Senin, 13 April 2009

Kemenangan Rakyat

Catatan:
Seri II proses kreatif saya menulis diselipkan dulu artikel yang dimuat Suara Pembaruan, 13 April 2009 ini. Senyampang topiknya masih hangat dan menyentuh kemaslahatan kita bersama, sebagai warga negara Indonesia.


Oleh: R Masri Sareb Putra

Penghitungan sementara perolehan suara Pemilu Legistalif 9 April menempatkan tiga partai nasionalis ke puncak. Tidak keliru mayoritas rakyat menjunjung Partai Demkokrat, Partai Golkar, dan PDI-P ke atas, sebab demikianlah sejatinya hidup berpolitik. Apakah hakikat politik? Kembali ke pengertian arkhe, politik ialah ihwal mengatur kota. Berasal dari kata Yunani polis, politik pada awal mula ialah kegiatan yang dilakukan bertujuan menyejahterakan rakyat.

Agar tujuan itu tercapai, diperlukan sejumlah persyaratan, yakni masing-masing warga harus memberikan sumbangsih sesuai dengan pekerjaan dan apa yang dapat disumbangkan. Dengan adanya jaminan masing-masing warga bekerja sesuai profesinya, maka warga akan aman, tenteram, makmur, dan sejahtera. Inilah hakikat politik, tercapainya kebaikan umum (bonum commune).

Oleh karena itu, politik yang baik dijalankan secara damai, tanpa permusuhan dan pertentangan. Namun, suatu waktu diperlukan tangan besi untuk mengembalikan politik ke haluan yang benar. Hal ini hanya boleh terjadi, ketika kebaikan umum telah dibengkokkan menjadi hanya kepentingan golongan.

Maka "tangan besi" akan muncul dalam berbagai bentuk dalam perebutan kekuasaan. Tangan besi tidak selalu identik dengan diktator atau pemaksaan kehendak, namun bisa berarti suara terbanyak. Inilah fenomena Pemilu Legistalif 2009, partai yang mengusung kebaikan umum jadi pilihan utama. Vox populi Vox Dei, suara mayoritas adalah suara Tuhan. Inilah hakikat politik kerakyatan, atau kekuasaan di tangan rakyat.

Tiap kali bicara soal politik kerakyatan atau kekuasaan di tangan rakyat (demokrasi), belum sah jika tidak sekaligus menyebut nama Nicolo Machiavelli, warga Kota Firenze, Italia. Machiavelli mengirimkan naskah politiknya berjudul Il Principe (Sang Penguasa), dengan harapan, kelak ia diangkat jadi pejabat. Machiavelli memang lalu diangkat jadi pejabat Firenze, sebagai Sekretaris Dewan 10 dan Wakil Kanselir Republik Firenze. Ini terjadi pada 1498. Namun, setelah wangsa Medici runtuh, dan pasukan Spanyol menduduki Firenze pada 1512, Machiavelli dijebloskan ke penjara.

Sebuah pertanyaan mengusik Machiavelli: mengapa penguasa bisa runtuh? Semakin mencari jawabnya, kian penasaran Machiavelli. Dibantu referensi buku-buku klasik, Machiavelli akhirnya menyimpulkan, penguasa hanya bisa langgeng kalau bertumpu pada rakyat (plebeian).

Sementara itu, di Roma, pada 466 SM, kaum plebeian sudah tersohor. Oleh penguasa, plebeian dianggap sebagai ancaman stabilitas nasional. Kaum plebeian di Roma mirip dengan gerakan rakyat di Indonesia saat ini yang terus menuntut reformasi.

Adagium yang diterima saat itu adalah tak mungkin republik bisa berjalan tanpa adanya kebebasan. Penguasa yang korup dan diktator tidak mungkin menjamin kebebasan. Hanya rakyat yang bisa menjamin kebebasan bagi dirinya sendiri. Maka kekuasaan harus berada di tangan rakyat. Plebeian harus tampil di pentas politik! Tuntutan agar kekuasaan semestinya berasal, oleh, dan untuk kesejahteraan rakyat.

Di sini pentingnya rakyat berkuasa. Plebeian harus tampil di Senayan. Untuk merajut kembali hukum diskriminatif dan bermasalah serta mengingatkan bahwa sesungguhnya Indonesia adalah negara berdasarkan Pancasila. Karena itu, kekuasaan haruslah berada di tangan rakyat.

Retorika Manis

Kemenangan plebeian juga seharusnya meruntuhkan hegemoni "daulat tuanku" . Pengalaman kita, beberapa pemimpin bangsa telah menafikan "daulat rakyat", lebih memerhatikan "daulat tuanku". Rakyat dibodohi dengan retorika-retorika manis, seolah-olah kekuasaan berada di tangan rakyat (DPR/ MPR). Kenyataannya, lembaga tertinggi itu dikooptasi penguasa. Atau dimasuki dengan cara tertentu agar menerbitkan hukum dan perundang-undangan yang tidak memihak rakyat, tapi memihak penguasa dan golongan tertentu.

Pergulatan rakyat menumbangkan hegemoni penguasa belum selesai. Tata kelola pemerintahan dan negara periode lalu masih menyisakan berbagai luka hati rakyat. Pelajaran tiga peristiwa suksesi 1945, 1966, dan 1998 memang sudah dipetik hikmahnya. Ketiga peristiwa suksesi itu berlainan latar belakangnya, tetapi satu hal yang sama, yakni hegemoni penguasa tumbang di tangan rakyat.

Pemilu Legislatif 2009 membuktikan rakyat masih tetap menentang hegemoni, baik hegemoni kekuasaan maupun kepentingan di tengah-tengah pilihan partai . Kemenangan rakyat juga menunjukkan distribusi aspirasi yang merata di berbagai daerah.

Masyarakat plural tanpa sekat, seperti gagasan guru-bangsa Nurcholis Madjid, sesungguhnya mencerminkan kehendak mayoritas warga negeri ini. Masyarakat terbuka seperti itu tidak mungkin terjadi pada sebuah rezim di mana kekuasaan berpusat pada satu tangan. Tetapi, hanya bisa berjalan pada masyarakat demokratis. Karena itu, kekuasaan harus kembali di tangan rakyat.

Dalam etika, termasuk etika politik, dikenal istilah slippery slope. Kalau mematok target 10, misalnya, akan tercapai maksimal 8. Parpol peraih suara terbanyak telah berani memproklamasikan diri sebagai partai rakyat dan akan mati-matian berjuang membela kepentingan rakyat. Tidak mungkin mengharapkan janji itu terpenuhi 100%. Namun, setidaknya 80% akan diaksanakan. Setelah menang, kita hanya tinggal menunggu. Apakah benar kemenangan plebeian memberikan manfaat kepada rakyat?

Penulis adalah Koordinator Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Universitas Multimedia Nusantara, Jakarta

Tidak ada komentar: