dari Suara Pembaruan, 2009-12-28
R Masri Sareb Putra
Tiap tahun, sebenarnya, tahun rahmat Tuhan. Entah mengapa, rahmat (gratia) itu tidak senantiasa tercurah dari langit. Tahun 2009, misalnya, yang datang dari langit justru hujan deras, bukan hujan berkat. Hujan deras itu lama-lama jadi air bah, menenggelamkan serta meluluhlantakkan sejumlah tempat dan menyengsarakan sejumlah penduduk.
Banyak penderitaan dialami penduduk negeri ini sepanjang 2009. Mulai dari tragedi Situ Gintung (Tangerang), tanah longsor, gempa bumi di sejumlah tempat dan yang terbesar di Sumatera Barat, tabrakan beruntun, kecelakaan pesawat terbang, hingga tewasnya empat karyawan pembersih sampah di gorong-gorong sepanjang 20 meter di Jatinegara (Jakarta Timur).
Tahun penuh rahmatkah namanya jika nyaris sepanjang tahun 2009 negeri kita tak putus dirundung malang?
Bencana beruntun bukan ini yang pertama dialami umat manusia. Berabad lampau, tragedi itu sudah terjadi. Frustrasi karena bencana yang beruntun, maka tahun 1300 oleh Gereja dimaklumkan sebagai "Tahun Rahmat Tuhan". Ini mirip tolak bala, namun niatan itu harus disertai dengan tindakan nyata. Saat itu, di Eropa sedang musim gugur. Musim gugur bukanlah waktu yang menyenangkan seperti musim semi. Bagi mereka yang tak kuat, bibir bisa pecah-pecah. Itu sebabnya, orang jadi segan ke luar rumah. Selain tidak nyaman, pemandangan di luar sama sekali tidak menarik. Tanah kering-kerontang. Pohon dan bunga-bunga berguguran.
Tak peduli cuaca, Paus Bonifasius VIII keluar meninggalkan San Lorenzo, kapel pribadinya, Paus menuruni tangga. Diiringi para kardinal dan sejumlah uskup, Paus berjalan menuju pilar pertama basilika St. Yohanes Lateran. Dengan suara lantang, Paus Bonifasius VIII mengumumkan yubileum, atau tahun rahmat pertama pada 1300. Hampir bersamaan waktunya dengan Khubilai Khan, Kaisar Cina, masuk bumi Nusantara pada saat itu.
Musim gugur adalah simbol kepedihan dan kesulitan. Setelah itu ganti datang musim semi. Suatu masa yang dinanti-nanti, karena amat menyenangkan. Tanah subur kembali diguyur hujan. Ranting pohon yang meranggas ganti jadi hijau. Bunga-bunga bermunculan, segar kembali.
Itulah harapan di balik pengumuman tahun rahmat dari Basilika Yohanes Lateran. Pengumuman yang menandai sebuah awal dari sejarah pertobatan umat manusia. Dikatakan awal, karena praktis tiga belas abad lamanya umat terkungkung oleh dosa asal. Ajaran Gereja sebelum itu, misalnya, tegas mengatakan, pada hakikatnya manusia adalah pendosa. Akibat dosa bawaan tersebut, tak mungkin manusia bisa selamat tanpa bantuan dan uluran tangan dari Tuhan.
Jalan pikiran ini pula yang kemudian mengilhami salah satu sekte dalam gereja yang meyakini bahwa hanya rahmat Tuhan sajalah (sola gratia) yang menyelamatkan manusia. Tanpa kemauan dari Allah, manusia tidak mungkin diselamatkan. Maka hanya kemurahan Allah sajalah yang menyelamatkan.
Catatan hitam dalam sejarah umat manusia, khususnya Gereja, membuat Paus Bonifasius VIII tergerak untuk menurunkan berkat. Diyakini, rahmat memang datang dari Allah. Sebagai penerus takhta Petrus sekaligus kepala Gereja yang ditunjuk Yesus, Paus hanyalah sarana. Karena itu, tangannya "dipinjam" Kristus untuk meneruskan berkat dan rahmat-Nya kepada umat manusia. Maka jadilah 1300 dimaklumkan sebagai tahun rahmat Tuhan. Inilah awal tradisi Gereja merayakan tahun yubileum agung setiap rentang waktu 25 tahun.
Pertobatan Total
Yubileum pertama tidak cuma upacara sakral biasa. Di balik pemakluman tahun rahmat itu, terkandung makna simbolis-teologis yang dalam: manusia berdamai dengan Allah. Manusia menjadi anak-anak Allah. Manusia kembali ke citranya yang semula. Agar rahmat Allah mengucur, manusia harus menghampakan diri. Itulah makna pertobatan total (metanioa).
Perubahan radikal itu mulai dari Basilika Lateran. Semula, Basilika Lateran adalah wilayah milik keluarga bangsawan dan kaya raya bernama Laterani. Pada masa pemerintahan Konstantin Agung, wilayah ini dihibahkan jadi milik Gereja. Selama zaman pertengahan, hingga istana terbakar habis pada 1308, istana ini menjadi tempat kediaman Paus. Istana yang rata dengan tanah itu dibangun kembali pada 1585-1589.
Waktu terus bergulir. Dalam hitungan manusia, tujuh abad sudah terentang dari yubileum pertama hingga yubileum tahun ini. Tapi, bagi Tuhan tak ada bedanya. Seperti dilukiskan pemazmur, "Bagi Allah, seribu tahun sama dengan hari ini dan hari ini sama dengan seribu tahun."
Maka rahmat yang mengalir atas kita semua, pada tahun 2010, sama seperti tujuh abad lalu. Allah yang sama, yang mengalirkan rahmat dan berkat melalui tangan manusia pula, makhluk ciptaan-Nya.
Allah tak pernah berhenti mencintai makhluk-Nya. Seperti dulu pun, Allah masih tetap total mencintai manusia. Manusialah yang sering ingkar dan takabur. Ramhat Allah senantiasa mengalir, dengan syarat manusia harus metanioa. Melakukan pertobatan total, berbalik secara radikal kembali ke jalan Tuhan.
Penulis adalah lulusan STFT Widiasasana, Malang, kini Koordinator Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Universitas Multimedia Nusantara, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar