Sabtu, 01 Mei 2010

MENGUTIP TANPA TERJERAT PLAGIAT

Dalam dunia ilmiah, mengutip karya, temuan, hasil penelitian, atau gagasan orang lain—terutama pakar—tidak diharamkan. Bahkan, untuk sebagian akademisi, kutipan itu sangat vital, asalkan jujur pada sumber.

Apa kompensasi bagi orang yang karya ciptanya dikutip? Kompensasinya ialah, dengan dikutipnya karya, temuan, hasil penelitian, atau gagasan tadi, pencetusnya akan jadi populer dan dikenal. Dengan dikenal, ia akan mendapat efek domino. Ini namanya kontraproduktif, atau win-win solution.

Dalam mengutip, terdapat dua cara yang lazim digunakan yakni:
1) Sistem Harvard.
2) Sistem numerik.

Yang paling disukai dalam penulisan karya ilmiah ialah cara mengutip dengan sistem Harvard. Selain paling umum, sistem mengutip ala Harvard juga gampang, selain memudahkan penulis di dalam menggunakan dan menelusuri kembali sumber atau rujukan.
Sistem Harvard sendiri mengenal dua pola : (1) kutipan yang terintegrasi dalam teks dan (2) rujukan bibliografis.

a. Kutipan yang terintegrasi atau tekstual
Untuk kutipan ini, biasanya halaman sumber dicantumkan, sebab penulis merujuk langsung pada sumber yang dikutip.

Contoh 1:
Ada banyak ragam lead. Masing-masing penulis buku jarang menyepakati jumlahnya, namun mereka umumnya sepakat bahwa lead berfungsi mengantar pembaca memasuki sebuah tulisan. Dengan membaca lead, orang sudah mafhum inti tulisan. Seperti ditegaskan R. Masri Sareb Putra (2006):

Dalam dunia jurnalistik, lead juga disebut sebagai “teras berita”. Pada sebuah rumah, teras selalu berada di bagian depan. Fungsinya sebagai ruang khusus sebelum memasuki ruang utama (inti) (hlm. 58).

Contoh 2:
Di era multimedia, banyak pakar mencemaskan semakin sedikitnya orang menggunakan kertas sebagai media komunikasi. Namun, R. Masri Sareb Putra (2007) melihat sebaliknya. Kertas dan media digital tidak saling meniadakan, justru saling melengkapi. Tidak ada media lain, selain kertas, yang dapat menggantikan proses pendidikan, utamanya belajar-mengajar. Pendidikan hampir selalu berkaitan dengan proses dan kegiatan cetak-mencetak. Karena itu, pertumbuhan media akan dibarenngi pula dengan semakin dihargainya profesi penulis. Bahkan, prospeknya sangat cerah.

Karena pemilik copyright (sumber) telah disebut dan juga tahunnya, maka dua hal ini tidak menjadi persoalan. Namun, pembaca tentu penasaran, minimal bertanya-tanya, sumber yang dikutip? Apa judul sumber yang dikutip, dalam bentuk publikasi apa, apa penerbitnya?

Kalau sumber yang dikutip berupa koran dan majalah, niscaya jumlah halamannya tidak sampai 58. Jurnal mungkin halamannya sampai 58. Tapi yang paling mungkin adalah buku. Bagaimana mengacu ke sumber? Untuk memudahkan pembaca, penulis perlu mencantumkan sumber yang dukutipnya lengkap dalam Daftar Pustaka.

Dengan mencantumkannya dalam Daftar Pustaka, maka pembaca dapat menyelisik sumber yang dikutip, jika memerlukannya.

Bagaimana dengan kutipan pada contoh 2, di mana sumber tidak dicantumkan? Dilihat dari isinya, memang tidak perlu mencantumkan sumber, sebab sesungguhnya itu bukan kutipan teks, namun kutipan opini/gagasan/hasil temuan dari nara sumber.

Penulis telah meringkasnya dengan bahasanya sendiri, ia menulis intisari saja dari sumber yang ia petik. Cara mengacu sumber asli, juga sama dengan contoh 1, yakni melacaknya dari Daftar Pustaka. Ternyata, setelah mencari, akhirnya contoh kutipan kedua itu dipetik dari buku Menulis: Meningkatkan dan Menjual Kecerdasan Verbal-Lingustik Anda, penerbit Dioma, 2005, hlm. 115.

Yang sama dari contoh 1 dan 2, kutipan yang terintegrasi perlu dibedakan body text (asli tulisan Anda) dengan kutipan. Agar berbeda, dapat keduanya menggunakan point huruf (font size) yang berbeda, atau dengan jenis huruf (tipologi) yang berbeda.
Selain kedua contoh itu, kita masih sering menemukan berbagai variasi lain dari cara mengutip model Harvard. Misalnya,

1. Sebuah riset baru-baru ini (James Pennebaker 2007) menemukan bahwa menulis banyak sekali manfaatnya, antara lain menulis dapat menghilangkan trauma-trauma masa lalu.
2. Parakitri T. Simbolon (2006) mencatat terdapat 16 ragam lead.
3. Studi-studi mutakhir mengenai komunikasi sampai pada kesimpulan, setiap bangsa memiliki persepsi masing-masing terhadap sebuah perilaku atau simbol yang sama (lihat misalnya Carté dan Fox 2006).
4. Dalam studi mengenai efek atau pengaruh penonton Anfield, psikolog bernama Kampret Terbang Tinggi (2007, hlm. 113) menyebut bahwa penonton di stadion Anfield adalah pemain ke-12 pasukan merah Liverpool. Tak mengherankan, jika bermain di kandang, Liverpool hampir selalu menang. Sebab, mereka berhadapan dengan 11 pemain lawan.

Itu adalah contoh dan sejumlah variasi model kutipan Harvard. Memang masih menyisakan perdebatan, seperti cara mengutip ala Harvard mengurangi kelancaran (dan kenyamanan) membaca. Oleh karena itu, penulis hendaknya mengurangi jumlah rujukan tekstual yang dipetik. Lagi pula, akan muncul kecurigaan: benarkah penulis membaca seluruh sumber yang dikutip? Bukankah litani yang dikutip itu bukan ihwal yang bermaksud memamerkan atau untuk gagah-gagahan?

Dalam mengutip gaya Harvard, hindari kutipan seperti yang berikut ini.

Tidak ada kesepakatan soal definisi komunikasi (Laswell, 1937; Little John 2005; Rupert Murdoch 1998; Astrid Susanto 2001; Brian Clegg 2001; Jamiludin Ritonga 2005; Wiryono, 2005; Dani Vardiansyah 2005; Lidia Evelina 2006; Masri Sareb Putra 2006; Arifin Harahap 2006; Zaenal Abidin 2006; Emrus Sihombing 2006; Ati Cahayani 2006; Jenni Purba 2006; Jalaludin Rahmat 2006; Berta Sri Eko 2007; Carté dan Fox 2006; Rozikis dan Ambulu 2007; Thomson 2007; Kukuh Prihmanto 2007; Ande-ande Lumut 2007, Djoko Bodo 2007; Lita Mawarni 2007; Dian Utama Purnama et at. 2006, 2007). Dengan ada begitu banyak definisi komunikasi, maka justru pengertian komunikasi jadi simpang siur. Dari kesepakatan para pakar untuk tidak bersepakat soal definisi komunikasi, dapat disimpulkan, upaya membangun komunikasi untuk menyepakai definisi komunikasi mengalami diskomunikasi. Dengan demikian, terjadikah komunikasi ketika membahas definisi komunikasi, sebab dari awal para pakar sudah mengalami diskomunikasi?

b. Kutipan dan cara mengatur rujukan bibliografis
Rujukan berasal dari kata ”rujuk” yang berarti: acuan. Makna kata ini sepadan dengan referensi (to refer = mengacu). Adapun bibliografi berasal dari kat Yunani biblos atau ta biblia (jamak) yang berarti buku dan grafein yang berarti tulisan atau ilmu. Jadi, bibliografi ialah buku yang di dalamnya terkandung tulisan dan atau gambar. Rujukan dalam bentuk tulisan, baik cetak maupun etektronik, dapat ditulis berdasarkan kategori medianya seperti contoh berikut.
1. Mengutip dan mengatur rujukan dari buku
Carté dan Fox (2004) Bridging the Culture Gap: A Practical Guide to International Business Communication, London, Kogan Page.
2. Mengutip dari koran, majalah, jurnal
Vanda Gunawan (2007) “Hati-hati dengan Kambing Guling” Nirmala, edisi Mei, hlm. 24.
3. Mengutip dari sumber internet
Abdul Aziz, Tunku (diakaes 10 Mei 2007), Transparency International (Online) http://www.transparency.org (http://transparencymauritius.intnet.mu/cpiwhat2.htm)

Masih menjadi bahan perdebatan, manakah pola (gaya) yang paling benar? Bukan soal benar tidaknya, tapi soal praktis atau kelaziman dan mana yang paling banyak digunakan orang. Umumnya, kalangan akademis menggunakan gaya Harvard, sebab dibandingkan dengan yang dianjurkan Pusat Bahasa, model Harvard masih lebih sederhana dan mudah.

Akan halnya, apakah nama penulis harus dibalik ataukah tidak, masih perlu diperdebatkan. Mengapa umumnya nama penulis luar, terutama Barat, dibalik? Ini karena mereka mengenal nama kecil, nama keluarga, dan nama diri.

Di Indonesia, kecuali bangsa tertentu, tidak mengenal seperti ini. Maka, apakah nama mesti dibalik atau tidak dalam tata krama penulisan sumber di Indonesia, sangat tergantung konteks.
Sebagai contoh, inilah cara mengutip bibliografi seperti dianjurkan Depdiknas-Pusat Bahasa.

Partao, Zainal Abidin. 2006. Teknik Lobi dan Diplomasi untuk Insan Public Relations. Jakarta : PT Indeks.

Debat soal ini, pernah terjadi pada pada forum ilmiah ketika FKGUI menyelenggarakan teknik penulisan buku ajar tahun 2006. Debat dan adu argumentasi akhirnya sampai pada simpulan, cara mana yang dipilih, tidak persoalan.

Yang penting, di dalam mengutip, data yang dibutuhkan pembaca lengkap. Kalau data tidak lengkap, maka menggunakan cara mengutip yang dirasa paling hebat pun jadi tidak banyak faedah. Jika sumber yang dikutip lengkap datanya, maka dengan menggunakan gaya mana pun, kutipan jadi mudah untuk dilacak.

Kata, atau frasa, apa yang dapat digunakan untuk memulai kutipan? Banyak cara dapat digunakan untuk memulai kutipan. Berikut ini frasa yang lazim digunakan mengawali kutipan dalam penulisan karya ilmiah.

Si anu….
Menurut si anu….
Menurut pendapat si anu…
Menurut pandangan si anu…
Seperti di-…. si anu….

Frasa itu dapat digunakan bervariasi, sehingga tidak membosankan. Lazimnya, setelah frasa, diikuti kata berikut:
Menulis.
Mencatat.
Berargumen.
Menemukan.
Menyimpulkan.
Mengomentari.
Menegaskan.
Menyarankan.
Mengobservasi.
Memasukkan.
Menyatakan.
Mengemukakan.
Menolak.
Menyatakan.
Mengklaim.
Menunjukkan.
Mengatakan.
Menjelaskan.

Setiap kata mengandung nuansa sendiri-sendiri, kapan sebaiknya digunakan, bergantung pada konteks. Kalau misalnya pendapat yang dikutip memang dibukukan, namun sebelumnya disampaikan pada prosiding seminar, maka kata “mengatakan” masuk akal. Namun, kalau pendapat dalam bentuk karya cetak, kata “mengatakan” terasa janggal; akan lebih baik jika “menulis” atau “mencatat”.

Di Kanada dan Amerika, koma tidak pernah berada di luar tanda petik. Tanda baca koma (,) selalu merupakan bagian utuh dari kutipan, atau penulis yang dikutip. Sebagai contoh:

"I am a man/ more sinned against than sinning," Lear pronounces in Act 3, Scene 2 (59-60).

Bagaimana di Indonesia? Tampaknya, tidak ada keseragaman untuk itu. Ada penulis yang menempatkan tanda koma (,) seperti cara Kanada dan Amerika, namun ada pula yang menempatkannya setelah tanda petik.

Manakah yang baku? Di sini kembali lagi pada pilihan dan kelaziman. Jika ingin dianggap setara negara maju, maka tempuhlah cara penulisan ilmiah seperti mereka juga!

Bab-bab selanjutnya, tidak ditampilkan dalam blog ini....

Tidak ada komentar: