Sabtu, 22 Mei 2010

Negara yang Dipimpin Filsuf

Naskah tua Politeía agaknya perlu kita baca. Bukan sekadar baca, tapi juga melakukannya. Mengapa? Sebab, siapa yang tidak mau mempelajari sejarah, akan dikutuk sejarah.

Kita ini tengah dikutuk sejarah. Perseteruan antarpartai menyebabkan rakyat makin melarat. Apa yang dikerjakan wakil rakyat di Senayan untuk memakmurkan rakyat? Apa pula sumbangsih partaipartai pada rakyat, kecuali memikirkan kepentingan golongan?

Pada abad 4 sM, Plato sudah mewanti-wanti akibat buruk pertentangan antarpartai. Bahwa perseteruan antarpartai akan melemahkan sebuah republik, yang akhirnya dapat menyeret warga ke tubir kehancuran. Bukan saja miskin secara harta, tapi juga secara intelektual dan juga moral. Yang terakhir tak bisa ditawar, sebab itulah hakikat manusia menurut para filsuf.

Konstitusi yang berpihak pada keadilan dan rakyat memang baik. Namun, jadi tak berarti manakala tidak ada yang menjamin pelaksanaannya. Bangsa Yunani setengah abad sebelum Plato lahir, sudah punya konstitusi. Tatkala Solon pada 593 sM jadi pemimpin Atena sudah diupayakan undang-undang yang adil, yakni aturan umum yang eunomia. Yakni konstitusi yang mengatur dan menjamin hak serta menciptakan keadilan bagi warga Athena.

Namun, aturan itu dirusak oleh perseteruan antar dua partai: golongan kaya dan golongan marjinal. Perseteruan yang tak berujung pada titik temu ini lalu memicu perang saudara. Athena, dengan segala kemajuan dan kemegahannya yang telah dibangun bertahun-tahun hancur dalam hitungan detik. Setitik nila mengancurkan susu sebelanga. Inilah akibat perseteruan partai. Yang terjadi bukan kebaikan, sebaliknya, kehancuran dan kerusakan.

Ada baiknya, demi kemaslahatan bersama, para pemimpin partai politik kita kembali duduk di meja perundingan untuk membangun koalisi yang saling menguntungkan. Tidak sebatas basa basi. Tujuannya demi kemaslahatan bersama. Senyampang masih ada waktu, jika keduanya bijak, menjalin koalisi kembali. Belajarlah dari sejarah. Sibak kembali naskah kuno kuna Politeía yang berarti pemerintahan negara-bangsa yang ditulis Plato pada tahun 380 sM.

Dalam Politeía dideskripsikan pemerintahan yang ideal. Memang terjadi dialektika empat bentuk pemerintahan yakni timokrasi, oligarki, (kerap disebut plutokrasi), demokrasi, dan tirani (kerap disebut despotisme).

Manakah bentuk negara paling ideal? Tidak ada! Yang ada ialah gabungan keempatnya. Penekanannya bergantung pada situasi kondisi. Mengapa Plato menyimpulkan, pemerintahan ideal seharusnya dikendalikan filsuf? Sebab hanya filsuf pemimpin yang dapat memilah dan memilih, kapankah menerapkan gaya kepemimpinan untuk mencapai kebaikan dan keseimbangan.

Naskah Politeía berbentuk dialog Sokratik ini jadi acuan negarawan-pemikir seperti Jean Jacques Rousseau, Bertrand Russell, Allan Bloom, Leo Strauss.

Tahun 561 Pisistratus tampil sebagai pemimpin kuat lagi tersohor di Athena. Pada 461 muncul pemimpin demokratik Ephialtes sebagai penyeimbang. Rakyat Athena mulai dikenalkan kekuatan yang saling mengoreksi dan menyeimbangkan (checks and balances) lewat dialog yang santun dan terbuka.

Maka pemerintahan oleh para filsuf tidak hanya akan mencegah terjadinya kehancuran yang potensial mengancam kota, lebih-lebih bahaya dari serangan musuh dari luar. Namun, lebih-lebih melindungi dan menjamin hak-hak warga agar tercipta keadilan dan kebahagiaan yang disebut sebagai “keadilan sosial”, yang didapat dari kerja sama dan persaudaraan sejati yang dibangun oleh setiap warga kota (Republic 462a-b, Laws 628a-b).

Kedamaian, menurut Plato, tidak identik dengan yang kini kita maksudkan. Yakni suatu keadaan yang dinikmati hanya segelintir orang, namun nilai yang diinginkan setiap orang. Inilah pemikiran luar biasa Plato yang didasarkan ide Solon, namun mempertajamnya lagi bahwa keadilan sosial haruslah didasarkan pada equilibrium dan harmoni dari kelas-kelas sosial yang berbeda.

Menurut Plato, fungsi pokok pemimpin filsuf ialah menjamin hak-hak sipil dan menghentikan perselisihan sosial, namun haruslah didasarkan pada tata hukum yang adil.

Pertanyaannya: apakah para pemimpin kita sudah demikian? Boro-boro. Seujung kuku pun tidak!

Tidak ada komentar: