Jumat, 10 April 2009

Proses Kreatif Saya Menulis: Satu Buku Satu Bulan (Bagian Pertama dari Tiga Tulisan)

Satu buku satu bulan. Sampai akhirnya, saya menulis dan menerbitkan buku sama jumlahnya dengan angka usia saya. Itulah tekad saya tahun 2005. Waktu itu, buku yang saya tulis dan terbitkan belum banyak, baru 14. Sedangkan usia saya saat itu 43 tahun.
Saya harus menulis dan menerbitkan 29 buku lagi, biar jumlah buku sama dengan usia saya.

Tekad itu memang akhirnya jadi kenyataan. Kini, buku saya sudah 47. Ditambah 3 dalam persiapan penerbitan, maka hingga pengujung 2009, akan genap 50 buku!

Banyak kawan bertanya dan heran: bagaimana dalam rentang waktu dua setengah tahun, saya bisa demikian produktif?

Inilah proses kreatif saya menulis.

Menulis bisa dikata suatu keniscayaan. Di sekolah, di kuliah, di kantor, di rumah, bahkan di sembarang tempat, orang menulis.

Sebenarnya, menulis ialah keterampilan yang wajib dimiliki seseorang. Bayangkan! Untuk memeroleh nilai baik, orang harus sanggup menulis dan menuangkan perolehan dan pengetahuannya. Jadi, menulis bukan ihwal yang asing dari hidup keseharian kita. Hanya saja, ada orang yang terampil, ada yang tidak.

Beda keduanya, yang terampil karena terbiasa melakukan. Seperti dikatakan filsuf Aristoteles, We are what we repeatedly do. Excellence, then, is not an Act, but a Habit.”

Ya, terampil menulis karena kebiasaan. Alah bisa karena biasa. Saya mencatat, nyaris semua penulis tidak dilahirkan, tapi dijadikan (tekad, situasi, kemauan, belajar). Dari berbagai literatur, kita tahu bahwa writing bukan talent (bakat), tapi skill. Jadi, kalau skill, bisa dong dipelajari? Memang bisa!

Saya sendiri bukan lahir dari keluarga penulis. Ibu tidak tamat SD. Ayah guru, pernah anggota DPRD Tkt II tiga periode, dan suka baca. Saya tertular ayah, suka baca. Saya masih ingat, saya suka "mencuri baca" buku-buku koleksi ayah.

Yang saya masih ingat sekarang, buku Bung Karno "Di Bawah Bendera Revolusi". Lalu, ada buku terbitan Yayasan Cipta Loka Caraka bertajuk "Dari Madiun ke Lubang Buaya, dari Lubang Buaya ke...?" Dan satu lagi, dan kini buku itu menjadi milik saya dan masih saya simpan, "Kritis Membaca Surat Kabar", juga terbitan CLC. Wah, ini buku bagus, dan masih berguna hingga saat ini. (Maaf, ayah. Saya gak mau kembalikan buku ini, sebab ingat pepatah,"Bodohlah orang yang mau meminjamkan bukunya pada orang lain. Tapi lebih bodoh lagi orang yang meminjam buku orang lain dan mengembalikannya. Saya gak mau jadi orang lebih bodoh!")

Waktu SMP, dua kakak saya jago main musik. Saya sendiri tidak bisa musik. Di SMA, mereka bahkan anggota band sekolah. Saya hanya bisa nulis puisi dan cerpen. Sebagian dimuat di mading, sebagian lagi dikirim ke media umum. Waktu itu, tahun 1980-an. Majalah remaja yang terkenal adalah Semangat dan Hai.


Saya mengawali karier sebagai penulis fiksi. Beberapa cerpen dan puisi saya, waktu mahasiswa, dimuat di koran daerah (Jawa Timur) dan sebagian Jakarta. Saya masih mengkliping puisi, cerpen, dan artikel saya yang dimuat 25 tahun silam. Bahkan, artikel pertama saya yang dimuat Kompas, 11 Maret 1984, sampai kini masih saya simpan. Waktu itu, saya baru semester satu di perguruan tinggi.

Ketika SMA, saya hobi korespondensi. Pen pal menjadi kegemaran, sehingga saya mulai senang menulis dari sini. Jadi, apa yang memampukan saya menulis? Oke, jawabannya sederhana: saya gemar membaca. Mulai dari cerita silat, kisah klasik, sci-fi (sience fiction), novel petualangan, dan terutama novel-novel percintaan. Kisah cinta dan kasih asmara tak pernah lekang dari hidup manusia. Tema ini tidak pernah basi. Mulai dari syair panjang Homeros di tanah Yunani ribuan tahun silam, hingga zaman prakemerdekaan seperti Sitti Nurbaya, sampai kini di zaman digital dan multimedia; tema cinta senantiasa menarik.

Benar, membaca menyibak cakrawala. Saya coba meniru gaya penulis hebat. Kata orang, cara mudah belajar menulis dengan copy the master. Namun, itu pada awal saja. Kelak, kita harus menemukan style, gaya sendiri.

Saya senantiasa punya imajinasi luar biasa yang terasa sebagai sebuah dorongan hebat untuk segera ditulis. Masalahnya, kadang I had no idea where to begin. Tak tahu harus mulai dari mana? Padahal, ide di otak ini begitu banyak, sampai kepala rasanya mau pecah. Tapi, saya harus mulai sesuatu. Saya yakin, menguraikan seribu satu soal, harus dimulai dari angka satu dulu.

Saya lalu menulis cerita pendek. Judulnya, Kembang-Kembang Desember. Setting-nya di Puncak. Timing-nya bulan Desember, ketika kembang mulai bermekaran. Pas akhir tahun, piknik sekolah. Mengisahkan seorang siswi yang menaruh hati pada guru pembimbingnya. Ganteng. Masih muda. Namun, bisakah cinta keduanya bertaut? Di situ konflik mulai muncul. Cerpen itu hanya lima halaman, tapi saya telah mulai sesuatu.

Ketika itu, saya masih memerlukan opening, sebuah storyline, dan bagaimana menutupnya. Namun, dengan jalan itu, saya lalu menemukan kiat jitu dan sederhana bagaimana membuat outline sebuah novel.

Novel saya yang perdana, Flamboyan Kembali Berbunga, sekali lagi, sebagian tentang saya. Saya menggunakan kotaku, Malang, sebagai lokasi kejadian. Saya mencintai kota indah dan sejuk ini (tahun 1980-an, Malang berjuluk “Kota Dingin”, dan ini benar). Saya menulis sangat menghayati novel ini.

Kadang, saya merasa, apa yang saya tulis seakan sebuah kenyataan khayal. Belakangan, saya baru tahu cara seperti ini adalah tahap paling awal manusia memeroleh pengetahuan yang menurut Plato disebut eikasia. Yakni khayalan tentang apa saja. Namun, seakan-akan khayalan itu realistis. Tapi begitu masuk kembali alam kenyataan, kita sadar, bahwa khalayan tidak sama dengan kenyataan. Jika keduannya bertemu, namanya dream comes true!

Maka segera saya membuat karakter. Cerpen Kembang-Kembang Desember coba saya kembangkan. Namun, kali ini terbalik. Herman, mahasiswa sebuah univeritas di Malang, bertemu Vonny, seorang dosen cantik dan kaya di suatu sore gerimis di Jalan Mgr. Soegiyopranoto, Malang. Honda Civic bu dosen mogok dan Herman membantu. Inilah noktah awal kedua insan bertemu. Hingga nasib dan kesewenang-wenangan hereditas memisahkan keduanya.

Inilah pertama kali saya menyelesaikan novel yang ide cerita dan alurnya utuh. Yang terasa menantang ialah, bagian opening dan ending. Berkali-kali bagian itu saya ganti. Berkali-kali pula plotnya harus menyesuaikan.

Sampai saya berkesimpulan, tidak sembarang orang sanggup menulis novel. Mengapa? Karena harus bisa mengingat banyak hal. Harus sanggup mengabstraksi. Mesti bisa mereka peristiwa. Dan itu semua tidak sederhana!

Novel itu saya ketik sendiri, namun kurang rapi. Banyak coretan menggunakan xxxxx, lalu blepotan dengan tipp-Ex. Maklum, tahun 1980-an, komputer masihlah sarana menulis yang langka. Buram pertama, saya minta kakak kelas untuk mengetiknya. Untung, Teguh Poerwono, si pengetik itu, sudi. Ia memang terampil mengetik. Dosen-dosen sering minta bantuannya. Seingat saya, Teguh saya traktir makan dan kasih contoh novel.

Setelah dijilid rapi, novel itu saya tawarkan ke Jawa Pos. Beruntung, langsung bersambut. Pas cerber di harian itu akan habis muat. Saya tujukan kepada redaktur fiksinya, disertai pengantar seperlunya. Tiga minggu setelah dikirim, dimuat bersambung di Harian Jawa Pos selama lebih sebulan.

Pada akhir pemuatan, saya terkejut menerima dua wesel pos sekaligus. Masing-masing nilainya Rp 175.00. Jadi, total cerber dihargai Rp 350.000. Potongan wesel pos itu, kini masih saya simpan.

Tahun 1980-an, uang sebesar itu lumayan besar. Sebagai perbandingan, sepiring nasi dengan lauk sepotong daging ayam dan sayur Rp600. Pas waktu itu, saya hendak pulang kampung ke Kalbar.

Jadi, saya senang sekali, serasa mendapat durian runtuh. Saya naik bus Lorena dari Malang ke Jakarta. Saya menyimpan uang di dua tempat, satu di saku celana belakang dan satunya lagi di saku baju depan. Di terminal Pulogadung, uang yang ditaruh di saku celana dicopet. Saya masygul sekali!

Usai dimuat bersambung, potongan koran saya kumpulkan jadi klipping. Saya merapikan naskah dan sedikit melakukan revisi. Saya kirim ke penerbit Nusa Indah, yang bermarkas di Ende, Flores. Penerbit ini salah satu yang tertua di nusantara. Sudah eksis sejak zaman prakemerdekaan.

Setelah menghasilkan novel perdana, saya rasa mengarang dan menulis panjang jadi makin gampang. Ide terus saja mengalir. Saya menulis novel kedua, Tetes Cinta yang Tercecer. Juga dimuat di Jawa Pos. Tahun 1990, saya nulis novel lagi, Ujung Sebuah Kerinduan. Kali ini dimuat bersambung di Harian Surya.
Atas pengalaman itu, inilah langkah mudah dan praktis menulis dan menghasilkan novel.
• Mulai dengan cerpen kurang dari 30 halaman.
• Tulis mengenai sesuatu yang Anda tahu dan dirasa menarik.
• Buat outline dan detail dari karakter, setting, dan plot.
• Tulis opening dan ending semenarik mungkin.
• Gunakan dialog yang menarik dan tepercaya, wajar.
• Gunakan tata bahasa baku, kosa kata yang umum, dan tidak ruwet.
• Jika selesai, baca ulang, edit, hingga Anda rasa benar-benar mantap.


Sejak 1982, jumlah artikel dan cerpen saya yang dipublikasikan 4.112, sebagian besar tersimpan dalam clear holder hingga kini. Namun, saya merasa tidak puas. Kok nulis artikel dan cerpen gampang sekali dan cepat selesai. Saya tidak merasa tertantang, Maka, sejak tahun 2005, saya memutuskan tidak lagi menulis pendek, tapi hanya konsentrasi menulis buku. Bukankah sesuai makna harfiahnya, articulus/artikel ialah: bagian atau pasal dari sebuah buku? Jadi, bisa nulis pendek, bisa juga nulis panjang!

Ciri-ciri buku ialah ide dan alurnya yang utuh. Maka, artikel-lepas yang dikumpulkan jadi buku memang bentuk (formatnya) buku, namun esensinya bukan-buku. Mengapa? Karena idenya lepas-lepas, tidak dirancang dari awal menjadi buku yang utuh! Kumpulan artikel bukan-buku!

Saya tertantang untuk mengembangkan ide yang utuh, koheren, dan sistematis. Kalau dijual, akan mahal harganya. Karena tahun 2005 status saya karyawan Kompas-Gramedia, dan profesi editor lagi, saya tentu tidak bebas menawarkan naskah buku ke luar. Untungnya, sejak awal 2007, saya bukan lagi editor, tapi staf akademik. Merdeka! Hobi dan profesi sebagai penulis tidak kanibal dan konflik dengan kerjaan kantor. Waktu dan pikiran lebih terkonsentrasi, dan lebih banyak enegeri diarahkan untuk menulis. Saya merasa, sebuah tulisan akan keluar power-nya manakala dilakukan dengan cinta, total, dan intens. Inilah awal saya produktif menulis buku.

Naskah mentah How to Write & Market A Novel bahkan pernah saya tawarkan ke Penerbit Buku Kompas. Namun, ditampik dengan alasan klasik: mereka sulit menemukan kesesuaian naskah dengan pasar. Naskah yang sama saya kirim ke penerbit milik AA Gym di Bandung dan berterima. Bahkan, menjadi salah satu buku terbaik (covernya mendapat predikat top ten sampul terbaik).

Terbit beberapa buku saya di Imprint-nya AA Gym, jadi berkat tersendiri. Saya kerap diundang bedah buku di pesantren dan talk show di radio, di Bandung. Nginap di guest house mewah, kompleks pesantren AA. Ini namanya multiplier effect, menulis mendatangkan sejuta manfaat. Jadi, menulis jangan cuma dilihat manfaat sesaat. Benar apa yang dikatakan Mark Twain, empu dan guru para penulis, "Write without pay until somebody offers pay!"

Hikmahnya, para penulis pemula jangan pernah putus asa, meremas dan membuang naskah awal. Simpan! Suatu saat, akan diambil lagi untuk direvisi. Pada waktunya, ada saja uang datang dari menulis. Jangan risau, manakala pada awal Anda tak beroleh uang dari menulis, tapi baru keluar peluh. Bukankah peluang dari kata peluh+uang? Inilah kerjaan halal, keluar peluh dulu baru uang datang!


Namun, tolak-menolak naskah tak membuat saya ciut. Belakangan, saya juga mafhum bahwa JK Rowling dengan Harry Potter-nya juga awalnya ditolak. Setelah booming, penerbit yang pernah menolak "menjilati air liur"-nya kembali. Dalam hidup ini, roda terus berputar. Hari ini kita butuh penerbit. Hari kemudian, penerbit yang memburu kita. Inilah hikmah yangsaya petik dari kasus JKR-HP. Dan benar adanya.

Mengapa naskah saya tawarkan dulu ke grup penerbit Gramedia, tentu ada alasan. Ini untuk menangkis nantinya kalau ada yang bertanya, “Mengapa tidak menerbitkan buku di Gramedia?” Nyatanya, naskah saya ditampik PBK, salah satu penerbit di lingkungan Gramedia Group. Saya hanya menduga, mungkin para pengambil keputusan mencibir, “Siapa sih elo?” Blessing in disguise, naskah yang sama saya lempar ke penerbit lain, dan diterima. Bahkan, boleh dikata cukup booming.

Dari pengalaman ini saya menyimpulkan, menemukan penerbit seperti mencari jodoh. Cocok-cocokan. Dan pengalaman ditolak menjadi pelecut, saya harus membuktikan bisa. Semula, memang demikian, sulit mencari penerbit. Namun, kini malah terbalik: penerbit yang mencari saya. Bahkan, ada yang menawarkan royalti di muka sebagai perangsang. Sampai saya kesulitan membagi waktu dan perhatian.

Dari mana ide datang? Dari mana saja, dan dapat ditulis di semua tempat. Berbeda dengan mengarang fiksi, menulis nonfiksi bisa distrategikan, tidak harus menunggu ilham. Kapan mau menulis, saya menulis.

Semua tulisan dimulai dari central idea atau main point. Tinggal dikembangkan jadi kata, kalimat, alinea, subbab, dan bab. Beres! Tentang bagaimana mengembangkan tema ini, saya tulis di buku How to Write Your Own Textbook, dengan terlebih dulu menetapkan central idea menggunakan spider diagram (diagram sarang laba-laba) atau mapping of mind ala Tony Busan.

Kini, sehari, saya bisa menulis 30-40 halaman. Kok bisa? Jawabannya: biasa saja. Kalau sudah terbiasa, menulis sama lancar dan cepatnya dengan bicara. Jadi, tidak (bisa) produkif menulis dengan alasan tidak bakat, tidak ada alat, dan tidak ada ilham itu jadul. Menulis semua orang bisa dan kapan saja bisa.

Saya malah sekarang kekurangan waktu untuk menulis. Pesanan datang bertubi-tubi. Jika sudah dikenal, order akan mencari Anda! Bukan Anda yang mencari order. Tinggal memilih. Tinggal memilah mana yang didahulukan.

Gak usah masa datang, sekarang pun orang yang terampil menulis (memiliki word smart) bisa hidup, bahkan kaya dari profesinya. Tahun 2002, saya sudah meramalkan profesi menulis bisa jadi andalan penghidupan. Saya menulis buku "Menjadi Kaya dengan Menulis" --kini judul dan ide temuan saya itu banyak dipakai orang tanpa dikritisi dengan benar-- diterbitkan PT Wahana Dinamika Karya.

Salah kaprah, orang hanya melihat kaya dari sisi uang dan penghasilannya saja. Saya tak demikian, saya berimbang. Dengan mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, saya melukiskan kaya sebagai..."memeroleh atau memunyai banyak hal".

Jadi, menulis bukan hanya kaya uang dan penghasilan. Tapi juga kaya ilmu, teman, buku, net working, dan banyak hal. Kalau toh ujung-ujungnya kaya uang dari menulis, itu merupakan akumulasi kepercayaan sosial. Kata orang, social trust akan mendatangkan financial trust.

Jadi, bangun dulu jaringan dan kepercayaan sosial. Uang akan datang dengan sendirinya. Lagi pula, tidak semua hal dalam hidup ini harus ditakar dengan uang kontan. Ibarat tanaman, ada yang lekas berbuah. Ada yang sedang. Namun, ada yang menunggu waktu lama baru bisa dipetik hasilnya.

Yang pasti, apa pun yang kita tanam, itu bakal yang kita petik. Masalahnya: kita menabur benih apa?

Saya pernah write without pay. Kini bukan hanya somebody (tapi banyak) yang offers pay.

Namun, manfaat menulis kan tak cuma cari uang. Manfaat lain: kesehatan mental, sosial, profesi (jenjang kepangkatan/cum bila Anda guru/dosen). Terlalu naif dan kerdil, manakala sebuah tulisan semata ditakar dengan uang!

3 komentar:

Anonim mengatakan...

subhanlh......sangat menakjubkan...

assalamu'alaikum

salam kenal Pak, banyak ilmu yang saya dapat dari sini,

boleh tidak saya menautkan link Bapak di blog saya

http://mioariefiansyah.wordpress.com

terimakasih Pak

R. Masri Sareb Putra mengatakan...

Boleh, asalkan disebutkan sumbernya. Muat yang terakhir ini ya, baru saya saja tambah beberapa ide. Terutama bagian tengah dan akhir. Semoga mencerahkan dan memotivasi.
salam juga
masri sp

hendar putranto mengatakan...

Pak Masri, sungguh, sbuah blog yg dahsyat dan amat inspiratif!

terimakasih ya, Pak, atas saran2 dan pencerahan yang Anda bagikan lewat blog ini. saya amat terbantu utk mengerjakan sendiri buku2 saya , sampai jumlahnya mencapai umur saya sekarang :D

akhirul kata, seorang pujangga besar Amerika abad ke-20 bernama Ralph Waldo Emerson pernah berkata
"In the highest civilization, the book is still the highest delight. He who has once known its satisfactions is provided with a resource against calamity."

semoga di zaman yg sarat bencana sperti skrg ini, kita bisa mengenali potensi2 kita utk menjadi peradaban yang besar dgn lebih banyak berpaling pada dan bertutur lewat buku2 yang bermutu.

salam hormat,


Hendar