Di tengah gonjang ganjing perekonomian dunia, yang berimpak pada krisis di negeri kita,baik kiranya menoleh ke masa sepuluh tahun lalu. Prof. Juwono Sudarsono bahkan menyebut situasi politik dalam negeri saat ini mirip tahun 1959.
Sudut pandang artikel ini adalah tesis Paul Ormerod, bahwa ilmu ekonomi telah mati. Tak dapat menjelaskan fakta lagi, sebab begitu banyak dirasuki interest dan faktor nonekonomi, misalnya perilaku pelaku ekonomi-politik yang destruktif dan cenderung korup.
Sumber gambar:http://www.volterra.co.uk/images/ormerod.jpg
Ketika mimpi buruk berupa krisis moneter benar-benar jadi nyata di tengah-tengah kita, tak satu pun ekonom sanggup memberi penjelasan yang memuaskan.
Ini membuktikan, ilmu ekonomi telah mati dan gagal meramalkan fenomena ekonomis. Faktor apa yang memicu krisis moneter? Langkah apa yang harus ditempuh, dan solusi apa yang tepat agar segera keluar dari kemelut ekonomi?
Seharusnya, sebagai sebuah ilmu yang memiliki sistem, metodologi, serta koherensi, ilmu ekonomi sanggup menjawab dan dapat menjelaskan semua itu.
Nyatanya, pertanyaan itu tetap tak bersua jawaban.
Paling banter, kita mendengar penjelasan begini: Bahwa krisis moneter yang akhir-akhir ini melanda kawasan Asia, termasuk Indonesia, bukan semata-mata persoalan ekonomi. Banyak faktor terkait turut menyulut krisis itu, termasuk di dalamnya unsur emosional masyarakat, dipertajam oleh gejolak politik, serta gaya hidup oknum pejabat yang hedonisme menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Semua faktor itu melulu diteropong dari kacamata matematis, sehingga timbul rumusan ''apabila begitu maka akan begini''.
Celakanya, para ekonom ortodoks terjerumus dalam keyakinannya sendiri, bahwa segala fenomena ekonomi hanya dapat dijelaskan dengan teori ekonomi. Di dalam membuat ramalan dan proyeksinya, para ekonom menempatkan ekonomi sebagai ilmu yang otonom, berdiri sendiri. Seakan-akan ilmu ekonomi itu mutlak dan eksak, terbukti dari berhasilnya para ekonom mengadaptasi rumus-rumus matematis untuk ilmu ekonomi.
Berbarengan dengan itu, para ekonom berhasil membangun kepercayaan kelompok. Salah satu pendapat yang berhasil dibangun, ialah rumusan yang mengatakan bahwa harga ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran. Jika permintaan meningkat sementara persediaan sedikit, harga akan naik.
Apakah betul demikian? Agaknya, itulah pertanyaan yang menyelimuti pikiran Paul Ormerod, ekonom terpandang di London dan Manchester. Demikian pula keyakinan bahwa perdagangan bebas menguntungkan semua pihak, perlu dikaji ulang keabsahannya.
Mati
Tahun 1994, di London terbit buku berjudul The Death of Economics buah renungan falsafah dan ilmiah karya Ormerod. Terbitnya buku ini segera mengundang kontroversi. Para ekonom, terutama ekonom ortodoks, mencaci maki buku itu. Akan tetapi, kaum awam menyanjung-nyanjungnya. Yang digasak habis-habisan oleh Ormerod sebenarnya adalah ekonom ortodoks. Perlu dicamkan, terdapat perbedaan antara ekonom ortodoks dengan ekonom klasik. Di manakah bedanya?
Ekonom klasik seperti Adam Smith, Thomas Malthus, David Richardo, dan Karl Marx membangun teori dari masalah faktual, misalnya dari kenyataan pada abad XVII-XIX di mana pertumbuhan ekonomi amat dramatis.
''Kajian mereka bersumber pada soal nyata yang penting, yaitu kecemasan dalam masyarakat jangan-jangan pertumbuhan itu berhenti. Oleh sebab itu mereka berupaya menjelaskan bagaimana pertumbuhan itu bisa terjadi, dan bagaimana mempertahankannya''. (halaman 33).
Tidak demikian para ekonom ortodoks, mereka membangun teori lepas dari dunia nyata. ''Ekonom ortodoks membangun teori beranak-pinak berdasarkan matematika. Teori mereka bukan untuk diuji terhadap masalah yang mendesak, melainkan untuk dibela dan dipertahankan sebagai doktrin. Itulah inti krisis ilmu ekonomi ortodoks!'' (halaman 72).
Karena itu, terutama di Amerika Serikat, akhir-akhir ini muncul pandangan baru terhadap ilmu ekonomi. Minat mahasiswa untuk mempelajari ilmu ekonomi yang mencapai puncak pada tahun 1980, mulai surut. Setidaknya, di Harvard, kini ilmu politik (pemerintahan) telah mengalahkan ilmu ekonomi sebagai mata kuliah favorit. Semakin banyak pakar ekonomi yang mempertanyakan keabsahan dalil-dalil ekonomi. Ironisnya, pendekatan, metode, dan teknik baru yang mereka kembangkan justru semakin menyingkap tabir bahwa ilmu ekonomi ortodoks betul-betul rapuh!
Memahami Kemelut Ekonomi
Penyadur buku ini tampak sangat menguasai masalah, sehingga pembaca diperkaya dengan perbandingan-perbandingan serta ilustrasi dari buku dan pakar yang lain. Dilengkapi dengan gambar dan visualisasi, terasa persoalan ekonomi yang pelik menjadi ringan dan mudah dipahami. Di sini letak kekuatan buku ini!
Contohnya, ketika menjelaskan (dan kemudian menunjukkan titik kelemahan) competitive equilibrium (halaman 174-183), penyadur tidak menggunakan rumus yang membuat dahi mengkerut. Tetapi memanfaatkan visualisasi menarik (hal. 181). Di sana, secara jelas digambarkan salah satu rumus equilibrium. Di pojok kanan bawah, dijelaskan titik lemahnya. Bahwa rumusan itu berlaku dengan banyak pengandaian. Jika salah satu pengandaian tidak sahih, maka gugurlah rumus itu!
Di saat perekonomian kita dilanda krisis seperti saat ini, buku ini terasa banyak membantu mengungkap berbagai hal yang terasa misterius. Dan jawabannya sungguh terbalik dan menyentak.
Bayangkan saja! Kucuran bantuan dari dana moneter internasional (IMF) yang dianggap ampuh membantu krisis moneter di berbagai negara Asia seperti Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia, justru menjadi sandungan dan tak memperbaiki situasi. ''Dalam praktik para ekonom ortodoks di IMF dan Bank Dunia justru sibuk menaikkan gaji mereka sebesar 38 persen'' (halaman 14).
Kalau di Inggris dan Amerika buku ini memicu kontroversi, bukan tak mungkin di negeri kita pun sadurannya bakal menyentak. Minimal menggugah kesadaran kita bahwa kini krisis ekonomi di Tanah Air bukan melulu disebabkan faktor ekonomis, melainkan multidimensional dan kompleks.***
[Suara Pembaruan. 24 Desember 1997, hlm.16]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar