Senja perlahan masuk tubir kelam. Plaza Summarecon masih berdiri angkuh. Bersikukuh di antara bebangunan mewah kawasan Gading Serpong. Semburat warna birunya berkilau diterpa pijar-pijar lampu taman.
Seorang gadis tampak buru-buru keluar dari bangunan lantai III.
“Aku mungkin terlambat,” gumamnya dalam hati. Mereka pasti sudah berangkat.”
Sampai halaman parkir. Winnie menyapu pandang sekeliling. Tak terlihat olehnya rombongan yang dicari. Mungkin mereka sudah pergi.
Ke mana Albert, Sulia, dan Gaevert? Bukankah tadi sudah berjanji usai kuliah berangkat bareng?
Tak biasanya mereka ingkar janji. Winnie tahu seperti apa watak sahabat-sahabatnya itu. Jujur dan setia kawan. Berkali-kali ia membuktikannya. A friend in need is a friend indeed.
Winnie merogoh kantong celana jeansnya. Sebuah alat komunikasi modern kesayangan ia on-kan. Dipencetnya nomor Gaevert. Alat canggih itu bekerja sesuai mottonya: Connecting people. Dalam sekejap, ia sudah terhubung dengan orang yang diinginkan.
“Hallo. Elo-elo pada di mana Vaert?”
“Di SMS. Prapatan lampu merah.”
“Kok gua ditinggal?”
“Sorry, non. Gua kira elo kagak jadi. Posisi lo di mana sekarang?”
“Di halaman parkir!”
“Udah deh, elo tunggu aja. Gua mutar balik.”
Dengan lincah Gaevert memutar. Segera ia mengarahkan moncong Avansa ke Plaza Summarecon. Di sana Winnie sudah menunggu.
Empat serangkai berkumpul lagi. Canda ria mengisi perjalanan mereka. Melintas kawasan Gading Serpong. Masuk jembatan, menyeberangi sungai Cisadane.
Winnie menyapu pandang ke bawah jembatan. Lalu beralih ke bantaran kali. Ia membayangkan sesuatu yang bukan-bukan. Bagaimana jika air bah dari hulu tiba-tiba menerjang kawasan ini?
Segera dienyahkannya bayangan kelam itu. Tak pernah. Dan tidak akan pernah malapetaka menimpa dirinya. Juga menimpa orang sekitar ia tinggal. Terlebih menimpa orang yang sangat dicintainya.
Bencana Situ Gintung cukup sudah. Jika ingin berbenah, banyak pelajaran dari kejadian naas Jumat, dini hari 27 Maret 2009. Pertama, mengenali tanda-tanda alam. Kedua, yang tidak kalah penting, Pemerintah secara berkala memeriksa tanggul-tanggul dan pintur air yang berpotensi menimbulkan bencana. Bukankah kewajiban Pemerintah untuk menjamin keselematan warga?
Seperti sering diingatkan, lebih baik mencegah daripada mengobati. Preventif, bukan kuratif. Seperti yang dilakukan Winnie dan kawan-kawan senja hari ini. Atas nama Himpunan Mahasiswa UMN, mereka mengadakan bakti sosial. Menyerahkan sejumlah dana, obat-obatan, sandang, dan pangan pada keluarga korban Situ Gintung.
Gelap mulai merayap seputar lokasi kejadian, ketika Avansa warna metalik berhenti dekat sebuah kampus. Suasana benar-benar mencekam. Satu dua petugas masih terlihat.
“Mau ke mana?” tanya salah seorang.
“Bertemu wakil keluarga korban.”
“Mari. Ayo, saya antarkan!”
Winnie berjalan kaki dalam kegelapan bersama rombongan. Mereka menuju pusat bencana. Meski ramai, terbetik pula ketakutan. Samar-samar terlihat bangkai mobil. Bannya meletus. Kaca-kaca pecah. Pintunya copot.
Dari rangkaian kejadian itu, Winnie menyimpulkan, betapa dahsyat air bah melanda. Seketika mengubah wajah pemukiman dan rumah penduduk. Bangkai mobil kijang masih teronggok, menyandar bujur samping tembok kuburan.
Dari petugas, diperoleh keterangan. Kamis, 26 Maret pukul 16.00 WIB. Hujan deras disertai es dan angin kencang melanda kawasan Jakarta Selatan dan sekitarnya, termasuk wilayah Ciputat dan Cirendeu. Pukul 23.00 WIB, warga mulai mendengar suara gemuruh dari arah tanggul. Pukul 24.00 WIB, beberapa warga mulai berbenah dan siaga.
Jumat 27 Maret, pukul 03.00 WIB. Warga mulai mendengar bunyi gemuruh lebih keras dari sebelumya. Bunyi berasal dari arah tanggul. Tanggul jebol.
Pukul 03.30 WIB, air menerjang Kampung Situ RT 1/8 Cirendeu.
Pukul 04.00 WIB, warga mulai mengungsi. Air meninggi.
Pukul 05.00 WIB. Beberapa warga naik ke atap rumah. Seruan minta tolong terdengar mengharu biru. Waarga yang rumahnya tidak terendam coba menolong.
Winnie bergidik mengingat dan membayangkan peristiwa itu. Rangkaian kejadian alam itu membuat hatinya tergelitik. Ia berjanji. Mulai detik ini, ia akan membagi waktu. Selain kuliah, ia juga ingin mengabdi masyarakat.
Tekad itu terus menggelora dalam dada. Dalam perjalanan kembali ke Gading Serpong, terngiang syair lagu Ebiet G. Ade "Berita kepada Kawan".
Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan
Sayang, engkau tak duduk di sampingku kawan
Banyak cerita yang mestinya kau saksikan
Di tanah kering berbatuan
Sesampainya di laut kukhabarkan semuanya
Kepada karang, kepada ombak, kepada matahari
Tetapi semua diam, tetapi semua bisu
Tinggal aku sendiri terpaku menatap langit
Barangkali di sana ada jawabnya
Mengapa di tanahku terjadi bencana
Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita
Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa
Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita
Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang
Tragedi Situ Gintung, tanya batin Winnie. Apatah pertanda alam mulai enggan bersahabat dengan kita? Ataukah, kelalaian? Atau... ketidakpedulian? Atau, mungkin lantaran Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita?
Tak ada jawab. Mari bertanya pada rumput yang bergoyang!
Toh demikian, seruan minta tolong korban Situ Gintung tak bisa kita nafikan. Sisi kemanusiaan telah membuat Winnie dan sivitas akademika UMN ke sana. Berita sudah sampai kepada kawan. Dan mereka telah luluh dalam ratap, dalam atap langit yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar