Minggu, 13 Desember 2009

Wordsmart dan redefinisi kecerdasan

ISTILAH “kecerdasan”, akhir-akhir ini, muncul dalam banyak disiplin ilmu. Bukan hanya dalam psikologi dan pendidikan istilah tersebut dikenal, juga pada disiplin yang lain. Apa yang dimaksudkan dengan “kecerdasan”? Masih samakah pengertian kecerdasan dengan yang pertama kali dipopulerkan Simon dan Binet, yakni kecerdasan intelektual (IQ)?

Redefinisi Kecerdasan: Bukan Hanya IQ
Apakah kecerdasan itu? Sampai hari ini, masih banyak orang beranggapan bahwa kecerdasan sebatas takaran intelektual saja (IQ).

Seakan-akan, tamatlah riwayat dan suramlah masa depan orang yang ber-IQ jongkok. Padahal, kenyataan sehari-hari tidak demikian. Ada orang yang tingkat IQ-nya biasa-biasa saja, namun sukses dalam hidup. Sebaliknya, ada orang yang sangat cerdas, namun gagal. Ini membuktikan, hanya mengandalkan kecerdasan IQ saja tidaklah cukup untuk hidup.

Theodore Simon dan Alfred Binet adalah tokoh yang mula-mula memperkenalkan kecerdasan intelektual melalui karya Binet Test or Scale, yakni skala verbal individual yang dikembangkan pada tahun 1905. Skala angka Tes Simon-Binet dirancang untuk memperkirakan dan mengukur kemampuan intelektual relatif dari anak-anak Prancis. Namun, pada 1916, Binet Test direvisi dengan nama Standard Binet Scale yang dicocokkan dengan standar Amerika. Direvisi lagi pada tahun 1937 dan 1960.

Multiple intelligences menurut Howard Gardner


Sumber: http://www.itiadventure.com/multiple_intelligences_handout.jpg

Binet memperkenalkan pula konsep tentang kemampuan rata-rata, khususnya anak-anak pada usia kronologis tertentu. Temuan ini kemudian dikenal dengan istilah Intelligence Quotient (IQ). Simon memasukkan konsep Jean Piaget guna melengkapi tes membaca yang dilakukan Binet atas anak-anak Parisia. Inilah studi yang menjadi titik awal bagi penelitian pakar selanjutnya tentang kecerdasan.

Howard Gardner, profesor ilmu pendidikan pada Harvard University, misalnya. Ia satu dari banyak pakar yang memperluas pengertian kecerdasan dengan menunjukkan adanya tujuh bentuk kecerdasan: linguistik, kinestetik, spasial, logikal-matematikal, musikal, interpersonal, dan intrapersonal. Kemudian, ia menambahkan satu lagi, yakni kecerdasan naturalis.

Dalam kenyataan sehari-hari, kemampuan dan perolehan manusia tidak selalu sama. Ada yang berkemampuan luar biasa, ada yang di atas rata-rata, ada yang biasa-biasa saja, dan ada di bawah rata-rata. Para tokoh ilmu psikologilah yang menemukan bahwa hal itu dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan manusia yang beraneka ragam. Dan tingkat kecerdasan itu dapat diukur dengan alat ukur tertentu, sehingga menghasilkan rentang kecerdasan.

Skor yang dicapai seseorang dari sebuah tes intelegensi didasarkan atas sejumlah persoalan yang dapat dipecahkannya secara tepat. Itulah yang diukur dalam tes IQ. Kuosien (takaran) intelegensi merupakan usia mental dibagi dengan usia kronologis.
Dalam upaya mengkalkulasi usia mental, ditetapkan sebuah norma usia dengan jalan melakukan tes sejumlah besar anak-anak berbagai usia.

Usia mental tersebut merupakan pengukuran tingkat intelegensi seorang individu pada saat testing dilaksanakan. Sebagai contoh, skor rata-rata seorang anak berusia 10 tahun merupakan norma usia 10 tahun.

Pada tingkatan manakah skor IQ seseorang yang memiliki word smart? Ternyata, levelnya sangat tinggi. Ia sejajar dengan profesi pengacara, eksekutif, dan editor. Tingkatan IQ orang yang menguasai word smart 125 hingga 132, satu di antara 20 orang.

Dalam perkembangan selanjutnya, kecerdasan seseorang tidaklah sebatas diukur dari kadar intelegensinya (intelektual) saja. Daniel Goleman menemukan dimensi kecerdasan lain, yakni kecerdasan emosional, yang disebut dengan Emotional Intelligence (AQ).

Dalam bukunya yang laris Emotional Intelligence, Goleman mendefinisikan kembali kecerdasan. Ia menjelaskan mengapa orang dengan IQ tinggi tidak selalu sukses dalam hidup. Sementara orang yang ber-IQ biasa-biasa saja justru, karena menyadari kekurangannya, memunyai daya juang dan dorongan untuk berhasil.

Sejalan dengan perkembangan ilmu, terutama psikologi dan ilmu-ilmu humaniora lainnya, kecerdasan dalam dimensi lain juga ditemukan. Pada tahun 1997, Paul Stoltz memperkenalkan Adversity Quotient atau kecerdasan untuk mengatasi hambatan.

Dikemukakan, seseorang yang semata-mata cerdas secara intelegensia tanpa juga cerdas di bidang lain –khususnya emosional dan daya juang—tidak cukup menjamin menjadi orang yang sukses. Yang menarik, dalam karya itu Stoltz membeberkan contoh konkret pribadi-pribadi yang pintar, namun menjadi gagal atau bahkan menjadi penjahat karena tidak ditopang oleh dimensi kecerdasan yang lain.

AQ pada intinya dapat disarikan dalam tiga bentuk. Pertama, AQ ialah sebuah kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan seluruh segi dari sukses.

Kedua, AQ ialah ukuran bagaimana kita merespons hambatan-hambatan.

Ketiga, AQ ialah perangkat yang memiliki dasar ilmiah untuk meningkatkan respons atas hambatan-hambatan dalam hidup. Teori mengenai kecerdasan untuk mengatasi hambatan yang memulai dengan mendefinisikan kata “sukses” ini dibangun atas banyak riset para cendekiawan dan lebih dari 500 studi di seantero dunia. Ditarik dari tiga ilmu utama: psikologi kognitif, psikoneuroimunologi, dan neuropsikologi.

Setelah AQ,, muncul lagi kecerdasan spiritual atau spiritual intelligence (SI). Dimensi ini meyakini tesis bahwa pada hakikatnya manusia tidak semata-mata badaniah, tapi juga rohaniah. Dimensi rohaniah itu adalah spiritual. Agar manusia menjadi seimbang, ia perlu mengembangkan dimensi spiritual tersebut agar ia “terarah” pada Sang Spirit Sejati, asal mula manusia berada dan asal mula segala yang ada (being).

Multikecerdasan
Kecerdasan, sebagaimana telah dijelaskan di depan, tidak hanya IQ. Masih banyak dimensi lain, yang menunjang atau diperlukan, untuk sukses. Seiring dengan penemuan dan perkembangan ilmu pengetahuan, maka IQ tidak semata-mata dikaitkan dengan tingkat intelektualitas seseorang. Karena itu, kecerdasan lalu mengalami evolusi makna.

Namun, apakah kecerdasan itu? Kecerdasan, menurut teori Howard Gardner yang ditemukan dan dikembangkan pada 1983, ialah "The ability to solve problems or fashion products that are valued in at least one culture."

Jadi, kecerdasan ialah kemampuan seseorang untuk mengatasi persoalan atau potensi untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai bagi peradaban.

Dalam konteks keterampilan olah kata, seseorang yang memunyai kecerdasan di bidang word smart akan dapat mengatasi persoalan-persoalan seputar dunia penulisan.

Dengan kecerdasannya, yang bersangkutan dapat menyelesaikan soal-soal ujian, mengerjakan paper, skripsi, tesis, disertasi, pekerjaan kantor yang ada hubungannya dengan penulisan seperti copy writing, editing naskah, menulis skenario, menulis artikel, cerita, buku, dan sebagainya. Selain itu, sesuai dengan redefinisi kecerdasan oleh Gardner, seseorang yang memiliki word smart juga berpotensi menghasilkan sesuatu yang bernilai bagi peradaban.

Tes IQ, menurut Gardner, perlu didefinisi ulang. Mengapa? Karena tes IQ tidak dapat mengukur tingkatan atau nilai dari kemampuan seseorang untuk menghasilkan sesuatu. Multiple intelligences yang dapat mengukur tingkatan atau nilai kemampuan seseorang, termasuk kemampuannya di bidang olah kata.

Oleh karena itu, Gardner memperkenalkan tujuh (kemudian menambahkan satu lagi, menjadi delapan) macam kecerdasan:
• Linguistic intelligence (word smart):
• Logical-mathematical intelligence (number/reasoning smart)
• Spatial intelligence (picture smart)
• Bodily-Kinesthetic intelligence (body smart)
• Musical intelligence (music smart)
• Interpersonal intelligence (people smart)
• Intrapersonal intelligence (self smart)
• Naturalist intelligence (nature smart)

Profesor ilmu pendidikan Harvard University itu, selanjutnya menyarankan agar ditambahkan lagi beberapa dimensi kecerdasan yakni naturalist, spiritual, dan eksistential. Sebab, menurutnya, setiap orang memunyai kecerdasan itu, meski dalam takaran yang berbeda-beda. Orang yang berkanjang berlatih dan mengusahakannya akan terampil.

Sebaliknya, yang tidak berlatih dan mudah menyerah tidak pernah akan keluar potensinya. Meski berpotensi, atau memunyai bibit kecerdasan, jika tidak dikembangkan dan dilatih, maka potensi tersebut tidak pernah menjadi kenyataan.

Tidak ada komentar: