Kamis, 14 April 2011

Mengelola Emosi

Emosi. Kita tentu akrab dengan kata ini. Bahkan, tiap saat mengalaminya. Namun, tidak semua dari kita mafhum apa yang memicu dan bagaimana emosi bekerja.

Bagaimana sesungguhnya emosi bekerja? Dari perspektif keilmuan, jawaban atas pertanyaan ini masih belum final. Namun, riset dari berbagai dekade terakhir menunjukkan fenomena yang semakin jelas tentang emosi.

Dalam buku Deeper Than Reason: Emotion and Its Role in Literature, Music, and Art (2005) misalnya, Jenefer Robinson menggali lebih dalam lagi berbagai teori mengenai emosi yang berkaitan dengan temuan-temuan psikologi dan neurologi yang kiranya dapat membantu kita menjawab pertanyaan dan menawarkan model untuk memahami dan menjelaskan emosi.

Model dasar Robinson, dengan menambahkan hasil riset dan analisis dari berbagai sumber, memberikan sumbangan yang sangat bernilai untuk memahami emosi. Menurut Robinson, emosi mulai dengan reaksi usus yang kemudian merangsang sesuatu (emotions start with a gut reaction to something).

Emosi mendorong ekspresi wajah, membentuk gagasan, kesimpulan, atau sesuatu yang berubah pada diri kita. Ia menyebut reaksi-reaksi itu sebagai “non-cognitive appraisals” yang kita namakan sebagai reaksi usus (gut reaction). Reaksi itu terjadi secara automatis.

Ada dua jalan bagi otak kita ketika memperoleh reaksi usus, yakni jalan menanjak dan jalan menurun. Jalan menanjak ialah segala sesuatu yang pernah kita harapkan: kita lihat dan kita dengar (atau merasa, membaui, atau berpikir atau mengingat) sesuatu.

Kita membangun dalam pikiran kita mengenai itu semua, lalu mereaksinya secara emosional. Misalnya, manakala mengendara menuju rumah, kita melihat lampu warna warni menyala di depan kita dan sirene meraung-raung, kita tiba-tiba berpikir bahwa akan ada mobil polisi menghampiri. Kita khawatir sesuatu yang buruk akan terjadi. Padahal, barangkali saja itu iring-iringan pawai atau yang lainnya.

Jalan menurun agak sedikit lain. Masih mulai dengan beberapa informasi sensory, seperti pemandangan atau suara. Ibarat bendera yang diasosiasikan dengan emosi yang sarat dengan emosi dan peristiwa-peristiwa traumatik lainnya. Misalnya, jika seseorang yang pernah mengalami meledaknya tabung gas, yang bersangkutan bila mencium bau gas, tiba-tiba merasa bahwa sesuatu akan terjadi. Otak kita secepat kilat bekerja, mengirimkan pesan ke emergency systems dan sesegera mungkin syaraf meresponsnya bekerja untuk mengatasi masalah.

Meski reaksi usus itu muncul secara otomatis dan tiba-tiba, hal itu dapat masuk jalur jalan menanjak sebagai reaksi atas pemikiran. Misalnya, kita sudah menghabiskan banyak waktu dan investasi untuk suatu usaha. Tiba-tiba, kita kehilangan aset karena dicurangi karyawan. Kita mengalami reaksi usus, yang membuat kita selanjutnya merasa kapok dan selalu curiga pada hal yang serupa. Takut kalau-kalau kejadian masa lampau terulang lagi. Emosi pada aras bawah dapat masuk jalan menanjak.

Oleh karena itu, emosi adalah sebuah proses, bukan sesuatu yang tidak berubah-ubah. Namun, manakala mengalami reaksi usus, bukan berarti bahwa kita terjebak dalam lingkaran setan emosi. Sungguhpun demikian, emosi dapat dibangun melalui:
• Kimiawi tubuh (body chemistry). Emosi akan memacu reaksi fisiologis melalui kimiawi layaknya dopamin (diasosiasikan dengan pleasure), adrenaline (diasosiasikan dengan ketakutan dan kemarahan), seratonin (diasosiasikan dengan ketenangan), oxytocin (diasosiasikan dengan rasa cinta), cortisol (diasosiasikan dengan stres), dan seterusnya. Kimiawi itu demikian banyaknya yang hendak dilakukannya untuk menciptakan perasaan emosi fisiologis. Semuanya ini saling berlomba untuk mempertahankan emosi apa saja yang ada dalam diri kita.
• Pikiran (kognisi). Sekali kita mulai dengan emosi tertentu, kita akan berpikir mengenai hal itu dan memonitor sekeliling. Misalnya, kita mungkin melihat kilatan lampu biru yang otomatis memberikan rangsangan rasa cemas, jangan-jangan itu adalah mobil polisi.
• Bahasa tubuh (body language). Jelaslah bagi kita bahwa kebahagiaan membuat orang tersenyum, sedangkan depresi membuat dahi kita mengkerut dan manyun. Yang menagumkan ialah bahwa ekspresi, postur, dan mungkin nada suara dapat merangsang kimiawi tubuh yang berhubungan dengan rangsangan emosi. Senyum dapat membuat kita merasa bahagia, sedangkan duduk tegak dapat membantu kita merasa awas dan positif.
• Siap bereaksi (being ready for action). Sudah jamak diketahui bahwa emosi kita cenderung menyiapkan bagaimana tubuh kita bereaksi. Memerhatikan sesuatu dengan saksama atau untuk sigap bergerak dengan cepat. Emosi akan membuat tubuh kita siap bereaksi, bahkan sebelum kita dapat merencanakan bagaimana harus bertindak.
Cita rasa emosi kerap muncul dalam bentuk kaget, kekaguman, euforia, kejengkelan, benci, sayang, kebosanan (ennui), kemarahan (fury), dan sebagainya. Negatifkah semuanya itu? Ataukah justru merupakan potensi yang jika dikelola merupakan kekuatan?

Kesehatan mental dan kesehatan tubuh sangat bertautan satu sama lain. Mejaga emosi tetap seimbang sangat penting untuk menjaga diri tetap sehat. Entah emosi itu positif entah negatif; semuanya mengandung potensi untuk memengaruhi kualitas hidup seseorang. Manakala berhasil mengelola perasaan, Anda mulai menapak satu anak tangga menuju kesuksesan. Berikut ini metode untuk mengelola, sekaligus menyingkirkan, emosi negatif untuk meraih kesehatan mental dan fisik.

• Sisihkan waktu Anda untuk diri sendiri dan berusahalah menemukan kesejukan. Cari dan temukan suasana yang tenang dan menyenangkan, lingkungan yang asri dan damai. Dapat dilakukan di dalam maupun di luar rumah.
• Berjalan mondar mandir untuk menjernihkan pikiran. Berusahalah menghindar suasana atau sesuatu yang dapat menyeret Anda atau merangsang emosi Anda. Hela napas dalam-dalam saat Anda berjalan-jalan. Konsentrasi pada bunyi dan pada tarikan napas serta langkah kaki Anda. Teruskan berjalan hingga Anda relaks atau merasa lebih nyaman.
• Biarkan diri Anda berbentuk. Maksimalkan potensi Anda sesuai yang diinginkan. Truskan untuk tetap fokus pada tarikan napas dalam-dalam untuk mengendalikan kerja normal paru-paru dan pikiran Anda.
• Melakukan peregangan sederhana akan menormalkan tensi dan selanjutnya membuat emosi Anda kembali stabil. Mulai dengan merentangkan lengan di atas kepala, meraih sesuatu sebisa mungkin. Lipat tubuh Anda dengan memegang pergelangan kaki. Ulang 6 hingga 8 kali, lalu relaks.
• Tulis surat yang dialamatkan pada diri sendiri mengenai apa yang dialami sedetail mungkin. Jangan pedulikan gayanya. Tulis apa saja yang dirasakan. Termasuk apa yang dipikirkan yang menjadi akar permasalahan yang mengganggu emosi. Brainstorm gagasan-gagasan untuk mengatasi masalah itu di kemudian hari.
• Nyatakan emosi lewat berbagai bentuk artistik. Hal ini dapat membantu Anda mengendalikan emosi apa saja yang datang silih berganti. Menari, menyanyi, dan bawalah semua emosi itu dalam pekerjaan dan dalam doa. Dengan demikian, Anda tidak menyakiti diri sendiri dan siapa pun di dalam mengendalikan emosi.


Banyak orang hancur dan gagal hanya gara-gara emosi yang tidak dapat dikendalikan. Meski tampak sepele, emosi dapat membuat susu sebelanga menjadi rusak. Sebagai pemimpin di suatu organisasi, kadang seseorang merasa punya hak untuk menegur, memarahi, dan mencaci maki anak buah di depan umum. Mungkin tindakan ini benar, namun tidak cukup bijaksana. Yang diperlukan ialah pemimpin yang bijaksana, bukan semata-mata yang pandai.

Kita kerap kurang peka pada perasaan orang lain yang merasa terluka atau tersinggung olah perkataan atau perbuatan kita didorong oleh emosi. Kita cenderung menganggap perbuatan dan perkataan kita baik dan benar, sampai-sampai memarahi dan menyemprot orang tanpa mengindahkan perasaannya.

Bagaimana sebaiknya? Untuk menghindari emosi yang meluap-luap dan tidak terkendalikan, ada baiknya kita belajar menempatkan diri pada posisi orang lain. Ingatlah bahwa apa yang dapat meninggung perasaan dan melukai hati kita, juga dapat terjadi pada orang lain. Karena itu, berlakulah adil pada orang lain. Perlakukan mereka sebagaimana Anda inginkan orang lain lakukan pada Anda.
***

Tidak ada komentar: