Saya seorang penulis dan dosen. Saya butuh waktu tenang, konsentrasi, melakukan refleksi, agar tulisan saya hidup dan punya greget. Tiap hari, rutin, saya meditasi.
Kita kerap terjebak dalam rutinitas, sehingga tidak sempat, bahkan lupa, refleksi. Seberapa sering kita melakukan sesuatu, setelah sekian lama ditinggalkan, kita mengambil distance, ternyata ada pandangan lain. Ketika terbuai keasyikan mengerjakan sesuatu, mata hati kita sering buta melihat jalan lain.
Kaca mata kuda menutup sudut pandang lain, manakala rutinitas memerangkap kita tidak bisa berpikir, apalagi bertindak, keluar dari kotak (out of the box). Padahal, kita kerap mendengar salah satu ciri orang kreatif adalah tidak mengekor, berani keluar dari pakem untuk sesuatu yang lebih bernilai dan lebih mulia.
Salah satu cara agar mata hati tetap tercelik di tengah-tengah
rutinitas adalah dengan meditasi. Tidak perlu sampai berjam-jam menghabiskan waktu produktif, meditasi dilakukan rutin saja.
Apa manfaat meditasi? Banyak sekali. Shunryu Suzuki Roshi mencatat demikian,
“Meditations opens the mind to greatest mystery that takes place daily and hourly; it widens the heart so that it may feel the eternity of time and infinity of space in every throb; it gives us life within the world as if we were moving about in paradise; and all these spiritual deeds take place without any refuge into a doctrine, but by the simple and direct holding fast to the truth which dwells in our innermost beings .”
Dengan demikian, jelas bahwa meditasi dibutuhkan siala saja, bukan hanya agama atau sekte tertentu. Dengan meditasi, kita membuka mata pikiran untuk menyingkap misteri terbesar yang melingkupi jam dan seluruh waku kita.
Meditasi juga memperluas lautan hati, sehingga kita dapat merasakan keabadian waktu dan ruang tak terhingga di setiap denyut jantung. Meditasi menjadikan hidup kita dalai dunia ini seakan-akan di surga. Meditasi mengeliminir perbuatan spiritual terjebak menjadi sebuah doktrin, tetapi secepat kilat membawa kembali kita pada kebenaran sejati, yang tiggal dalam diri kita.
Kita semua perlu meditasi
Meditasi kerap dikaitkan dengan agama tertentu dan sekte tertentu. Labeling bahwa agama atau sekte tertentu identik dengan meditasi benar, namun sebenarnya kaum awam pun banyak yang rutin melakukan meditasi. Meditasi juga dilakukan para top executive. Bahkan, sadar atau tidak, kita semua melakukan meditasi.
Sebagaimana diketahui, banyak teknik meditasi yang tumbuh dan hidup di berbagai tradisi. Namun, semuanya dapat diklasifikasikan ke dalam lima macam meditasi sebagai berikut.
1. Meditasi Konsentrasi (concentration meditation)
2. Meditasi kesadaran (mindfulness meditation)
3. Meditasi kreatif (creative meditation)
4. Meditasi reflektif (reflective meditation)
5. Meditasi yang berpusat pada hati (heart-centered meditation)
Kelima macam meditasi ini menurut Joel Levey and Michelle Levey dalam buku Simple Meditation & Relaxtion,Conary Press, 1999, halaman 25.
Meditasi konsentrasi adalah dasar bagi meditasi yang lain. Lewat kekuatan konsentrasi, kita membangun kemampuan untuk mengatasi gangguan dan untuk tetap memusatkan mental. Kekuatan pikiran sangat terbatas. Meski demikian, pikiran ibarat aliran air yang dapat disalurkan untuk membuatnya lebih kuat dan menghasilkan listrik tenaga air. Kita dapat menjadikan pikiran sarana yang berdaya dengan mengembangkan benih yang kecil dari kesadaran menjadi “kekuatan konsentrasi”.
Dalam naskah-naskah klasik ihwal meditasi, benih kecil kesadaran pikiran ini dikembangkan melalui konsentrasi energi yang disebut samadi yang secara harfiah berarti “meneguhkan” atau “menguatkan”. Kekuatan pikiran yang terkonsentrasi dapat difokuskan secara efektif untuk meningkatkan dan memperdalam wawasan ke tema meditasi lain atau tujuan tertentu.
Apa pun teknik meditasi yang dijalankan, penting kiranya untuk memusatkan perhatian pada objek meditasi dan tetap berkanjang di sana tanpa gangguan. Dengan kesabaran dan latihan, pikiran akan menjadi lebih dingin, lebih berdaya guna, dan dapat menerapkannya pada tugas apa pun secara presisi dan penuh pengertian. Setiap objek atau kegiatan dapat digunakan untuk pengembangan konsentrasi yang lebih spesifik. Prinsip dasar yang sama, selalu berlaku tidak peduli apa bentuk latihan meditasi Anda: setiap kali pikiran Anda mengembara, selalu kembali ke awal lagi –lagi dan lagi—ke objek yang Anda meditasikan.
Meditasi kesadaran menekankan pada penumbuhan reseptif. Pada saat-saat dalam kehidupan kita, ketika kita sedang asyik dan heran menatap ke kedalaman langit malam, mendengarkan dengan cermat, mengagumi keindahan alam, atau sepenuh hati mendengarkan jawaban dari doa hati kita, sebenarnya kita telah mengalami jenis meditasi ini. Menyadari diri dan berdoa dari lubuk hati yang yang paling dalam merupakan praktik dari meditasi kategori ini.
Interaksi konsentrasi dan meditasi kesadaran memungkinkan kita mengembangkan kamampuan untuk memeriksa dan secara intuitif memahami kekuatan jauh di dalam pengalaman kita sehari-hari. Wawasan penetrasi yang berkembang, kemudian dapat diterapkan secara sistematis untuk menyelidiki interaksi sangat halus antara fenomena yang kita pandang dan sifat pikiran kita sendiri sebagai perseptor. Kita akan merasakan diri kita sendiri dan berkaitan erat dan kokreatif dengan dunia pengalaman kita.
Meditasi kreatif memungkinkan kita untuk secara sadar membangun dan secara sadar memupuk dan memperoleh kegembiraan, syukur, cinta, kasih sayang, keberanian, kerendahan hati, kelembutan, dan kualitas lainnya yang terkait dengan aspek-aspek yang paling umum ditumbuhkembangkan. Meditasi kreatif mengantar kita secara aktif memelihara kekuatan karakter ini dengan berpikir, berbicara, dan bertindak sekan-akan “pikiran” dan itu menjadi nyata dalam hidup kita.
Meditasi reflektif, atau juga disebut meditasi analitikal, sama seperti olah pikir: memilih tema, pertanyaan, atau topik untuk kontemplasi, atau melakukan analisis atas topik itu. Manakala perhatian kita mengembara ke pikiran lainnya, kita harus kembali lagi kepada topik yang sudah kita tetapkan. Secara tradisional, meditasi reflektif dijalankan untuk mendapat pencerahan tentang makna hidup, kematian, interrelasi, dan kesadaran sosial. Di samping itu, mengondisikan datangnya wawasan tentang beberapa ide penting dalam sains, filsafat, atau sastra. Setelah melalui proses analisis, kita sampai pada simpulan.
Dalam kehidupan dan dalam pekerjaan sehari-hari, meditasi reflektif memungkinkan kita lebih efektif dan memberikan daya agar tetap focus pada pertanyaan personal atau professional. Dengan demikian, memungkinkan kita menemukan solusi kreatif atau memecahkan masalah yang berat. Selain itu, meditasi reflektif juga membantu kita untuk memahami isu atau konflik terdalam yang mungkin saja timbul selama mempraktikkan meditasi yang lain.
Meditasi yang berpusat pada hati membuka mata hati kita. Untuk menyinta dan memberikan maaf.
Minggu, 23 Mei 2010
Sabtu, 22 Mei 2010
Negara yang Dipimpin Filsuf
Naskah tua Politeía agaknya perlu kita baca. Bukan sekadar baca, tapi juga melakukannya. Mengapa? Sebab, siapa yang tidak mau mempelajari sejarah, akan dikutuk sejarah.
Kita ini tengah dikutuk sejarah. Perseteruan antarpartai menyebabkan rakyat makin melarat. Apa yang dikerjakan wakil rakyat di Senayan untuk memakmurkan rakyat? Apa pula sumbangsih partaipartai pada rakyat, kecuali memikirkan kepentingan golongan?
Pada abad 4 sM, Plato sudah mewanti-wanti akibat buruk pertentangan antarpartai. Bahwa perseteruan antarpartai akan melemahkan sebuah republik, yang akhirnya dapat menyeret warga ke tubir kehancuran. Bukan saja miskin secara harta, tapi juga secara intelektual dan juga moral. Yang terakhir tak bisa ditawar, sebab itulah hakikat manusia menurut para filsuf.
Konstitusi yang berpihak pada keadilan dan rakyat memang baik. Namun, jadi tak berarti manakala tidak ada yang menjamin pelaksanaannya. Bangsa Yunani setengah abad sebelum Plato lahir, sudah punya konstitusi. Tatkala Solon pada 593 sM jadi pemimpin Atena sudah diupayakan undang-undang yang adil, yakni aturan umum yang eunomia. Yakni konstitusi yang mengatur dan menjamin hak serta menciptakan keadilan bagi warga Athena.
Namun, aturan itu dirusak oleh perseteruan antar dua partai: golongan kaya dan golongan marjinal. Perseteruan yang tak berujung pada titik temu ini lalu memicu perang saudara. Athena, dengan segala kemajuan dan kemegahannya yang telah dibangun bertahun-tahun hancur dalam hitungan detik. Setitik nila mengancurkan susu sebelanga. Inilah akibat perseteruan partai. Yang terjadi bukan kebaikan, sebaliknya, kehancuran dan kerusakan.
Ada baiknya, demi kemaslahatan bersama, para pemimpin partai politik kita kembali duduk di meja perundingan untuk membangun koalisi yang saling menguntungkan. Tidak sebatas basa basi. Tujuannya demi kemaslahatan bersama. Senyampang masih ada waktu, jika keduanya bijak, menjalin koalisi kembali. Belajarlah dari sejarah. Sibak kembali naskah kuno kuna Politeía yang berarti pemerintahan negara-bangsa yang ditulis Plato pada tahun 380 sM.
Dalam Politeía dideskripsikan pemerintahan yang ideal. Memang terjadi dialektika empat bentuk pemerintahan yakni timokrasi, oligarki, (kerap disebut plutokrasi), demokrasi, dan tirani (kerap disebut despotisme).
Manakah bentuk negara paling ideal? Tidak ada! Yang ada ialah gabungan keempatnya. Penekanannya bergantung pada situasi kondisi. Mengapa Plato menyimpulkan, pemerintahan ideal seharusnya dikendalikan filsuf? Sebab hanya filsuf pemimpin yang dapat memilah dan memilih, kapankah menerapkan gaya kepemimpinan untuk mencapai kebaikan dan keseimbangan.
Naskah Politeía berbentuk dialog Sokratik ini jadi acuan negarawan-pemikir seperti Jean Jacques Rousseau, Bertrand Russell, Allan Bloom, Leo Strauss.
Tahun 561 Pisistratus tampil sebagai pemimpin kuat lagi tersohor di Athena. Pada 461 muncul pemimpin demokratik Ephialtes sebagai penyeimbang. Rakyat Athena mulai dikenalkan kekuatan yang saling mengoreksi dan menyeimbangkan (checks and balances) lewat dialog yang santun dan terbuka.
Maka pemerintahan oleh para filsuf tidak hanya akan mencegah terjadinya kehancuran yang potensial mengancam kota, lebih-lebih bahaya dari serangan musuh dari luar. Namun, lebih-lebih melindungi dan menjamin hak-hak warga agar tercipta keadilan dan kebahagiaan yang disebut sebagai “keadilan sosial”, yang didapat dari kerja sama dan persaudaraan sejati yang dibangun oleh setiap warga kota (Republic 462a-b, Laws 628a-b).
Kedamaian, menurut Plato, tidak identik dengan yang kini kita maksudkan. Yakni suatu keadaan yang dinikmati hanya segelintir orang, namun nilai yang diinginkan setiap orang. Inilah pemikiran luar biasa Plato yang didasarkan ide Solon, namun mempertajamnya lagi bahwa keadilan sosial haruslah didasarkan pada equilibrium dan harmoni dari kelas-kelas sosial yang berbeda.
Menurut Plato, fungsi pokok pemimpin filsuf ialah menjamin hak-hak sipil dan menghentikan perselisihan sosial, namun haruslah didasarkan pada tata hukum yang adil.
Pertanyaannya: apakah para pemimpin kita sudah demikian? Boro-boro. Seujung kuku pun tidak!
Kita ini tengah dikutuk sejarah. Perseteruan antarpartai menyebabkan rakyat makin melarat. Apa yang dikerjakan wakil rakyat di Senayan untuk memakmurkan rakyat? Apa pula sumbangsih partaipartai pada rakyat, kecuali memikirkan kepentingan golongan?
Pada abad 4 sM, Plato sudah mewanti-wanti akibat buruk pertentangan antarpartai. Bahwa perseteruan antarpartai akan melemahkan sebuah republik, yang akhirnya dapat menyeret warga ke tubir kehancuran. Bukan saja miskin secara harta, tapi juga secara intelektual dan juga moral. Yang terakhir tak bisa ditawar, sebab itulah hakikat manusia menurut para filsuf.
Konstitusi yang berpihak pada keadilan dan rakyat memang baik. Namun, jadi tak berarti manakala tidak ada yang menjamin pelaksanaannya. Bangsa Yunani setengah abad sebelum Plato lahir, sudah punya konstitusi. Tatkala Solon pada 593 sM jadi pemimpin Atena sudah diupayakan undang-undang yang adil, yakni aturan umum yang eunomia. Yakni konstitusi yang mengatur dan menjamin hak serta menciptakan keadilan bagi warga Athena.
Namun, aturan itu dirusak oleh perseteruan antar dua partai: golongan kaya dan golongan marjinal. Perseteruan yang tak berujung pada titik temu ini lalu memicu perang saudara. Athena, dengan segala kemajuan dan kemegahannya yang telah dibangun bertahun-tahun hancur dalam hitungan detik. Setitik nila mengancurkan susu sebelanga. Inilah akibat perseteruan partai. Yang terjadi bukan kebaikan, sebaliknya, kehancuran dan kerusakan.
Ada baiknya, demi kemaslahatan bersama, para pemimpin partai politik kita kembali duduk di meja perundingan untuk membangun koalisi yang saling menguntungkan. Tidak sebatas basa basi. Tujuannya demi kemaslahatan bersama. Senyampang masih ada waktu, jika keduanya bijak, menjalin koalisi kembali. Belajarlah dari sejarah. Sibak kembali naskah kuno kuna Politeía yang berarti pemerintahan negara-bangsa yang ditulis Plato pada tahun 380 sM.
Dalam Politeía dideskripsikan pemerintahan yang ideal. Memang terjadi dialektika empat bentuk pemerintahan yakni timokrasi, oligarki, (kerap disebut plutokrasi), demokrasi, dan tirani (kerap disebut despotisme).
Manakah bentuk negara paling ideal? Tidak ada! Yang ada ialah gabungan keempatnya. Penekanannya bergantung pada situasi kondisi. Mengapa Plato menyimpulkan, pemerintahan ideal seharusnya dikendalikan filsuf? Sebab hanya filsuf pemimpin yang dapat memilah dan memilih, kapankah menerapkan gaya kepemimpinan untuk mencapai kebaikan dan keseimbangan.
Naskah Politeía berbentuk dialog Sokratik ini jadi acuan negarawan-pemikir seperti Jean Jacques Rousseau, Bertrand Russell, Allan Bloom, Leo Strauss.
Tahun 561 Pisistratus tampil sebagai pemimpin kuat lagi tersohor di Athena. Pada 461 muncul pemimpin demokratik Ephialtes sebagai penyeimbang. Rakyat Athena mulai dikenalkan kekuatan yang saling mengoreksi dan menyeimbangkan (checks and balances) lewat dialog yang santun dan terbuka.
Maka pemerintahan oleh para filsuf tidak hanya akan mencegah terjadinya kehancuran yang potensial mengancam kota, lebih-lebih bahaya dari serangan musuh dari luar. Namun, lebih-lebih melindungi dan menjamin hak-hak warga agar tercipta keadilan dan kebahagiaan yang disebut sebagai “keadilan sosial”, yang didapat dari kerja sama dan persaudaraan sejati yang dibangun oleh setiap warga kota (Republic 462a-b, Laws 628a-b).
Kedamaian, menurut Plato, tidak identik dengan yang kini kita maksudkan. Yakni suatu keadaan yang dinikmati hanya segelintir orang, namun nilai yang diinginkan setiap orang. Inilah pemikiran luar biasa Plato yang didasarkan ide Solon, namun mempertajamnya lagi bahwa keadilan sosial haruslah didasarkan pada equilibrium dan harmoni dari kelas-kelas sosial yang berbeda.
Menurut Plato, fungsi pokok pemimpin filsuf ialah menjamin hak-hak sipil dan menghentikan perselisihan sosial, namun haruslah didasarkan pada tata hukum yang adil.
Pertanyaannya: apakah para pemimpin kita sudah demikian? Boro-boro. Seujung kuku pun tidak!
The Power of Forgiving
Seorang guru tengah mengajar murid-muridnya. Topiknya selain aktual, juga menarik dan sarat muatan filosofis. Sang guru membahas isu perdamaian. Katanya, seseorang akan menerima damai, manakala ia membuka pintu hati untuk permohonan maaf dari orang yang pernah berbuat salah dan menyakitinya.
Seorang pendengar yang terkesima mendengar penjelasan sang guru. Lalu buru-buru mengacungkan tangan dan bertanya, “Guru, berapa kalikah kami harus mengampuni? Satu kali? Dua kali? Tiga kalikah? Atau tujuh kali?”
Sejenak sang guru yang bijak terhenyak. Matanya menatap tajam sang murid. Lalu menengadah ke langit. Setelah itu, ujung jarinya menyentuh tanah. Ia hendak menggurat sesuatu. Lalu bertanya pada si murid. “Kesalahan apa yang dilakukan orang tersebut pada kamu?”
Si murid berkata, “Orang itu ingkar janji. Katanya hendak membayar utang hari ini, tapi sama sekali tidak.” Sang guru pun mencatat kesalahan orang yang telah melakukan kesalahan pada muridnya: ingkar janji. Kesalahan ini ditulisnya di permukaan tanah.
Selanjutnya, sang guru menjawab pertanyaan, berapa kali orang harus mengampuni? Begitu bijaknya sang guru, sehingga dalam menjawab pertanyaan ia justru bertanya. “Menurut keyakinanmu, berapa kali orang harus mengampuni?”
Si murid ingat buku suci yang pernah dibacanya, “tujuh kali, guru.”
Aku berkata kepadamu, kata sang guru, “Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.” Sembari berkata demikian, sang guru menulis angka 70 x 7 di permukaan batu prasasti.
Mengapa kesalahan seseorang ditulis sang guru di atas permukaan tanah, sedangkan berapa kali harus mengampuni di atas batu prasasti? Kesalahan harus dengan mudah dihapus dari ingatan, sedangkan berapa kali harus diingat selamanya.
***
Seorang pendengar yang terkesima mendengar penjelasan sang guru. Lalu buru-buru mengacungkan tangan dan bertanya, “Guru, berapa kalikah kami harus mengampuni? Satu kali? Dua kali? Tiga kalikah? Atau tujuh kali?”
Sejenak sang guru yang bijak terhenyak. Matanya menatap tajam sang murid. Lalu menengadah ke langit. Setelah itu, ujung jarinya menyentuh tanah. Ia hendak menggurat sesuatu. Lalu bertanya pada si murid. “Kesalahan apa yang dilakukan orang tersebut pada kamu?”
Si murid berkata, “Orang itu ingkar janji. Katanya hendak membayar utang hari ini, tapi sama sekali tidak.” Sang guru pun mencatat kesalahan orang yang telah melakukan kesalahan pada muridnya: ingkar janji. Kesalahan ini ditulisnya di permukaan tanah.
Selanjutnya, sang guru menjawab pertanyaan, berapa kali orang harus mengampuni? Begitu bijaknya sang guru, sehingga dalam menjawab pertanyaan ia justru bertanya. “Menurut keyakinanmu, berapa kali orang harus mengampuni?”
Si murid ingat buku suci yang pernah dibacanya, “tujuh kali, guru.”
Aku berkata kepadamu, kata sang guru, “Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.” Sembari berkata demikian, sang guru menulis angka 70 x 7 di permukaan batu prasasti.
Mengapa kesalahan seseorang ditulis sang guru di atas permukaan tanah, sedangkan berapa kali harus mengampuni di atas batu prasasti? Kesalahan harus dengan mudah dihapus dari ingatan, sedangkan berapa kali harus diingat selamanya.
***
Sukses
Apakah arti “sukses”? Mengapa seluruh hidup harus didedikasikan untuk meraihnya? Adakah cita rasa yang sama, semacam kesepakatan universal, tentang sukses? Ataukah sukses semata-mata persepsi individu yang berbeda satu sama lain?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, alangkah baik jika ditelusuri lebih dulu makna leksikal dan semantik “sukses”.
• Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 1099) sukses ialah berhasil, beruntung.
• Dictionary of American English (1544) mencatat terdapat tiga macam sukses, yakni: (1) Accomplishment of a task, the reaching of a goal, (2) a good event, an achievement, (3) wealth, good luck in life.
• Alex Bone menyebut bahwa sukses adalah sebuah proses, suatu kualitas pikiran dan cara kita berada, pengukuran kehidupan yang terbuka.
• Kevan H. Namazi, gerontologist, Univ. Texas’s Southwestern Medical Center, Dallas mengatakan bahwa sukses yang dicapai “The most successful old-old people are those who have important connection, a hobby, or something that gives them a zest for life.”
• Sementara Paul Stoltz mencatat bahwa sukses merupakan ganjaran atau reward dari sebuah proses pendakian atau usaha. “I use the term Ascend in the broadest sense –moving your purpose in your life forward no matter what your goals. Whether your Ascent is about gaining market share, getting better grades, improving your relationship, becoming better at what you do, completing an education, raising stellar children, growing closer to God, or making a meaningful contribution during your brief stint on the planet, the drive is imperative. Successful people share the profound urge to strive, to make progress, to achieve their goals and fulfill their dreams” (Adversity Quotient, hal. 13).
Kita melihat terdapat begitu banyak definisi sukses. Semua berkata kunci suatu capaian tertentu. Namun, yang cukup lengkap agaknya definisi sukses dari Dictionary of American English yang menyebut terdapat tiga macam sukses.
Pertama, seseorang dikatakan sukses manakala yang bersangkutan berhasil menunaikan tugas yang harus dikerjakan dan dipercayakan padanya dan berhasil mencapai tujuan tertentu.
Kedua, sukses ialah suatu pencapaian tertentu atau sebuah peristiwa/kejadian yang baik.
Dan yang ketiga, sukses ialah kesehatan yang prima dan nasib baik atau peruntungan yang didapat dalam hidup.
Meski tiap orang punya persepsi yang berbeda tentang sukses, toh ada semacam kesepakatan umum seperti dicatat dalam Dictionary of American English. Mengapa seluruh daya, tenaga, dan pikiran harus dicurahkan untuk meraih sukses, kini terjawab sudah. Bahwa sukses yang dipersepsikan seseorang adalah tujuan (goal) dalam hidup. Sebuah puncak gunung kehidupan yang harus didaki untuk kemudian diraih. Bila seseorang belum atau tidak dapat meraih puncak kehidupan yang ditentukan dan diinginkannya,ia gagal.
sukses haruslah dicapai dengan kerja keras dan sikap pantang menyerah. Pasrah pada keadaan tidak pernah akan membuahkan sukses. Hanya para pendaki (climbers) saja yang meraih puncak usaha, yakni sukses. Paul G. Stoltz, pendiri Peak Learning, dalam buku Adversity Quotient: Turning Obstacles into Opportunities menjelaskan terdapat tiga tipe manusia.
Pertama, Quitters (berhenti), yakni orang yang menampik untuk maju atau mendaki. Cirinya ialah bahwa orang ini do just enough to get by. Little ambition, minimal drive, sub-par quality. Take few risk, rarely activity.
Kedua, Campers (pekemah), yakni orang yang mudah puas. Cirinya ialah bahwa orang ini show moderate creativity and take some calculated risk, play it safe.
Ketiga, Climbers (pendaki), yakni orang yang tidak pernah puas dengan apa yang sudah diraih. Orang ini selalu yang lebih dan lebih. Sudah meraih good, ia ingin better. Sudah mencapai better, ia ingin menjadi the best. Ciri orang pendaki ialah show moderate creativity and take some calculated risk, play it safe.
Tetapkan apa yang menjadi goal Anda dalam hidup dan strategikan bagaimana meraihnya. Sukses berawal dari diri sendiri. Rentangkanlah telapak tangan Anda. Lihatlah “garis nasib” yang tertoreh di dalamnya. Setelah mencermatinya, tutuplah. Sebagian besar garis tangan tidak tampak karena ditutupi keempat jari. Artinya, Anda yang harus mengubah nasib Anda. Sisanya, garis tangan yang terbuka adalah pengaruh luar.
Karena itu, sukses harus dimulai dari diri sendiri, dengan usaha dan kerja keras. Sukses tidak bergantung situasi dan orang lain, apalagi tergantung alat. Bukankah ada pepatah, “A bad workman always blames his tool”. Tukang yang tidak cakap selalu menghujat alatnya. Karena itu, jangan pernah menghujat alat, sebab alat tinggallah hanya alat. Orang di balik alat itu yang penting, karena kemampuan pikiran dan kreativitas jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan alat.
Selain itu, jangan pernah berpuas diri ketika pencapaian belum maksimal. Dag Hammarskjold, mantan Sekjen PBB mengatakan, “….Never measure the height of a mountain, until you have reached the top. Then you will see how low it was.”
Benar, jangan pernah buru-buru mengukur ketinggian gunung sebelum Anda dapat meraih puncaknya. Sebab, ketika mencapai puncak, Anda baru menyadari sebenarnya tadi Anda masih berada di bawah.
Hidup adalah pendakian menuju puncak gunung kesuksesan. Karena itu, sukses adalah sesuatu seperti yang kami bayangkan, “Onward climbing to reach the highest peak”.
Senada dengan ini, Stoltz menambahkan, “Success can be defined as the degree to which one moves forward and upward, progressing in one’s lifelong mission, despite all obstacles or other forms of adversity (Stoltz, 1997: 5). Perhatikan dengan saksama kata success dan adversity, yang dalam buku aslinya, dicetak miring.
Tentu, tiap orang berhak mempersepsikan sukses, puncak yang harus diraihnya dalam hidup. Anda pun berhak mempersepsikannya. Yang jelas, sukses tidak pernah jatuh dari langit.
Sukses harus disertai usaha dan kerja keras. Manusia merencanakan. Manusia menentukan sukses dalam hidupnya. Tuhan menyibak jalan dan merestui.
***
Sebelum menjawab pertanyaan itu, alangkah baik jika ditelusuri lebih dulu makna leksikal dan semantik “sukses”.
• Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 1099) sukses ialah berhasil, beruntung.
• Dictionary of American English (1544) mencatat terdapat tiga macam sukses, yakni: (1) Accomplishment of a task, the reaching of a goal, (2) a good event, an achievement, (3) wealth, good luck in life.
• Alex Bone menyebut bahwa sukses adalah sebuah proses, suatu kualitas pikiran dan cara kita berada, pengukuran kehidupan yang terbuka.
• Kevan H. Namazi, gerontologist, Univ. Texas’s Southwestern Medical Center, Dallas mengatakan bahwa sukses yang dicapai “The most successful old-old people are those who have important connection, a hobby, or something that gives them a zest for life.”
• Sementara Paul Stoltz mencatat bahwa sukses merupakan ganjaran atau reward dari sebuah proses pendakian atau usaha. “I use the term Ascend in the broadest sense –moving your purpose in your life forward no matter what your goals. Whether your Ascent is about gaining market share, getting better grades, improving your relationship, becoming better at what you do, completing an education, raising stellar children, growing closer to God, or making a meaningful contribution during your brief stint on the planet, the drive is imperative. Successful people share the profound urge to strive, to make progress, to achieve their goals and fulfill their dreams” (Adversity Quotient, hal. 13).
Kita melihat terdapat begitu banyak definisi sukses. Semua berkata kunci suatu capaian tertentu. Namun, yang cukup lengkap agaknya definisi sukses dari Dictionary of American English yang menyebut terdapat tiga macam sukses.
Pertama, seseorang dikatakan sukses manakala yang bersangkutan berhasil menunaikan tugas yang harus dikerjakan dan dipercayakan padanya dan berhasil mencapai tujuan tertentu.
Kedua, sukses ialah suatu pencapaian tertentu atau sebuah peristiwa/kejadian yang baik.
Dan yang ketiga, sukses ialah kesehatan yang prima dan nasib baik atau peruntungan yang didapat dalam hidup.
Meski tiap orang punya persepsi yang berbeda tentang sukses, toh ada semacam kesepakatan umum seperti dicatat dalam Dictionary of American English. Mengapa seluruh daya, tenaga, dan pikiran harus dicurahkan untuk meraih sukses, kini terjawab sudah. Bahwa sukses yang dipersepsikan seseorang adalah tujuan (goal) dalam hidup. Sebuah puncak gunung kehidupan yang harus didaki untuk kemudian diraih. Bila seseorang belum atau tidak dapat meraih puncak kehidupan yang ditentukan dan diinginkannya,ia gagal.
sukses haruslah dicapai dengan kerja keras dan sikap pantang menyerah. Pasrah pada keadaan tidak pernah akan membuahkan sukses. Hanya para pendaki (climbers) saja yang meraih puncak usaha, yakni sukses. Paul G. Stoltz, pendiri Peak Learning, dalam buku Adversity Quotient: Turning Obstacles into Opportunities menjelaskan terdapat tiga tipe manusia.
Pertama, Quitters (berhenti), yakni orang yang menampik untuk maju atau mendaki. Cirinya ialah bahwa orang ini do just enough to get by. Little ambition, minimal drive, sub-par quality. Take few risk, rarely activity.
Kedua, Campers (pekemah), yakni orang yang mudah puas. Cirinya ialah bahwa orang ini show moderate creativity and take some calculated risk, play it safe.
Ketiga, Climbers (pendaki), yakni orang yang tidak pernah puas dengan apa yang sudah diraih. Orang ini selalu yang lebih dan lebih. Sudah meraih good, ia ingin better. Sudah mencapai better, ia ingin menjadi the best. Ciri orang pendaki ialah show moderate creativity and take some calculated risk, play it safe.
Tetapkan apa yang menjadi goal Anda dalam hidup dan strategikan bagaimana meraihnya. Sukses berawal dari diri sendiri. Rentangkanlah telapak tangan Anda. Lihatlah “garis nasib” yang tertoreh di dalamnya. Setelah mencermatinya, tutuplah. Sebagian besar garis tangan tidak tampak karena ditutupi keempat jari. Artinya, Anda yang harus mengubah nasib Anda. Sisanya, garis tangan yang terbuka adalah pengaruh luar.
Karena itu, sukses harus dimulai dari diri sendiri, dengan usaha dan kerja keras. Sukses tidak bergantung situasi dan orang lain, apalagi tergantung alat. Bukankah ada pepatah, “A bad workman always blames his tool”. Tukang yang tidak cakap selalu menghujat alatnya. Karena itu, jangan pernah menghujat alat, sebab alat tinggallah hanya alat. Orang di balik alat itu yang penting, karena kemampuan pikiran dan kreativitas jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan alat.
Selain itu, jangan pernah berpuas diri ketika pencapaian belum maksimal. Dag Hammarskjold, mantan Sekjen PBB mengatakan, “….Never measure the height of a mountain, until you have reached the top. Then you will see how low it was.”
Benar, jangan pernah buru-buru mengukur ketinggian gunung sebelum Anda dapat meraih puncaknya. Sebab, ketika mencapai puncak, Anda baru menyadari sebenarnya tadi Anda masih berada di bawah.
Hidup adalah pendakian menuju puncak gunung kesuksesan. Karena itu, sukses adalah sesuatu seperti yang kami bayangkan, “Onward climbing to reach the highest peak”.
Senada dengan ini, Stoltz menambahkan, “Success can be defined as the degree to which one moves forward and upward, progressing in one’s lifelong mission, despite all obstacles or other forms of adversity (Stoltz, 1997: 5). Perhatikan dengan saksama kata success dan adversity, yang dalam buku aslinya, dicetak miring.
Tentu, tiap orang berhak mempersepsikan sukses, puncak yang harus diraihnya dalam hidup. Anda pun berhak mempersepsikannya. Yang jelas, sukses tidak pernah jatuh dari langit.
Sukses harus disertai usaha dan kerja keras. Manusia merencanakan. Manusia menentukan sukses dalam hidupnya. Tuhan menyibak jalan dan merestui.
***
Kamis, 20 Mei 2010
Oase Baru bagi Jurnalistik dan Sastra Indonesia
Hadirin dalam acara peluncuran dan seminar. Edy Sutarto, Ahmadun,Niknik, Helvy, Masri, dan Ariobimo.
Tangerang, 11 Mei 2010 – Dua akademisi Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Niknik M. Kuntarto dan R. Masri Sareb Putra, meluncurkan buku terbarunya. Pada kesempatan kali ini Niknik meluncurkan novel Saatirah, sementara Masri berhasil meretaskan dua karya sekaligus, Principles of Creative Writing dan Literary Journalism (Jurnalistik Sastrawi).
Peluncuran buku ini dikemas dalam seminar bertajuk “Jurnalistik dan Sastra: Proses Kreatif Penulisan, Penerbitan, dan Peluncuran Buku” di Function Hall-UMN, Tangerang, Senin (10/5). Kemasan acara ini bertujuan untuk memotivasi para penulis muda dalam mengembangkan imajinasi, mendorong dan merangsang berpikir kreatif, serta mendapat pengetahuan dari para penulis berpengalaman seputar dunia penulisan.
Terdapat tiga sesi penting dalam acara seminar pada acara peluncuran yang berlangsung semarak itu, yaitu dimulai dengan presentasi topik “Jurnalistik dan Sastra” oleh Ahmadun Yosie Herfanda, Ketua Komunitas Sastra Indonesia. Kemudian, Helvy Tiana Rosa, seorang tokoh perempuan Indonesia sekaligus novelis, ikut membawakan makalah berjudul “Proses Kreatif Seorang Penulis”, sedangkan, sesi akhir seminar ditutup dengan tema “How to Deal with Publisher?” bersama B. M. Adam, Manajer Buku Referensi dan Umum Grasindo.
Bagi Niknik M. Kuntarto, peluncuran karya novel ini diharapkannya mampu memberikan kontribusi bagi perkembangan sastra di Tanah Air. Apalagi tema yang ditampilkan dalam Novel Saatirah ini tergolong jarang diangkat dewasa ini menyusul banyaknya novel yang lebih bernuansa religi dan teenlit.
Novel perdana dosen Ilmu Komunikasi-UMN ini merupakan sebuah cerita feminin dengan tema amat domestik, mirip Mira W, tetapi dengan gaya bahasa lebih berpuitis. Plus, ada budaya Sunda yang amat kental menjadi latar cerita ini, dari paribasa (peribahasa) yang diyakini masyarakat Sunda sampai istilah-istilah Sunda.
“Lewat Saatirah saya mencoba mengkritisi budaya patrialisme yang masih kental dalam masyarakat kita,” ujar Niknik, yang sebelumnya telah menghasilan buku akademik di bidang Bahasa Indonesia ini, salah satunya berjudul Cermat dalam Berbahasa, Teliti dalam Berpikir.
Sementara Masri Sareb Putra, penulis buku Creative Writing dan Literary Journalism, berharap bukunya bisa menjadi referensi bagi siapapun yang akan terjun dalam bidang jurnalistik dan penulisan kreatif.
“Setiap orang bisa jadi penulis, karena industri kreatif sekarang ini sangatlah menjanjikan untuk ke depannya. Tapi untuk bisa menulis tentu harus mengetahui tekniknya,” ungkap pria kelahiran Jangkang, Sangau, Kalimantan. Bagi Masri, yang mantan wartawan itu, dua bukunya ini merupakan karya penerbitannya yang ke-53 dan ke-54.
sumber:
website Universitas Multimedia Nusantara
Rabu, 19 Mei 2010
If you can dream it, you can do it
Mulailah segala sesuatu dari “Mimpi”
Tidak mungkin mengatur (waktu) orang lain, jika seseorang tidak dapat atau tidak mampu mengatur diri sendiri. Agar mengatur waktu itu mempunyai landasan yang kuat, perlu ditetapkan terlebih dahulu mengatur waktu untuk tujuan apa?
Tujuan yang hendak dicapai kerap disebut “mimpi”, idealisme, atau goal. Sering membubung tinggi, namun bukan berarti tidak dapat dicapai. Justru tujuan sering dibuat seideal mungkin agar ada tantangan untuk mencapainya dan di dalam proses pencapaiannya ada tahapan-tahapan yang harus dialui dengan target-target tertentu.
Sehubungan dengan “mimpi” dalam hidup ini, Walt Disney suatu ketika berkata, "If you can dream it, you can do it." Jadi, jika kita bisa memimpikan sesuatu, kita juga dapat melakukannya. Sebaliknya, jika kita tidak berani dan tidak pernah memimpikan sesuatu, kita pun tidak akan pernah bisa meraihnya.
Disneyland, sebagaimana diketaui, dibangun dalam 366 hari. Mula-mula dibangun di atas reruntuhan puing. Kini American theme park yang terletak di Anaheim, California, milik dan dioperasikan Walt Disney Parks and Resorts division of The Walt Disney ini menjadi salah satu legenda dunia. Walt Disney dibangun dari mimpi. Namun, dilandasi pula dengan perencanaan –termasuk perencanaan waktu—yang baik.
Karena itu, dalam perencanaan, rencanakan pula
• Menghancurkan rencana yang tidak mungkin dicapai lalu bangunlah rencana baru di atas puing-puing kehancuran rencana lama, seperti Walt Disney.
• Rencanakan setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, setiap semester, setiap tahun.
• Anda selalu dapat mengubah rencana, namun yang penting Anda harus melaksanakannya!
• Memperjelas tujuan Anda bagaimana mencapainya.
• Meminta orang lain mengerjakan pekerjaan yang membuang-buang waktu, sebab
Anda bisa mengerjakan sesauatu yang lebih besar.
• Terlibat dalam pendelegasian.
• Bekerja lebih efisien dengan atasan / bawahan Anda.
• Terampil menggunakan teknologi untuk menghemat waktu.
• Mengatasi stres.
• Menangguhkan waktu pelaksanaannya.
Mengapa Manajemen Waktu Penting?
Mengapa manajemen waktu penting? Manajemen waktu penting agar mimpi menjadi kenyataan atau tujuan yang ditetapkan tercapai. Manajemen waktu yang buruk akan menimbulkan stres. Stres dapat memicu orang mengambil jalan pintas. Lebih parah dari itu, manajemen waktu yang buruk dapat mengakibatkan orang kehilangan akal sehat.
Sebagai contoh, seorang karyawan di sebuah kantor yang manajemen waktunya buruk. Ia selalu terlambat datang ke kantor. Karena terlambat, jam kantor (office hours)-nya lebih sedikit dibandingkan yang lain, padahal beban atau target yang dipikulkan kepadanya sama dengan yang lain. Pada akhir bulan, ketika capaian-capaian individu digelar dan yang bersangkutan tidak mencapai target, ia menjadi stres. Stres menyebabkan produktivitas menurun. Produktivitas yang menurun menimbulkan kerugian bagi perusahaan. Pada akhirnya, berdampak pada dikeluarkannya karyawan yang bersangkutan. Karena dikeluarkan, karyawan tadi lalu mendapat masalah baru. Yakni kehilangan sumber pendapatan keluarga.
Selain contoh di atas, manajemen waktu yang buruk juga terkait dengan kecenderungan atau tindakan untuk mengulur-ulur pekerjaan. Pekerjaan yang seharusnya dapat diselesaikan dalam waktu sehari misalnya, baru diselesaikan dua hari kemudian.
Waktu yang terus berlalu
Filsuf Yunani kuna, Heracleitos mengatakan, “Ta panta rei, panta hwrei, kai ouden menei”. Artinya, tiada yang tetap di dunia ini. Semuanya mengalir bagai air. Yang tetap adalah perubahan itu sendiri. Dan perubahan itu terjadi dalam rentang waktu.
Syahdan, adagium itu diucapkan Heracleitos tatkala sedang mencari keteduhan, merendamkan kaki di air sungai yang sedang mengalir. Ia mengamati bahwa air yang mengalir ke hilir, yang sudah sejuk membasuh kakinya, tidak mungkin kembali ke hulu lagi. Demikian juga waktu. Saat yang berlalu, tidak mungkin diputar dari titik nadir kembali.
Waktu yang berlalu, dan bagaimana manusia mesti menghargai dan menyiasatinya, kemudian menginspirasi pujangga tersohor kebangsaan Romawi, Horatius (65-8 sM). Dalam salah satu bukunya, Odes, yang terbit pada 23 M, ungkapannya yang tersohor adalah “carpe diem”. Bunyinya sebagai berikut, “Dum loquimur, fugerit inuida aetas: carpe diem, quam minimum credulla postero” (Ode 1, 11,8).
Artinya: Ketika kita sedang bicara, waktu yang iri itu tengah berlari: maka tangkaplah (peluang) hari ini, dan sesedikit mungkin memercayai hari esok”.
Waktu yang iri terus berlari. Atur strategi. Kejar dan tangkaplah ia!
Tidak mungkin mengatur (waktu) orang lain, jika seseorang tidak dapat atau tidak mampu mengatur diri sendiri. Agar mengatur waktu itu mempunyai landasan yang kuat, perlu ditetapkan terlebih dahulu mengatur waktu untuk tujuan apa?
Tujuan yang hendak dicapai kerap disebut “mimpi”, idealisme, atau goal. Sering membubung tinggi, namun bukan berarti tidak dapat dicapai. Justru tujuan sering dibuat seideal mungkin agar ada tantangan untuk mencapainya dan di dalam proses pencapaiannya ada tahapan-tahapan yang harus dialui dengan target-target tertentu.
Sehubungan dengan “mimpi” dalam hidup ini, Walt Disney suatu ketika berkata, "If you can dream it, you can do it." Jadi, jika kita bisa memimpikan sesuatu, kita juga dapat melakukannya. Sebaliknya, jika kita tidak berani dan tidak pernah memimpikan sesuatu, kita pun tidak akan pernah bisa meraihnya.
Disneyland, sebagaimana diketaui, dibangun dalam 366 hari. Mula-mula dibangun di atas reruntuhan puing. Kini American theme park yang terletak di Anaheim, California, milik dan dioperasikan Walt Disney Parks and Resorts division of The Walt Disney ini menjadi salah satu legenda dunia. Walt Disney dibangun dari mimpi. Namun, dilandasi pula dengan perencanaan –termasuk perencanaan waktu—yang baik.
Karena itu, dalam perencanaan, rencanakan pula
• Menghancurkan rencana yang tidak mungkin dicapai lalu bangunlah rencana baru di atas puing-puing kehancuran rencana lama, seperti Walt Disney.
• Rencanakan setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, setiap semester, setiap tahun.
• Anda selalu dapat mengubah rencana, namun yang penting Anda harus melaksanakannya!
• Memperjelas tujuan Anda bagaimana mencapainya.
• Meminta orang lain mengerjakan pekerjaan yang membuang-buang waktu, sebab
Anda bisa mengerjakan sesauatu yang lebih besar.
• Terlibat dalam pendelegasian.
• Bekerja lebih efisien dengan atasan / bawahan Anda.
• Terampil menggunakan teknologi untuk menghemat waktu.
• Mengatasi stres.
• Menangguhkan waktu pelaksanaannya.
Mengapa Manajemen Waktu Penting?
Mengapa manajemen waktu penting? Manajemen waktu penting agar mimpi menjadi kenyataan atau tujuan yang ditetapkan tercapai. Manajemen waktu yang buruk akan menimbulkan stres. Stres dapat memicu orang mengambil jalan pintas. Lebih parah dari itu, manajemen waktu yang buruk dapat mengakibatkan orang kehilangan akal sehat.
Sebagai contoh, seorang karyawan di sebuah kantor yang manajemen waktunya buruk. Ia selalu terlambat datang ke kantor. Karena terlambat, jam kantor (office hours)-nya lebih sedikit dibandingkan yang lain, padahal beban atau target yang dipikulkan kepadanya sama dengan yang lain. Pada akhir bulan, ketika capaian-capaian individu digelar dan yang bersangkutan tidak mencapai target, ia menjadi stres. Stres menyebabkan produktivitas menurun. Produktivitas yang menurun menimbulkan kerugian bagi perusahaan. Pada akhirnya, berdampak pada dikeluarkannya karyawan yang bersangkutan. Karena dikeluarkan, karyawan tadi lalu mendapat masalah baru. Yakni kehilangan sumber pendapatan keluarga.
Selain contoh di atas, manajemen waktu yang buruk juga terkait dengan kecenderungan atau tindakan untuk mengulur-ulur pekerjaan. Pekerjaan yang seharusnya dapat diselesaikan dalam waktu sehari misalnya, baru diselesaikan dua hari kemudian.
Waktu yang terus berlalu
Filsuf Yunani kuna, Heracleitos mengatakan, “Ta panta rei, panta hwrei, kai ouden menei”. Artinya, tiada yang tetap di dunia ini. Semuanya mengalir bagai air. Yang tetap adalah perubahan itu sendiri. Dan perubahan itu terjadi dalam rentang waktu.
Syahdan, adagium itu diucapkan Heracleitos tatkala sedang mencari keteduhan, merendamkan kaki di air sungai yang sedang mengalir. Ia mengamati bahwa air yang mengalir ke hilir, yang sudah sejuk membasuh kakinya, tidak mungkin kembali ke hulu lagi. Demikian juga waktu. Saat yang berlalu, tidak mungkin diputar dari titik nadir kembali.
Waktu yang berlalu, dan bagaimana manusia mesti menghargai dan menyiasatinya, kemudian menginspirasi pujangga tersohor kebangsaan Romawi, Horatius (65-8 sM). Dalam salah satu bukunya, Odes, yang terbit pada 23 M, ungkapannya yang tersohor adalah “carpe diem”. Bunyinya sebagai berikut, “Dum loquimur, fugerit inuida aetas: carpe diem, quam minimum credulla postero” (Ode 1, 11,8).
Artinya: Ketika kita sedang bicara, waktu yang iri itu tengah berlari: maka tangkaplah (peluang) hari ini, dan sesedikit mungkin memercayai hari esok”.
Waktu yang iri terus berlari. Atur strategi. Kejar dan tangkaplah ia!
Senin, 17 Mei 2010
Bagaimana Saya Produktif dan Mengungguli Orang Lain?
Benjamin Franklin di depan para pebisnis muda Amerika pada 1748 memberikan petuah yang hingga hari ini melekat kuat dan seakan menjadi kenisayaaan.
Salah satu penandatanganan Deklarasi Kemerdekaan Amerika, Gubernur Pennsylvania ke-6, penulis, dan pelaku penerbitan ini suatu ketika memberikan petuah, "Remember that time is money!"
Benjamin Franklin: time is money! sumber foto: wikipedia
Ucapan Benjamin Franklin ini segera menjadi sangat terkenal, bergema ke seluruh penjuru dunia, diadopsi di mana saja sebagai kebenaran yang tidak dapat disangsikan lagi. Ungkapan pendeknya “Time is money”, waktu adalah uang. Apa makna ungkapan ini? Apakah yang dimaksudkan bahwa segala-galanya ditakar semata hanya dengan uang?
Waktu yang Berharga untuk Sesuatu yang Mulia
Jika ditelusuri konteks dan suasana munculnya ungkapan bijak di atas, ternyata yang dimaksudkan bukanlah meletakkan uang di atas segala-galanya. Seakan-akan uang adakah tujuan dari segalanya. Khalayak yang mendengar pidato Benyamin waktu itu adalah para pebisnis muda.
Sebagaimana kita ketahui, umumnya pebisnis sangat menghargai waktu. Ketepatan dan efisiensi waktu sangat sangat diperhatikan dalam dunia usaha. Jika waktu tidak ditepati, atau terjadi keterlambatan, maka dunia bisnis akan kehilangan kepercayaan. Kehilangan kepercayaan akan menyebabkan kehilangan uang.
Di sini tepat ungkapan bahwa social trust akan mendatangkan financial trust. Bangun lebih dulu kepercayaan sosial, baru orang akan memberi apresiasi atau penghargaan berupa uang –misalnya dengan membeli atau membergunakan jasa kita.
Untuk mengilustrasikan betapa dimensi waktu sangat pokok dalam dunia bisnis, mari kita angkat soal delivery atau pengantaran pemesanan barang atau jasa. Katakanlah sebuah pabrik jamu berjanji kepada distributornya mengirimkan barang dalam tempo paling lama dua hari setelah pemesanan. Setelah ditunggu pada waktu yang dijanjikan, barang yang dijanjikan tidak kunjung tiba pengantarannya.
Akibatnya, distributor tadi kehilangan kepercayaan (trust) kepada pabrik jamu tadi. Kejadian seperti ini terulang terus-menerus, sehingga muncul image di pada distributor tadi bahwa perusahaan jamu tersebut tidak tepat waktu.
Keluhan dan kesan negatif ini, kemudian menyebar luas ke distributor lain dan ke masyarakat. Pada akhirnya, distributor tadi beralih ke merek lain yang sejenis yang jauh lebih tepat dari sisi waktu pengiriman. Akibatnya, perusahaan jamu tadi kehilangan distributor, sekaligus kehilangan omset. Dalam kasus ini, tepat sekali ungkapan di atas bahwa waktu adalah uang. Tidak menepati waktu, uang melayang. Sebaliknya, menepati waktu, uang akan datang.
Akan tetapi, sebenarnya bukan hanya uang akan datung manakala seseorang atau institusi menepati waktu. Mengisi waktu dan menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya juga akan mendatangkan uang. Orang yang membiarkan waktu berlalu, tidak akan mendapatkan apa-apa.
Sebaliknya, orang yang menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya, akan memetik uang (manfaat) daripadanya.
Sehubungan dengan itu, Menteri Pendidikan Nasional, M. Nuh (2009) menyebutkan adanya tiga tipe manusia.
Tipe pertama, orang yang tidur (tidak berbuat apa pun) sementara waktu berjalan terus. Orang ini disebutnya berada pada garis nol. Ke garis negatif juga tidak, sementara ke garis positif juga bukan. Orang tipe pertama ini do nothing, namun tidak merusak.
Tipe kedua, orang yang melakukan sesuatu (hal yang negatif). Yang bersangkutan memang aktif, namun apa yang dilakukannya negatif dan menghancurkan orang lain. Peradaban umat manusia diporakporandakan, martabat direndahkan, dan kemaslahatan umat manusia dinafikan. Ia berada pada garis negatif. Orang ini melakukan sesuatu, namun merusak.
Tipe ketiga, orang yang melakukan sesuatu yang positif. Orang ini melakukan sesuatu demi kemasalahan umat manusia. Ia berada dalam garis positif.Apa yang dilakukannya mulia. Karena itu, ia sendiri orang yang mulia. Orang seperti ini sudah “selesai” dengan masalah egonya sendiri. Ia cenderung memikirkan orang lain melebihi dirinya sendiri.
Kembali ke petuah Franklin, sebenarnya yang diinginkan ialah agar setiap orang menggunakan waktu secara sangkil dan mangkus untuk mencapai sesuatu yang mulia. Jadi, “uang” hanyalah symbol untuk sesuatu yang berharga dan mulia. Andaikan Franklin berbicara di kalangan medis, maka ia akan berkata,“Waktu adalah kesehatan” karena kesehatan adalah sesuatu yang sangat vital dalam hidup, bahkan boleh dibilang syarat mutlak.
Manakala hari ini Franklin bicara di depan para pebisnis, petuah apa kira-kira yang akan disampaikannya? Masih samakah dengan nasihat yang diucapkan pada 1748, ataukah sudah berubah? Penulis yakin bahwa nasihat yang disampaikan masih tetap sama: "Remember that time is money!"
Manajemen Waktu
Dalam hidup sehari-hari, kita melihat ada orang yang sangat produktif. Ia kreatif dan produktif. Dapat melakukan apa saja, padahal yang bersangkutan juga sama sibuknya seperti kebanyakan orang. Apa kunci rahasianya? Ternyata, yang bersangkutan berhasil karena dapat dan sanggup mengatur waktu. Dalam istilah kerennya, yang bersangkutan menerapkan time management dengan tepat.
Margaret Thatcher produktif karena sukses mengatur waktu, tidur cukup 4 jam saja. sumber foto: wikipedia.
Margaret Thatcher, ketika menjadi Perdana Menteri Inggris (1979-1990 ) menggunakan waktu secara sangkil dan mangkus. Seperti dicatat Wikipedia , “During her tenure as Prime Minister she was said to need just four hours' sleep a night”. Meski tidur hanya empat jam, toh Thatcher terbilang berusia panjang, 84 tahun.
Tidak banyak waktu Thatcher terbuang percuma. Hanya sedikit waktunya berada di garis nol. Thatcher lebih banyak menggunakan waktu untuk mengerjakan sesuatu yang mulia. Misalnya, memperbaiki dan meningkatkan perekonomian Inggris, selain aktif menyelesaikan masalah dunia, antara lain Perang Inggris dan Argentina karena masalah Falklands dan Perang Teluk.
Jadi, apa yang memampukan Thatcher berbuat lebih banyak dibandingkan orang kebanyakan? Jawabannya seperti judul artikel ini: manajemen waktu.
Namun, apa dan bagaimana manajemen waktu? Hal ini akan dibahas pada artikel berikutnya.
Salah satu penandatanganan Deklarasi Kemerdekaan Amerika, Gubernur Pennsylvania ke-6, penulis, dan pelaku penerbitan ini suatu ketika memberikan petuah, "Remember that time is money!"
Benjamin Franklin: time is money! sumber foto: wikipedia
Ucapan Benjamin Franklin ini segera menjadi sangat terkenal, bergema ke seluruh penjuru dunia, diadopsi di mana saja sebagai kebenaran yang tidak dapat disangsikan lagi. Ungkapan pendeknya “Time is money”, waktu adalah uang. Apa makna ungkapan ini? Apakah yang dimaksudkan bahwa segala-galanya ditakar semata hanya dengan uang?
Waktu yang Berharga untuk Sesuatu yang Mulia
Jika ditelusuri konteks dan suasana munculnya ungkapan bijak di atas, ternyata yang dimaksudkan bukanlah meletakkan uang di atas segala-galanya. Seakan-akan uang adakah tujuan dari segalanya. Khalayak yang mendengar pidato Benyamin waktu itu adalah para pebisnis muda.
Sebagaimana kita ketahui, umumnya pebisnis sangat menghargai waktu. Ketepatan dan efisiensi waktu sangat sangat diperhatikan dalam dunia usaha. Jika waktu tidak ditepati, atau terjadi keterlambatan, maka dunia bisnis akan kehilangan kepercayaan. Kehilangan kepercayaan akan menyebabkan kehilangan uang.
Di sini tepat ungkapan bahwa social trust akan mendatangkan financial trust. Bangun lebih dulu kepercayaan sosial, baru orang akan memberi apresiasi atau penghargaan berupa uang –misalnya dengan membeli atau membergunakan jasa kita.
Untuk mengilustrasikan betapa dimensi waktu sangat pokok dalam dunia bisnis, mari kita angkat soal delivery atau pengantaran pemesanan barang atau jasa. Katakanlah sebuah pabrik jamu berjanji kepada distributornya mengirimkan barang dalam tempo paling lama dua hari setelah pemesanan. Setelah ditunggu pada waktu yang dijanjikan, barang yang dijanjikan tidak kunjung tiba pengantarannya.
Akibatnya, distributor tadi kehilangan kepercayaan (trust) kepada pabrik jamu tadi. Kejadian seperti ini terulang terus-menerus, sehingga muncul image di pada distributor tadi bahwa perusahaan jamu tersebut tidak tepat waktu.
Keluhan dan kesan negatif ini, kemudian menyebar luas ke distributor lain dan ke masyarakat. Pada akhirnya, distributor tadi beralih ke merek lain yang sejenis yang jauh lebih tepat dari sisi waktu pengiriman. Akibatnya, perusahaan jamu tadi kehilangan distributor, sekaligus kehilangan omset. Dalam kasus ini, tepat sekali ungkapan di atas bahwa waktu adalah uang. Tidak menepati waktu, uang melayang. Sebaliknya, menepati waktu, uang akan datang.
Akan tetapi, sebenarnya bukan hanya uang akan datung manakala seseorang atau institusi menepati waktu. Mengisi waktu dan menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya juga akan mendatangkan uang. Orang yang membiarkan waktu berlalu, tidak akan mendapatkan apa-apa.
Sebaliknya, orang yang menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya, akan memetik uang (manfaat) daripadanya.
Sehubungan dengan itu, Menteri Pendidikan Nasional, M. Nuh (2009) menyebutkan adanya tiga tipe manusia.
Tipe pertama, orang yang tidur (tidak berbuat apa pun) sementara waktu berjalan terus. Orang ini disebutnya berada pada garis nol. Ke garis negatif juga tidak, sementara ke garis positif juga bukan. Orang tipe pertama ini do nothing, namun tidak merusak.
Tipe kedua, orang yang melakukan sesuatu (hal yang negatif). Yang bersangkutan memang aktif, namun apa yang dilakukannya negatif dan menghancurkan orang lain. Peradaban umat manusia diporakporandakan, martabat direndahkan, dan kemaslahatan umat manusia dinafikan. Ia berada pada garis negatif. Orang ini melakukan sesuatu, namun merusak.
Tipe ketiga, orang yang melakukan sesuatu yang positif. Orang ini melakukan sesuatu demi kemasalahan umat manusia. Ia berada dalam garis positif.Apa yang dilakukannya mulia. Karena itu, ia sendiri orang yang mulia. Orang seperti ini sudah “selesai” dengan masalah egonya sendiri. Ia cenderung memikirkan orang lain melebihi dirinya sendiri.
Kembali ke petuah Franklin, sebenarnya yang diinginkan ialah agar setiap orang menggunakan waktu secara sangkil dan mangkus untuk mencapai sesuatu yang mulia. Jadi, “uang” hanyalah symbol untuk sesuatu yang berharga dan mulia. Andaikan Franklin berbicara di kalangan medis, maka ia akan berkata,“Waktu adalah kesehatan” karena kesehatan adalah sesuatu yang sangat vital dalam hidup, bahkan boleh dibilang syarat mutlak.
Manakala hari ini Franklin bicara di depan para pebisnis, petuah apa kira-kira yang akan disampaikannya? Masih samakah dengan nasihat yang diucapkan pada 1748, ataukah sudah berubah? Penulis yakin bahwa nasihat yang disampaikan masih tetap sama: "Remember that time is money!"
Manajemen Waktu
Dalam hidup sehari-hari, kita melihat ada orang yang sangat produktif. Ia kreatif dan produktif. Dapat melakukan apa saja, padahal yang bersangkutan juga sama sibuknya seperti kebanyakan orang. Apa kunci rahasianya? Ternyata, yang bersangkutan berhasil karena dapat dan sanggup mengatur waktu. Dalam istilah kerennya, yang bersangkutan menerapkan time management dengan tepat.
Margaret Thatcher produktif karena sukses mengatur waktu, tidur cukup 4 jam saja. sumber foto: wikipedia.
Margaret Thatcher, ketika menjadi Perdana Menteri Inggris (1979-1990 ) menggunakan waktu secara sangkil dan mangkus. Seperti dicatat Wikipedia , “During her tenure as Prime Minister she was said to need just four hours' sleep a night”. Meski tidur hanya empat jam, toh Thatcher terbilang berusia panjang, 84 tahun.
Tidak banyak waktu Thatcher terbuang percuma. Hanya sedikit waktunya berada di garis nol. Thatcher lebih banyak menggunakan waktu untuk mengerjakan sesuatu yang mulia. Misalnya, memperbaiki dan meningkatkan perekonomian Inggris, selain aktif menyelesaikan masalah dunia, antara lain Perang Inggris dan Argentina karena masalah Falklands dan Perang Teluk.
Jadi, apa yang memampukan Thatcher berbuat lebih banyak dibandingkan orang kebanyakan? Jawabannya seperti judul artikel ini: manajemen waktu.
Namun, apa dan bagaimana manajemen waktu? Hal ini akan dibahas pada artikel berikutnya.
Minggu, 16 Mei 2010
Etnis Tionghoa: ex Deo Nati Sunt
Catatan pembuka:
12 tahun lalu, terjadi tragedi nasional di negeri ini. Kaum Tionghoa jadi sasaran amuk massa. Etnis minoritas ini jadi victimisasi karena kecemburuan sosial yang memuncak, disertai tindakan brutal (mencontoh perbuatan Brutus).
Mengenang catatan hitam itu, saya memetik salah satu bab buku saya Dulce et Utile: Biografi Professional A.B. Susanto. Semoga bermanfaat.
***
Non ex voluntate carnis, sed ex Deo nati sunt (Bukan atas kehendak manusia, namun dari Tuhan mereka lahir).
Bisakah seseorang memilih dilahirkan oleh siapa, di negara mana, dan dari suku bangsa apa? Sesekali tidak! Kata-kata bijak di atas menjelaskan banyak. Bahwa orang lahir bukan atas kehendak manusia, melainkan dari Tuhan. Senada dengan itu, Horatius, penyair Romawi termasyhur berkata, “Caelum non animum mutant qui trans mare currunt” (Manusia bisa saja mengubah langit, tapi bukan jiwanya, yang berlari menyeberangi segara bebas).
Dalam konteks etnis Tionghoa di Indonesia, mereka lahir dan berada di negera Pancasila ini tentu bukan atas kemauan sendiri. Namun, atas kehendak Dia Yang Mencipta. Tak mengherankan, ketika etnis ini jadi bulan-bulanan dan victim-isasi, banyak pihak tersentuh rasa kemanusiaannya. Lalu berbuat sesuatu.
Tokoh Tionghoa Nusantara bersama Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono dan ibu negara.
Salah seorang yang tergerak hatinya berbuat sesuatu adalah A.B. Susanto. Atas nama humanisme, ia coba menghimpun rekan-rekan yang punya kehendak baik (voluntas) sama. Terutama pasca Tragedi Mei 1998, ketika etnis Tionghoa untuk kesekian kali jadi “korban Reformasi”. Tidak jelas benar casus belli-nya. Tahu-tahu amuk massa disasarkan pada para hoa kiauw di negeri ini, padahal penduduknya telah memaklumkan diri sebagai bangsa yang “adil dan beradab”.
Sebagai salah satu tokoh etnis Tionghoa, Susanto, yang juga menyandang nama etnik Liem Kong Hok ini, coba berbuat sebisa mungkin. Berupaya menghapus stigma dan menangkis peraturan, bahkan kerap perlakuan diskriminatif, ia turut memfasilitasi pertemuan para tokoh etnis Tionghoa di Indonesia pasca Tragedi Mei 1998. Dari beberapa kali pertemuan di kantornya, kemudian berbuah kesepakatan membentuk paguyuban yang dikenal dengan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa (PSMTI) yang dideklarasikan pada 28 September 1998.
Ketokohan Susanto sendiri diakui di kalangan etnis Tionghoa. Pada awal PSMTI berdiri, Susanto tercatat sebagai penasihat. Pada periode 2006-2009 sebagai Ketua Dewan Kehormatan. Kiprahnya yang turut mengembalikan etnis Tionghoa sebagai entitas bangsa Indonesia menarik dicermati. Tak berlebihan, Sam Setya Utama mengabadikan namanya masuk senarai Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia.
Bukan Susanto namanya jika sembarang masuk sebuah organisasi. Pantang ia mengorbankan citra profesionalnya untuk suatu kegiatan yang tak tentu arah tujuannya. Apalagi, kegiatan itu negatif. Yang sama sekali jauh dari kemaslahatan umum dan merendahkan martabat dan derajat umat manusia.
Sebagai konsultan manajemen, ia akan mengajukan pertanyaan kritis. Apa visi dan misi organisasi itu? Jika semuanya gamblang, ia bukan hanya mau jadi penggembira. Malah, menyumbangkan apa yang ia bisa.
Maka, ketika etnis Tionghoa jadi bulan-bulanan pada kerusuhan Mei 1998, Susanto coba memberi apa yang ia bisa. Memutar kembali rekam peristiwa Tragedi Mei itu, Susanto sempat tercenung. Tergurat garis sendu pada tatap matanya. Meski tetap menyungging senyum seperti biasa, tak cukup menutup ada guratan peristiwa hitam mengganjal hatinya.
“Sehari setelah Tragedi Mei 1998 itu, telepon kantor terus berdering. Kami sampai kewalahan meladeni. Banyak kenalan, sahabat, famili, bahkan klien dan rekan bisnis bertanya. Bagaimana ini? Bagaimana itu? Intinya, pertanyaan berkisar soal tragedi dan bagaimana langkah ke depan menyiasatinya. Sebab jangan sampai warga Tionghoa Indonesia masuk perangkap dan jadi target pemusnahan massal (etnic cleaning). Stigma Tionghoa Indonesia chauvinis, eksklusif, dan elit jangan sampai melekat. Sebab, stigma ini potensial berubah arah jadi victim-isasi,” terang Susanto yang memang dititis darah Tionghoa ini. “Jika sampai demikian, ini yang kita takutkan. Bahaya. Negara dan bangsa ini bisa tercabik-cabik dan jatuh pada perang saudara.”
Bermula dari dering telepon ke kantor, keluhan dan masukan lantas diteruskan di meja diskusi. Dari beberapa kali pertemuan, masukan-masukan kemudian mengkristal pada usulan. Perlu dibentuknya paguyuban etnis Tionghoa yang punya visi dan misi. Maka, lahirlah Paguyuban Sosial Marga Tionghoa (PSMTI).
Visi PSMTI jelas, sebagaimana dapat diunduh dalam situs resminya. Yakni agar, “Orang Tionghoa warga negara Indonesia sebagai etnis/ suku bangsa Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan suku bangsa Indonesia lainnya, dalam menyongsong Indonesia yang lebih demokratis, menjunjung tinggi hak azasi manusia, aman dan sejahtera.”
Sementara tiga misi yang diemban, yakni: (1) Meningkatkan kesadaran bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, (2) Memperjuangkan penghapusan peraturan yang diskriminatif bagi orang Tionghoa, dan (3) Memantapkan jati diri dan percaya diri sebagai warga negara Indonesia suku Tionghoa.
Penghapusan Peraturan dan Tindak Diskriminatif
Tujuan didirikannya suatu organisasi, atau badan, dapat dilihat dari dari misinya. Tanpa menafikan dua misi lain, tampaknya misi kedua penting dicatat dan diberi perhatian khusus. Yakni memperjuangkan penghapusan peraturan yang diskriminatif bagi etnis Tionghoa di Indonesia.
JIka menyibak kembali lembar sejarah, peraturan dan tindak diskriminatif terhadap etnis Tionghoa dimulai sejak zaman kolonial Belanda. Saat itu, pemerintahan Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan berupa batasan ruang gerak pada warganegara Tionghoa dengan adanya Passenstelses dan Wijkenstelsel.
Sejak tragedi Angke pada tahun 1740, orang Tionghoa tidak diperkenankan bermukim secara bebas. Aturan ini kemudian menubuhkan pecinan. Yakni pemukiman etnis Tionghoa di sejumlah kota besar di Hindia Belanda.
Aturan seperti dirancang pemerintah kolonial itu, tanpa diduga malah menciptakan konsentrasi kegiatan ekonomi orang Tionghoa di perkotaan. Dan tatkala perekonomian dunia beralih ke sektor industri, justru etnis Tionghoa yang paling siap dengan spesialisasi usaha, seperti: transportasi, jasa, makanan-minuman, jamu, peralatan rumah tangga, bahan bangunan, pemintalan, batik, kretek, dan kerajinan.
Bukannya menyudutkan dari sisi ekonomi, aturan tadi malah menjadi rahmat tersembunyi. Etnis Tionghoa kian makmur dengan usaha mereka. Ironisnya, kemakmuran yang dicapai dengan cucuran keringat dan air mata itu, justru lenyap dalam sekejap. Manakala kerusuhan sosial terjadi dan pada mereka ditiupkan bara kebencian berlatar kecemburuan sosial, maka semua usaha jadi sia-sia. Ibarat setitik nila merusak susu sebelanga.
Hujan sehari menghapus kemarau setahun.
Ironisnya, peraturan dan tindak diskriminatif seperti terjadi pada zaman kolonial, diteruskan republik, baik masa Orde Lama maupun Orde Baru. Sebagai contoh, Peraturan Pemerintah atau PP No. 10 Tahun 1959. Lalu Instruksi Presiden No. 14/1967. Peraturan ini bukan saja diskriminatif, karena menafikan etnis Tionghoa sebagai warga Negara Indonesia, tetapi juga melarang mereka merayakan Imlek dan melakukan ibadah keagamaannya. Celakanya, peraturan ini menjadi legitimasi meminggirkan etnis Tionghoa dari bumi pertiwi.
Jika menyibak kembali peristiwa kerusuhan sosial di Nusantara, etnis Tionghoa hampir selalu menjadi victim-isasi. Mulai dari Tragedi Angke tahun 1740 di mana jatuh 10.000 korban jiwa. Tragedi kemanusiaan ini sungguh memilukan dan sukar hilang dari lembaran sejarah sebagai catatan yang sungguh kelam.
Berawal dari hal spele, dendam kesumat antarpibadi. Setelah diprovokasi, skala kerusuhan menjadi masif tidak terkendali. Di tengah-tengah ketidakmenentukan, ditiupkan berbagai isu baru, sehingga tersulut amuk massa dan pengerahan kekuatan tentara.
Etnis Tionghoa di luar rumah yang berusaha menyelamatkan diri diburu dan dikejar. Sementara yang ada di dalam rumah dan pemukiman dipaksa untuk keluar dengan berbagai cara. Setelah keluar, mereka dihadang pasukan bersenjata lengkap. Jadilah etnis Tionghoa korban seperti terorganisasikan secara rapi sebelumnya (Hembing, 2005: 92-116).
Yang mengenaskan, dalam Tragedi Angke tidak ada pihak yang bertanggung jawab. Penguasa waktu itu (Hindia Belanda) yakni Gubernur Jendral Valckenier dan anggota mejelis VOC W. van Imhoff cuci tangan. Mereka bahkan saling tuding. Namun, lagi-lagi seorang etnis Tionghoa yang jadi kambing hitam, yakni Nie Hoe Kong, kapitan Tionghoa berusia 30 tahun yang menjabat sejak 1736. Alasan Hoe Kong layak dijadikan kambing hitam karena “… ia putra pertama orang ternama saat itu, yaitu Letnan Ni Locko, tetapi juga karena ia memiliki potensi untuk menjadi pemimpin serta kaya raya (Hembing, op. cit. hal. 123).
Meski tidak ada bukti-bukti yang mendukung Nie Hoe Kong pantas bertanggung jawab atas Tragedi Angke, toh rumah dan harta bendanya dijarah. Ia lalu diasingkan ke Mollucas, Ambon, dan meninggal di sana.
Dua abad selang Tragedi Angke 1740, peristiwa rasial di Nusantara jarang terdengar muncul ke permukaan. Namun, masuk paruh dasawarsa kedua abad 20, kembali muncul tragedi serupa yang mengorbankan etnis Tionghoa. Misalnya, Peristiwa Solo tahun 1912 dan Kerusuhan di Kudus tahun 1918. Dan pada awal masa Revolusi, antara bulan Mei-Juli 1946 terjadi Tragedi Tangerang. Tragedi berlanjut di perkampungan nelayan etnis Tionghoa di Bagan Siapi-api bulan September 1946. Lalu merambah ke Palembang pada bulan Januari 1947.
Namun, di antara rentetan peristiwa yang berakhir victim-isasi etnis Tionghoa itu, Tragedi Tangerang boleh disebut luar biasa. Bahkan, 11 Juni 1946 dinyatakan sebagai Hari Berkabung bagi warga Tionghoa di Indonesia. Toko dan pabrik milik etnis Tionghoa tutup. Kegiatan terhenti. Seperti dicatat dan dibingkai (media framing) Sin Po yang secara ajeg dan menggelorakan “filosofi Keong”. Namun, segera diberi catatan, bukan berarti menarik diri, tapi sekadar “tiarap”. Sesudah situasi normal, etnis ii kembali berkiprah layaknya warga biasa.
Sebagaimana diketahui, Sin Po adalah nama sebuah surat kabar Tionghoa berbahasa Melayu. Terbit di Nusantara sejak sejak zaman kolonial hingga tahun 1965. Surat kabar ini pertama kali terbit di Jakarta sebagai mingguan pada Oktober 1910. Lalu, berubah menjadi surat kabar harian dua tahun kemudian. Sin Po adalah harian pertama yang memuat teks lagu kebangsaan Indonesia, “Indonesia Raya” dan turut memelopori penggunaan istilah "Indonesia" untuk menggantikan "Hindia-Belanda" sejak Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.
Lebih dari sebulan, Sin Po memberitakan victim-isasi etnis Tionghoa ini. Hal ini dapat disimak pada headline yang mendeskripsikan peristiwa secara emotional truth.
Sinpo: 7 Juni 1946
Pendoedoek Tionghoa di Kebon Baroe lawan serangan. Sariket aken ambil tindakan keras! Djika repoeblik tida berdaja tindes kekatjauan di Tangerang. “Pemboenohan semakin menghebat.”
Noraka Sapoeter Tangerang. Banjak orang Tionghoa dibakar idoep-idoep!
Sinpo 17 Juni 1946:
Bekasi dalem keadaan genting. Ratoesan pelarian Tionghoa banjiri Djatinegara. Beberapa orang Tionghoa jadi korban pemboenoehan.
Sementara itu, Star Weekly, 23 Juni 1946 mencatat, “Kampoeng Djoearingan, Tangerang, Juni 1946. Ternjata di sini banjak orang-orang lelaki jang telah diboenoeh, samentara tida sedikit gadis-gadis telah diperkosa oleh itoe sekawanan srigala beroepa manoesia.” Peristiwa ini, kemudian dikenal dengan “Tragedi Cina Benteng”.
Koran mingguan yang dikelola wartawan keturunan Tionghoa ini memotret tragedi kerusuhan Tangerang, Jawa Barat, Juni 1946, yang menimpa etnis Tionghoa. Sedikitnya ada lima desa, yakni Rajeg, Gandu, Balaraja, Cikupa, dan Mauk, yang dilaporkan membara. Perkampungan Tionghoa di wilayah itu diobrak-abrik massa. Puing-puing berserakan di sana-sini.
Tangerang, sekitar 30 kilometer dari Jakarta, saat itu bergolak karena disulut kabar santer: ada tentara Nica beretnis Tionghoa menurunkan bendera merah-putih dan menggantinya dengan bendera Belanda. Seperti bensin menyambar api, kabar ini kontan meluas dan memicu kemarahan. Apalagi ini zaman perang kemerdekaan. Usia republik yang belum genap setahun, harus menghadapi serbuan tentara Belanda.
Dan terjadi ketegangan sosial: di wilayah Tangerang ada sejumlah tuan tanah Tionghoa yang berhadapan dengan penduduk. Meski tak semua keturunan Tionghoa kaya di sana. Puncaknya, tersiar kabar, seorang Nica Tionghoa membakar rumah warga pribumi. “Ini sebab-sebab menimbulken rajat Indonesier poenja goesar, hingga timboellah itoe tragedi Tangerang,” tulis Rosihan Anwar dalam Harian Merdeka, 13 Juni 1946.
Laskar Rakyat yang marah. Lalu menangkapi para lelaki keturunan Tionghoa saat itu. Mereka digiring ke Penjara Mauk. Tanggal 3 Juni 1946, penjara yang berukuran 15 x 15 m itu dipenuhi sekitar 600 lelaki Tionghoa dari seantero Tangerang. Mereka, banyak di antaranya petani miskin, disekap dengan perlakuan yang memprihatinkan. “Malam tida ada lampoe. Orang kentjing dan boewang aer deket soemoer, hingga tempat di sakiternya penoeh kotoran, dan joestroe soemoer itoe poenja aer diboeat minoem, minoemnja dengen bereboetan,” tutur seorang korban penyekapan yang diwawancarai Star Weekly.
Kabar mengenaskan ini, segera menyebar ke Jakarta. Kaum keturunan Cina tergedor hatinya. Senin, 10 Juni 1946, sekitar 40 pemuda Tionghoa yang tergabung dalam Poh An Tui, bergerak ke Tangerang menolong para hoa kiauw yang terancam jiwanya. Mereka dibekali senjata api dan dibagi dua kelompok. Yang pertama mengarah ke Mauk hendak membebaskan tawanan. Kelompok lain menyaksikan reruntuhan sejumlah desa yang banyak dihuni etnis Tionghoa. Tercatat, sekitar 2.000 warga keturunan diungsikan ke Jakarta. Ada yang dinaikkan truk dan sebagian besar berjalan kaki.
Hal itu sesuai dengan apa yang ditulis dilaporkan Sinpo, “Sariket aken ambil tindakan keras! Djika repoeblik tida berdaja tindes kekatjauan di Tangerang.” Yang dimaksudkan dengan “Sariket” ialah para hoa kiauw (mungkin juga termasuk kekuatan lain di luar itu) akan mengambil tindakan tegas jika Negara tidak kuasa menghadapi kerusuhan massal yang menorbankan etnis Tionghoa tersebut. Pekik agar kekejaman segera dihentikan memang akhirnya ditiupkan Pemerintah.
Republik akhirnya membentuk tim terjun ke lapangan guna meninjau dan mengetahui eskalasi tragedi. Tim Peninjau dipimpin langsung Menteri Penerangan Mohamad Natsir. Tergabung dalam tim tersebut Noegroho, Lim Hok Soei,Maskin, Koebagoes Akson sebagai Wakil Kementerian Dalam Negeri, dua aparat dari TRI (Tentara Republik Indonesia), Oey Kim Sen dan Go King Hong (wakil Sin Ming Hui), beserta para wartawan Kadir Said (Antara), Rosihan Anwar (Merdeka),dan Lee Soei Ke (Sin Po).
Jika dicermati, peristiwa tersebut mirip kerusuhan Mei 1998. Usai peristiwa toko dan kantor-kantor milik Tionghoa tutup. Keadaan ini memancing Presiden Habibie turun langsung ke China Town, Glodok Pancoran. Habibie mafhum, jika tidak lekas-lekas dinetralisasi Glodok Building dan sekitarnya maka Negara (Pemerintah) tidak ada income.
Perihal fenomenon lahirnya paguyuban Tionghoa dari masa ke masa, Daniel S. Lev punya tesis menarik. Menurut sejarawan-akademisi, yang juga dikenal sebagai pakar tentang Indonesia itu, ada dua hal yang meletarbelakanginya karena takut sekali. Pertama, didirikannya organisasi, misalnya dulu Sin Ming Hui. Ini merupakan organisasi yang dimaksudkan untuk meno¬long orang, bukan hanya orang Tionghoa, tetapi siapa saja. Terutama orang Tionghoa yang sama sekali tidak punya perlindungan lain. Kedua, setelah peristiwa Tangerang itu, didirikan organisasi keamanan, Pao An Tui. Tujuannya untuk perlindungan secara fisik, kalau perlu. Latar berdirinya PSMTI dan Inti tidak beda dengan itu! Organisasi yang secara tegas menyatakan terbuka ini berdiri lebih didorong semangat humanisme, memberikan rasa aman dan nyaman pada warga Negara Republik Indonesia.
Pada akhir revolusi, didirikan suatu organisasi politik bernama Partai Demokrat Tionghoa Indonesia. Pimpinan orang Tionghoa waktu itu sadar betul bahwa untuk bisa berbuat sesuatu mereka harus punya organisasi. Tapi warga Tionghoa terbentur. Ini karena banyak orang Tionghoa menjauhkan diri dari politik, alergi sekali pada politik.
Sesudah tahun 1950, keadaan jadi makin sulit lagi buat orang Tionghoa. Kewarganegaraan mereka ditolak, atau tidak menentu, dan terjadi banyak insiden. Lalu ada yang mulai masuk macam-macam partai. Ada yang mendekat pada PNI karena memang sudah terbangun hubungan sejak abad-19 para priyayi Jawa dengan Orang Tionghoa. Banyak yang kawin campur, dan sebagainya. Kaum intelektual masuk PSI. Banyak yang masuk Kristen dan Katolik. Bahkan, ada yang masuk Masyumi, NU, dan lain-lain.
Sayangnya, orang Tionghoa yang ada di parlemen tidak selalu bisa memperhatikan persoalan Tionghoa. Padahal, waktu itu keadaan mereka dipersulit. Banyak orang Tionghoa mulai sungguh-sungguh menkhawatirkan nasib mereka. Antara lain karena ketidakpastian tentang kewarganegaraan. Mereka diperas. Tak jarang diancam, dihantam, dan lain-lain. Tahun 1954, suasana mulai genting.
Keadaan ini mendorong para pimpinan Tionghoa dari berbagai organisasi berkumpul di Jakarta untuk mendirikan suatu organisasi baru yang bisa mempersatukan. Lahirlah Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Organisasi ini didirikan terutama dimaksudkan untuk menangani masalah kewarganegaraan yang hangat sekali waktu itu. Selain itu, juga untuk mencari semacam jalan keluar bagi minoritas ini. Banyak orang dari berbagai kalangan masuk Baperki. Kemudian, Baperki berkembang sebagai sebuah organisasi massa yang mengutamakan perjuangan politik untuk mencapai tujuan ekonomi, sosial, kebudayaan dan pendidikan.
Baperki didirikan pada tahun 1954 dan menjadi organisasi sosial politik yang dapat diterima oleh berbagai kalangan orang Tionghoa, baik Totok maupun Peranakan. Masalah yang dihadapi para tokoh Baperki yang dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan (Siauw) pada masa itu adalah diskriminasi rasial di berbagai bidang.
Baperki tercatat pernah menjadi peserta dalam Pemilu 1955 untuk memilih anggota DPR (29 September 1955) dan anggota Konstituante (15 Desember 1955). Dalam kedua Pemilu ini, Baperki memperoleh 178.887 suara untuk DPR dan 160.456 suara untuk Konstituante, atau 70% suara dari golongan Tionghoa di Jawa.
Dengan jumlah suara sebanyak ini, Baperki berhasil memperoleh satu kursi di DPR dan mendudukkan Siauw sebagai wakilnya. Untuk Konstituante, Baperki diwakili oleh Siauw, Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien (Yap), Go Gien Tjwan, Liem Koen Seng, Oei Poo Djiang, Jan Ave, C.S. Richter. Dua nama terakhir adalah wakil-wakil Baperki untuk golongan Indo.
Jika diperhatikan, para pendiri Baperki sangat beragam latar belakang dan juga pendangan politiknya. Misalnya, Yap Thiam Hien intelektual Kristen, Oey Tjoe Tat intelektual nasionalis, Siauw Giok Tjhan adalah aktivis kemerdekaan yang ideologinya condong ke PKI, Auwyong Peng Koen (P.K. Oyong) adalah tokoh pers yang dekat dengan kelompok Katolik. Sedangkan Inyo Beng Goat dan Tan Po Gwan adalah intelektual yang dekat dengan PSI (Memoar Oei Tjoe Tat, halaman 73-85).
Melihat latar belakang yang berbeda ini, muncul pertanyaan. Apa visi dan misi yang menyatukan mereka? Dari keseluruhan isi Pidato Presiden Soekarno 14 Maret 1963 pada Pembukaan Kongres Nasional ke-8 Baperki dapat disimpulkan bahwa semua pimpinan Baperki orang yang bertanggung jawab dan cinta tanah air. Mereka menyadari, air yang diminum dan udara yang dihirup di bumi yang mereka pijak bernama Indonesia. Uluran tangan bukan semata-mata karena mereka sama etnis dengan kaum yang jadi korban, melainkan juga karena didorong rasa kemanusiaan.
“Meski beragam, toh mereka bisa satu untuk sebuah visi dan misi yang sama. Inilah filosofi keong. Masuk ke dalam manakala mendapat tekanan. Namun, akan keluar manakala keadaan sudah memungkinkan. Tampaknya, filosof ini hampir menjadi dalil di semua tempat di belahan dunia. Utamanya, manakala isu mayoritas-minoriotas dibenturkan dengan berbagai macam konflik dan kepentingan,” jelas Susanto yang pernah meneliti akar persoalan minoritas yang dialami etnis dan golongan di berbagai belahan dunia. “JIka masuk dengan entri mayoritas-minoritas, akan terus ada konflik. Namun, jika bicara soal etnis, maka kita sama dan setara,” imbuh Susanto.
Agaknya, apa yang diutarakan Susanto menegaskan kembali pernyataan Bung Karno pada Pembukaan Kongres Nasional ke-8 Baperki. Menyangkut isu mayoritas-minoritas, Bung Karno memungkas, “Saya tidak akan berkata, suku itu adalah minoritas, suku Dayak adalah minoritas, suku Irian Barat adalah minoritas, suku yang di Sumatera Selatan itu, suku Kubu adalah minoritas, suku Tionghoa adalah minoritas, tidak! Tidak ada minoritas, hanya ada suku-suku, sebab manakala ada minoritas, ada mayoritas. Dan biasanya kalau ada mayoritas, lantas ada exploitation de la minorite par la majorite, exploitatie dari minoriteit majoriteit. Saya, tidak mau apa yang dinamakan golongan Tionghoa, Peranakan Tionghoa. Peranakan Tionghoa itu dieksploitasi oleh golongan yang terbesar dari rakyat Indonesia ini, tidak! Tidak! Engkau adalah bangsa Indonesia, engkau adalah bangsa Indonesia, kita semuanya adalah bangsa Indonesia.”
Pemimpin bangsa sudah menegaskan kesetaraan etnis di Indonesia. Menurut Bung Karno, dalam konfigurasi hidup berbangsa dan bernegara, maka etnis-etnis di Indonesia ibarat kaki, anggota tubuh utuh dari sebuah badan bernama Indonesia. Apabila dicermati, sejak zaman kolonial hingga era Reformasi, eksploitasi etnis Tionghoa selalu saja terjadi. Angkat misalnya kerusuhan sosial seputar Gerakan 30S/PKI. Lagi-lagi peristiwa itu victim-isasi warga Tionghoa. Diteruskan gerakan anti-Tionghoa yang berkobar di Makassar pada 10 November 1965.
Aksi serupa terjadi pada 10 Desember 1966 di Medan. Warga Tionghoa dikejar-kejar dan dibantai atas tuduhan bekerja sama dengan pihak komunis. Setahun usai aksi bernuansa etnis di Medan, peristiwa rasial kembali mengguncang bumi khatulistiwa, Kalimantan Barat. Pada kerusuhan yang terjadi bulan November 1967 di Kalbar, ratusan warga Tionghoa meninggal dunia. Puluhan lainnya terpaksa mengungsi ke pesisir-pesisir, meninggalkan harta benda dan semua milik mereka.
Namun, dapatkah menggeneralisasi etnis Tionghoa di Indonesia sebagai hanya memiliki satu kaki? Artinya, pukul rata, semua warga asal berkulit kuning bersih, bermata sipit ini sama saja? Ternyata, tidak! Tahun 1931, misalnya. Penulis dan cendikiawan etnis Tionghoa terkenal, Kwee Tek Hoay mengamati dan mencatat meski satu asal muasal, para hoa kiauw itu sesungguhnya terdistingsi dalam lima golongan.
Pertama, peranakan Tionghoa kaya raya dan kelas menengah. Golongan ini ingin terus tinggal di Indonesia. Mereka juga ingin mengupayakan pendidikan tinggi bagi diri dan generasi berikutnya.
Kedua, golongan miskin yang juga tetap ingin tinggal di Nusantara. Bedanya, golongan kedua ini sudah merasa puas jika putra dan putri mereka dapat membaca dan menulis bahasa Melayu dan huruf Latin.
Ketiga, golongan yang menganut paham nasionalisme Tiongkok. Mereka ingin mengirim putra dan putrinya ke Tiongkok untuk membangun negeri tirai bambu. Kaum ini yakin, pengajaran dan pendidikan bahasa Tionghoa wajib, meski putra dan putri mereka tidak ke Tiongkok.
Keempat, golongan totok yang beraliran utilitarian. Kaum ini mengharapkan identitas Tionghoa, namun tidak yakin bahwa bahasa Tionghoa cukup membekali putra dan putri mereka hidup layak dan leluasa di Nusantara.
Kelima, etnis Tionghoa totok. Golongan ini terutama dari marga Keh (Hakka) dan Konghu (Cantonese) yang ingin kembali ke negeri leluhur.
Lima golongan Tionghoa ini dalam kehidupan sehari-hari berbeda ditilik modus vivendi dan way of life. Demikian pun dalam hal pendidikan. Namun, orang luar kerap menyamaratakan begitu saja. Mengapa etnis Tionghoa kompak saat terjadi krisis? Filosofi keong adalah jawabannya.
Sama seperti berdirinya paguyuban etis Tionghoa di masa lalu, PSMTI lahir dari latar yang sama. Dalam situs resminya, sejarah berdiri Paguyuban Sosial Marga Tionghoa sangat gamblang dipaparkan. “ …didirikan pada tanggal 28 September 1998, dilatarbelakangi terjadinya penjarahan dan kerusuhan Mei 1998 di Jakata dan di tempat lain yang ditujukan terutama pada suku Tionghoa Indonesia.”
Para tokoh masyarakat menyadari ada akar masalah yang perlu didialogkan dan diselesaikan serta diusahakan bisa diselesaikan satu kali untuk selamanya. Susanto adalah tokoh yang sejak dini menyadari hal itu.
Itu sebabnya, dirasa perlu wadah yang kompeten untuk menampung dan menyalurkan aspirasi serta didialogkan dengan Pemerintah, Dewan Perwakilan dan golongan masyarakat untuk menemukan akar masalah dan untuk diselesaikan dengan sebaik–baiknya dan sebijak-bijaknya. Maka melalui 14 orang pendiri, dideklarasikan Organisasi Sosial etnis Tionghoa ini dalam wadah PSMTI.
Upacara deklarasi dihadiri lebih dari 1. 000 orang bertempat di Gedung Sigala–gala, Sunter Jakarta Utara. Disahkan pula Logo, AD ART dan kepengurusan sementara periode 1998 – 2000. Deklarasi ditandai dengan penandatanganan Piagam Pendirian oleh 88 marga seluruh Marga Tionghoa yang ada di Indonesia.
Untuk kepentingan kegiatan operasional di seluruh Indonesia, PSMTI mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar dari Dirjen Sospol Depdagri No. 132 Tahun 1998 tanggal 18 September 1998 dan dibuatkan Akta Notaris Raden Johanes Sarwono. SH No. 55 tanggal 28 Agustus 1998.
Pada periode kepengurusan 1998-2000, ketua PSMTI adalah Brigjen TNI (Purn.) Tedy Jusuf dan wakilnya Drs. Eddie Lembong. Sama seperti Baperki, kemudian ada pengurus yang keluar karena beda pada satu dan lain hal. Pada bulan April 1999, wakil ketua umum Drs. Eddie Lembong dan beberapa pengurus menyatakan keluar dari kepengurusan PSMTI.
Seiring berjalannya waktu, dan dengan tetap memerhatikan perkembangan situasi nasional, Eddie Lembong dan kawan-kawan kemudian mendirikan paguyuban sendiri. Lahirlah nanti paguyuban Indonesia-Tionghoa (disingkat Inti). Ditilik dari visi dan misinya, Inti tidak jauh beda dengan PSMTI.
Mukadimah INTI
Bahwa dilahirkan sebagai suatu etnis bukan merupakan suatu pilihan, melainkan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.
Sejarah mencatat, warga Tionghoa telah berada di Nusantara sejak berabad-abad yang lalu dan ikut serta memperkaya khazanah bumi pertiwi dalam berbagai aspek kehidupan, di antaranya (meliputi) bidang agama, sosial budaya, politik, ekonomi dan perdagangan.
Bahwa lahirnya Republik Indonesia merupakan hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia termasuk warga Tionghoa, oleh karena itu warga Tionghoa adalah bagian integral bangsa Indonesia.
Penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara seharusnya dijalankan dan didasari oleh jiwa dan roh mukadimah UUD 1945, sehingga penyelesaian setiap permasalahan bangsa didasari oleh semangat kebangsaan.
Warga Tionghoa bertekad ikut serta dalam pembangunan bangsa yang lebih bersatu, demokratis, adil dan makmur, guna menghantarkan bangsa Indonesia menuju masyarakat dunia yang lebih bermartabat, damai dan sejahtera.
Untuk mewujudkan cita-cita luhur tersebut, dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kami mendirikan Perhimpunan Indonesia Tionghoa.
Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) merupakan organisasi massa yang bersifat kebangsaan. Ini sesuai dengan semangat Mukadimah UUD 1945, bebas, egaliter, pluralis, inklusif, demokratis, tidak bernaung dan mengikatkan diri kepada salah satu partai politik. Bahkan, keanggotaannya terbuka bagi semua Warga Negara Indonesia yang setuju pada AD/ART INTI.
Yang perlu digarisbawahi, latar belakang berdirinya Inti. Gamblang latar historis dilukiskan bahwa “masalah Tionghoa” di Indonesia merupakan warisan sejarah kolonial yang telah membebani perjalanan sejarah bangsa Indonesia selama ini, 18 WNI yang peduli terhadap hal ini menandatangani Akta Pendirian di Notaris James Herman Rahardjo pada 05 Februari 1999 di Jakarta, serta mendeklarasikan Perhimpunan INTI pada 10 April 1999 yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Kelahiran Perhimpunan INTI.
Tercatat sebagai salah satu pendiri Inti adalah Eddie Lembong yang semula merupakan Wakil Ketua PSMTI. “Putri saya (Patricia Susanto- pen.) aktivis di Inti,” ujar Susanto. Ia melihat, paguyuban etnis Tionghoa lebih dari satu tidak apa-apa. Bahkan, bagus, “karena mencerminkan hidup demokratis dan kebebasan berserikat sebagaimana dijamin dalam UUD ’45.”
Lepas perkara berpisahnya Eddie dkk. dari PSMTI, dan kemudian mendirikan Inti, satu hal penting dicatat dari kiprah paguyuban etnis Tionghoa yang lahir pada masa Reformasi ini. Bertempat di Hotel Omni Batavia, Jakarta, pada tahun 1999 ditelurkan kesepatakan bersama. Dihadiri utusan dari 38 daerah di seluruh tumpah darah Indonesia, etnis Tionghoa Indonesia menyepakati dan mengusulkan dua hal penting. Pertama, menyepakati istilah “Cina” menjadi “Tionghoa”. Dan kedua, mengusulkan perubahan “orang Indonesia asli” pada Pasal 6 UUD ‘45.
Keputusan penting ditelurkan lagi pada Rapat Kerja Nasional III tahun 2002 di Jakarta. Dihadiri utusan dari 117 daerah di Indonesia, disepakati menuntut hak kesetaraan sebagai warga negara bagi etnis Tionghoa di Indonesia. Selain itu, menuntut pula penghapusan peraturan diskriminatif yang ditujukan bagi etnis Tionghoa, termasuk dihapuskannya Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).
Tahun 2003, diadakan Musyawarah Nasional di Denpasar, Bali. Dihadiri utusan dari 257 kota seluruh Indonesia, Munas kali ini menyepakati agar selekas-lekasnya dihapuskan segala bentuk dan rupa peraturan diskriminatif. Selain itu, menyukseskan pembangunan Taman Budaya Tionghoa Indonesia Taman Mini Indonesia Indah. Pada kepengurusan periode 2000-2003, Susanto tercatat sebagai Dewan Penasihat PSMTI.
Usai peristiwa kerusuhan 14-18 Mei 1998, banyak warga Tionghoa mengalami trauma. Entah skenario apa. Hingga kini, kabut masih menyelimuti misteri seputar tragedi yang nyaris mengenyahkan etnis minoritas negeri ini: Tionghoa. Bahkan, pihak keamanan negara yang seharusnya menjaga rust en orde (ketertiban dan keamanan), tidak sedang berada di ibu kota mengawal negara. Tak heran, dalam memoarnya soal kerusuhan Mei ini, Letjen Sintong Panjaitan bertanya sinis, “Di Mana Para Jenderal?”
Barangkali tidak relevan menanyakan keberadaan para jenderal waktu kerusuhan terjadi. Sebagai sebuah instiusi yang dikenal rapi, TNI dan Polri pasti punya standing procedure yang jelas secara komando. Yang jauh lebih penting ialah bagaimana menjaga keamanan warga dan melindungi hak-hak mereka. Terutama warga tak berdosa dan tidak tahu menahu, seperti dialami etnis Tionghoa di Indonesia.
Tragedi Mei 1998 memang sudah lebih satu dasawarsa berlalu. Namun, teka teki mengapa peristiwa itu mengorbankan begitu banyak warga tak bersalah di negeri ini belum juga bersua jawaban.
Saksi bisu peristiwa naas itu, masih ada hingga kini. Pergilah ke wilayah Jakarta Barat dan sekitarnya. Juga di beberapa tempat di kota Tangerang dan Cengkareng. Apalagi, di sekitar Jalan Gajahmada dan Jalan Hayamwuruk, Jakarta Pusat. Entah sengaja, entah karena pemiliknya trauma dan sampai hari ini masih di luar negeri, beberapa ruko dan bangunan rusak dan hangus ketika Tragedi Mei 1998 dibiarkan begitu saja. Pasti ada cerita duka di balik itu semua. Dan kisah duka itu bagai luka menganga, ketika kembali disentuh.
Terlahir sebagai Lim Kong Hok, Susanto mengaku tidak merasa sebagai seorang Tionghoa yang eksklusif. Sekolah dasar hingga sekolah menengah yang dijalaninya di Yogyakarta misalnya, bercampur baur dengan anak-anak pribumi. Pergaulan sehari-hari sama dengan golongan pri. Bahasa yang digunakan, selain bahasa Indonesia, adalah bahasa Jawa.
Dengan demikian, sama sekali jauh dari pikiran menganggap etnis Tionghoa elit dan tidak membaur. Minoriotas memang fakta, terutama jika dilihat rasionya dengan suku bangsa lain. Meski ditilik dari sisi angka populasi kecil, peran etnis Tionghoa pada sektor perdagangan dan jasa di Indonesia sangatlah dominan. Fakta ini dapat dilihat dari kenyataan, betapa di wilayah tertentu seperti Kalimantan Barat, Bangka Beliting, Batam, dan Palembang dominasi etnis Tionghoa sangat terasa.
Namun, berapakah populasi Tionghoa di Indonesia? Berdasarkan volkstelling (sensus penduduk) pada masa Hindia Belanda, populasi Tionghoa di Nusantara mencapai 1.233.000 (2,03%) dari penduduk Indonesia pada tahun 1930. Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun, riset yang dilakukan ahli antropologi Amerika, G.W. Skinner memperkirakan, pada tahun 1961 populasi etnis Tionghoa di Indonesia mencapai 2.505.000 (2,5%).
Pada sensus penduduk tahun 2000, ketika untuk pertama kali responden sensus ditanyai mengenai asal etnis mereka, hanya 1% dari jumlah keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa. Angka yang dipercaya mengenai jumlah etnis Tionghoa-Indonesia saat ini ialah berada pada kisaran angka 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia.
Itu berarti, di antara negara-negara Asia Tenggara, Indonesia menduduki peringkat pertama populasi etnis Tionghoa di luar RRC. Namun, dari segi persentase di bawah Thailand (lihat tabel).
Ethnic Chinese in South East Asia
Thailand 8.3 million (14%)
Malaysia 6.6 million (32%)
Singapore 2.7 million (76%)
Vietnam 2.3 million (3%)
Philippines 1.1 million (1.5%)
Australia 200,000 (1%)
Sumber: Teresita Ang See, 2000.
Bersama Mgr. Pietro Sambi, Susanto pernah meneliti dan mengkaji soal minoritas. Tahun 1991, Pietro Sambi diangkat oleh Paus Yohanes Paulus II menjadi Duta Besar Vatikan untuk Indonesia hingga 1998. Selanjutnya, beliau dipindahtugaskan ke Israel dan Cyprus untuk tugas dan jabatan yang sama. Pada 17 Desember 2005, Paus Benedictus XVI mengangkat Mgr. Pietro Sambi sebagai Dubes Vatikan untuk Amerika Serikat.
Berbagai literatur mereka pelajari. Ditengarai teori-teori seputar minoritas di berbagai wilayah di dunia. Dilakukan studi banding kasus-kasus minoritas yang tejadi di dunia, seperti Sri Lanka, Bangladesh, Brasil, dan sebagainya. Kajian kecil itu, akhirnya sampai pada simpulan yang mencengangkan. Apa simpulan itu? Susanto menyibak rahasianya.
“Peradaban dan keberadaan kaum minoritas akan punah. Kecuali jika ada, bahkan cukup banyak, di antaranya yang berkualitas. Bukan hanya itu. Selain berkualitas, kaum minoritas juga sudi bekerja untuk kepentingan umum. Jika tidak, lambat laun mereka secara alamiah akan hilang dari peredaran dan tidak direken keberadaannya sebagai warga. Hak-hak mereka ditiadakan.”
Susanto yang menyadari dan yakin dengan simpulan itu, coba keluar dari diri sendiri. Ia melakukan sesuatu bukan atas nama etnis, namun atas dasar kemanusiaan. Yang dilakukannya demi kepentingan umum. Hal yang melintas etnis, agama, dan golongan. Ukurannya bukan lagi sempit, tapi luas.
Menghapus Stigma dan Mencegah Victim-isasi
Apakah dengan membentuk Paguyuban Warga Tionghoa berarti eksklusif? Susanto menjawab jujur dan blak-blakan.
“Sama sekali tidak. Wajar saja, jika dalam kondisi tersedak, orang bersatu padu. Ini naluriah dan sangat alamiah. Pertahanan diri akan muncul, kreativitas akan timbul, dan sense of adaptiveness otomatis keluar dalam keterdesakan. Dalam hal ini, saya punya teori yang saya sebut ‘Teori Keong’. Perhatikan bagaimana cara siput besar mempertahankan diri. Jika menghadapi ancaman, keong akan masuk ke dalam rumahnya. Manusia juga demikian. Jika suatu kaum minoritas terancam bahaya, mereka juga berbuat secara naluriah seperti keong: kembali ke rumah,” papar Susanto.
Rumah yang dimaksudkan, tentu saja, asal usul suku bangsa itu sendiri. Dalam kondisi ketidakmenentuan manakala terancam, tidak ada yang bisa dipercaya, selain keluarga-bangsa sendiri. Tidak mungkin mengharapkan perlindungan dari pihak luar lebih dulu. Maka, tiarap dan masuk rumah adalah langkah penyelamatan pertama yang penting dilakukan. Sembari coba menghimpun kekuatan dari dalam, lalu menjulurkan kepala melihat ke luar memantau situasi jika sudah aman.
Ketika, dan Pasca Tragedi Mei 1998, suasana memang tidak menentu. Masalah pri dan nonpri lagi-lagi dipolitisasi sedemikian rupa. Diembuskan bagai bara api yang siap membakar emosi massa. Tak mengherankan, di Jakarta dan sekitarnya, kaum Tionghoa dan segala harta milik mereka jadi sasaran utama. Toko, bangunan, rumah warga Tionghoa jadi sasaran amuk massa. Kita menyaksikan, tulisan “Milik Pribumi” marak ditempel di pintu-pintu gerbang rumah dan toko penduduk. Ini bukti tak terbantahkan bahwa kaum Tionghoa memang jadi sasaran amukan massa pada waktu itu.
Berapa jumlah korban Tragedi Mei 1998 yang modusnya masih sama dengan membakar amuk massa dengan mengembuskan isu etnis Tionghoa seperti sebelumnya? Tidak ada angka pasti. Yang jelas, Tim Pencari Fakta, tim relawan Romo Sandyawan dkk. dan juga Ester Indahyani Jusuf dari LSM Solidaritas Nusa Bangsa (Tempo 01/XXVII 06 Oktober 1998) mencatat, jumlah korban 168 orang, 20 di antaranya tewas. Bahkan, korban yang dirawat terbukti mengalami kekerasan seksual.
Data dam angka kerusuhan sosial yang berujung pada victim-isasi etnis Tionghoa 1740-1998
No. Tahun Tempat Korban dan kerugian
1. 1740 Angke - 10.000 korban jiwa
2. 1912 Solo - n.a.
3. 1918 Kudus - n.a.
4. 1946 Kampoeng Djoearingan, Tangerang - 600 lelaki Tionghoa di penjara Mauk
- Puluhan dilaporkan hilang
- Rumah dan harta dijarah
- Kekerasan seksual
5. 1959 Jakarta, keluarnya PP No.10/59 - 50.000 warga Tionghoa di Indonesia eksodus ke luar negeri
6. 1972 Jakarta Peristiwa Malari yang berujung anti Tionghoa
7. 1981 Solo - n.a.
8. 1998 Jakarta - 168 orang, 20 tewas,
- Kekerasan seksual
Etnis Tionghoa ke Depan
Lihatlah, betapa semakin dekat jarak kejadian tragedi yang mengorbankan etnis Tionghoa ditilik dari urutan kronologi sejak abad 19. Hampir tiap satu dasawarsa kerusuhan sosial berujung pada victim-isasi etnis Tionghoa. Mencermati kecenderungan itu, wajar jika banyak warga Tionghoa menaruh perhatian jangan sampai kejadian serupa berulang.
Sebagaimana dikatakan Soekarno, masalah orang Asia hendaknya diselesaikan Asia (Asians problems solve by Asian). Demikian juga masalah etnis Tionghoa di Indonesia, hendaknya dipecahkan etnis Tionghoa itu sendiri.
Maka, lahirnya paguyuban seperti seperti PSMTI dan Inti di mata Susanto,
“Suatu hal yang wajar. Sama saja seperti orang Minang membentuk paguyuban Minang di Jakarta. Atau orang Betawi membentuk Forum Betawi Rempug (FBR). Dan sejumlah paguyuban etnis lainnya. Jadi, apanya yang eksklusif dan luar biasa dari paguyuban etnis Tionghoa? Tidak ada! Jangan terlalu dihubung-hubungkan dengan hal-hal yang menyudutkan mereka. Filosofi keong adalah metafora yang mudah menjelaskan keberadaan itu.”
Tragedi dan victim-isasi etnis Tionghoa adalah tragedi kemanusiaan. Jika Susanto ditokohkan dalam paguyuban dan larut di dalamnya, itu pertama-tama didorong panggilannya sebagai manusia. Dalam perjalanan, paguyuban Tionghoa era Reformasi terbelah dua jadi PSMTI dan Inti. Namun, Susanto bisa masuk dan berterima di dua paguyuban sekaligus. Nyaris tiap gerak langkah dan kegiatannya dipublikasikan di situs Inti. Sementara di PSMTI, ia tetap dimintai pendapat dan nasihat demi kemaslahatan masyarakat.
SBKRI, dan sejumlah kasus patriot bangsa etnis Tionghoa yang malang melintang mengharumkan nama bangsa Indonesia, namun diperlakukan diskriminatif di masa lalu, merupakan bukti bahwa etnis Tionghoa belum diakui sebagai warga kelas satu. Seiring bergulirnya Reformasi, kran makin terbuka bagi setiap warga Indonesia memasuki bidang penghidupan dan profesi apa saja. Jika dahulu etnis Tionghoa mayoritas hidup dari berdagang dan jasa, maka kini banyak yang terjun ke dunia politik, militer, dan pemerintahan.
Di masa lalu, jangankan menjabat bupati atau wakil gubernur. Menjadi ketua RT saja warga Tionghoa sulit. Catatan biografi tokoh etnis Tionghoa yang dikumpulkan Sam Setya Utama menjadi bukti, lapangan kerja dan profesi apa pun kini dirambah etnis Tionghoa. Di pemerintahan misalnya, etnis Tionghoa menduduki jabatan tinggi. Bupati Bangka Belitung saat ini adalah etnis Tionghoa. Wakil Gubernur Kalimantan Barat periode 2008-2013 adalah etnis Tionghoa, walikota Singkawang etnis Tionghoa.
Bagaimana fenomena naiknya etnis Tionghoa ke panggung perpolitikan dan pemerintahan di mata Susanto? “Wajar saja. Ini hak tiap warganegara. Di masa lalu, ini memang sesuatu yang langka sekali. Tapi sekarang, di era Reformasi, tidak lagi. Jika yang bersangkutan memang cakap dan mampu, ya silakan masyarakat yang menilai. Kan kini masyarakat yang menentukan pemilihan langsung pejabat pemerintahan. Jadi, lebih jujur dan objektif.”
“Saya kerap diundang ke Kalimantan Barat oleh Pemda setempat. Mereka lebih open.
Menyikapi perubahan dan meresponsnya dengan tanggap. Kami sampai pada kesimpulan, pemerintahan pun seyogiyanya dikelola secara profesional layaknya perusahaan. Pemerintah bertanggung jawab pada stakeholder, yakni rakyatnya sendiri,” ujar Susanto.
Justru kerja sama saling pengertian dapat dibangun dengan pejabat daerah yang juga memahami latar budaya. Seperti terjadi Kalbar, di mana wakil gubernurnya etnis Tionghoa. Didampingi wakil gubernur, Badan Penanaman Modal Daerah (BPMD) Kalbar pernah mempresentasikan investasi di Kalbar kepada rombongan Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI), di Balai Petitih Kantor Gubernur. INTI berjanji memboyong investor Cina ke Kalbar. Teddy Sugiarto, Ketua Rombongan Pengurus INTI mengatakan, pihaknya tertarik dengan pemaparan tersebut dan materinya akan disampaikan kepada Gubernur Guanzhou. Pemerintah Santung juga tertarik, mereka benar-benar mau, asalkan Pemprov Kalbar membuat proposal, kata Teddy. Dalam pemaparan yang disampaikan Kepala BPMD Kalbar, Drs. M. Zeet Hamdy Assovie MTM juga dihadiri Wakil Gubernur Kalbar, Drs. Christiandy Sanjaya S.E., MM.
Kini, setelah satu dasawarsa era reformasi, semua aturan yang membatasi ruang gerak etnis Tionghoa memang akhirnya dihapus. Lahirnya UU No 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan menjamin persamaan hak dan kewajiban seluruh warganegara Indonesia. Meski demikian, dalam tataran praksis, masih ditemukan fenomena diskriminasi yang dialami etnis Tionghoa, terutama dalam masalah pelayanan publik semisal paspor, KTP dan atau dalam hubungan sosial masyarakat. Tapi skala dan intensitasnya sudah tidak seperti dulu lagi.
Memang, diskriminasi seharusnya sudah pupus di bumi pertiwi. Apalagi jika mengingat bahwa dalam sejarah kemerdekaan Indonesia hingga saat ini, etnis Tionghoa banyak memberikan kontribusi. Tidak hanya keringat tapi juga darah. Pada Agustus 1945 misalnya. Tokoh dari etnis Tionghoa seperti Djiaw Kie Siong memperkenankan rumahnya digunakan untuk mempercepat persiapan kemerdekaan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Sementara dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merumuskan UUD'45, terdapat lima orang Tionghoa, yaitu Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw dan Drs. Yap Tjwan Bing.
Selanjutnya, pada masa pasca kemerdekaan hingga saat ini, etnis Tionghoa bersama-sama kelompok lain juga memberikan kontribusi terhadap pembangunan nasional. Para pengusaha Tionghoa telah mendirikan industri padat karya yang bisa menyerap banyak tenaga kerja serta membayar pajak yang termasuk terbesar di Indonesia. Beberapa nama turut memberi kontribusi bagi NKRI, antara lain Tan Joe Hok dalam olahraga bulutangkis, Teguh Karya, Fifi Young, dan Tan Tjeng Bok dalam dunia teater dan perfilman ndonesia; dr. Oen Boen Bing di bidang kedokteran; Martha Tilaar sukses pada industri komestik Indonesia; atau Prof. Yohanes Surya yang menjadi arsitek tim Olimpiade Matematika Indonesia merebut medali-medali emas di ajang regional dan Internasional.
Sumbangsih etnis Tionghoa yang cinta dan membela tanah air, akhirnya mendorong diusulkannya beberapa tokoh Tionghoa menjadi pahlawan nasional. Menurut sejarawan dan cendikiawan sejarawan Asvi Warman Adam, tokoh Tionghoa pantas diusulkan mendapat gelar pahlawan nasional itu adalah Sie Kong Yon, Mi Hue Kong, dan John Lee. Sie Kong Yong adalah orang Tionghoa yang meminjamkan gedung untuk pelaksanaan Sumpah Pemuda. Mie Hu Kong adalah Kapten Batavia yang melakukan penawanan terhadap pemerintahan VOC pada 1740. Dari ketiga nama itu, kata Asvi, yang paling representatif untuk mendapat gelar pahlawan adalah John Lee. Pasalnya John Lee dinilai betul-betul berjuang pada tahun 1947, saat itu Indonesia sedang mempertahankan kemerdekaannya dari kembalinya penjajah Belanda. Pada masa itu, Indonesia mengalami kesulitan modal.
Bila melihat peran dan kontribusi etnis Tionghoa di atas, diskriminasi yang mereka alami merupakan bentuk ketidakadailan. Tapi persoalannya, mengapa masih ada angapan bahwa Tionghoa adalah orang asing?
Itulah persoalannya. Diskriminasi tersebut disebabkan oleh banyak faktor. Selain faktor politik dan ekonomi juga karena faktor agama. Biasanya, hubungan keduanya renggang karena kepentingan-kepentingan politik.
Namun, blessing in disguise, tragedi Mei 1998 membangkitkan kesadaran etnis Tionghoa bahwa selama ini mereka secara politis mereka tidak berdaya sama sekali. Terbukti setelah jatuhnya rezim Orde Baru, berbagai kelompok peranakan Tionghoa segera membentuk partai politik, paguyuban, perhimpunan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan sebagainya, antara lain Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (PARTI), Partai Bhineka Tunggal Ika (PBI), Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI), Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI), Solidaritas Nusa Bangsa (“SNB”), Gerakan Anti Diskriminasi (GANDI), Solidaritas Pemuda Pemudi Indonesia Untuk Keadilan (SIMPATIK) dan sebagainya.
Dalam perjalanannya, karena banyak menghadapi kendala, semangat yang pada mulanya mengebu-gebu perlahan-lahan mulai menyurut. Sebagaimana yang terjadi pada partai-partai politik dan organisasi nasional lainnya, perpecahan telah menjadi mode yang menimpa partai-partai politik dan organisasi-organisasi di kalangan etnis Tionghoa. Hingga hari ini, tiga dari sekian banyak organisasi dan partai politik bentukan etnis Tionghoa yang masih bertahan hingga saat ini adalah INTI, PSMTI dan PARTI.
Seperti dilihat oleh AB Ghifari, Susanto adalah “Tokoh Tionghoa yang berdiri di atas semua paguyuban. Hubungan antarsesama dibinanya berkelanjutan tanpa memerhatikan perbedaan-perbedaan yang ada. Ia selalu mengedepankan hubungan kesetaraan antarmanusia, antargolongan, dan antarbangsa.”
Susanto ternyata ada di mana-mana. Tapi tidak akan ke mana-mana. Sebab ia lahir dari perut bumi pertiwi Indonesia.
Daftar Pustaka
Ang See, Teresita. 2000. Intercultural Relations, Cultural Transformation, and Identity: the ethnic Chinese : selected papers presented at the 1998 ISSCO conference International Society for the Study of Chinese Overseas, Kaisa Para sa Kaunlarande.
Graaf, H.J. dkk. 1998. Cina Muslim di Jawa Abad CV dan XVI antara Historisitas dan Mitos. Yogya: Tiara Wacana Yogya.
Satya Dharma, Eddie Kusuma, S. 1998. Etnis Tionghoa dalam politik Indonesia: sebelum dan sesudah reformasi. Suara Kebangsan [i.e. Kebangsaan] Tionghoa Indonesia (SAKTI) dan Asosiasi Wartawan Muslim (AWAM) Indonesia, 2006.
Sidharta, Myra (Penyunting). 1989. 100 Tahun Kwee Tek Hoay. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Sinar Harapan, “Tokoh Tionghoa Diusulkan Jadi Pahlawan”13/11/07.
Suryadinata, Leo. 2004. Chinese Indonesians: State Policy, Monoculture and Multiculturalism. Eastern Universities Press
Sukarno, “Perjuangan Hilangkan Perasaan Tidak Enak Mayoritas-Minoritas” amanat Pembukaan Kongres Nasional ke-8 Baperki di Istana Olahraga Gelora Bung Karno, Jakarta, tanggal 14 Maret 1963. Amanat dibukukan oleh Panitia Peringatan 100 Tahun Bung arno, Bung Karno : Gerakan Massa dan Mahasiswa. 2001. Jakarta: PT Grasindo.
Taher, Tarmizi dr. H. 1998. Masyarakat Cina: Ketahanan Nasional dan Integrasi Bangsa di Indonesia. Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM).
Wijayakusuma, Hembing. 2005. Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Internet
majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1998/10/06/INT/mbm.19981006.INT95675.id.
http://wapedia.mobi/id/Tan_Joe_Hok
http://smpbruder.blog.friendster.com/
12 tahun lalu, terjadi tragedi nasional di negeri ini. Kaum Tionghoa jadi sasaran amuk massa. Etnis minoritas ini jadi victimisasi karena kecemburuan sosial yang memuncak, disertai tindakan brutal (mencontoh perbuatan Brutus).
Mengenang catatan hitam itu, saya memetik salah satu bab buku saya Dulce et Utile: Biografi Professional A.B. Susanto. Semoga bermanfaat.
***
Non ex voluntate carnis, sed ex Deo nati sunt (Bukan atas kehendak manusia, namun dari Tuhan mereka lahir).
Bisakah seseorang memilih dilahirkan oleh siapa, di negara mana, dan dari suku bangsa apa? Sesekali tidak! Kata-kata bijak di atas menjelaskan banyak. Bahwa orang lahir bukan atas kehendak manusia, melainkan dari Tuhan. Senada dengan itu, Horatius, penyair Romawi termasyhur berkata, “Caelum non animum mutant qui trans mare currunt” (Manusia bisa saja mengubah langit, tapi bukan jiwanya, yang berlari menyeberangi segara bebas).
Dalam konteks etnis Tionghoa di Indonesia, mereka lahir dan berada di negera Pancasila ini tentu bukan atas kemauan sendiri. Namun, atas kehendak Dia Yang Mencipta. Tak mengherankan, ketika etnis ini jadi bulan-bulanan dan victim-isasi, banyak pihak tersentuh rasa kemanusiaannya. Lalu berbuat sesuatu.
Tokoh Tionghoa Nusantara bersama Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono dan ibu negara.
Salah seorang yang tergerak hatinya berbuat sesuatu adalah A.B. Susanto. Atas nama humanisme, ia coba menghimpun rekan-rekan yang punya kehendak baik (voluntas) sama. Terutama pasca Tragedi Mei 1998, ketika etnis Tionghoa untuk kesekian kali jadi “korban Reformasi”. Tidak jelas benar casus belli-nya. Tahu-tahu amuk massa disasarkan pada para hoa kiauw di negeri ini, padahal penduduknya telah memaklumkan diri sebagai bangsa yang “adil dan beradab”.
Sebagai salah satu tokoh etnis Tionghoa, Susanto, yang juga menyandang nama etnik Liem Kong Hok ini, coba berbuat sebisa mungkin. Berupaya menghapus stigma dan menangkis peraturan, bahkan kerap perlakuan diskriminatif, ia turut memfasilitasi pertemuan para tokoh etnis Tionghoa di Indonesia pasca Tragedi Mei 1998. Dari beberapa kali pertemuan di kantornya, kemudian berbuah kesepakatan membentuk paguyuban yang dikenal dengan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa (PSMTI) yang dideklarasikan pada 28 September 1998.
Ketokohan Susanto sendiri diakui di kalangan etnis Tionghoa. Pada awal PSMTI berdiri, Susanto tercatat sebagai penasihat. Pada periode 2006-2009 sebagai Ketua Dewan Kehormatan. Kiprahnya yang turut mengembalikan etnis Tionghoa sebagai entitas bangsa Indonesia menarik dicermati. Tak berlebihan, Sam Setya Utama mengabadikan namanya masuk senarai Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia.
Bukan Susanto namanya jika sembarang masuk sebuah organisasi. Pantang ia mengorbankan citra profesionalnya untuk suatu kegiatan yang tak tentu arah tujuannya. Apalagi, kegiatan itu negatif. Yang sama sekali jauh dari kemaslahatan umum dan merendahkan martabat dan derajat umat manusia.
Sebagai konsultan manajemen, ia akan mengajukan pertanyaan kritis. Apa visi dan misi organisasi itu? Jika semuanya gamblang, ia bukan hanya mau jadi penggembira. Malah, menyumbangkan apa yang ia bisa.
Maka, ketika etnis Tionghoa jadi bulan-bulanan pada kerusuhan Mei 1998, Susanto coba memberi apa yang ia bisa. Memutar kembali rekam peristiwa Tragedi Mei itu, Susanto sempat tercenung. Tergurat garis sendu pada tatap matanya. Meski tetap menyungging senyum seperti biasa, tak cukup menutup ada guratan peristiwa hitam mengganjal hatinya.
“Sehari setelah Tragedi Mei 1998 itu, telepon kantor terus berdering. Kami sampai kewalahan meladeni. Banyak kenalan, sahabat, famili, bahkan klien dan rekan bisnis bertanya. Bagaimana ini? Bagaimana itu? Intinya, pertanyaan berkisar soal tragedi dan bagaimana langkah ke depan menyiasatinya. Sebab jangan sampai warga Tionghoa Indonesia masuk perangkap dan jadi target pemusnahan massal (etnic cleaning). Stigma Tionghoa Indonesia chauvinis, eksklusif, dan elit jangan sampai melekat. Sebab, stigma ini potensial berubah arah jadi victim-isasi,” terang Susanto yang memang dititis darah Tionghoa ini. “Jika sampai demikian, ini yang kita takutkan. Bahaya. Negara dan bangsa ini bisa tercabik-cabik dan jatuh pada perang saudara.”
Bermula dari dering telepon ke kantor, keluhan dan masukan lantas diteruskan di meja diskusi. Dari beberapa kali pertemuan, masukan-masukan kemudian mengkristal pada usulan. Perlu dibentuknya paguyuban etnis Tionghoa yang punya visi dan misi. Maka, lahirlah Paguyuban Sosial Marga Tionghoa (PSMTI).
Visi PSMTI jelas, sebagaimana dapat diunduh dalam situs resminya. Yakni agar, “Orang Tionghoa warga negara Indonesia sebagai etnis/ suku bangsa Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan suku bangsa Indonesia lainnya, dalam menyongsong Indonesia yang lebih demokratis, menjunjung tinggi hak azasi manusia, aman dan sejahtera.”
Sementara tiga misi yang diemban, yakni: (1) Meningkatkan kesadaran bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, (2) Memperjuangkan penghapusan peraturan yang diskriminatif bagi orang Tionghoa, dan (3) Memantapkan jati diri dan percaya diri sebagai warga negara Indonesia suku Tionghoa.
Penghapusan Peraturan dan Tindak Diskriminatif
Tujuan didirikannya suatu organisasi, atau badan, dapat dilihat dari dari misinya. Tanpa menafikan dua misi lain, tampaknya misi kedua penting dicatat dan diberi perhatian khusus. Yakni memperjuangkan penghapusan peraturan yang diskriminatif bagi etnis Tionghoa di Indonesia.
JIka menyibak kembali lembar sejarah, peraturan dan tindak diskriminatif terhadap etnis Tionghoa dimulai sejak zaman kolonial Belanda. Saat itu, pemerintahan Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan berupa batasan ruang gerak pada warganegara Tionghoa dengan adanya Passenstelses dan Wijkenstelsel.
Sejak tragedi Angke pada tahun 1740, orang Tionghoa tidak diperkenankan bermukim secara bebas. Aturan ini kemudian menubuhkan pecinan. Yakni pemukiman etnis Tionghoa di sejumlah kota besar di Hindia Belanda.
Aturan seperti dirancang pemerintah kolonial itu, tanpa diduga malah menciptakan konsentrasi kegiatan ekonomi orang Tionghoa di perkotaan. Dan tatkala perekonomian dunia beralih ke sektor industri, justru etnis Tionghoa yang paling siap dengan spesialisasi usaha, seperti: transportasi, jasa, makanan-minuman, jamu, peralatan rumah tangga, bahan bangunan, pemintalan, batik, kretek, dan kerajinan.
Bukannya menyudutkan dari sisi ekonomi, aturan tadi malah menjadi rahmat tersembunyi. Etnis Tionghoa kian makmur dengan usaha mereka. Ironisnya, kemakmuran yang dicapai dengan cucuran keringat dan air mata itu, justru lenyap dalam sekejap. Manakala kerusuhan sosial terjadi dan pada mereka ditiupkan bara kebencian berlatar kecemburuan sosial, maka semua usaha jadi sia-sia. Ibarat setitik nila merusak susu sebelanga.
Hujan sehari menghapus kemarau setahun.
Ironisnya, peraturan dan tindak diskriminatif seperti terjadi pada zaman kolonial, diteruskan republik, baik masa Orde Lama maupun Orde Baru. Sebagai contoh, Peraturan Pemerintah atau PP No. 10 Tahun 1959. Lalu Instruksi Presiden No. 14/1967. Peraturan ini bukan saja diskriminatif, karena menafikan etnis Tionghoa sebagai warga Negara Indonesia, tetapi juga melarang mereka merayakan Imlek dan melakukan ibadah keagamaannya. Celakanya, peraturan ini menjadi legitimasi meminggirkan etnis Tionghoa dari bumi pertiwi.
Jika menyibak kembali peristiwa kerusuhan sosial di Nusantara, etnis Tionghoa hampir selalu menjadi victim-isasi. Mulai dari Tragedi Angke tahun 1740 di mana jatuh 10.000 korban jiwa. Tragedi kemanusiaan ini sungguh memilukan dan sukar hilang dari lembaran sejarah sebagai catatan yang sungguh kelam.
Berawal dari hal spele, dendam kesumat antarpibadi. Setelah diprovokasi, skala kerusuhan menjadi masif tidak terkendali. Di tengah-tengah ketidakmenentukan, ditiupkan berbagai isu baru, sehingga tersulut amuk massa dan pengerahan kekuatan tentara.
Etnis Tionghoa di luar rumah yang berusaha menyelamatkan diri diburu dan dikejar. Sementara yang ada di dalam rumah dan pemukiman dipaksa untuk keluar dengan berbagai cara. Setelah keluar, mereka dihadang pasukan bersenjata lengkap. Jadilah etnis Tionghoa korban seperti terorganisasikan secara rapi sebelumnya (Hembing, 2005: 92-116).
Yang mengenaskan, dalam Tragedi Angke tidak ada pihak yang bertanggung jawab. Penguasa waktu itu (Hindia Belanda) yakni Gubernur Jendral Valckenier dan anggota mejelis VOC W. van Imhoff cuci tangan. Mereka bahkan saling tuding. Namun, lagi-lagi seorang etnis Tionghoa yang jadi kambing hitam, yakni Nie Hoe Kong, kapitan Tionghoa berusia 30 tahun yang menjabat sejak 1736. Alasan Hoe Kong layak dijadikan kambing hitam karena “… ia putra pertama orang ternama saat itu, yaitu Letnan Ni Locko, tetapi juga karena ia memiliki potensi untuk menjadi pemimpin serta kaya raya (Hembing, op. cit. hal. 123).
Meski tidak ada bukti-bukti yang mendukung Nie Hoe Kong pantas bertanggung jawab atas Tragedi Angke, toh rumah dan harta bendanya dijarah. Ia lalu diasingkan ke Mollucas, Ambon, dan meninggal di sana.
Dua abad selang Tragedi Angke 1740, peristiwa rasial di Nusantara jarang terdengar muncul ke permukaan. Namun, masuk paruh dasawarsa kedua abad 20, kembali muncul tragedi serupa yang mengorbankan etnis Tionghoa. Misalnya, Peristiwa Solo tahun 1912 dan Kerusuhan di Kudus tahun 1918. Dan pada awal masa Revolusi, antara bulan Mei-Juli 1946 terjadi Tragedi Tangerang. Tragedi berlanjut di perkampungan nelayan etnis Tionghoa di Bagan Siapi-api bulan September 1946. Lalu merambah ke Palembang pada bulan Januari 1947.
Namun, di antara rentetan peristiwa yang berakhir victim-isasi etnis Tionghoa itu, Tragedi Tangerang boleh disebut luar biasa. Bahkan, 11 Juni 1946 dinyatakan sebagai Hari Berkabung bagi warga Tionghoa di Indonesia. Toko dan pabrik milik etnis Tionghoa tutup. Kegiatan terhenti. Seperti dicatat dan dibingkai (media framing) Sin Po yang secara ajeg dan menggelorakan “filosofi Keong”. Namun, segera diberi catatan, bukan berarti menarik diri, tapi sekadar “tiarap”. Sesudah situasi normal, etnis ii kembali berkiprah layaknya warga biasa.
Sebagaimana diketahui, Sin Po adalah nama sebuah surat kabar Tionghoa berbahasa Melayu. Terbit di Nusantara sejak sejak zaman kolonial hingga tahun 1965. Surat kabar ini pertama kali terbit di Jakarta sebagai mingguan pada Oktober 1910. Lalu, berubah menjadi surat kabar harian dua tahun kemudian. Sin Po adalah harian pertama yang memuat teks lagu kebangsaan Indonesia, “Indonesia Raya” dan turut memelopori penggunaan istilah "Indonesia" untuk menggantikan "Hindia-Belanda" sejak Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.
Lebih dari sebulan, Sin Po memberitakan victim-isasi etnis Tionghoa ini. Hal ini dapat disimak pada headline yang mendeskripsikan peristiwa secara emotional truth.
Sinpo: 7 Juni 1946
Pendoedoek Tionghoa di Kebon Baroe lawan serangan. Sariket aken ambil tindakan keras! Djika repoeblik tida berdaja tindes kekatjauan di Tangerang. “Pemboenohan semakin menghebat.”
Noraka Sapoeter Tangerang. Banjak orang Tionghoa dibakar idoep-idoep!
Sinpo 17 Juni 1946:
Bekasi dalem keadaan genting. Ratoesan pelarian Tionghoa banjiri Djatinegara. Beberapa orang Tionghoa jadi korban pemboenoehan.
Sementara itu, Star Weekly, 23 Juni 1946 mencatat, “Kampoeng Djoearingan, Tangerang, Juni 1946. Ternjata di sini banjak orang-orang lelaki jang telah diboenoeh, samentara tida sedikit gadis-gadis telah diperkosa oleh itoe sekawanan srigala beroepa manoesia.” Peristiwa ini, kemudian dikenal dengan “Tragedi Cina Benteng”.
Koran mingguan yang dikelola wartawan keturunan Tionghoa ini memotret tragedi kerusuhan Tangerang, Jawa Barat, Juni 1946, yang menimpa etnis Tionghoa. Sedikitnya ada lima desa, yakni Rajeg, Gandu, Balaraja, Cikupa, dan Mauk, yang dilaporkan membara. Perkampungan Tionghoa di wilayah itu diobrak-abrik massa. Puing-puing berserakan di sana-sini.
Tangerang, sekitar 30 kilometer dari Jakarta, saat itu bergolak karena disulut kabar santer: ada tentara Nica beretnis Tionghoa menurunkan bendera merah-putih dan menggantinya dengan bendera Belanda. Seperti bensin menyambar api, kabar ini kontan meluas dan memicu kemarahan. Apalagi ini zaman perang kemerdekaan. Usia republik yang belum genap setahun, harus menghadapi serbuan tentara Belanda.
Dan terjadi ketegangan sosial: di wilayah Tangerang ada sejumlah tuan tanah Tionghoa yang berhadapan dengan penduduk. Meski tak semua keturunan Tionghoa kaya di sana. Puncaknya, tersiar kabar, seorang Nica Tionghoa membakar rumah warga pribumi. “Ini sebab-sebab menimbulken rajat Indonesier poenja goesar, hingga timboellah itoe tragedi Tangerang,” tulis Rosihan Anwar dalam Harian Merdeka, 13 Juni 1946.
Laskar Rakyat yang marah. Lalu menangkapi para lelaki keturunan Tionghoa saat itu. Mereka digiring ke Penjara Mauk. Tanggal 3 Juni 1946, penjara yang berukuran 15 x 15 m itu dipenuhi sekitar 600 lelaki Tionghoa dari seantero Tangerang. Mereka, banyak di antaranya petani miskin, disekap dengan perlakuan yang memprihatinkan. “Malam tida ada lampoe. Orang kentjing dan boewang aer deket soemoer, hingga tempat di sakiternya penoeh kotoran, dan joestroe soemoer itoe poenja aer diboeat minoem, minoemnja dengen bereboetan,” tutur seorang korban penyekapan yang diwawancarai Star Weekly.
Kabar mengenaskan ini, segera menyebar ke Jakarta. Kaum keturunan Cina tergedor hatinya. Senin, 10 Juni 1946, sekitar 40 pemuda Tionghoa yang tergabung dalam Poh An Tui, bergerak ke Tangerang menolong para hoa kiauw yang terancam jiwanya. Mereka dibekali senjata api dan dibagi dua kelompok. Yang pertama mengarah ke Mauk hendak membebaskan tawanan. Kelompok lain menyaksikan reruntuhan sejumlah desa yang banyak dihuni etnis Tionghoa. Tercatat, sekitar 2.000 warga keturunan diungsikan ke Jakarta. Ada yang dinaikkan truk dan sebagian besar berjalan kaki.
Hal itu sesuai dengan apa yang ditulis dilaporkan Sinpo, “Sariket aken ambil tindakan keras! Djika repoeblik tida berdaja tindes kekatjauan di Tangerang.” Yang dimaksudkan dengan “Sariket” ialah para hoa kiauw (mungkin juga termasuk kekuatan lain di luar itu) akan mengambil tindakan tegas jika Negara tidak kuasa menghadapi kerusuhan massal yang menorbankan etnis Tionghoa tersebut. Pekik agar kekejaman segera dihentikan memang akhirnya ditiupkan Pemerintah.
Republik akhirnya membentuk tim terjun ke lapangan guna meninjau dan mengetahui eskalasi tragedi. Tim Peninjau dipimpin langsung Menteri Penerangan Mohamad Natsir. Tergabung dalam tim tersebut Noegroho, Lim Hok Soei,Maskin, Koebagoes Akson sebagai Wakil Kementerian Dalam Negeri, dua aparat dari TRI (Tentara Republik Indonesia), Oey Kim Sen dan Go King Hong (wakil Sin Ming Hui), beserta para wartawan Kadir Said (Antara), Rosihan Anwar (Merdeka),dan Lee Soei Ke (Sin Po).
Jika dicermati, peristiwa tersebut mirip kerusuhan Mei 1998. Usai peristiwa toko dan kantor-kantor milik Tionghoa tutup. Keadaan ini memancing Presiden Habibie turun langsung ke China Town, Glodok Pancoran. Habibie mafhum, jika tidak lekas-lekas dinetralisasi Glodok Building dan sekitarnya maka Negara (Pemerintah) tidak ada income.
Perihal fenomenon lahirnya paguyuban Tionghoa dari masa ke masa, Daniel S. Lev punya tesis menarik. Menurut sejarawan-akademisi, yang juga dikenal sebagai pakar tentang Indonesia itu, ada dua hal yang meletarbelakanginya karena takut sekali. Pertama, didirikannya organisasi, misalnya dulu Sin Ming Hui. Ini merupakan organisasi yang dimaksudkan untuk meno¬long orang, bukan hanya orang Tionghoa, tetapi siapa saja. Terutama orang Tionghoa yang sama sekali tidak punya perlindungan lain. Kedua, setelah peristiwa Tangerang itu, didirikan organisasi keamanan, Pao An Tui. Tujuannya untuk perlindungan secara fisik, kalau perlu. Latar berdirinya PSMTI dan Inti tidak beda dengan itu! Organisasi yang secara tegas menyatakan terbuka ini berdiri lebih didorong semangat humanisme, memberikan rasa aman dan nyaman pada warga Negara Republik Indonesia.
Pada akhir revolusi, didirikan suatu organisasi politik bernama Partai Demokrat Tionghoa Indonesia. Pimpinan orang Tionghoa waktu itu sadar betul bahwa untuk bisa berbuat sesuatu mereka harus punya organisasi. Tapi warga Tionghoa terbentur. Ini karena banyak orang Tionghoa menjauhkan diri dari politik, alergi sekali pada politik.
Sesudah tahun 1950, keadaan jadi makin sulit lagi buat orang Tionghoa. Kewarganegaraan mereka ditolak, atau tidak menentu, dan terjadi banyak insiden. Lalu ada yang mulai masuk macam-macam partai. Ada yang mendekat pada PNI karena memang sudah terbangun hubungan sejak abad-19 para priyayi Jawa dengan Orang Tionghoa. Banyak yang kawin campur, dan sebagainya. Kaum intelektual masuk PSI. Banyak yang masuk Kristen dan Katolik. Bahkan, ada yang masuk Masyumi, NU, dan lain-lain.
Sayangnya, orang Tionghoa yang ada di parlemen tidak selalu bisa memperhatikan persoalan Tionghoa. Padahal, waktu itu keadaan mereka dipersulit. Banyak orang Tionghoa mulai sungguh-sungguh menkhawatirkan nasib mereka. Antara lain karena ketidakpastian tentang kewarganegaraan. Mereka diperas. Tak jarang diancam, dihantam, dan lain-lain. Tahun 1954, suasana mulai genting.
Keadaan ini mendorong para pimpinan Tionghoa dari berbagai organisasi berkumpul di Jakarta untuk mendirikan suatu organisasi baru yang bisa mempersatukan. Lahirlah Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Organisasi ini didirikan terutama dimaksudkan untuk menangani masalah kewarganegaraan yang hangat sekali waktu itu. Selain itu, juga untuk mencari semacam jalan keluar bagi minoritas ini. Banyak orang dari berbagai kalangan masuk Baperki. Kemudian, Baperki berkembang sebagai sebuah organisasi massa yang mengutamakan perjuangan politik untuk mencapai tujuan ekonomi, sosial, kebudayaan dan pendidikan.
Baperki didirikan pada tahun 1954 dan menjadi organisasi sosial politik yang dapat diterima oleh berbagai kalangan orang Tionghoa, baik Totok maupun Peranakan. Masalah yang dihadapi para tokoh Baperki yang dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan (Siauw) pada masa itu adalah diskriminasi rasial di berbagai bidang.
Baperki tercatat pernah menjadi peserta dalam Pemilu 1955 untuk memilih anggota DPR (29 September 1955) dan anggota Konstituante (15 Desember 1955). Dalam kedua Pemilu ini, Baperki memperoleh 178.887 suara untuk DPR dan 160.456 suara untuk Konstituante, atau 70% suara dari golongan Tionghoa di Jawa.
Dengan jumlah suara sebanyak ini, Baperki berhasil memperoleh satu kursi di DPR dan mendudukkan Siauw sebagai wakilnya. Untuk Konstituante, Baperki diwakili oleh Siauw, Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien (Yap), Go Gien Tjwan, Liem Koen Seng, Oei Poo Djiang, Jan Ave, C.S. Richter. Dua nama terakhir adalah wakil-wakil Baperki untuk golongan Indo.
Jika diperhatikan, para pendiri Baperki sangat beragam latar belakang dan juga pendangan politiknya. Misalnya, Yap Thiam Hien intelektual Kristen, Oey Tjoe Tat intelektual nasionalis, Siauw Giok Tjhan adalah aktivis kemerdekaan yang ideologinya condong ke PKI, Auwyong Peng Koen (P.K. Oyong) adalah tokoh pers yang dekat dengan kelompok Katolik. Sedangkan Inyo Beng Goat dan Tan Po Gwan adalah intelektual yang dekat dengan PSI (Memoar Oei Tjoe Tat, halaman 73-85).
Melihat latar belakang yang berbeda ini, muncul pertanyaan. Apa visi dan misi yang menyatukan mereka? Dari keseluruhan isi Pidato Presiden Soekarno 14 Maret 1963 pada Pembukaan Kongres Nasional ke-8 Baperki dapat disimpulkan bahwa semua pimpinan Baperki orang yang bertanggung jawab dan cinta tanah air. Mereka menyadari, air yang diminum dan udara yang dihirup di bumi yang mereka pijak bernama Indonesia. Uluran tangan bukan semata-mata karena mereka sama etnis dengan kaum yang jadi korban, melainkan juga karena didorong rasa kemanusiaan.
“Meski beragam, toh mereka bisa satu untuk sebuah visi dan misi yang sama. Inilah filosofi keong. Masuk ke dalam manakala mendapat tekanan. Namun, akan keluar manakala keadaan sudah memungkinkan. Tampaknya, filosof ini hampir menjadi dalil di semua tempat di belahan dunia. Utamanya, manakala isu mayoritas-minoriotas dibenturkan dengan berbagai macam konflik dan kepentingan,” jelas Susanto yang pernah meneliti akar persoalan minoritas yang dialami etnis dan golongan di berbagai belahan dunia. “JIka masuk dengan entri mayoritas-minoritas, akan terus ada konflik. Namun, jika bicara soal etnis, maka kita sama dan setara,” imbuh Susanto.
Agaknya, apa yang diutarakan Susanto menegaskan kembali pernyataan Bung Karno pada Pembukaan Kongres Nasional ke-8 Baperki. Menyangkut isu mayoritas-minoritas, Bung Karno memungkas, “Saya tidak akan berkata, suku itu adalah minoritas, suku Dayak adalah minoritas, suku Irian Barat adalah minoritas, suku yang di Sumatera Selatan itu, suku Kubu adalah minoritas, suku Tionghoa adalah minoritas, tidak! Tidak ada minoritas, hanya ada suku-suku, sebab manakala ada minoritas, ada mayoritas. Dan biasanya kalau ada mayoritas, lantas ada exploitation de la minorite par la majorite, exploitatie dari minoriteit majoriteit. Saya, tidak mau apa yang dinamakan golongan Tionghoa, Peranakan Tionghoa. Peranakan Tionghoa itu dieksploitasi oleh golongan yang terbesar dari rakyat Indonesia ini, tidak! Tidak! Engkau adalah bangsa Indonesia, engkau adalah bangsa Indonesia, kita semuanya adalah bangsa Indonesia.”
Pemimpin bangsa sudah menegaskan kesetaraan etnis di Indonesia. Menurut Bung Karno, dalam konfigurasi hidup berbangsa dan bernegara, maka etnis-etnis di Indonesia ibarat kaki, anggota tubuh utuh dari sebuah badan bernama Indonesia. Apabila dicermati, sejak zaman kolonial hingga era Reformasi, eksploitasi etnis Tionghoa selalu saja terjadi. Angkat misalnya kerusuhan sosial seputar Gerakan 30S/PKI. Lagi-lagi peristiwa itu victim-isasi warga Tionghoa. Diteruskan gerakan anti-Tionghoa yang berkobar di Makassar pada 10 November 1965.
Aksi serupa terjadi pada 10 Desember 1966 di Medan. Warga Tionghoa dikejar-kejar dan dibantai atas tuduhan bekerja sama dengan pihak komunis. Setahun usai aksi bernuansa etnis di Medan, peristiwa rasial kembali mengguncang bumi khatulistiwa, Kalimantan Barat. Pada kerusuhan yang terjadi bulan November 1967 di Kalbar, ratusan warga Tionghoa meninggal dunia. Puluhan lainnya terpaksa mengungsi ke pesisir-pesisir, meninggalkan harta benda dan semua milik mereka.
Namun, dapatkah menggeneralisasi etnis Tionghoa di Indonesia sebagai hanya memiliki satu kaki? Artinya, pukul rata, semua warga asal berkulit kuning bersih, bermata sipit ini sama saja? Ternyata, tidak! Tahun 1931, misalnya. Penulis dan cendikiawan etnis Tionghoa terkenal, Kwee Tek Hoay mengamati dan mencatat meski satu asal muasal, para hoa kiauw itu sesungguhnya terdistingsi dalam lima golongan.
Pertama, peranakan Tionghoa kaya raya dan kelas menengah. Golongan ini ingin terus tinggal di Indonesia. Mereka juga ingin mengupayakan pendidikan tinggi bagi diri dan generasi berikutnya.
Kedua, golongan miskin yang juga tetap ingin tinggal di Nusantara. Bedanya, golongan kedua ini sudah merasa puas jika putra dan putri mereka dapat membaca dan menulis bahasa Melayu dan huruf Latin.
Ketiga, golongan yang menganut paham nasionalisme Tiongkok. Mereka ingin mengirim putra dan putrinya ke Tiongkok untuk membangun negeri tirai bambu. Kaum ini yakin, pengajaran dan pendidikan bahasa Tionghoa wajib, meski putra dan putri mereka tidak ke Tiongkok.
Keempat, golongan totok yang beraliran utilitarian. Kaum ini mengharapkan identitas Tionghoa, namun tidak yakin bahwa bahasa Tionghoa cukup membekali putra dan putri mereka hidup layak dan leluasa di Nusantara.
Kelima, etnis Tionghoa totok. Golongan ini terutama dari marga Keh (Hakka) dan Konghu (Cantonese) yang ingin kembali ke negeri leluhur.
Lima golongan Tionghoa ini dalam kehidupan sehari-hari berbeda ditilik modus vivendi dan way of life. Demikian pun dalam hal pendidikan. Namun, orang luar kerap menyamaratakan begitu saja. Mengapa etnis Tionghoa kompak saat terjadi krisis? Filosofi keong adalah jawabannya.
Sama seperti berdirinya paguyuban etis Tionghoa di masa lalu, PSMTI lahir dari latar yang sama. Dalam situs resminya, sejarah berdiri Paguyuban Sosial Marga Tionghoa sangat gamblang dipaparkan. “ …didirikan pada tanggal 28 September 1998, dilatarbelakangi terjadinya penjarahan dan kerusuhan Mei 1998 di Jakata dan di tempat lain yang ditujukan terutama pada suku Tionghoa Indonesia.”
Para tokoh masyarakat menyadari ada akar masalah yang perlu didialogkan dan diselesaikan serta diusahakan bisa diselesaikan satu kali untuk selamanya. Susanto adalah tokoh yang sejak dini menyadari hal itu.
Itu sebabnya, dirasa perlu wadah yang kompeten untuk menampung dan menyalurkan aspirasi serta didialogkan dengan Pemerintah, Dewan Perwakilan dan golongan masyarakat untuk menemukan akar masalah dan untuk diselesaikan dengan sebaik–baiknya dan sebijak-bijaknya. Maka melalui 14 orang pendiri, dideklarasikan Organisasi Sosial etnis Tionghoa ini dalam wadah PSMTI.
Upacara deklarasi dihadiri lebih dari 1. 000 orang bertempat di Gedung Sigala–gala, Sunter Jakarta Utara. Disahkan pula Logo, AD ART dan kepengurusan sementara periode 1998 – 2000. Deklarasi ditandai dengan penandatanganan Piagam Pendirian oleh 88 marga seluruh Marga Tionghoa yang ada di Indonesia.
Untuk kepentingan kegiatan operasional di seluruh Indonesia, PSMTI mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar dari Dirjen Sospol Depdagri No. 132 Tahun 1998 tanggal 18 September 1998 dan dibuatkan Akta Notaris Raden Johanes Sarwono. SH No. 55 tanggal 28 Agustus 1998.
Pada periode kepengurusan 1998-2000, ketua PSMTI adalah Brigjen TNI (Purn.) Tedy Jusuf dan wakilnya Drs. Eddie Lembong. Sama seperti Baperki, kemudian ada pengurus yang keluar karena beda pada satu dan lain hal. Pada bulan April 1999, wakil ketua umum Drs. Eddie Lembong dan beberapa pengurus menyatakan keluar dari kepengurusan PSMTI.
Seiring berjalannya waktu, dan dengan tetap memerhatikan perkembangan situasi nasional, Eddie Lembong dan kawan-kawan kemudian mendirikan paguyuban sendiri. Lahirlah nanti paguyuban Indonesia-Tionghoa (disingkat Inti). Ditilik dari visi dan misinya, Inti tidak jauh beda dengan PSMTI.
Mukadimah INTI
Bahwa dilahirkan sebagai suatu etnis bukan merupakan suatu pilihan, melainkan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.
Sejarah mencatat, warga Tionghoa telah berada di Nusantara sejak berabad-abad yang lalu dan ikut serta memperkaya khazanah bumi pertiwi dalam berbagai aspek kehidupan, di antaranya (meliputi) bidang agama, sosial budaya, politik, ekonomi dan perdagangan.
Bahwa lahirnya Republik Indonesia merupakan hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia termasuk warga Tionghoa, oleh karena itu warga Tionghoa adalah bagian integral bangsa Indonesia.
Penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara seharusnya dijalankan dan didasari oleh jiwa dan roh mukadimah UUD 1945, sehingga penyelesaian setiap permasalahan bangsa didasari oleh semangat kebangsaan.
Warga Tionghoa bertekad ikut serta dalam pembangunan bangsa yang lebih bersatu, demokratis, adil dan makmur, guna menghantarkan bangsa Indonesia menuju masyarakat dunia yang lebih bermartabat, damai dan sejahtera.
Untuk mewujudkan cita-cita luhur tersebut, dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kami mendirikan Perhimpunan Indonesia Tionghoa.
Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) merupakan organisasi massa yang bersifat kebangsaan. Ini sesuai dengan semangat Mukadimah UUD 1945, bebas, egaliter, pluralis, inklusif, demokratis, tidak bernaung dan mengikatkan diri kepada salah satu partai politik. Bahkan, keanggotaannya terbuka bagi semua Warga Negara Indonesia yang setuju pada AD/ART INTI.
Yang perlu digarisbawahi, latar belakang berdirinya Inti. Gamblang latar historis dilukiskan bahwa “masalah Tionghoa” di Indonesia merupakan warisan sejarah kolonial yang telah membebani perjalanan sejarah bangsa Indonesia selama ini, 18 WNI yang peduli terhadap hal ini menandatangani Akta Pendirian di Notaris James Herman Rahardjo pada 05 Februari 1999 di Jakarta, serta mendeklarasikan Perhimpunan INTI pada 10 April 1999 yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Kelahiran Perhimpunan INTI.
Tercatat sebagai salah satu pendiri Inti adalah Eddie Lembong yang semula merupakan Wakil Ketua PSMTI. “Putri saya (Patricia Susanto- pen.) aktivis di Inti,” ujar Susanto. Ia melihat, paguyuban etnis Tionghoa lebih dari satu tidak apa-apa. Bahkan, bagus, “karena mencerminkan hidup demokratis dan kebebasan berserikat sebagaimana dijamin dalam UUD ’45.”
Lepas perkara berpisahnya Eddie dkk. dari PSMTI, dan kemudian mendirikan Inti, satu hal penting dicatat dari kiprah paguyuban etnis Tionghoa yang lahir pada masa Reformasi ini. Bertempat di Hotel Omni Batavia, Jakarta, pada tahun 1999 ditelurkan kesepatakan bersama. Dihadiri utusan dari 38 daerah di seluruh tumpah darah Indonesia, etnis Tionghoa Indonesia menyepakati dan mengusulkan dua hal penting. Pertama, menyepakati istilah “Cina” menjadi “Tionghoa”. Dan kedua, mengusulkan perubahan “orang Indonesia asli” pada Pasal 6 UUD ‘45.
Keputusan penting ditelurkan lagi pada Rapat Kerja Nasional III tahun 2002 di Jakarta. Dihadiri utusan dari 117 daerah di Indonesia, disepakati menuntut hak kesetaraan sebagai warga negara bagi etnis Tionghoa di Indonesia. Selain itu, menuntut pula penghapusan peraturan diskriminatif yang ditujukan bagi etnis Tionghoa, termasuk dihapuskannya Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).
Tahun 2003, diadakan Musyawarah Nasional di Denpasar, Bali. Dihadiri utusan dari 257 kota seluruh Indonesia, Munas kali ini menyepakati agar selekas-lekasnya dihapuskan segala bentuk dan rupa peraturan diskriminatif. Selain itu, menyukseskan pembangunan Taman Budaya Tionghoa Indonesia Taman Mini Indonesia Indah. Pada kepengurusan periode 2000-2003, Susanto tercatat sebagai Dewan Penasihat PSMTI.
Usai peristiwa kerusuhan 14-18 Mei 1998, banyak warga Tionghoa mengalami trauma. Entah skenario apa. Hingga kini, kabut masih menyelimuti misteri seputar tragedi yang nyaris mengenyahkan etnis minoritas negeri ini: Tionghoa. Bahkan, pihak keamanan negara yang seharusnya menjaga rust en orde (ketertiban dan keamanan), tidak sedang berada di ibu kota mengawal negara. Tak heran, dalam memoarnya soal kerusuhan Mei ini, Letjen Sintong Panjaitan bertanya sinis, “Di Mana Para Jenderal?”
Barangkali tidak relevan menanyakan keberadaan para jenderal waktu kerusuhan terjadi. Sebagai sebuah instiusi yang dikenal rapi, TNI dan Polri pasti punya standing procedure yang jelas secara komando. Yang jauh lebih penting ialah bagaimana menjaga keamanan warga dan melindungi hak-hak mereka. Terutama warga tak berdosa dan tidak tahu menahu, seperti dialami etnis Tionghoa di Indonesia.
Tragedi Mei 1998 memang sudah lebih satu dasawarsa berlalu. Namun, teka teki mengapa peristiwa itu mengorbankan begitu banyak warga tak bersalah di negeri ini belum juga bersua jawaban.
Saksi bisu peristiwa naas itu, masih ada hingga kini. Pergilah ke wilayah Jakarta Barat dan sekitarnya. Juga di beberapa tempat di kota Tangerang dan Cengkareng. Apalagi, di sekitar Jalan Gajahmada dan Jalan Hayamwuruk, Jakarta Pusat. Entah sengaja, entah karena pemiliknya trauma dan sampai hari ini masih di luar negeri, beberapa ruko dan bangunan rusak dan hangus ketika Tragedi Mei 1998 dibiarkan begitu saja. Pasti ada cerita duka di balik itu semua. Dan kisah duka itu bagai luka menganga, ketika kembali disentuh.
Terlahir sebagai Lim Kong Hok, Susanto mengaku tidak merasa sebagai seorang Tionghoa yang eksklusif. Sekolah dasar hingga sekolah menengah yang dijalaninya di Yogyakarta misalnya, bercampur baur dengan anak-anak pribumi. Pergaulan sehari-hari sama dengan golongan pri. Bahasa yang digunakan, selain bahasa Indonesia, adalah bahasa Jawa.
Dengan demikian, sama sekali jauh dari pikiran menganggap etnis Tionghoa elit dan tidak membaur. Minoriotas memang fakta, terutama jika dilihat rasionya dengan suku bangsa lain. Meski ditilik dari sisi angka populasi kecil, peran etnis Tionghoa pada sektor perdagangan dan jasa di Indonesia sangatlah dominan. Fakta ini dapat dilihat dari kenyataan, betapa di wilayah tertentu seperti Kalimantan Barat, Bangka Beliting, Batam, dan Palembang dominasi etnis Tionghoa sangat terasa.
Namun, berapakah populasi Tionghoa di Indonesia? Berdasarkan volkstelling (sensus penduduk) pada masa Hindia Belanda, populasi Tionghoa di Nusantara mencapai 1.233.000 (2,03%) dari penduduk Indonesia pada tahun 1930. Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun, riset yang dilakukan ahli antropologi Amerika, G.W. Skinner memperkirakan, pada tahun 1961 populasi etnis Tionghoa di Indonesia mencapai 2.505.000 (2,5%).
Pada sensus penduduk tahun 2000, ketika untuk pertama kali responden sensus ditanyai mengenai asal etnis mereka, hanya 1% dari jumlah keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa. Angka yang dipercaya mengenai jumlah etnis Tionghoa-Indonesia saat ini ialah berada pada kisaran angka 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia.
Itu berarti, di antara negara-negara Asia Tenggara, Indonesia menduduki peringkat pertama populasi etnis Tionghoa di luar RRC. Namun, dari segi persentase di bawah Thailand (lihat tabel).
Ethnic Chinese in South East Asia
Thailand 8.3 million (14%)
Malaysia 6.6 million (32%)
Singapore 2.7 million (76%)
Vietnam 2.3 million (3%)
Philippines 1.1 million (1.5%)
Australia 200,000 (1%)
Sumber: Teresita Ang See, 2000.
Bersama Mgr. Pietro Sambi, Susanto pernah meneliti dan mengkaji soal minoritas. Tahun 1991, Pietro Sambi diangkat oleh Paus Yohanes Paulus II menjadi Duta Besar Vatikan untuk Indonesia hingga 1998. Selanjutnya, beliau dipindahtugaskan ke Israel dan Cyprus untuk tugas dan jabatan yang sama. Pada 17 Desember 2005, Paus Benedictus XVI mengangkat Mgr. Pietro Sambi sebagai Dubes Vatikan untuk Amerika Serikat.
Berbagai literatur mereka pelajari. Ditengarai teori-teori seputar minoritas di berbagai wilayah di dunia. Dilakukan studi banding kasus-kasus minoritas yang tejadi di dunia, seperti Sri Lanka, Bangladesh, Brasil, dan sebagainya. Kajian kecil itu, akhirnya sampai pada simpulan yang mencengangkan. Apa simpulan itu? Susanto menyibak rahasianya.
“Peradaban dan keberadaan kaum minoritas akan punah. Kecuali jika ada, bahkan cukup banyak, di antaranya yang berkualitas. Bukan hanya itu. Selain berkualitas, kaum minoritas juga sudi bekerja untuk kepentingan umum. Jika tidak, lambat laun mereka secara alamiah akan hilang dari peredaran dan tidak direken keberadaannya sebagai warga. Hak-hak mereka ditiadakan.”
Susanto yang menyadari dan yakin dengan simpulan itu, coba keluar dari diri sendiri. Ia melakukan sesuatu bukan atas nama etnis, namun atas dasar kemanusiaan. Yang dilakukannya demi kepentingan umum. Hal yang melintas etnis, agama, dan golongan. Ukurannya bukan lagi sempit, tapi luas.
Menghapus Stigma dan Mencegah Victim-isasi
Apakah dengan membentuk Paguyuban Warga Tionghoa berarti eksklusif? Susanto menjawab jujur dan blak-blakan.
“Sama sekali tidak. Wajar saja, jika dalam kondisi tersedak, orang bersatu padu. Ini naluriah dan sangat alamiah. Pertahanan diri akan muncul, kreativitas akan timbul, dan sense of adaptiveness otomatis keluar dalam keterdesakan. Dalam hal ini, saya punya teori yang saya sebut ‘Teori Keong’. Perhatikan bagaimana cara siput besar mempertahankan diri. Jika menghadapi ancaman, keong akan masuk ke dalam rumahnya. Manusia juga demikian. Jika suatu kaum minoritas terancam bahaya, mereka juga berbuat secara naluriah seperti keong: kembali ke rumah,” papar Susanto.
Rumah yang dimaksudkan, tentu saja, asal usul suku bangsa itu sendiri. Dalam kondisi ketidakmenentuan manakala terancam, tidak ada yang bisa dipercaya, selain keluarga-bangsa sendiri. Tidak mungkin mengharapkan perlindungan dari pihak luar lebih dulu. Maka, tiarap dan masuk rumah adalah langkah penyelamatan pertama yang penting dilakukan. Sembari coba menghimpun kekuatan dari dalam, lalu menjulurkan kepala melihat ke luar memantau situasi jika sudah aman.
Ketika, dan Pasca Tragedi Mei 1998, suasana memang tidak menentu. Masalah pri dan nonpri lagi-lagi dipolitisasi sedemikian rupa. Diembuskan bagai bara api yang siap membakar emosi massa. Tak mengherankan, di Jakarta dan sekitarnya, kaum Tionghoa dan segala harta milik mereka jadi sasaran utama. Toko, bangunan, rumah warga Tionghoa jadi sasaran amuk massa. Kita menyaksikan, tulisan “Milik Pribumi” marak ditempel di pintu-pintu gerbang rumah dan toko penduduk. Ini bukti tak terbantahkan bahwa kaum Tionghoa memang jadi sasaran amukan massa pada waktu itu.
Berapa jumlah korban Tragedi Mei 1998 yang modusnya masih sama dengan membakar amuk massa dengan mengembuskan isu etnis Tionghoa seperti sebelumnya? Tidak ada angka pasti. Yang jelas, Tim Pencari Fakta, tim relawan Romo Sandyawan dkk. dan juga Ester Indahyani Jusuf dari LSM Solidaritas Nusa Bangsa (Tempo 01/XXVII 06 Oktober 1998) mencatat, jumlah korban 168 orang, 20 di antaranya tewas. Bahkan, korban yang dirawat terbukti mengalami kekerasan seksual.
Data dam angka kerusuhan sosial yang berujung pada victim-isasi etnis Tionghoa 1740-1998
No. Tahun Tempat Korban dan kerugian
1. 1740 Angke - 10.000 korban jiwa
2. 1912 Solo - n.a.
3. 1918 Kudus - n.a.
4. 1946 Kampoeng Djoearingan, Tangerang - 600 lelaki Tionghoa di penjara Mauk
- Puluhan dilaporkan hilang
- Rumah dan harta dijarah
- Kekerasan seksual
5. 1959 Jakarta, keluarnya PP No.10/59 - 50.000 warga Tionghoa di Indonesia eksodus ke luar negeri
6. 1972 Jakarta Peristiwa Malari yang berujung anti Tionghoa
7. 1981 Solo - n.a.
8. 1998 Jakarta - 168 orang, 20 tewas,
- Kekerasan seksual
Etnis Tionghoa ke Depan
Lihatlah, betapa semakin dekat jarak kejadian tragedi yang mengorbankan etnis Tionghoa ditilik dari urutan kronologi sejak abad 19. Hampir tiap satu dasawarsa kerusuhan sosial berujung pada victim-isasi etnis Tionghoa. Mencermati kecenderungan itu, wajar jika banyak warga Tionghoa menaruh perhatian jangan sampai kejadian serupa berulang.
Sebagaimana dikatakan Soekarno, masalah orang Asia hendaknya diselesaikan Asia (Asians problems solve by Asian). Demikian juga masalah etnis Tionghoa di Indonesia, hendaknya dipecahkan etnis Tionghoa itu sendiri.
Maka, lahirnya paguyuban seperti seperti PSMTI dan Inti di mata Susanto,
“Suatu hal yang wajar. Sama saja seperti orang Minang membentuk paguyuban Minang di Jakarta. Atau orang Betawi membentuk Forum Betawi Rempug (FBR). Dan sejumlah paguyuban etnis lainnya. Jadi, apanya yang eksklusif dan luar biasa dari paguyuban etnis Tionghoa? Tidak ada! Jangan terlalu dihubung-hubungkan dengan hal-hal yang menyudutkan mereka. Filosofi keong adalah metafora yang mudah menjelaskan keberadaan itu.”
Tragedi dan victim-isasi etnis Tionghoa adalah tragedi kemanusiaan. Jika Susanto ditokohkan dalam paguyuban dan larut di dalamnya, itu pertama-tama didorong panggilannya sebagai manusia. Dalam perjalanan, paguyuban Tionghoa era Reformasi terbelah dua jadi PSMTI dan Inti. Namun, Susanto bisa masuk dan berterima di dua paguyuban sekaligus. Nyaris tiap gerak langkah dan kegiatannya dipublikasikan di situs Inti. Sementara di PSMTI, ia tetap dimintai pendapat dan nasihat demi kemaslahatan masyarakat.
SBKRI, dan sejumlah kasus patriot bangsa etnis Tionghoa yang malang melintang mengharumkan nama bangsa Indonesia, namun diperlakukan diskriminatif di masa lalu, merupakan bukti bahwa etnis Tionghoa belum diakui sebagai warga kelas satu. Seiring bergulirnya Reformasi, kran makin terbuka bagi setiap warga Indonesia memasuki bidang penghidupan dan profesi apa saja. Jika dahulu etnis Tionghoa mayoritas hidup dari berdagang dan jasa, maka kini banyak yang terjun ke dunia politik, militer, dan pemerintahan.
Di masa lalu, jangankan menjabat bupati atau wakil gubernur. Menjadi ketua RT saja warga Tionghoa sulit. Catatan biografi tokoh etnis Tionghoa yang dikumpulkan Sam Setya Utama menjadi bukti, lapangan kerja dan profesi apa pun kini dirambah etnis Tionghoa. Di pemerintahan misalnya, etnis Tionghoa menduduki jabatan tinggi. Bupati Bangka Belitung saat ini adalah etnis Tionghoa. Wakil Gubernur Kalimantan Barat periode 2008-2013 adalah etnis Tionghoa, walikota Singkawang etnis Tionghoa.
Bagaimana fenomena naiknya etnis Tionghoa ke panggung perpolitikan dan pemerintahan di mata Susanto? “Wajar saja. Ini hak tiap warganegara. Di masa lalu, ini memang sesuatu yang langka sekali. Tapi sekarang, di era Reformasi, tidak lagi. Jika yang bersangkutan memang cakap dan mampu, ya silakan masyarakat yang menilai. Kan kini masyarakat yang menentukan pemilihan langsung pejabat pemerintahan. Jadi, lebih jujur dan objektif.”
“Saya kerap diundang ke Kalimantan Barat oleh Pemda setempat. Mereka lebih open.
Menyikapi perubahan dan meresponsnya dengan tanggap. Kami sampai pada kesimpulan, pemerintahan pun seyogiyanya dikelola secara profesional layaknya perusahaan. Pemerintah bertanggung jawab pada stakeholder, yakni rakyatnya sendiri,” ujar Susanto.
Justru kerja sama saling pengertian dapat dibangun dengan pejabat daerah yang juga memahami latar budaya. Seperti terjadi Kalbar, di mana wakil gubernurnya etnis Tionghoa. Didampingi wakil gubernur, Badan Penanaman Modal Daerah (BPMD) Kalbar pernah mempresentasikan investasi di Kalbar kepada rombongan Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI), di Balai Petitih Kantor Gubernur. INTI berjanji memboyong investor Cina ke Kalbar. Teddy Sugiarto, Ketua Rombongan Pengurus INTI mengatakan, pihaknya tertarik dengan pemaparan tersebut dan materinya akan disampaikan kepada Gubernur Guanzhou. Pemerintah Santung juga tertarik, mereka benar-benar mau, asalkan Pemprov Kalbar membuat proposal, kata Teddy. Dalam pemaparan yang disampaikan Kepala BPMD Kalbar, Drs. M. Zeet Hamdy Assovie MTM juga dihadiri Wakil Gubernur Kalbar, Drs. Christiandy Sanjaya S.E., MM.
Kini, setelah satu dasawarsa era reformasi, semua aturan yang membatasi ruang gerak etnis Tionghoa memang akhirnya dihapus. Lahirnya UU No 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan menjamin persamaan hak dan kewajiban seluruh warganegara Indonesia. Meski demikian, dalam tataran praksis, masih ditemukan fenomena diskriminasi yang dialami etnis Tionghoa, terutama dalam masalah pelayanan publik semisal paspor, KTP dan atau dalam hubungan sosial masyarakat. Tapi skala dan intensitasnya sudah tidak seperti dulu lagi.
Memang, diskriminasi seharusnya sudah pupus di bumi pertiwi. Apalagi jika mengingat bahwa dalam sejarah kemerdekaan Indonesia hingga saat ini, etnis Tionghoa banyak memberikan kontribusi. Tidak hanya keringat tapi juga darah. Pada Agustus 1945 misalnya. Tokoh dari etnis Tionghoa seperti Djiaw Kie Siong memperkenankan rumahnya digunakan untuk mempercepat persiapan kemerdekaan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Sementara dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merumuskan UUD'45, terdapat lima orang Tionghoa, yaitu Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw dan Drs. Yap Tjwan Bing.
Selanjutnya, pada masa pasca kemerdekaan hingga saat ini, etnis Tionghoa bersama-sama kelompok lain juga memberikan kontribusi terhadap pembangunan nasional. Para pengusaha Tionghoa telah mendirikan industri padat karya yang bisa menyerap banyak tenaga kerja serta membayar pajak yang termasuk terbesar di Indonesia. Beberapa nama turut memberi kontribusi bagi NKRI, antara lain Tan Joe Hok dalam olahraga bulutangkis, Teguh Karya, Fifi Young, dan Tan Tjeng Bok dalam dunia teater dan perfilman ndonesia; dr. Oen Boen Bing di bidang kedokteran; Martha Tilaar sukses pada industri komestik Indonesia; atau Prof. Yohanes Surya yang menjadi arsitek tim Olimpiade Matematika Indonesia merebut medali-medali emas di ajang regional dan Internasional.
Sumbangsih etnis Tionghoa yang cinta dan membela tanah air, akhirnya mendorong diusulkannya beberapa tokoh Tionghoa menjadi pahlawan nasional. Menurut sejarawan dan cendikiawan sejarawan Asvi Warman Adam, tokoh Tionghoa pantas diusulkan mendapat gelar pahlawan nasional itu adalah Sie Kong Yon, Mi Hue Kong, dan John Lee. Sie Kong Yong adalah orang Tionghoa yang meminjamkan gedung untuk pelaksanaan Sumpah Pemuda. Mie Hu Kong adalah Kapten Batavia yang melakukan penawanan terhadap pemerintahan VOC pada 1740. Dari ketiga nama itu, kata Asvi, yang paling representatif untuk mendapat gelar pahlawan adalah John Lee. Pasalnya John Lee dinilai betul-betul berjuang pada tahun 1947, saat itu Indonesia sedang mempertahankan kemerdekaannya dari kembalinya penjajah Belanda. Pada masa itu, Indonesia mengalami kesulitan modal.
Bila melihat peran dan kontribusi etnis Tionghoa di atas, diskriminasi yang mereka alami merupakan bentuk ketidakadailan. Tapi persoalannya, mengapa masih ada angapan bahwa Tionghoa adalah orang asing?
Itulah persoalannya. Diskriminasi tersebut disebabkan oleh banyak faktor. Selain faktor politik dan ekonomi juga karena faktor agama. Biasanya, hubungan keduanya renggang karena kepentingan-kepentingan politik.
Namun, blessing in disguise, tragedi Mei 1998 membangkitkan kesadaran etnis Tionghoa bahwa selama ini mereka secara politis mereka tidak berdaya sama sekali. Terbukti setelah jatuhnya rezim Orde Baru, berbagai kelompok peranakan Tionghoa segera membentuk partai politik, paguyuban, perhimpunan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan sebagainya, antara lain Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (PARTI), Partai Bhineka Tunggal Ika (PBI), Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI), Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI), Solidaritas Nusa Bangsa (“SNB”), Gerakan Anti Diskriminasi (GANDI), Solidaritas Pemuda Pemudi Indonesia Untuk Keadilan (SIMPATIK) dan sebagainya.
Dalam perjalanannya, karena banyak menghadapi kendala, semangat yang pada mulanya mengebu-gebu perlahan-lahan mulai menyurut. Sebagaimana yang terjadi pada partai-partai politik dan organisasi nasional lainnya, perpecahan telah menjadi mode yang menimpa partai-partai politik dan organisasi-organisasi di kalangan etnis Tionghoa. Hingga hari ini, tiga dari sekian banyak organisasi dan partai politik bentukan etnis Tionghoa yang masih bertahan hingga saat ini adalah INTI, PSMTI dan PARTI.
Seperti dilihat oleh AB Ghifari, Susanto adalah “Tokoh Tionghoa yang berdiri di atas semua paguyuban. Hubungan antarsesama dibinanya berkelanjutan tanpa memerhatikan perbedaan-perbedaan yang ada. Ia selalu mengedepankan hubungan kesetaraan antarmanusia, antargolongan, dan antarbangsa.”
Susanto ternyata ada di mana-mana. Tapi tidak akan ke mana-mana. Sebab ia lahir dari perut bumi pertiwi Indonesia.
Daftar Pustaka
Ang See, Teresita. 2000. Intercultural Relations, Cultural Transformation, and Identity: the ethnic Chinese : selected papers presented at the 1998 ISSCO conference International Society for the Study of Chinese Overseas, Kaisa Para sa Kaunlarande.
Graaf, H.J. dkk. 1998. Cina Muslim di Jawa Abad CV dan XVI antara Historisitas dan Mitos. Yogya: Tiara Wacana Yogya.
Satya Dharma, Eddie Kusuma, S. 1998. Etnis Tionghoa dalam politik Indonesia: sebelum dan sesudah reformasi. Suara Kebangsan [i.e. Kebangsaan] Tionghoa Indonesia (SAKTI) dan Asosiasi Wartawan Muslim (AWAM) Indonesia, 2006.
Sidharta, Myra (Penyunting). 1989. 100 Tahun Kwee Tek Hoay. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Sinar Harapan, “Tokoh Tionghoa Diusulkan Jadi Pahlawan”13/11/07.
Suryadinata, Leo. 2004. Chinese Indonesians: State Policy, Monoculture and Multiculturalism. Eastern Universities Press
Sukarno, “Perjuangan Hilangkan Perasaan Tidak Enak Mayoritas-Minoritas” amanat Pembukaan Kongres Nasional ke-8 Baperki di Istana Olahraga Gelora Bung Karno, Jakarta, tanggal 14 Maret 1963. Amanat dibukukan oleh Panitia Peringatan 100 Tahun Bung arno, Bung Karno : Gerakan Massa dan Mahasiswa. 2001. Jakarta: PT Grasindo.
Taher, Tarmizi dr. H. 1998. Masyarakat Cina: Ketahanan Nasional dan Integrasi Bangsa di Indonesia. Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM).
Wijayakusuma, Hembing. 2005. Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Internet
majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1998/10/06/INT/mbm.19981006.INT95675.id.
http://wapedia.mobi/id/Tan_Joe_Hok
http://smpbruder.blog.friendster.com/
Modern Fantasy
Meski jauh hari sebelumnya sudah dikondisikan oleh karya John Ruskin, The King of the Golden River (1841), orang lebih mengenal bahwa tonggak sejarah sastra fantasi modern diawali George MacDonald, penulis Skotlandia lewat novel The Princess and the Goblin dan Phantastes (1858) yang secara luas dianggap sebagai novel fantasi pertama yang pernah ditulis untuk orang dewasa.
Para penulis fantasi besar lain di era ini adalah William Morris, penyair Inggris kenamaan yang juga menulis beberapa novel di pengujung abad ini.
Apa yang dimaksudkan dengan modern fantasy (fantasi modern)? Apa perbedaan antara cerita pendek dan ragam tulisan ini? Ditilik dari teknik penulisan, panjang-pendek, serta kaidah-kaidah; sama saja. Perbedaannya terletak pada setting waktu, suasana, serta tokoh yang menuansakan dunia yang lebih modern.
Modern fantasy dalam http://www.clt.astate.edu/sparks/Modern%20Fantasy.htm didefinisikan sebagai
“Modern Fantasy refers to literature, written by an identifiable author, set in imaginative worlds and make-believe. These stories contain places, people and creatures that could not exist or events that could not happen such as animals talking. Science Fiction is considered Modern Fantasy since it is impossible at this time but could happen in the future.”
Sementara Latrobe, Brodie, dan White (2002: 70-71) mendefinisikan modern fantasy sebagai berikut,
“A fictitious work in which the characters, actions, and/or setting are deliberately freed from reality. There are two types of fantasy: high fantasy (which occurs in another world where physical and human laws do not exist) and low fantasy (which, though set in the real world, presents events which are magical).”
Jadi, fantasi modern mengacu pada sastra, ditulis oleh penulis yang jelas, meski merupakan karya imaginatif, namun ditulis sedemikian rupa sehingga membuat pembaca percaya.
Kisah-kisah di dalamnya menyertakan tempat-tempat kejadian, kisahan mengenai orang atau makhluk yang tidak biasa ada atau peristiwa yang tidak biasa terjadi seperti binatang dapat berbicara. Science fiction dianggap sebagai fantasi modern karena tidak terjadi saat ini, namun terjadi di masa yang akan datang.
Dengan demikian, jelaslah faktor pembeda atau differensiasi jenis cerita ini, yakni bahwa terdapat unsur modernitas di dalamnya. Yang modern adalah pelakunya, ceritanya, dan settingnya pada saat ini. Tidak mengisahkan tentang masa lampau.
Sebagaimana dicatat Norton (Norton, Donna E. and Saundra E. Norton. Through the Eyes of a Child: An Introduction to Children’s Literature. 6th ed. Upper Saddle River, NJ: Merrill Prentice Hall, 2003: 284:300.) contoh fantasi modern sebagai berikut.
1. Tentang binatang
a. Beatrix Potter – Peter Rabbit
b. Michael Bond – Paddington Bear
c. Rudyard Kipling – Jungle Book and Just So Stories
d. Kenneth Grahame – Wind in the Willows
e. Robert Lawson – Rabbit Hill
f. George Selden – Cricket in Times Square
g. E.B. White – Charlotte’s Web
2. Permainan
a. Rumer Godden – Doll’s House
b. Margery Williams – Velveteen Rabbit
c. A.A. Milne – Winnie the Pooh
d. Carlo Collodi – Pinocchio
3. Karakter yang lihai dan menakjubkan
a. Luar biasa, sutuasi konyol, dan silat lidah
b. Carl Sandburg – Rootabaga Stories
c. Astrid Lindgrin – Pippi Longstocking
d. Roald Dahl – James and the Giant Peach
e. Pamela Travers – Mary Poppins
4. Dunia yang aneh
a. Lewis Carroll – Alice in Wonderland
b. James Barrie – Peter Pan
5. Wong cilik
a. H.C. Andersen – Thumbelina
b. J.R.R. Tolkien – The Hobbit dan trilogi The Lord of the Rings
c. Carol Kendall — Gammage Cub
d. Mary Norton – The Borrowers
6. Semangat setia kawan dan sesuatu yang menakutkan
a. Cerita hantu atau makhluk gaib
b. Lucy Boston – Children of Green Knowe
7. Time Warps
8. Science Fiction
a. Hipotesis ilmiah dan imaginasi tentang kemajuan teknologi
b. Mary Shelley – Frankenstein
c. Jules Verne – Twenty Thousand Leagues Under the Sea
d. John Christopher – White Mountain
e. Madeleine L’Engle – Wrinkle in Time
f. Anne Macaffrey – serial Dragons of Pern
Para penulis fantasi besar lain di era ini adalah William Morris, penyair Inggris kenamaan yang juga menulis beberapa novel di pengujung abad ini.
Apa yang dimaksudkan dengan modern fantasy (fantasi modern)? Apa perbedaan antara cerita pendek dan ragam tulisan ini? Ditilik dari teknik penulisan, panjang-pendek, serta kaidah-kaidah; sama saja. Perbedaannya terletak pada setting waktu, suasana, serta tokoh yang menuansakan dunia yang lebih modern.
Modern fantasy dalam http://www.clt.astate.edu/sparks/Modern%20Fantasy.htm didefinisikan sebagai
“Modern Fantasy refers to literature, written by an identifiable author, set in imaginative worlds and make-believe. These stories contain places, people and creatures that could not exist or events that could not happen such as animals talking. Science Fiction is considered Modern Fantasy since it is impossible at this time but could happen in the future.”
Sementara Latrobe, Brodie, dan White (2002: 70-71) mendefinisikan modern fantasy sebagai berikut,
“A fictitious work in which the characters, actions, and/or setting are deliberately freed from reality. There are two types of fantasy: high fantasy (which occurs in another world where physical and human laws do not exist) and low fantasy (which, though set in the real world, presents events which are magical).”
Jadi, fantasi modern mengacu pada sastra, ditulis oleh penulis yang jelas, meski merupakan karya imaginatif, namun ditulis sedemikian rupa sehingga membuat pembaca percaya.
Kisah-kisah di dalamnya menyertakan tempat-tempat kejadian, kisahan mengenai orang atau makhluk yang tidak biasa ada atau peristiwa yang tidak biasa terjadi seperti binatang dapat berbicara. Science fiction dianggap sebagai fantasi modern karena tidak terjadi saat ini, namun terjadi di masa yang akan datang.
Dengan demikian, jelaslah faktor pembeda atau differensiasi jenis cerita ini, yakni bahwa terdapat unsur modernitas di dalamnya. Yang modern adalah pelakunya, ceritanya, dan settingnya pada saat ini. Tidak mengisahkan tentang masa lampau.
Sebagaimana dicatat Norton (Norton, Donna E. and Saundra E. Norton. Through the Eyes of a Child: An Introduction to Children’s Literature. 6th ed. Upper Saddle River, NJ: Merrill Prentice Hall, 2003: 284:300.) contoh fantasi modern sebagai berikut.
1. Tentang binatang
a. Beatrix Potter – Peter Rabbit
b. Michael Bond – Paddington Bear
c. Rudyard Kipling – Jungle Book and Just So Stories
d. Kenneth Grahame – Wind in the Willows
e. Robert Lawson – Rabbit Hill
f. George Selden – Cricket in Times Square
g. E.B. White – Charlotte’s Web
2. Permainan
a. Rumer Godden – Doll’s House
b. Margery Williams – Velveteen Rabbit
c. A.A. Milne – Winnie the Pooh
d. Carlo Collodi – Pinocchio
3. Karakter yang lihai dan menakjubkan
a. Luar biasa, sutuasi konyol, dan silat lidah
b. Carl Sandburg – Rootabaga Stories
c. Astrid Lindgrin – Pippi Longstocking
d. Roald Dahl – James and the Giant Peach
e. Pamela Travers – Mary Poppins
4. Dunia yang aneh
a. Lewis Carroll – Alice in Wonderland
b. James Barrie – Peter Pan
5. Wong cilik
a. H.C. Andersen – Thumbelina
b. J.R.R. Tolkien – The Hobbit dan trilogi The Lord of the Rings
c. Carol Kendall — Gammage Cub
d. Mary Norton – The Borrowers
6. Semangat setia kawan dan sesuatu yang menakutkan
a. Cerita hantu atau makhluk gaib
b. Lucy Boston – Children of Green Knowe
7. Time Warps
8. Science Fiction
a. Hipotesis ilmiah dan imaginasi tentang kemajuan teknologi
b. Mary Shelley – Frankenstein
c. Jules Verne – Twenty Thousand Leagues Under the Sea
d. John Christopher – White Mountain
e. Madeleine L’Engle – Wrinkle in Time
f. Anne Macaffrey – serial Dragons of Pern
Minggu, 09 Mei 2010
Panduan Menulis dan Memasarkan Novel
24 Maret 2007, terbit buku ini. Saya berdua novelis kondang, Yennie Hardiwidjaja penulisnya. Pengarang novel Miss Jutek ini berkali-kali "duet" ama saya, baik dalam acara bedah buku maupun dalam diskusi tentang proses kreatif.
Yennie, Miss Jutek, tengah memegang buku saya.Saat itu, Juli 2007, waktu bedah buku di Ikapi Book Fair, Senayan, Jakarta.
Yennie, Miss Jutek, tengah memegang buku saya.Saat itu, Juli 2007, waktu bedah buku di Ikapi Book Fair, Senayan, Jakarta.
Minggu, 02 Mei 2010
Biografi sebagai Novel
Pengantar
Biografi sebagai novel? Kenapa tidak! Artikel saya kali lalu menjelaskan menulis profil dengan gaya berkisah. Molly Blair (2006) menyebut itulah literary of fact. Dan salah satu jenis creative non-fiction adalah biografi.
Tak hanya asal berteori, saya menerapkannya.Inilah bab 2 buku saya, biografi A.B. Susanto.
Buku ke-50.
Susanto’s Facet # 2
Larik Puisi dan Keindahan Abadi
Vita brevis, ars longa (Hidup itu singkat, tapi seni abadi selamanya).
Mentari pagi baru saja menyembul di ufuk timur. Rona jingga tergurat pada langit biru lazuardi. Mega-mega putih bergerak perlahan ke selatan. Cuaca cerah. Daun-daun kering luruh ke tanah. Yang tinggal adalah hijau permai, bersih tak berdebu, usai disiram oleh hujan semalam.
Suatu pagi, pengujung April 2009. Di rumahnya, di bilangan Kemang Timur, Jakarta Selatan. Susanto tengah merangkai kata jadi kalimat. Kalimat ditatanya jadi alinea. Alinea berisi ide-ide cemerlang coba disapihnya jadi wacana.
“Kejar tayang. Penerbit sudah mendesak agar cepat jadi. Namun, menulis tidak bisa diburu waktu. Mesti khusuk. Masuk dalam topik. Menghayatinya secara intens. Mendalaminya dengan sumber. Baru memunculkan power keluar,” terang Susanto ihwal proses kreatifnya menulis.
Untuk menulis buku saja Susanto butuh waktu khusus, apalagi merangkai puisi. Menulis tesis dan menulis puisi jelas beda. Yang pertama tertuju pada otak, sedangkan yang kedua pada hati. Tesis berisi argumen dan pembuktian, sementara puisi lebih melukiskan suasana. Bahasa harus singkat, namun bernas. Diperlukan keterampilan tersendiri untuk memilih diksi.
Susanto bersama artis Sandra Dewi di kantornya: keduanya sama-sama duta lepra.
Apa saja dapat menggugah hati Susanto untuk mengangkat pena. Apalagi, ketika suasana hatinya sedang ceria. Seperti pagi hari itu. Ketika bunga-bunga anggrek di kolam renang samping rumahnya yang sedang mekar, segar disapih butir-butir air hujan tadi malam. Sesekali anggrek yang bergantungan pada pohon-pohon cemara yang berjejejar rapi seputar kolam renang bergoyang diterpa semilir angin pagi. Dedaunan mangga menghijau permai, menambah semarak suasana pagi itu.
Ditemani Grace Lasaroeddin, saya masuk halaman rumah asri yang terletak di Kemang Timur VI no. 99 itu. Dua petugas keamanan memberi salam hormat. Seekor anjing tinggi besar berkulit gelap datang menghampiri. Mengibas-ngibas ekor, seakan mempersilakan tamunya untuk masuk.
Seni dan Keabadian
Pecinta seni ini menyadari, sebagai bagian dari seni, puisi bukan sekadar rangkaian kata-kata indah. Tapi juga sarat makna dan, karena itu, itu abadi. Maka Susanto gemar berpusi. Bukankah ini sesuai dengan pepatah yang mengatakan, “Vita brevis, ars longa” (Hidup itu singkat, tapi seni abadi selamanya)
Ketika pepatah ini lahir, seni yang termashyur adalah seni sastra, utamanya puisi (ars poetica). Susanto bersetuju dengan apa yang diucapkan pujangga Romawi, Quintus Horatius Flaccus. Puisi selain indah, juga berguna (duce et utile). Bahkan, ia bisa memaknai diri dalam bentuk puisi. Sembilan larik huruf awal namanya dari atas ke bawah terjalin indah dan sarat makna. Kesemua itu membentuk gagasan utuh, mirip visi dan misi dalam hidup.
Pencapaian visi dan misi pribadi ini, diibaratkannya dengan falsafah olah raga golf. Yang penting bukan seberapa jauh bola jatuh, melainkan pada arah (direction)-nya yang tepat, yang diawali dari sebuah pukulan yang presisi. Susanto sendiri menyebut indah dan berguna sebagai substance and style.
“Saya menerapkan filosofi ini di kantor. Sudut pandang manajamennya jadi beda, melihat orang dari perspektif positif, senantiasa melihat kelebihan, lalu mengarahkan kekuatan itu untuk pencapaian tertentu. Saya menyebutnya talent management. Manusia dilihat strength, kekuatannya. Kaca mata positif ini lantas diarahkan untuk suatu perubahan, change guna meraih highest peak,” terang Susanto.
Susanto di ruang kerjanya, gedung Wisma BNI 46.
Susanto yakin, barangsiapa setia pada perkara kecil, setia juga pada perkara-perkara besar. Maka perubahan tidak harus mulai dari ihwal dengan melakukan perkara-perkara besar. Excellence is not skill. It is an attitude.
Bagi Susanto, puisi ialah denyut nadi dan helaan napasnya. Ragam sastra yang terikat irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait ini, telah jadi satu dengan dirinya. Susanto bukan hanya gemar puisi.
Akan tetapi, dia adalah puisi itu sendiri!
Bagi banyak orang, apalah arti sebuah nama. What's in a name? That which we call a rose. By any other name would smell as sweet. Begitu ungkapan terkenal dari Shakespeare yang ditaruhnya pada mulut Juliet dalam Romeo and Juliet (II, ii, 1-2) .
Namun, tidak demikian bagi Susanto. Nama baginya mematri sejuta makna. Nama memang pemberian orang tua yang harus diterima. Tapi hanya tetap tinggal sebuah nama, hampa makna, jika tidak coba dimaknai. Seorang rekan menggubah sebuah puisi baginya. Tiap larik, diawali huruf yang, jika disusun menurun, membentuk namanya: AB Susanto.
Sejenak menunggu di ruang tamu, mata saya terpanah pada dua buah gading yang terpampang di ruang tamu. Rapi ditata, lagi pula letaknya manis. Susanto tampak sedang sibuk menulis sesuatu di meja ruang kerjanya. Tampak dari samping kamar tamu ia menulis sesuatu, sebab hanya dibatasi kaca transparan.
“Selamat datang di rumah saya. Ya begini ini,” Susanto menukas pembicaraan. Paham saya mengagumi gading yang menghiasi ruang tamunya, ia menjelaskan, “Bukan dari Afrika. Dari Indonesia juga. Gading gajah ini lebih panjang dari punya Mbak Mega,” jelasnya. Kini gading yang tak banyak retaknya itu dipindahkan ke ruang kerjanya di kantor.
Memang ada ungkapan, “Gading gajah yang sudah dikeluarkan bolehkah dimasukkan lagi?” Artinya, suatu keputusan yang sudah ditentukan, tidak akan dicabut lagi. Namun, agaknya pemidahan gading ini bukan seratus persen hendak menafikan pepatah tadi. Hanya demi keindahan. Tapi kalau benar-benar hendak disangkutpautkan dengan karakter Susanto, maka pemidahan tempat memajang gading itu menunjukkan sikap adaptif: mau dan sanggup berubah sesuai dengan tuntutan situasi kondisi. Bukankah ini hakikat change management?
Tentu saja, gading pajangan itu bukan didapat dari memburu sendiri satwa yang dilindungi. Tapi diperoleh dari gajah-gajah tua yang sudah saatnya mati meningalkan gading. “Sebaliknya, Susanto bahkan menganjurkan supaya terjadi keseimbangan ekosistem. Sebab, sumber daya alam yang dikelola tidak bijak, niscaya mendatangkan bencana. Ini ditegaskannya dalam buku Disaster Management di Negeri Rawan Bencana.
Maka rumahnya yang asri ditata bersahabat dengan alam. “Nggak dipelihara, mereka datang sendiri. Di sini burung-burung bebas datang dan pergi sesuka hati,” kata Susanto begitu ketilang berbunyi sahut-sahutan, sembari berloncatan dari dahan ke dahan pohon yang berjejer rapi di halaman belakang, samping kolam renang.
Di teras rumahnya, Susanto menjalani terapi rutin, pemulihan kesehatan, khususnya lower body, dibimbing Wahyu, seorang pakar sport therapy.
Terapi pagi itu sedianya dijalani genap empat tahap. Sketching atau peregangan dan penguatan otot, sepeda, beban, dan ditutup renang. Namun, lantaran hujan semalam, kolam renang agak keruh airnya. Maka, terapi hanya sampai tiga tahap saja.
Baru saja masuk terapi tahap kedua, Glory Rosari Oyong datang menyusul. Ditingkah bunyi jatuhnya air ke pusaran kolam renang dan kicauan burung, Susanto naik, lalu mengayuh sepeda. Kakinya bergerak naik turun. Sesekali instruktur memberi aba-aba, lalu berkomentar. Beberapa menit kemudian, ia menyeka keringat dengan handuk kecil. Olah raga sepeda telah membuatnya mandi keringat.
Susanto seperti biasa. Tampak penuh vitalitas dan senantiasa gembira, menjawab pertanyaan yang dilontar padanya. Paling utama, ialah mengorek hingga rahasia terdalam, apa filosofi di balik namanya? Mengapa namanya dikemas dalam struktur puisi?
“Ceritanya berawal kira-kira sepuluh tahun lalu. Dalam perjalanan bolak balik antara Jakarta-Semarang, Halim Agung menggubah bait-bait puisi buat saya. Kebetulan, saya ditunjuk jadi Dewan Penyantun Yayasan Soegijapranata. Ketika itulah, larik puisi sembilan baris yang membentuk nama saya, digubah.”
Terangkailah huruf jadi kata multimakna membentuk AB Susanto dibaca dari atas ke bawah. Tergurat dalam 9 larik puisi.
A life committed to pursue excellence
Balanced with integrity that transforms
Strive to achieve the very best possible
Utmost effort not sparing to realize
Success will follow every step of your way
A triumph gained through patient
Never fear
To face whatever challenge
Onward climbing to reach the highest peak
(tune to “You Raise Me Up”)
Puisi yang sarat hikmat kebijaksanaan ini terdapat pada halaman 2, atau pembuka, buku Ekspresi Jiwa Sahabat Harimau. Untaian Kata-Kata Mutiara yang diterbitkan Ray Indonesia, 2005.
Bagi Susanto, hidup sungguh indah dan berharga. Maka, ia berjanji melakoni hidup dan memaknainya untuk meraih hasil yang luar biasa (committed to pursue excellence). Masalahnya, apakah hebat luar biasa itu? Bagaimana hebat luar biasa didefinisikan?
Salah satu definisi excellence datang dari pemikiran ahli pikir yang juga pecinta seni puisi, Aristoteles (84 sM – 322 sM). Ketika itu, puisi sangat digemari di Yunani. Setiap orang bercita-cita jadi penyair dan orator. Menurut Aristoteles, excellence bukanlah keterampilan, namun sebuah sikap.
Care more than others think is wise
Risk more than others think is safe
Dream than others think is practical
Expect than others think is possible
Excellence is not skill. It is an attitude.
Luar biasa ialah seni menang melalui latihan dan pembiasaan. Kita tidak berbuat secara langsung karena punya kebijakan atau sesuatu yang luar biasa, namun kita memiliki kemampuan itu, terutama karena kita belajar langsung.
Luar biasa akan jadi liar, tidak punya arah, dan kurang berhasil-guna manakala tidak diseimbangkan dengan integritas. Karena itu, Susanto merasa perlu menyeimbangkannya dengan integritas pribadi yang mentransformasi (balanced with integrity that transforms).
Keduanya lalu diarahkan untuk mencapai hasil sebaik mungkin dan sepenuhnya berupaya untuk diwujudnyatakan (strive to achieve the very best possible dan utmost effort not sparing to realize).
Jika demikian, maka sukses akan menyertai tiap langkah pada jalan yang kita tapaki (success will follow every step of your way). Tidak ada keberhasilan diperoleh tanpa lewat sebuah proses dan proses itu adalah kesabaran (patient). Umumnya, orang silau pada puncak usaha, yakni kesuksesan, lupa pada prosesnya. Padahal, sukses ada prosesnya (a triumph gained through patient). Kesabaran untuk meniti dari bawah, bahkan sabar untuk mulai lagi dari titik nadir jika gagal.
Tentu, dalam proses menuju sukses, selalu ada hambatan dan tantangan. Namun, jangan pernah takut menghadapi tantangan, apa pun juga (never fear to face whatever challenge).
Susanto mengajarkan, potensi selayaknya dimaksimalkan. Yang disebut sukses itu berjenjang. Ia ibarat gunung. Meski tinggi, ada puncak tertingginya. Teruslah mendaki hingga puncak gunung sukses tertinggi (onward climbing to reach the highest peak).
Mobil yang setia mengantar Susanto ke mana pun pergi. Baginya, mobil ini bukan tujuan, namun sekadar alat baginya untuk meraih puncak prestasi dan puncak kehidupan.
Filosofi “o” dari huruf paling akhir nama Susanto ini sepadan dengan teori mengubah tantangan menjadi peluang yang dikemukakan Paul G. Stoltz. Dalam buku Adversity Quotient: Turning Obstacles into Opportunities (1997), pendiri Peak Learning itu menjelaskan terdapat tiga tipe manusia.
Quitters (berhenti), yakni orang yang menampik untuk maju atau mendaki. Cirinya ialah bahwa orang ini do just enough to get by. Little ambition, minimal drive, sub-par quality. Take few risk, rarely activity.
Campers (pekemah), yakni orang yang mudah puas. Cirinya ialah bahwa orang ini show moderate creativity and take some calculated risk, play it safe.
Climbers (pendaki), yakni orang yang tidak pernah puas dgn apa yang sudah diraih dan ingin good, better, best. Ciri orang pendaki ialah show moderate creativity and take some calculated risk, play it safe.
Adakah foto AB yang sedang berada di puncak bukit? Atau adakah foto yang mengilustrasikan beliau sedang menunjuk atau menerangkan puncak kurva prestasi puncak pencapaian?
Sukses berawal dari diri sendiri. Tidak bergantung dan menyalahkan orang lain, apalagi menyalahkan alat. Seperti kata pepatah, “A bad workman always blames his tool”. Tukang yang tidak cakap selalu menghujat alatnya. Kemampuan untuk mengatasi hambatan ini, kini menjadi salah satu kajian/ ilmu psikologi modern. Paul G. Stoltz dalam buku Adversity Quotient: Turning Obstacles into Opportunities (1977) menyebut AQ ini sebagai “The most important factor in achieving Success”.
Sementara itu, Dag Hammarskjold, mantan Sekjen PBB mengatakan, “….Never measure the height of a mountain, until you have reached the top. Then you will see how low it was.”
Ya, jangan pernah buru-buru mengukur ketinggian gunung sebelum Anda dapat meraih puncaknya. Sebab, di puncak, Anda baru menyadari sebenarnya Anda masih berada di bawah.”
Hidup seperti mendaki gunung. Karena itu, sukses adalah sesuatu seperti yang digambarkan Susanto, “Onward climbing to reach the highest peak”. Senada dengan ini, Stoltz menambahkan, “Success can be defined as the degree to which one moves forward and upward, progressing in one’s lifelong mission, despite all obstacles or other forms of adversity (Stoltz, 1997: 5).
Perhatikan dengan saksama kata success dan adversity, yang dalam buku aslinya, dicetak miring. Bukankah gagasan pokok sukses dan kecerdasan mengatasi hambatan sama dengan “Success will follow every step of your way. A triumph gained through patient. Never fear” dalam larik 5,6,7?
Bukan hanya Susanto, tiap orang dapat saja menggubah larik puisi dari namanya. Merajut makna dan membangun dasar filosofis. Lalu metapkan pencapaian dalam garis hidupnya. Itulah visi dan misi.
Sebagaimana layaknya membuat visi dan misi, kata-kata dirangkai indah dan singkat. Inilah hakikat puisi menurut Quintus Horatius Flaccus, salah satu penyair besar dunia yang lahir di Venosa, 8 Desember, 65 sM dan wafat di Roma, 27 November, 8 sM. Namun, khusus puisi-puisi A.B. Susanto, masih perlu ditambahi satu kata lagi: bernas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonsia (2007: 141) bernas berarti: berisi penuh.
Tak syak, puisi-puisi A.B. Susanto selain indah dan berguna, juga bernas. Ini karena tiap puisi lahir dari kandungan kehalusan hatinya, permenungan yang dalam, refleksi atas tiap peristiwa hidup, pancaran budi pekerti, serta ungkapan cintanya pada Tuhan, manusia, alam semesta, dan mengenai apa pun yang ada.
Di dalamnya sarat muatan metafor nilai artistik. Karya sastra yang merupakan jendela dan cermin sekaligus (both a window and a mirror). Jendela, karena puisi-puisinya menyibak bagi pembaca pandangan unik tentang dunia, jalan hidup, dan subkultur. Cermin, karena memberikan pada pembaca hikmah dan pengalaman-pengalaman hidup yang dapat menjadi bahan refleksi pada situasi hidup yang nyata (kondisi kemanusiaan).
Makna Lapis
Menurut Welleck, puisi sebagai sebuah totalitas, dapat dibagi dalam empat lapis:
1) lapis bunyi (sound stratum)
2) lapis arti (units of meaning)
3) lapis dunia atau realitas yang digambarkan penyair
4) lapis dunia atau realitas yang dilihat dari titik pandang tertentu, dan
5) lapis dunia yang bersifat metafisis.
Menarik menganalisis simbol yang digunakan dan bentuk 9 larik puisi di atas. Lalu menyingkap makna di balik itu semua.
Terdapat tiga macam simbol dalam puisi. Pertama, blank symbol yang maknanya bersifat umum dan tidak perlu ditafsirkan lagi oleh pembaca. Pengertiannya sangat gamblang dan tidak multitafsir, meski kerap bersifat konotatif. Misalnya, adu domba (menghasut), tahi lalat (bintil hitam pada kulit), seumur jagung (sebentar saja, tidak lama).
Kedua, natural symbol yakni simbol yang menggunakan realitas alam seperti kerap dijumpai pada sajak-sajak Chairil Anwar.
Ketiga, private symbol, yakni simbol yang khusus diciptakan sendiri oleh penyair. Misalnya, puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri yang sarat dengan simbol pribadi. Bahkan, kerap simbol pribadi itu sukar dimengerti.
Susanto cenderung menggunakan ragam simbol apa dalam puisi?
Sebelum menjawab pertanyaan ini, mari kita penggal 9 larik puisi di atas. Dalam puisi, keberadaan larik, atau baris, sama dengan kalimat dalam karangan prosa. Hanya saja, dalam puisi dikenal istilah licentia poetica, yakni lisensi atau hak seorang pengarang menabrak rambu-rambu kebahasaan demi berhasilnya puisi itu sendiri.
Sebagaimana prosa, dalam puisi, larik merupakan satuan lebih besar dari kata yang secara bersama-sama dengan kata lain mendukung satuan makna tertentu. Karena itu, larik dalam puisi merupakan pewadah, penyatu, dan pengemban ide penyair yang diawali sepatah kata. Pernyataan baris juga memerhatikan rima, dengan tetap mempertimbangkan pertalian larik satu dengan larik lainnya. Pertalian antarlarik ditunjukkan dengan adanya mekanisme bunyi dalam kesatuannya dengan rima.
Subject matter ialah gagasan pokok penyair yang dikemukakan lewat puisi. Dari gagasan pokok ini nantinya dapat ditarik totalitas makna sebuah puisi. Feeling ialah sikap penyair terhadap gagasan pokok yang dikemukakannya. Sedangkan tone ialah sikap penyair terhadap pembaca, sesuai dengan gagasan pokok yang ditampilkannya.
Ditilik dari segi ragam bunyi, maka puisi di atas ialah euphony. Yakni ragam bunyi dalam puisi yang sanggup menciptakan dan merajut suasana gembira. Bunyi yang muncul dapat menghadirkan keceriaan dan menuansakan kegirangan, vitalitas, dan dinamika hidup. Euphony biasanya berupa bunyi-bunyi vokal, seperti ternyata pada kata canda, ria, tawa, gembira, bahagia, dan sebagainya.
Pada 9 larik puisi di atas, kita menemukan euphony. Sebagai contoh, life, committed, pursue, excellence, balanced, strive, achieve, possible, realize, gained, patient, never fear, face, whatever challenge, highest peak.
Selain euphony, diksi atau pilihan kata si penyair memancarkan sikap optimistik. Hal ini sepadan dengan teori yang dikemukakan psikolog sosial David McCleland. Bahwa sastra yang baik hendaknya memompakan semangat, menyuntikkan darah segar bernama motivasi, menumbuhkan sikap optimistik dan mengajarkan sikap pantang menyerah sebagaimana terangkum dalam teori The Need for Achievement (N-Ach).
Kita tidak menemukan sebaliknya, cacophony sebagai lawan kata euphony dalam puisi Susanto. Yaitu bunyi yang menuansakan keterpurukan, kesedihan, keterasingan dalam hidup dan alienasi. Bunyi dimaksud kerap muncul dalam konsonan yang berada pada akhir kata. Dapat berupa bunyi bilabial, seperti kerap dijumpai pada puisi-pusi Chairil Anwar dan pada beberapa puisi Joko Pinurbo. Misalnya, seru-menderu, angin lalu, malam buta, mengental pada puisi “Selamat Tinggal” Chairil Anwar (Derai-derai Cemara, 1999: 28).
Susanto dan Blank Symbol
Puisi adalah karya pribadi. Karena itu, kerap mencerminkan kepribadian seseorang. Namun, puisi juga berdimensi universal karena itu menjadi konsumsi umum. Berbeda dengan prosa, tiap orang dapat memberi makna sendiri pada puisi.
Dari analisis struktur, makna, maupun simbol dapat disimpulkan bahwa Susanto menggunakan blank symbol. Ini menunjukkan, ia bukan pribadi yang self-centered, tidak kompleks, dan terbuka.
Bagai sebuah buku, pribadi demikian mudah dibaca. Ia berhati tulus. Sikapnya bersahaja. Tutur katanya lurus, tidak bersayap. Kesemua itu dapat dirangkum dalam sepatah kata: ugahari. Padanan bahasa Inggrisnya simplicity. Sikap ini diakui mahasiswa program magister manajemen Universitas Tarumanagara, Jakarta.
Secara etimologis, puisi berasal dari kata Yunani poeima yang berarti membuat, poeisis = pembuatan yang dalam bahasa Inggrisnya menjadi poem atau poetry. Puisi hakiatnya memang membuat atau mencipta, sebab dengan dan melalui puisi seseorang mencipta dunia sendiri. Yakni sebuah dunia yang berisi gambaran mengenai suasana tertentu, kesan tertentu, bahkan pesan tertentu baik bersifat lahiriah maupun batiniah.
Karena bentuknya yang sederhana, singkat, dan acapkali bernas; puisi telah tumbuh menjadi bukan hanya dunia kreasi si pencipta, tetapi juga dapat dinikmati dan diapresiasi orang lain. Puisi ialah salah satu cabang sastra yang menggunakan kata sebagai media penyampai gagasan untuk mengungkapkan ilusi dan imajinasi. Sama seperti lukisan di mana pelukis menuangkan ide dan gagasannya melalui kanvas dalam bentuk guratan garis dan warna.
Demikianlah, sebuah puisi pada gilirannya membawa pembaca berangan-angan. Dibuai oleh keindahan susunan unsur bunyi yang tertata apik, pilihan kata indah, pesan yang bijak bestari, kandungan gagasan luar biasa, pancaran suasana jiwa yang kaya si pencipta, maka puisi sanggup menggelorakan semangat menyala bagi siapa saja.
“Itu sebabnya, saya gemar puisi. Saya kerap diminta membacakan puisi di berbagai kesempatan, bahkan ketika acara resmi sekalipun. Selain mencairkan suasana dan mencipta sebuah dunia yang indah dan berguna, membacakan puisi dapat menggelorakan semangat hadirin. Mereka berangan-angan mengenai ide yang disampaikan. Lalu, tergerak hatinya berbuat sesuatu,” kata Susanto suatu siang, 8 April 2009.
Kesantunan dan kelemahlembutan jiwa Susanto tak hanya terpancar lewat puisi. Sembari menanti santap siang datang, kami berdiskusi di ruang kerjanya yang sarat dengan buku-buku. Tertata rapi, koleksi buku di perpustakaan ruang kerja itu mengesankan suasana batinnya juga.
Ditemani Grace Lasaroeddin, kami bertiga lalu pindah ke ruang tamu. Di sana telah tersedia santap siang. “Boleh saya di sini?” saya mengambil posisi sebelah kanan. Susanto di tengah. Sembari menikmati menu spesial pecel lengkap, ditambah peyek kacang yang gurih, Susanto meneruskan.
“Puisi saya agak unik. Tidak terikat bentuk dan rima. Pokoknya, asal ide datang, saya tuangkan saja melalui kata. Untaian kata saya juga unik. Sarat makna, namun tetap ada permainan kata di dalamnya. Deddy Jacobus, penerbit yang memberikan kata pengantar serial buku saya menyebut bahwa kumpulan puisi, kata-kata bijak, dan kata-kata mutiara saya adalah A Gift from the Heart. Ya, sebab dalam serial buku itu saya keluar dari seorang professional. Saya bukan pembicara dan dokter perusahaan. Saya adalah manusia yang berpribadi. Yang bergumul dengan hidup dan pencarian-pencarian, yang bisa marah dan kecewa, sedih, gembira, berharap, yakin, namun tetap menatap hidup ini penuh optimistis.”
Terlahir sebagai seorang dengan shio Harimau, melihat sosoknya yang gagah berisi, orang mengira Susanto mewarisi juga sifat-sifat harimau yang, salah satunya, pemarah. Ternyata, dulu itu benar adanya. Kepada Deddy Jacobus, Susanto mengaku dia dulunya manusia pemarah.
“Saya dulu sangat pemarah…” ujarnya suatu ketika.
Dari sorot matanya yang tajam, saya kira ia berkata yang sebenarnya.
Saya membayangkan Harimau adalah sang raja rimba yang gagah perkasa, tenang, dan berwibawa. Itulah kesan yang lebih kuat yang saya tangkap dari dirinya. Rupanya, rentang waktu yang panjang pada hasta kehidupannya telah mengubahnya dari sang Harimau yang pemarah menjadi sang Harimau yang bijak dan tenang berwibawa (Ekspresi Jiwa Sahabat Harimau, halaman vi)
Waktu dan pengalaman hidup membuat sang harimau sadar bahwa marah ialah sifat yang dapat mendatangkan petaka. Inilah antara lain buah perenungan yang dalam mengenai hidup yang dialami dan dijalaninya. Ia piawai mengurai betapa bara api amarah bisa mendatangkan petaka lewat ilustrasi kisah singkat.
Suatu pagi, sebuah keluarga sedang sarapan. Ayah berpakaian rapi, bersiap-siap ke kantor. Ibu sibuk menyajikan sarapan. Sementara sang anak yang ceria dan selalu sibuk dengan dunianya, asyik menyantap makanannya. Tanpa sengaja, sang anak menyentuh mangkuk sup. Menu yang semestinya jadi penyegar raga dan jiwa itu, berubah jadi petaka. Tumpahan sup mengenai kemeja ayah. Ayah marah. Suasana kasih keluarga tiba-tiba berubah jadi nestapa. Ayah meninggalkan meja makan. Penuh amarah, ia pergi ke kantor dan lupa membawa pekerjaan yang sudah disiapkan sebelumnya untuk keperluan rapat pagi itu. Dibakar bara kemarahan, ayah menyiapkan bahan rapat sekenanya. Hasilnya bisa diperkirakan, tidak optimal.
“Mungkin segalanya akan berbeda jika pada saat anaknya menumpahkan supnya, ia dapat menahan diri dan dengan sabar menenangkan anaknya yang pasti merasa ketakutan karena telah mengotori pakaian kerja ayahnya. Ia tinggal mengganti pakaiannya dan melanjutkan kembali makan pagi yang tenang bersama keluarganya.” Tulis Susanto dalam Mercusuar Kebajikan Sang Harimau: 27.
Amarah memang lebih kerap mendatangkan mudarat daripada manfaat. Namun, suatu saat, pada saat yang tepat, marah juga diperlukan. Tentang kapan boleh marah dan kapan jangan, Susanto mengingatkan, “Kemarahan kadang perlu, tetapi dapat menjadi kelemahan. Ia tidak mampu menyelesaikan apa pun. Anger is the worst weakness. It can not solve anything.”
Puisi memang buah ciptaan penggubah yang lebih banyak unsur subjektivitasnya. Namun, ia juga cermin realitas sosial yang dalam sastra disebut sebagai impresionisme. Yakni adanya impresi, atau kesan, si pencipta setelah mengamati suatu realitas (Aminuddin, 2002: 115). Kesan tadi dipaparkan secara objektif, bercampur dengan kesan-kesan subjektif pencipta.
Susanto: A Man for Others
Makna diri A.B. Susanto haruslah dilihat dalam relasinya dengan orang lain. Keduanya tidak saling lepas, yang satu tidak menegasi yang lain, keduanya seiring sejalan. Sebagai pelengkapnya, Susanto menggubah dan memaknai aopa yang disebutnya Best Friends. Siapa sajakah orang lain di luar dirinya, yang ia sebut dan kategorikan sebagai sahabat-sahabat baiknya?
Better is a friend near than brother afar
Encouraging, sharpening each other
Seek only the very best for the other
Trust is the foundation on which we build
Friends
Really are God’s gift that we must cherish
Inspiring us to pursue
Excellence
Never forsaking in our
Dark moments
Such great blessing uindeed to have
(Tune to “You Raise Me Up”)
(Ekspresi Jiwa Sahabat Harimau, halaman 10)
Gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat, sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 903).
Indah dan berguna. Itu hakikat puisi sejati. Ihwal yang ribuan tahun lampau sudah diamanatkan penyair Romawi kuna, Horatius. Di masa lampau, kehadiran puisi sangat penting. Puisi jadi sarana pendidikan masyarakat. Diajarkan bukan hanya sebatas seni (ars poeticia), tapi juga untuk menghaluskan jiwa.
Apa kata kunci dalam AB SUSANTO dan BEST FRIENDS?
Mari melihatnya dari analisis struktur. Kata pursue excellence adalah key words yang merekat erat keduanya. Baik diri pribadi maupun sahabat karib di mata Susanto terarah guna pencapaian sesuatu yang luar biasa. Terserah mendefinisikan sesuatu yang serba luar biasa, namun Susanto sendiri menamakannya sukses yang diraih melalui proses penuh perjuangan dan pergulatan.
Sukses di mata Susanto sepadan dengan pendapat Stoltz, bahwa sukses merupakan ganjaran atau reward dari sebuah proses pendakian. “I use the term Ascend in the broadest sense –moving your purpose in your life forward no matter what your goals. Whether your Ascent is about gaining market share, getting better grades, improving your relationship, becoming better at what you do, completing an education, raising stellar children, growing closer to God, or making a meaningful contribution during your brief stint on the planet, the drive is imperative. Successful people share the profound urge to strive, to make progress, to achieve their goals and fulfill their dreams” (Stoltz, op. cit: 13).
Namun, apakah sukses itu? Dan mengapa seluruh hidup harus didedikasikan untuk meraihnya? Sukses ialah:
• Berhasil, beruntung (Kamus Besar Bahasa Indonesia 2007: 1099)
• (1) Accomplishment of a task, the reaching of a goal, (2) a good event, an achievement, (3) wealth, good luck in life (Dictionary of American English: 1544).
• Sukses adalah sebuah proses, suatu kualitas pikiran dan cara kita berada, pengukuran kehidupan yang terbuka –Alex Bone
• The most successful old-old people are those who have important connection, a hobby, or something that gives them a zest for life –Kevan H. Namazi, gerontologist, Univ. Texas’s Southwestern Medical Center, Dallas
Jendela dan Cermin
Penyair tidak hidup dalam ruang hampa. Ia berdiam dalam dimensi ruang dan waktu. Karyanya akan abadi, manakala berfungsi menjadi jendela dan cermin sekaligus.
Puisi Susanto pun demikian. Orang lain, di luar dirinya, dapat juga memetik hikmat dan kebijaksanaan dari puisi-puisinya. Inilah yang disebut sebagai makna ekstrinsik puisi. Siapa saja dapat menikmati dan memaknainya sebagai jendela dan cermin.
Di tanah Yunani, pada abad 8 sebelum Masehi, penyair tuna netra Homeros sudah menulis karya sastra yakni Illias dan Odysseia. Karya ini amat populer di kalangan bangsa Yunani di masa itu. Diajarkan pada seluruh warga dan menjadi media pendidikan yang ampuh untuk mengasah kehalusan jiwa dan mencerahkan budi pekerti warga.
Seperti diicatat Horatius, tidak semua karya yang didokumentasikan secara literer disebut sebagai karya sastra. Yang tergolong sastra ialah karya yang indah (dulce) dan berguna (utile). Karena itu, sastra bertugas selain mencerahkan (mendidik) juga menghibur. Tidak mengherankan, pada zaman kebangkitan karya sastra Romawi, pujangga digelari sebagai ”guru moral” (morum doctores). Sebab, lewat karya dan tulisan para pujangga, masyarakat zaman itu diajarkan dan dihibur.
Tak syak, puisi-puisi Susanto yang bernas kita temukan kombinasi dua kecerdasan sekaligus, yakni kecerdasan olah kata dan kecerdasan berpikir. Inilah yang leh Prof. Howard Gardner disebut sebagai word smart dan logic smart dari delapan dimensi multikecerdasan.
Akan tetapi, kecerdasan yang dimaksudkan Gardner tidaklah ditentukan faktor keturunan. Dalam berbagai literatur, keterampilan atau keahlian di bidang word smart disebut skill, bukan talent. Bahkan, boleh dikatakan, keterampilan tersebut lebih terarah pada seni. Dalam kaitan ini, di masa Yunani kuna dan Romawi, seni sastra dan retorika disebut sebagai “ars”.
Kita mengenal istilah ars poetica (seni sastra, ars scribendi (keterampilan menulis), ars musica (seni musik), dan sebagainya. Di samping seni, ars juga berarti ilmu/ pengetahuan (K. Prent, dkk. Kamus Latin-Indonesia, hal. 67).
Pada zaman Yunani kuna, seni wicara –terutama pidato dan debat— merupakan seni, sekaligus ilmu yang sangat digemari. Diajarkan sebagai disiplin khusus. Bahkan, setiap warga Yunani mencita-citakan menjadi orator yang ulung. Seni debat dan pidato muncul dalam disiplin retorika dan diajarkan secara saksama. Muncul tokoh ternama di bidang ini, seperti Plato, Aristoteles, dan kemudian Demosthenes. Bahkan, Demosthenes diceritakan gagap sejak lahir. Namun, karena memelajari dan berkat latihan yang tekun dan terus-menerus melawan kegagapannya, ia menjadi salah satu orator ulung sepanjang sejarah.
Pengalaman dan kegigihan Demosthenes melawan inferioritasnya dalam hal wicara, pantas untuk diteladan. Siapa pun yang bertekun dan mau belajar, pasti bisa. Bukan hanya dalam seni wicara, dalam keterampilan menulis pun ketekunan dan latihan sangat diperlukan.
Dalam konteks itu, kita memahami makna ucapan salah satu pujangga Perancis terkemuka, Honoré de Balzac. Menurut Balzac, word smart bukanlah talenta, melainkan keterampilan yang bisa dipelajari oleh siapa pun. “When one has no particular talent for anything, one takes a pen,” demikian ungkapannya yang termashyur.
Kata-kata bijak ini menyiratkan, menulis (a pen) bisa dimanfaatkan siapa saja untuk memeroleh penghidupan. Dan menulis bukan suatu talenta, namun keterampilan yang dapat dipelajari dan diasah.
Dengan demikian, menjadi gamblang bahwa word smart bukanlah bakat, melainkan usaha. Usaha yang terus-menerus dan sistematis, yang bisa didapat baik dari belajar melalui orang lain maupun lewat jalan autodidak.
Barang-barang perhiasan menghiasi rumah Susanto: dari gading gajah hingga patung dan lukisan.
Dengan mengguratkan puisi bersusunkan kata indah dan sarat makna, Susanto telah memenuhi kaidah esensial puisi berikut ini. Pada abad pertengahan, puisi disebut sebagai useful leisure. Horatius sendiri menyebut pusi sebagai “The Ars Poetica is not a treatise, but a poem which seeks to embody the balancing act it aims to teach to other aspiring poets--a balance, among other things, of inspired genius (or even madness) and craft.”
Pandangan itu, lalu diperteguh oleh Dorsch yang menyatakan, “Poetry (which means all literary composition, not just the versified kind) arose because of the human instinct for, and pleasure in, imitation. Art is an imitation (representation) of an object or an action, and these imitations (representations) can vary according to their medium their object or their manner.
Lalu apa makna puisi menurut Susanto?
Puisi, bagi Susanto, bukan sekadar rangkaian kata-kata indah. Bukan pula cuma ungkapan asa dan rasa. Lebih dari itu, ayat-ayat puisi lahir dari sanubarinya seperti yang dikatakan Jacques Maritain: puisi bukan dipandang sebagai bentuk sastra, tetapi ruh dari semua kesenian. Maka Plato menyebutnya “mousike”.
Karena itu, Susanto juga senang musik. Di rumahnya yang asri, terdapat beberapa buah piano. Ada yang usianya sudah sangat tua, dari abad 18. Saking senang pada musik, sebuah buku yang terbit menandai usia emasnya berjudul 50 Tahun Simfoni Kehidupan Dr. A.B. Susanto (2000), bab-babnya menggunakan terminologi musik pula. Misalnya, prelude, encore, dan repertoire. Terminologi itu, tentu tidak muncul begitu saja. Susanto menghayati betul tiap hentakan nada dan irama musik. Bahkan, jemarinya lincah menari-nari di atas tuts-tuts piano. Bersama iringan piano, ia siap mengidungkan lagu-lagu dan menyenandungkan keindahan dan keabadian semesta.
Piano di rumah Susanto: dari abad XVIII.
Kesenangannya juga merambat pada seni lukis. Bukan hanya sebatas mengagumi, Susanto pun sesekali menari-narikan kuas di atas kanvas. Bahkan, aktif menggelar berbagai pameran seni lukis. Ini dilakukannya sudah sejak lama. Bukan hanya di seputar kantor, juga di tempat-tempat lain. Susanto juga aktif dalam acara lelang lukisan dalam rangka penggalangan dana untuk kemanusiaan.
Agaknya, karena latar menyukai seni, Susanto jadi merasa pas dengan adagium yang diucapkan Horatius, “Dulce et utile”.
Dalam bahasa manajemen, formulasinya menjadi substance and style. Namun, segera ia mengimbuhi, “Seni dan keindahan itu abadi. Saya sendiri pecinta seni. Sekaligus cinta pada keabadian.”
Daftar Pustaka
Aminuddin, MPd., Drs. 2002. Pengantar Apresisasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Anwar, Chairil. 1999. Derai-Derai Cemara. Jakarta: Horison.
Bakdi Soemanto, “Selamat Jalan Sang Pembaru” dalam Kompas, 8 Agustus 2009.
Chopra, Deepak. 1994. The Seven Spiritual Laws of Success. New York: Amber-Allen Publishing.
Forsyth, Patrick. 1997. First Things First (Dahulukan yang Penting). Jakarta: Binarupa Aksara.
Pincott, J. (ed.). 2007. Excellence. London: Marshall Cavendish-Cyan.
Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Stoltz, Paul G. Adversity Quotient. 1997. New York: John Wiley & Sons.
Susanto, A.B. 2006. Disaster Management di Negeri Rawan Bencana. Jakarta: JCG-Eka Tjipta Foundation.
---------------. 2005. Kata-Kata Mutiara: Ekspresi Jiwa Sahabat Harimau. Jakarta: Ray Indonesia.
---------------. 50 Tahun Simfoni Kehidupan Dr. A.B. Susanto. 2000.
Internet: http://web.whittier.edu/people/WebPages/PersonalWebPages/furmanadams/AristotleandHoraceHandout.HTM
http://www.nyu.edu/gallatin/facultystaff/syllabi/Fall08/K20.1389.pdf
Biografi sebagai novel? Kenapa tidak! Artikel saya kali lalu menjelaskan menulis profil dengan gaya berkisah. Molly Blair (2006) menyebut itulah literary of fact. Dan salah satu jenis creative non-fiction adalah biografi.
Tak hanya asal berteori, saya menerapkannya.Inilah bab 2 buku saya, biografi A.B. Susanto.
Buku ke-50.
Susanto’s Facet # 2
Larik Puisi dan Keindahan Abadi
Vita brevis, ars longa (Hidup itu singkat, tapi seni abadi selamanya).
Mentari pagi baru saja menyembul di ufuk timur. Rona jingga tergurat pada langit biru lazuardi. Mega-mega putih bergerak perlahan ke selatan. Cuaca cerah. Daun-daun kering luruh ke tanah. Yang tinggal adalah hijau permai, bersih tak berdebu, usai disiram oleh hujan semalam.
Suatu pagi, pengujung April 2009. Di rumahnya, di bilangan Kemang Timur, Jakarta Selatan. Susanto tengah merangkai kata jadi kalimat. Kalimat ditatanya jadi alinea. Alinea berisi ide-ide cemerlang coba disapihnya jadi wacana.
“Kejar tayang. Penerbit sudah mendesak agar cepat jadi. Namun, menulis tidak bisa diburu waktu. Mesti khusuk. Masuk dalam topik. Menghayatinya secara intens. Mendalaminya dengan sumber. Baru memunculkan power keluar,” terang Susanto ihwal proses kreatifnya menulis.
Untuk menulis buku saja Susanto butuh waktu khusus, apalagi merangkai puisi. Menulis tesis dan menulis puisi jelas beda. Yang pertama tertuju pada otak, sedangkan yang kedua pada hati. Tesis berisi argumen dan pembuktian, sementara puisi lebih melukiskan suasana. Bahasa harus singkat, namun bernas. Diperlukan keterampilan tersendiri untuk memilih diksi.
Susanto bersama artis Sandra Dewi di kantornya: keduanya sama-sama duta lepra.
Apa saja dapat menggugah hati Susanto untuk mengangkat pena. Apalagi, ketika suasana hatinya sedang ceria. Seperti pagi hari itu. Ketika bunga-bunga anggrek di kolam renang samping rumahnya yang sedang mekar, segar disapih butir-butir air hujan tadi malam. Sesekali anggrek yang bergantungan pada pohon-pohon cemara yang berjejejar rapi seputar kolam renang bergoyang diterpa semilir angin pagi. Dedaunan mangga menghijau permai, menambah semarak suasana pagi itu.
Ditemani Grace Lasaroeddin, saya masuk halaman rumah asri yang terletak di Kemang Timur VI no. 99 itu. Dua petugas keamanan memberi salam hormat. Seekor anjing tinggi besar berkulit gelap datang menghampiri. Mengibas-ngibas ekor, seakan mempersilakan tamunya untuk masuk.
Seni dan Keabadian
Pecinta seni ini menyadari, sebagai bagian dari seni, puisi bukan sekadar rangkaian kata-kata indah. Tapi juga sarat makna dan, karena itu, itu abadi. Maka Susanto gemar berpusi. Bukankah ini sesuai dengan pepatah yang mengatakan, “Vita brevis, ars longa” (Hidup itu singkat, tapi seni abadi selamanya)
Ketika pepatah ini lahir, seni yang termashyur adalah seni sastra, utamanya puisi (ars poetica). Susanto bersetuju dengan apa yang diucapkan pujangga Romawi, Quintus Horatius Flaccus. Puisi selain indah, juga berguna (duce et utile). Bahkan, ia bisa memaknai diri dalam bentuk puisi. Sembilan larik huruf awal namanya dari atas ke bawah terjalin indah dan sarat makna. Kesemua itu membentuk gagasan utuh, mirip visi dan misi dalam hidup.
Pencapaian visi dan misi pribadi ini, diibaratkannya dengan falsafah olah raga golf. Yang penting bukan seberapa jauh bola jatuh, melainkan pada arah (direction)-nya yang tepat, yang diawali dari sebuah pukulan yang presisi. Susanto sendiri menyebut indah dan berguna sebagai substance and style.
“Saya menerapkan filosofi ini di kantor. Sudut pandang manajamennya jadi beda, melihat orang dari perspektif positif, senantiasa melihat kelebihan, lalu mengarahkan kekuatan itu untuk pencapaian tertentu. Saya menyebutnya talent management. Manusia dilihat strength, kekuatannya. Kaca mata positif ini lantas diarahkan untuk suatu perubahan, change guna meraih highest peak,” terang Susanto.
Susanto di ruang kerjanya, gedung Wisma BNI 46.
Susanto yakin, barangsiapa setia pada perkara kecil, setia juga pada perkara-perkara besar. Maka perubahan tidak harus mulai dari ihwal dengan melakukan perkara-perkara besar. Excellence is not skill. It is an attitude.
Bagi Susanto, puisi ialah denyut nadi dan helaan napasnya. Ragam sastra yang terikat irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait ini, telah jadi satu dengan dirinya. Susanto bukan hanya gemar puisi.
Akan tetapi, dia adalah puisi itu sendiri!
Bagi banyak orang, apalah arti sebuah nama. What's in a name? That which we call a rose. By any other name would smell as sweet. Begitu ungkapan terkenal dari Shakespeare yang ditaruhnya pada mulut Juliet dalam Romeo and Juliet (II, ii, 1-2) .
Namun, tidak demikian bagi Susanto. Nama baginya mematri sejuta makna. Nama memang pemberian orang tua yang harus diterima. Tapi hanya tetap tinggal sebuah nama, hampa makna, jika tidak coba dimaknai. Seorang rekan menggubah sebuah puisi baginya. Tiap larik, diawali huruf yang, jika disusun menurun, membentuk namanya: AB Susanto.
Sejenak menunggu di ruang tamu, mata saya terpanah pada dua buah gading yang terpampang di ruang tamu. Rapi ditata, lagi pula letaknya manis. Susanto tampak sedang sibuk menulis sesuatu di meja ruang kerjanya. Tampak dari samping kamar tamu ia menulis sesuatu, sebab hanya dibatasi kaca transparan.
“Selamat datang di rumah saya. Ya begini ini,” Susanto menukas pembicaraan. Paham saya mengagumi gading yang menghiasi ruang tamunya, ia menjelaskan, “Bukan dari Afrika. Dari Indonesia juga. Gading gajah ini lebih panjang dari punya Mbak Mega,” jelasnya. Kini gading yang tak banyak retaknya itu dipindahkan ke ruang kerjanya di kantor.
Memang ada ungkapan, “Gading gajah yang sudah dikeluarkan bolehkah dimasukkan lagi?” Artinya, suatu keputusan yang sudah ditentukan, tidak akan dicabut lagi. Namun, agaknya pemidahan gading ini bukan seratus persen hendak menafikan pepatah tadi. Hanya demi keindahan. Tapi kalau benar-benar hendak disangkutpautkan dengan karakter Susanto, maka pemidahan tempat memajang gading itu menunjukkan sikap adaptif: mau dan sanggup berubah sesuai dengan tuntutan situasi kondisi. Bukankah ini hakikat change management?
Tentu saja, gading pajangan itu bukan didapat dari memburu sendiri satwa yang dilindungi. Tapi diperoleh dari gajah-gajah tua yang sudah saatnya mati meningalkan gading. “Sebaliknya, Susanto bahkan menganjurkan supaya terjadi keseimbangan ekosistem. Sebab, sumber daya alam yang dikelola tidak bijak, niscaya mendatangkan bencana. Ini ditegaskannya dalam buku Disaster Management di Negeri Rawan Bencana.
Maka rumahnya yang asri ditata bersahabat dengan alam. “Nggak dipelihara, mereka datang sendiri. Di sini burung-burung bebas datang dan pergi sesuka hati,” kata Susanto begitu ketilang berbunyi sahut-sahutan, sembari berloncatan dari dahan ke dahan pohon yang berjejer rapi di halaman belakang, samping kolam renang.
Di teras rumahnya, Susanto menjalani terapi rutin, pemulihan kesehatan, khususnya lower body, dibimbing Wahyu, seorang pakar sport therapy.
Terapi pagi itu sedianya dijalani genap empat tahap. Sketching atau peregangan dan penguatan otot, sepeda, beban, dan ditutup renang. Namun, lantaran hujan semalam, kolam renang agak keruh airnya. Maka, terapi hanya sampai tiga tahap saja.
Baru saja masuk terapi tahap kedua, Glory Rosari Oyong datang menyusul. Ditingkah bunyi jatuhnya air ke pusaran kolam renang dan kicauan burung, Susanto naik, lalu mengayuh sepeda. Kakinya bergerak naik turun. Sesekali instruktur memberi aba-aba, lalu berkomentar. Beberapa menit kemudian, ia menyeka keringat dengan handuk kecil. Olah raga sepeda telah membuatnya mandi keringat.
Susanto seperti biasa. Tampak penuh vitalitas dan senantiasa gembira, menjawab pertanyaan yang dilontar padanya. Paling utama, ialah mengorek hingga rahasia terdalam, apa filosofi di balik namanya? Mengapa namanya dikemas dalam struktur puisi?
“Ceritanya berawal kira-kira sepuluh tahun lalu. Dalam perjalanan bolak balik antara Jakarta-Semarang, Halim Agung menggubah bait-bait puisi buat saya. Kebetulan, saya ditunjuk jadi Dewan Penyantun Yayasan Soegijapranata. Ketika itulah, larik puisi sembilan baris yang membentuk nama saya, digubah.”
Terangkailah huruf jadi kata multimakna membentuk AB Susanto dibaca dari atas ke bawah. Tergurat dalam 9 larik puisi.
A life committed to pursue excellence
Balanced with integrity that transforms
Strive to achieve the very best possible
Utmost effort not sparing to realize
Success will follow every step of your way
A triumph gained through patient
Never fear
To face whatever challenge
Onward climbing to reach the highest peak
(tune to “You Raise Me Up”)
Puisi yang sarat hikmat kebijaksanaan ini terdapat pada halaman 2, atau pembuka, buku Ekspresi Jiwa Sahabat Harimau. Untaian Kata-Kata Mutiara yang diterbitkan Ray Indonesia, 2005.
Bagi Susanto, hidup sungguh indah dan berharga. Maka, ia berjanji melakoni hidup dan memaknainya untuk meraih hasil yang luar biasa (committed to pursue excellence). Masalahnya, apakah hebat luar biasa itu? Bagaimana hebat luar biasa didefinisikan?
Salah satu definisi excellence datang dari pemikiran ahli pikir yang juga pecinta seni puisi, Aristoteles (84 sM – 322 sM). Ketika itu, puisi sangat digemari di Yunani. Setiap orang bercita-cita jadi penyair dan orator. Menurut Aristoteles, excellence bukanlah keterampilan, namun sebuah sikap.
Care more than others think is wise
Risk more than others think is safe
Dream than others think is practical
Expect than others think is possible
Excellence is not skill. It is an attitude.
Luar biasa ialah seni menang melalui latihan dan pembiasaan. Kita tidak berbuat secara langsung karena punya kebijakan atau sesuatu yang luar biasa, namun kita memiliki kemampuan itu, terutama karena kita belajar langsung.
Luar biasa akan jadi liar, tidak punya arah, dan kurang berhasil-guna manakala tidak diseimbangkan dengan integritas. Karena itu, Susanto merasa perlu menyeimbangkannya dengan integritas pribadi yang mentransformasi (balanced with integrity that transforms).
Keduanya lalu diarahkan untuk mencapai hasil sebaik mungkin dan sepenuhnya berupaya untuk diwujudnyatakan (strive to achieve the very best possible dan utmost effort not sparing to realize).
Jika demikian, maka sukses akan menyertai tiap langkah pada jalan yang kita tapaki (success will follow every step of your way). Tidak ada keberhasilan diperoleh tanpa lewat sebuah proses dan proses itu adalah kesabaran (patient). Umumnya, orang silau pada puncak usaha, yakni kesuksesan, lupa pada prosesnya. Padahal, sukses ada prosesnya (a triumph gained through patient). Kesabaran untuk meniti dari bawah, bahkan sabar untuk mulai lagi dari titik nadir jika gagal.
Tentu, dalam proses menuju sukses, selalu ada hambatan dan tantangan. Namun, jangan pernah takut menghadapi tantangan, apa pun juga (never fear to face whatever challenge).
Susanto mengajarkan, potensi selayaknya dimaksimalkan. Yang disebut sukses itu berjenjang. Ia ibarat gunung. Meski tinggi, ada puncak tertingginya. Teruslah mendaki hingga puncak gunung sukses tertinggi (onward climbing to reach the highest peak).
Mobil yang setia mengantar Susanto ke mana pun pergi. Baginya, mobil ini bukan tujuan, namun sekadar alat baginya untuk meraih puncak prestasi dan puncak kehidupan.
Filosofi “o” dari huruf paling akhir nama Susanto ini sepadan dengan teori mengubah tantangan menjadi peluang yang dikemukakan Paul G. Stoltz. Dalam buku Adversity Quotient: Turning Obstacles into Opportunities (1997), pendiri Peak Learning itu menjelaskan terdapat tiga tipe manusia.
Quitters (berhenti), yakni orang yang menampik untuk maju atau mendaki. Cirinya ialah bahwa orang ini do just enough to get by. Little ambition, minimal drive, sub-par quality. Take few risk, rarely activity.
Campers (pekemah), yakni orang yang mudah puas. Cirinya ialah bahwa orang ini show moderate creativity and take some calculated risk, play it safe.
Climbers (pendaki), yakni orang yang tidak pernah puas dgn apa yang sudah diraih dan ingin good, better, best. Ciri orang pendaki ialah show moderate creativity and take some calculated risk, play it safe.
Adakah foto AB yang sedang berada di puncak bukit? Atau adakah foto yang mengilustrasikan beliau sedang menunjuk atau menerangkan puncak kurva prestasi puncak pencapaian?
Sukses berawal dari diri sendiri. Tidak bergantung dan menyalahkan orang lain, apalagi menyalahkan alat. Seperti kata pepatah, “A bad workman always blames his tool”. Tukang yang tidak cakap selalu menghujat alatnya. Kemampuan untuk mengatasi hambatan ini, kini menjadi salah satu kajian/ ilmu psikologi modern. Paul G. Stoltz dalam buku Adversity Quotient: Turning Obstacles into Opportunities (1977) menyebut AQ ini sebagai “The most important factor in achieving Success”.
Sementara itu, Dag Hammarskjold, mantan Sekjen PBB mengatakan, “….Never measure the height of a mountain, until you have reached the top. Then you will see how low it was.”
Ya, jangan pernah buru-buru mengukur ketinggian gunung sebelum Anda dapat meraih puncaknya. Sebab, di puncak, Anda baru menyadari sebenarnya Anda masih berada di bawah.”
Hidup seperti mendaki gunung. Karena itu, sukses adalah sesuatu seperti yang digambarkan Susanto, “Onward climbing to reach the highest peak”. Senada dengan ini, Stoltz menambahkan, “Success can be defined as the degree to which one moves forward and upward, progressing in one’s lifelong mission, despite all obstacles or other forms of adversity (Stoltz, 1997: 5).
Perhatikan dengan saksama kata success dan adversity, yang dalam buku aslinya, dicetak miring. Bukankah gagasan pokok sukses dan kecerdasan mengatasi hambatan sama dengan “Success will follow every step of your way. A triumph gained through patient. Never fear” dalam larik 5,6,7?
Bukan hanya Susanto, tiap orang dapat saja menggubah larik puisi dari namanya. Merajut makna dan membangun dasar filosofis. Lalu metapkan pencapaian dalam garis hidupnya. Itulah visi dan misi.
Sebagaimana layaknya membuat visi dan misi, kata-kata dirangkai indah dan singkat. Inilah hakikat puisi menurut Quintus Horatius Flaccus, salah satu penyair besar dunia yang lahir di Venosa, 8 Desember, 65 sM dan wafat di Roma, 27 November, 8 sM. Namun, khusus puisi-puisi A.B. Susanto, masih perlu ditambahi satu kata lagi: bernas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonsia (2007: 141) bernas berarti: berisi penuh.
Tak syak, puisi-puisi A.B. Susanto selain indah dan berguna, juga bernas. Ini karena tiap puisi lahir dari kandungan kehalusan hatinya, permenungan yang dalam, refleksi atas tiap peristiwa hidup, pancaran budi pekerti, serta ungkapan cintanya pada Tuhan, manusia, alam semesta, dan mengenai apa pun yang ada.
Di dalamnya sarat muatan metafor nilai artistik. Karya sastra yang merupakan jendela dan cermin sekaligus (both a window and a mirror). Jendela, karena puisi-puisinya menyibak bagi pembaca pandangan unik tentang dunia, jalan hidup, dan subkultur. Cermin, karena memberikan pada pembaca hikmah dan pengalaman-pengalaman hidup yang dapat menjadi bahan refleksi pada situasi hidup yang nyata (kondisi kemanusiaan).
Makna Lapis
Menurut Welleck, puisi sebagai sebuah totalitas, dapat dibagi dalam empat lapis:
1) lapis bunyi (sound stratum)
2) lapis arti (units of meaning)
3) lapis dunia atau realitas yang digambarkan penyair
4) lapis dunia atau realitas yang dilihat dari titik pandang tertentu, dan
5) lapis dunia yang bersifat metafisis.
Menarik menganalisis simbol yang digunakan dan bentuk 9 larik puisi di atas. Lalu menyingkap makna di balik itu semua.
Terdapat tiga macam simbol dalam puisi. Pertama, blank symbol yang maknanya bersifat umum dan tidak perlu ditafsirkan lagi oleh pembaca. Pengertiannya sangat gamblang dan tidak multitafsir, meski kerap bersifat konotatif. Misalnya, adu domba (menghasut), tahi lalat (bintil hitam pada kulit), seumur jagung (sebentar saja, tidak lama).
Kedua, natural symbol yakni simbol yang menggunakan realitas alam seperti kerap dijumpai pada sajak-sajak Chairil Anwar.
Ketiga, private symbol, yakni simbol yang khusus diciptakan sendiri oleh penyair. Misalnya, puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri yang sarat dengan simbol pribadi. Bahkan, kerap simbol pribadi itu sukar dimengerti.
Susanto cenderung menggunakan ragam simbol apa dalam puisi?
Sebelum menjawab pertanyaan ini, mari kita penggal 9 larik puisi di atas. Dalam puisi, keberadaan larik, atau baris, sama dengan kalimat dalam karangan prosa. Hanya saja, dalam puisi dikenal istilah licentia poetica, yakni lisensi atau hak seorang pengarang menabrak rambu-rambu kebahasaan demi berhasilnya puisi itu sendiri.
Sebagaimana prosa, dalam puisi, larik merupakan satuan lebih besar dari kata yang secara bersama-sama dengan kata lain mendukung satuan makna tertentu. Karena itu, larik dalam puisi merupakan pewadah, penyatu, dan pengemban ide penyair yang diawali sepatah kata. Pernyataan baris juga memerhatikan rima, dengan tetap mempertimbangkan pertalian larik satu dengan larik lainnya. Pertalian antarlarik ditunjukkan dengan adanya mekanisme bunyi dalam kesatuannya dengan rima.
Subject matter ialah gagasan pokok penyair yang dikemukakan lewat puisi. Dari gagasan pokok ini nantinya dapat ditarik totalitas makna sebuah puisi. Feeling ialah sikap penyair terhadap gagasan pokok yang dikemukakannya. Sedangkan tone ialah sikap penyair terhadap pembaca, sesuai dengan gagasan pokok yang ditampilkannya.
Ditilik dari segi ragam bunyi, maka puisi di atas ialah euphony. Yakni ragam bunyi dalam puisi yang sanggup menciptakan dan merajut suasana gembira. Bunyi yang muncul dapat menghadirkan keceriaan dan menuansakan kegirangan, vitalitas, dan dinamika hidup. Euphony biasanya berupa bunyi-bunyi vokal, seperti ternyata pada kata canda, ria, tawa, gembira, bahagia, dan sebagainya.
Pada 9 larik puisi di atas, kita menemukan euphony. Sebagai contoh, life, committed, pursue, excellence, balanced, strive, achieve, possible, realize, gained, patient, never fear, face, whatever challenge, highest peak.
Selain euphony, diksi atau pilihan kata si penyair memancarkan sikap optimistik. Hal ini sepadan dengan teori yang dikemukakan psikolog sosial David McCleland. Bahwa sastra yang baik hendaknya memompakan semangat, menyuntikkan darah segar bernama motivasi, menumbuhkan sikap optimistik dan mengajarkan sikap pantang menyerah sebagaimana terangkum dalam teori The Need for Achievement (N-Ach).
Kita tidak menemukan sebaliknya, cacophony sebagai lawan kata euphony dalam puisi Susanto. Yaitu bunyi yang menuansakan keterpurukan, kesedihan, keterasingan dalam hidup dan alienasi. Bunyi dimaksud kerap muncul dalam konsonan yang berada pada akhir kata. Dapat berupa bunyi bilabial, seperti kerap dijumpai pada puisi-pusi Chairil Anwar dan pada beberapa puisi Joko Pinurbo. Misalnya, seru-menderu, angin lalu, malam buta, mengental pada puisi “Selamat Tinggal” Chairil Anwar (Derai-derai Cemara, 1999: 28).
Susanto dan Blank Symbol
Puisi adalah karya pribadi. Karena itu, kerap mencerminkan kepribadian seseorang. Namun, puisi juga berdimensi universal karena itu menjadi konsumsi umum. Berbeda dengan prosa, tiap orang dapat memberi makna sendiri pada puisi.
Dari analisis struktur, makna, maupun simbol dapat disimpulkan bahwa Susanto menggunakan blank symbol. Ini menunjukkan, ia bukan pribadi yang self-centered, tidak kompleks, dan terbuka.
Bagai sebuah buku, pribadi demikian mudah dibaca. Ia berhati tulus. Sikapnya bersahaja. Tutur katanya lurus, tidak bersayap. Kesemua itu dapat dirangkum dalam sepatah kata: ugahari. Padanan bahasa Inggrisnya simplicity. Sikap ini diakui mahasiswa program magister manajemen Universitas Tarumanagara, Jakarta.
Secara etimologis, puisi berasal dari kata Yunani poeima yang berarti membuat, poeisis = pembuatan yang dalam bahasa Inggrisnya menjadi poem atau poetry. Puisi hakiatnya memang membuat atau mencipta, sebab dengan dan melalui puisi seseorang mencipta dunia sendiri. Yakni sebuah dunia yang berisi gambaran mengenai suasana tertentu, kesan tertentu, bahkan pesan tertentu baik bersifat lahiriah maupun batiniah.
Karena bentuknya yang sederhana, singkat, dan acapkali bernas; puisi telah tumbuh menjadi bukan hanya dunia kreasi si pencipta, tetapi juga dapat dinikmati dan diapresiasi orang lain. Puisi ialah salah satu cabang sastra yang menggunakan kata sebagai media penyampai gagasan untuk mengungkapkan ilusi dan imajinasi. Sama seperti lukisan di mana pelukis menuangkan ide dan gagasannya melalui kanvas dalam bentuk guratan garis dan warna.
Demikianlah, sebuah puisi pada gilirannya membawa pembaca berangan-angan. Dibuai oleh keindahan susunan unsur bunyi yang tertata apik, pilihan kata indah, pesan yang bijak bestari, kandungan gagasan luar biasa, pancaran suasana jiwa yang kaya si pencipta, maka puisi sanggup menggelorakan semangat menyala bagi siapa saja.
“Itu sebabnya, saya gemar puisi. Saya kerap diminta membacakan puisi di berbagai kesempatan, bahkan ketika acara resmi sekalipun. Selain mencairkan suasana dan mencipta sebuah dunia yang indah dan berguna, membacakan puisi dapat menggelorakan semangat hadirin. Mereka berangan-angan mengenai ide yang disampaikan. Lalu, tergerak hatinya berbuat sesuatu,” kata Susanto suatu siang, 8 April 2009.
Kesantunan dan kelemahlembutan jiwa Susanto tak hanya terpancar lewat puisi. Sembari menanti santap siang datang, kami berdiskusi di ruang kerjanya yang sarat dengan buku-buku. Tertata rapi, koleksi buku di perpustakaan ruang kerja itu mengesankan suasana batinnya juga.
Ditemani Grace Lasaroeddin, kami bertiga lalu pindah ke ruang tamu. Di sana telah tersedia santap siang. “Boleh saya di sini?” saya mengambil posisi sebelah kanan. Susanto di tengah. Sembari menikmati menu spesial pecel lengkap, ditambah peyek kacang yang gurih, Susanto meneruskan.
“Puisi saya agak unik. Tidak terikat bentuk dan rima. Pokoknya, asal ide datang, saya tuangkan saja melalui kata. Untaian kata saya juga unik. Sarat makna, namun tetap ada permainan kata di dalamnya. Deddy Jacobus, penerbit yang memberikan kata pengantar serial buku saya menyebut bahwa kumpulan puisi, kata-kata bijak, dan kata-kata mutiara saya adalah A Gift from the Heart. Ya, sebab dalam serial buku itu saya keluar dari seorang professional. Saya bukan pembicara dan dokter perusahaan. Saya adalah manusia yang berpribadi. Yang bergumul dengan hidup dan pencarian-pencarian, yang bisa marah dan kecewa, sedih, gembira, berharap, yakin, namun tetap menatap hidup ini penuh optimistis.”
Terlahir sebagai seorang dengan shio Harimau, melihat sosoknya yang gagah berisi, orang mengira Susanto mewarisi juga sifat-sifat harimau yang, salah satunya, pemarah. Ternyata, dulu itu benar adanya. Kepada Deddy Jacobus, Susanto mengaku dia dulunya manusia pemarah.
“Saya dulu sangat pemarah…” ujarnya suatu ketika.
Dari sorot matanya yang tajam, saya kira ia berkata yang sebenarnya.
Saya membayangkan Harimau adalah sang raja rimba yang gagah perkasa, tenang, dan berwibawa. Itulah kesan yang lebih kuat yang saya tangkap dari dirinya. Rupanya, rentang waktu yang panjang pada hasta kehidupannya telah mengubahnya dari sang Harimau yang pemarah menjadi sang Harimau yang bijak dan tenang berwibawa (Ekspresi Jiwa Sahabat Harimau, halaman vi)
Waktu dan pengalaman hidup membuat sang harimau sadar bahwa marah ialah sifat yang dapat mendatangkan petaka. Inilah antara lain buah perenungan yang dalam mengenai hidup yang dialami dan dijalaninya. Ia piawai mengurai betapa bara api amarah bisa mendatangkan petaka lewat ilustrasi kisah singkat.
Suatu pagi, sebuah keluarga sedang sarapan. Ayah berpakaian rapi, bersiap-siap ke kantor. Ibu sibuk menyajikan sarapan. Sementara sang anak yang ceria dan selalu sibuk dengan dunianya, asyik menyantap makanannya. Tanpa sengaja, sang anak menyentuh mangkuk sup. Menu yang semestinya jadi penyegar raga dan jiwa itu, berubah jadi petaka. Tumpahan sup mengenai kemeja ayah. Ayah marah. Suasana kasih keluarga tiba-tiba berubah jadi nestapa. Ayah meninggalkan meja makan. Penuh amarah, ia pergi ke kantor dan lupa membawa pekerjaan yang sudah disiapkan sebelumnya untuk keperluan rapat pagi itu. Dibakar bara kemarahan, ayah menyiapkan bahan rapat sekenanya. Hasilnya bisa diperkirakan, tidak optimal.
“Mungkin segalanya akan berbeda jika pada saat anaknya menumpahkan supnya, ia dapat menahan diri dan dengan sabar menenangkan anaknya yang pasti merasa ketakutan karena telah mengotori pakaian kerja ayahnya. Ia tinggal mengganti pakaiannya dan melanjutkan kembali makan pagi yang tenang bersama keluarganya.” Tulis Susanto dalam Mercusuar Kebajikan Sang Harimau: 27.
Amarah memang lebih kerap mendatangkan mudarat daripada manfaat. Namun, suatu saat, pada saat yang tepat, marah juga diperlukan. Tentang kapan boleh marah dan kapan jangan, Susanto mengingatkan, “Kemarahan kadang perlu, tetapi dapat menjadi kelemahan. Ia tidak mampu menyelesaikan apa pun. Anger is the worst weakness. It can not solve anything.”
Puisi memang buah ciptaan penggubah yang lebih banyak unsur subjektivitasnya. Namun, ia juga cermin realitas sosial yang dalam sastra disebut sebagai impresionisme. Yakni adanya impresi, atau kesan, si pencipta setelah mengamati suatu realitas (Aminuddin, 2002: 115). Kesan tadi dipaparkan secara objektif, bercampur dengan kesan-kesan subjektif pencipta.
Susanto: A Man for Others
Makna diri A.B. Susanto haruslah dilihat dalam relasinya dengan orang lain. Keduanya tidak saling lepas, yang satu tidak menegasi yang lain, keduanya seiring sejalan. Sebagai pelengkapnya, Susanto menggubah dan memaknai aopa yang disebutnya Best Friends. Siapa sajakah orang lain di luar dirinya, yang ia sebut dan kategorikan sebagai sahabat-sahabat baiknya?
Better is a friend near than brother afar
Encouraging, sharpening each other
Seek only the very best for the other
Trust is the foundation on which we build
Friends
Really are God’s gift that we must cherish
Inspiring us to pursue
Excellence
Never forsaking in our
Dark moments
Such great blessing uindeed to have
(Tune to “You Raise Me Up”)
(Ekspresi Jiwa Sahabat Harimau, halaman 10)
Gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat, sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 903).
Indah dan berguna. Itu hakikat puisi sejati. Ihwal yang ribuan tahun lampau sudah diamanatkan penyair Romawi kuna, Horatius. Di masa lampau, kehadiran puisi sangat penting. Puisi jadi sarana pendidikan masyarakat. Diajarkan bukan hanya sebatas seni (ars poeticia), tapi juga untuk menghaluskan jiwa.
Apa kata kunci dalam AB SUSANTO dan BEST FRIENDS?
Mari melihatnya dari analisis struktur. Kata pursue excellence adalah key words yang merekat erat keduanya. Baik diri pribadi maupun sahabat karib di mata Susanto terarah guna pencapaian sesuatu yang luar biasa. Terserah mendefinisikan sesuatu yang serba luar biasa, namun Susanto sendiri menamakannya sukses yang diraih melalui proses penuh perjuangan dan pergulatan.
Sukses di mata Susanto sepadan dengan pendapat Stoltz, bahwa sukses merupakan ganjaran atau reward dari sebuah proses pendakian. “I use the term Ascend in the broadest sense –moving your purpose in your life forward no matter what your goals. Whether your Ascent is about gaining market share, getting better grades, improving your relationship, becoming better at what you do, completing an education, raising stellar children, growing closer to God, or making a meaningful contribution during your brief stint on the planet, the drive is imperative. Successful people share the profound urge to strive, to make progress, to achieve their goals and fulfill their dreams” (Stoltz, op. cit: 13).
Namun, apakah sukses itu? Dan mengapa seluruh hidup harus didedikasikan untuk meraihnya? Sukses ialah:
• Berhasil, beruntung (Kamus Besar Bahasa Indonesia 2007: 1099)
• (1) Accomplishment of a task, the reaching of a goal, (2) a good event, an achievement, (3) wealth, good luck in life (Dictionary of American English: 1544).
• Sukses adalah sebuah proses, suatu kualitas pikiran dan cara kita berada, pengukuran kehidupan yang terbuka –Alex Bone
• The most successful old-old people are those who have important connection, a hobby, or something that gives them a zest for life –Kevan H. Namazi, gerontologist, Univ. Texas’s Southwestern Medical Center, Dallas
Jendela dan Cermin
Penyair tidak hidup dalam ruang hampa. Ia berdiam dalam dimensi ruang dan waktu. Karyanya akan abadi, manakala berfungsi menjadi jendela dan cermin sekaligus.
Puisi Susanto pun demikian. Orang lain, di luar dirinya, dapat juga memetik hikmat dan kebijaksanaan dari puisi-puisinya. Inilah yang disebut sebagai makna ekstrinsik puisi. Siapa saja dapat menikmati dan memaknainya sebagai jendela dan cermin.
Di tanah Yunani, pada abad 8 sebelum Masehi, penyair tuna netra Homeros sudah menulis karya sastra yakni Illias dan Odysseia. Karya ini amat populer di kalangan bangsa Yunani di masa itu. Diajarkan pada seluruh warga dan menjadi media pendidikan yang ampuh untuk mengasah kehalusan jiwa dan mencerahkan budi pekerti warga.
Seperti diicatat Horatius, tidak semua karya yang didokumentasikan secara literer disebut sebagai karya sastra. Yang tergolong sastra ialah karya yang indah (dulce) dan berguna (utile). Karena itu, sastra bertugas selain mencerahkan (mendidik) juga menghibur. Tidak mengherankan, pada zaman kebangkitan karya sastra Romawi, pujangga digelari sebagai ”guru moral” (morum doctores). Sebab, lewat karya dan tulisan para pujangga, masyarakat zaman itu diajarkan dan dihibur.
Tak syak, puisi-puisi Susanto yang bernas kita temukan kombinasi dua kecerdasan sekaligus, yakni kecerdasan olah kata dan kecerdasan berpikir. Inilah yang leh Prof. Howard Gardner disebut sebagai word smart dan logic smart dari delapan dimensi multikecerdasan.
Akan tetapi, kecerdasan yang dimaksudkan Gardner tidaklah ditentukan faktor keturunan. Dalam berbagai literatur, keterampilan atau keahlian di bidang word smart disebut skill, bukan talent. Bahkan, boleh dikatakan, keterampilan tersebut lebih terarah pada seni. Dalam kaitan ini, di masa Yunani kuna dan Romawi, seni sastra dan retorika disebut sebagai “ars”.
Kita mengenal istilah ars poetica (seni sastra, ars scribendi (keterampilan menulis), ars musica (seni musik), dan sebagainya. Di samping seni, ars juga berarti ilmu/ pengetahuan (K. Prent, dkk. Kamus Latin-Indonesia, hal. 67).
Pada zaman Yunani kuna, seni wicara –terutama pidato dan debat— merupakan seni, sekaligus ilmu yang sangat digemari. Diajarkan sebagai disiplin khusus. Bahkan, setiap warga Yunani mencita-citakan menjadi orator yang ulung. Seni debat dan pidato muncul dalam disiplin retorika dan diajarkan secara saksama. Muncul tokoh ternama di bidang ini, seperti Plato, Aristoteles, dan kemudian Demosthenes. Bahkan, Demosthenes diceritakan gagap sejak lahir. Namun, karena memelajari dan berkat latihan yang tekun dan terus-menerus melawan kegagapannya, ia menjadi salah satu orator ulung sepanjang sejarah.
Pengalaman dan kegigihan Demosthenes melawan inferioritasnya dalam hal wicara, pantas untuk diteladan. Siapa pun yang bertekun dan mau belajar, pasti bisa. Bukan hanya dalam seni wicara, dalam keterampilan menulis pun ketekunan dan latihan sangat diperlukan.
Dalam konteks itu, kita memahami makna ucapan salah satu pujangga Perancis terkemuka, Honoré de Balzac. Menurut Balzac, word smart bukanlah talenta, melainkan keterampilan yang bisa dipelajari oleh siapa pun. “When one has no particular talent for anything, one takes a pen,” demikian ungkapannya yang termashyur.
Kata-kata bijak ini menyiratkan, menulis (a pen) bisa dimanfaatkan siapa saja untuk memeroleh penghidupan. Dan menulis bukan suatu talenta, namun keterampilan yang dapat dipelajari dan diasah.
Dengan demikian, menjadi gamblang bahwa word smart bukanlah bakat, melainkan usaha. Usaha yang terus-menerus dan sistematis, yang bisa didapat baik dari belajar melalui orang lain maupun lewat jalan autodidak.
Barang-barang perhiasan menghiasi rumah Susanto: dari gading gajah hingga patung dan lukisan.
Dengan mengguratkan puisi bersusunkan kata indah dan sarat makna, Susanto telah memenuhi kaidah esensial puisi berikut ini. Pada abad pertengahan, puisi disebut sebagai useful leisure. Horatius sendiri menyebut pusi sebagai “The Ars Poetica is not a treatise, but a poem which seeks to embody the balancing act it aims to teach to other aspiring poets--a balance, among other things, of inspired genius (or even madness) and craft.”
Pandangan itu, lalu diperteguh oleh Dorsch yang menyatakan, “Poetry (which means all literary composition, not just the versified kind) arose because of the human instinct for, and pleasure in, imitation. Art is an imitation (representation) of an object or an action, and these imitations (representations) can vary according to their medium their object or their manner.
Lalu apa makna puisi menurut Susanto?
Puisi, bagi Susanto, bukan sekadar rangkaian kata-kata indah. Bukan pula cuma ungkapan asa dan rasa. Lebih dari itu, ayat-ayat puisi lahir dari sanubarinya seperti yang dikatakan Jacques Maritain: puisi bukan dipandang sebagai bentuk sastra, tetapi ruh dari semua kesenian. Maka Plato menyebutnya “mousike”.
Karena itu, Susanto juga senang musik. Di rumahnya yang asri, terdapat beberapa buah piano. Ada yang usianya sudah sangat tua, dari abad 18. Saking senang pada musik, sebuah buku yang terbit menandai usia emasnya berjudul 50 Tahun Simfoni Kehidupan Dr. A.B. Susanto (2000), bab-babnya menggunakan terminologi musik pula. Misalnya, prelude, encore, dan repertoire. Terminologi itu, tentu tidak muncul begitu saja. Susanto menghayati betul tiap hentakan nada dan irama musik. Bahkan, jemarinya lincah menari-nari di atas tuts-tuts piano. Bersama iringan piano, ia siap mengidungkan lagu-lagu dan menyenandungkan keindahan dan keabadian semesta.
Piano di rumah Susanto: dari abad XVIII.
Kesenangannya juga merambat pada seni lukis. Bukan hanya sebatas mengagumi, Susanto pun sesekali menari-narikan kuas di atas kanvas. Bahkan, aktif menggelar berbagai pameran seni lukis. Ini dilakukannya sudah sejak lama. Bukan hanya di seputar kantor, juga di tempat-tempat lain. Susanto juga aktif dalam acara lelang lukisan dalam rangka penggalangan dana untuk kemanusiaan.
Agaknya, karena latar menyukai seni, Susanto jadi merasa pas dengan adagium yang diucapkan Horatius, “Dulce et utile”.
Dalam bahasa manajemen, formulasinya menjadi substance and style. Namun, segera ia mengimbuhi, “Seni dan keindahan itu abadi. Saya sendiri pecinta seni. Sekaligus cinta pada keabadian.”
Daftar Pustaka
Aminuddin, MPd., Drs. 2002. Pengantar Apresisasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Anwar, Chairil. 1999. Derai-Derai Cemara. Jakarta: Horison.
Bakdi Soemanto, “Selamat Jalan Sang Pembaru” dalam Kompas, 8 Agustus 2009.
Chopra, Deepak. 1994. The Seven Spiritual Laws of Success. New York: Amber-Allen Publishing.
Forsyth, Patrick. 1997. First Things First (Dahulukan yang Penting). Jakarta: Binarupa Aksara.
Pincott, J. (ed.). 2007. Excellence. London: Marshall Cavendish-Cyan.
Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Stoltz, Paul G. Adversity Quotient. 1997. New York: John Wiley & Sons.
Susanto, A.B. 2006. Disaster Management di Negeri Rawan Bencana. Jakarta: JCG-Eka Tjipta Foundation.
---------------. 2005. Kata-Kata Mutiara: Ekspresi Jiwa Sahabat Harimau. Jakarta: Ray Indonesia.
---------------. 50 Tahun Simfoni Kehidupan Dr. A.B. Susanto. 2000.
Internet: http://web.whittier.edu/people/WebPages/PersonalWebPages/furmanadams/AristotleandHoraceHandout.HTM
http://www.nyu.edu/gallatin/facultystaff/syllabi/Fall08/K20.1389.pdf
Langganan:
Postingan (Atom)