Seorang guru tengah mengajar murid-muridnya. Topiknya selain aktual, juga menarik dan sarat muatan filosofis. Sang guru membahas isu perdamaian. Katanya, seseorang akan menerima damai, manakala ia membuka pintu hati untuk permohonan maaf dari orang yang pernah berbuat salah dan menyakitinya.
Seorang pendengar yang terkesima mendengar penjelasan sang guru. Lalu buru-buru mengacungkan tangan dan bertanya, “Guru, berapa kalikah kami harus mengampuni? Satu kali? Dua kali? Tiga kalikah? Atau tujuh kali?”
Sejenak sang guru yang bijak terhenyak. Matanya menatap tajam sang murid. Lalu menengadah ke langit. Setelah itu, ujung jarinya menyentuh tanah. Ia hendak menggurat sesuatu. Lalu bertanya pada si murid. “Kesalahan apa yang dilakukan orang tersebut pada kamu?”
Si murid berkata, “Orang itu ingkar janji. Katanya hendak membayar utang hari ini, tapi sama sekali tidak.” Sang guru pun mencatat kesalahan orang yang telah melakukan kesalahan pada muridnya: ingkar janji. Kesalahan ini ditulisnya di permukaan tanah.
Selanjutnya, sang guru menjawab pertanyaan, berapa kali orang harus mengampuni? Begitu bijaknya sang guru, sehingga dalam menjawab pertanyaan ia justru bertanya. “Menurut keyakinanmu, berapa kali orang harus mengampuni?”
Si murid ingat buku suci yang pernah dibacanya, “tujuh kali, guru.”
Aku berkata kepadamu, kata sang guru, “Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.” Sembari berkata demikian, sang guru menulis angka 70 x 7 di permukaan batu prasasti.
Mengapa kesalahan seseorang ditulis sang guru di atas permukaan tanah, sedangkan berapa kali harus mengampuni di atas batu prasasti? Kesalahan harus dengan mudah dihapus dari ingatan, sedangkan berapa kali harus diingat selamanya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar