,5 jam (150 menit). Durasi ini sangat memerhatikan nature manusia zaman sekarang, terutama di Inggris, yang masyarakatnya serba sibuk, multitasking, yang di sekitarnya (selain film) masih ditawarkan berbagai hiburan lain lagi yang dengan sangat mudah dapat diakses. Dengan kata lain, banyaknya tawaran hiburan selain film sangat memungkinkan orang berpindah mengonsumsi media, apabila film tersebut tidak benar-benar menarik dan dianggap bernilai.
Apakah situasi yang dialami industri film di Inggris mirip dengan yang dihadapi dunia perfilman nasional kita? Situasi yang dialami industri film di Inggris mirip dengan yang dihadapi dunia perfilman nasional kita. Struktur masyarakat kita, khususnya di kota-koita besar, tidak lagi seperti di kampung kecil yang belum dijamah oleh jaringan Internet. Bahkan, kampung-kampung di wilayah RI sudah masuk jaringan Internet (misalnya di Pacitan) yang memungkinkan orang mengakses film-film produksi luar, terutama Hollywood.
Hanya ada beberapa perbedaan antara Inggris dan Indonesia. Di Indonesia, ada lembaga keagamaan (MUI) yang melarang film tertentu beredar. Masyarakat Indonesia belum secerdas masyakarat Inggris, hal ini terbukti dari selera kedua masyarakat yang berbeda.
Masyarakat Indonesia masih menyukai film magis dan opera sabun, tidak mengerahkan kemampuan dan daya cipta untuk berpikir, ceritanya sederhana, lebih banyak unsur hiburan dibandingkan edukasinya. Ada upaya untuk menyetop film impor, utamanya produksi Hollywood terkait masalah pajak. Namun, di era global village, semuanya menjadi mungkin. Jika secara legak film Hollywood dilarang diimpor maka akan ada upaya lain, misalnya mendapatkannya secara illegal atau bahkan diakses melalui jaringan Internet.
Menurut saya, industri film nasional mampu bangkit untuk “menjadi tuan rumah di negeri sendiri” melawan dominasi Hollywood dengan beberapa catatan berikut ini.
Pertama, film produksi dalam negeri memerhatikan kondisi umumnya siapa konsumennya. Kelas bawah, kelas menengah, dan kelas atas, perlu ditentukan targetnya.
Film “Laskar Pelangi” misalnya, adalah film yang cukup fenomenal, ditonton oleh lebih dari 1 juta orang. Cerita film ini mengandung nilai universal, sehingga pasarnya juga luas. Berbeda dengan film “Ketika Cinta Bertasbih” yang sarat dengan warna agama tertentu, dan dengan sendirinya membatasi pasar, orang dari agama lain kurang berminat untuk menontonnya.
Kedua, film produksi dalam negeri hendaknya berani mengambil tema yang tidak biasa, namun sangat dibutuhkan, seperti “Tanda Tanya”, meski mendapat kecaman.
Ketiga, teknologi film kita hendaknya mengikuti perkembangan. Film dengan teknologi 3-D akan dapat bersaing dengan film produksi Hollywood.
Jika ketiga hal di atas diperhatikan, niscaya film produksi dalam negeri dapat bersaing dengan film produksi Hollywood.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar