Kamis, 09 April 2009

Pecunea et intellegentia

Pecunea et intellegentia. Uang dan intelegensi. Keduanya bagai telur dan ayam: mana yang lebih dulu?

Dahulu, kecerdasan diukur sebatas tingkatan intelektualitas tertentu. Sukses seakan-akan hanya milik orang yang ber-IQ tinggi saja. Padahal, masih banyak dimensi lain, yang menunjang atau diperlukan, untuk sukses. Seiring penemuan dan perkembangan ilmu pengetahuan, maka IQ tidak semata-mata dikaitkan dengan tingkat intelektualitas seseorang. Karena itu, kecerdasan lalu mengalami evolusi makna.

Apakah kecerdasan itu? Kecerdasan, menurut teori Howard Gardner yang ditemukan dan dikembangkan pada 1983, ialah "the ability to solve problems or fashion products that are valued in at least one culture." Kecerdasan ialah kemampuan seseorang untuk mengatasi persoalan atau potensi untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai bagi peradaban.

Karena itu, tes IQ menurut Gardner, tidak dapat mengukur tingkatan atau nilai dari kemampuan seseorang untuk menghasilkan sesuatu.

Gardner memperkenalkan tujuh (kemudian menambahkan satu menjadi delapan) macam kecerdasan:
• Linguistic intelligence ("word smart"):
• Logical-mathematical intelligence (number/reasoning smart)
• Spatial intelligence (picture smart)
• Bodily-Kinesthetic intelligence (body smart)
• Musical intelligence (music smart)
• Interpersonal intelligence (people smart)
• Intrapersonal intelligence (self smart)
• Naturalist intelligence (nature smart)

Profesor ilmu pendidikan Harvard University itu selanjutnya menyarankan ditambahkannya beberapa dimensi kecerdasan lagi, yakni naturalist, spiritual, dan existential. Sebab, menurutnya, setiap orang memunyai kecerdasan itu, meski dalam takaran yang berbeda-beda.
Kecerdasan intelektual yang ditakar Simon dan Binet, dengan tes IQ, bisa jadi dominan faktor keturunan. Orang yang cerdas secara intelektual, biasanya membawa talenta atau faktor gen dari orang tuanya. Oleh sebab itu, kejeniusan disebut sebagai talent, dilahirkan, bukan dijadikan.

Akan tetapi, kecerdasan yang dimaksudkan Gardner tidaklah ditentukan faktor keturunan. Dalam berbagai literatur, keterampilan atau keahlian di bidang word smart disebut skill, bukan talent. Bahkan, boleh dikatakan, keterampilan tersebut lebih terarah pada seni. Dalam kaitan ini, di masa Yunani kuna dan Romawi, seni sastra dan retorika disebut sebagai “ars”.

Kita mengenal istilah ars poetica (seni sastra, ars scribendi (keterampilan menulis), ars musica (seni musik), dan sebagainya. Di samping seni, ars juga berarti ilmu/ pengetahuan (K. Prent, dkk. Kamus Latin-Indonesia, hal. 67).

Pada zaman Yunani kuna, seni wicara –terutama pidato dan debat—merupakan seni, sekaligus ilmu yang sangat digemari. Diajarkan sebagai disiplin khusus. Bahkan, setiap warga Yunani mencita-citakan menjadi orator yang ulung. Seni debat dan pidato muncul dalam disiplin retorika dan diajarkan secara saksama. Muncul tokoh ternama di bidang ini, seperti Plato, Aristoteles, dan kemudian Demosthenes. Bahkan, Demosthenes diceritakan gagap sejak lahir. Namun, karena memelajari dan berkat latihan yang tekun dan terus-menerus melawan kegagapannya, ia menjadi salah satu orator ulung sepanjang sejarah.

Pengalaman dan kegigihan Demosthenes melawan inferioritasnya dalam hal wicara, pantas untuk diteladan. Pesan intinya, siapa pun yang bertekun dan mau belajar, pasti bisa. Bukan hanya dalam seni wicara, dalam keterampilan menulis pun ketekunan dan latihan sangat diperlukan.

Dalam konteks itu, kita memahami makna ucapan salah satu pujangga Perancis terkemuka, HonorĂ© de Balzac. Menurut Balzac, menulis bukanlah talenta, melainkan keterampilan yang bisa dipelajari oleh siapa pun. “When one has no particular talent for anything, one takes a pen,” demikian ungkapannya yang termashyur.

Kata-kata bijak ini menyiratkan, menulis (a pen) bisa dimanfaatkan siapa saja untuk memeroleh penghidupan. Dan menulis bukan suatu talenta, namun keterampilan yang dapat dipelajari dan diasah.

Dengan demikian, menjadi gamblang bahwa menulis bukanlah bakat, melainkan usaha. Usaha yang terus-menerus dan sistematis, yang bisa didapat baik dari belajar melalui orang lain maupun lewat jalan autodidak.

Tidak ada komentar: