Minggu, 02 Mei 2010

Biografi sebagai Novel

Pengantar
Biografi sebagai novel? Kenapa tidak! Artikel saya kali lalu menjelaskan menulis profil dengan gaya berkisah. Molly Blair (2006) menyebut itulah literary of fact. Dan salah satu jenis creative non-fiction adalah biografi.

Tak hanya asal berteori, saya menerapkannya.Inilah bab 2 buku saya, biografi A.B. Susanto.

Buku ke-50.


Susanto’s Facet # 2

Larik Puisi dan Keindahan Abadi

Vita brevis, ars longa (Hidup itu singkat, tapi seni abadi selamanya).

Mentari pagi baru saja menyembul di ufuk timur. Rona jingga tergurat pada langit biru lazuardi. Mega-mega putih bergerak perlahan ke selatan. Cuaca cerah. Daun-daun kering luruh ke tanah. Yang tinggal adalah hijau permai, bersih tak berdebu, usai disiram oleh hujan semalam.

Suatu pagi, pengujung April 2009. Di rumahnya, di bilangan Kemang Timur, Jakarta Selatan. Susanto tengah merangkai kata jadi kalimat. Kalimat ditatanya jadi alinea. Alinea berisi ide-ide cemerlang coba disapihnya jadi wacana.

“Kejar tayang. Penerbit sudah mendesak agar cepat jadi. Namun, menulis tidak bisa diburu waktu. Mesti khusuk. Masuk dalam topik. Menghayatinya secara intens. Mendalaminya dengan sumber. Baru memunculkan power keluar,” terang Susanto ihwal proses kreatifnya menulis.

Untuk menulis buku saja Susanto butuh waktu khusus, apalagi merangkai puisi. Menulis tesis dan menulis puisi jelas beda. Yang pertama tertuju pada otak, sedangkan yang kedua pada hati. Tesis berisi argumen dan pembuktian, sementara puisi lebih melukiskan suasana. Bahasa harus singkat, namun bernas. Diperlukan keterampilan tersendiri untuk memilih diksi.


Susanto bersama artis Sandra Dewi di kantornya: keduanya sama-sama duta lepra.

Apa saja dapat menggugah hati Susanto untuk mengangkat pena. Apalagi, ketika suasana hatinya sedang ceria. Seperti pagi hari itu. Ketika bunga-bunga anggrek di kolam renang samping rumahnya yang sedang mekar, segar disapih butir-butir air hujan tadi malam. Sesekali anggrek yang bergantungan pada pohon-pohon cemara yang berjejejar rapi seputar kolam renang bergoyang diterpa semilir angin pagi. Dedaunan mangga menghijau permai, menambah semarak suasana pagi itu.

Ditemani Grace Lasaroeddin, saya masuk halaman rumah asri yang terletak di Kemang Timur VI no. 99 itu. Dua petugas keamanan memberi salam hormat. Seekor anjing tinggi besar berkulit gelap datang menghampiri. Mengibas-ngibas ekor, seakan mempersilakan tamunya untuk masuk.

Seni dan Keabadian
Pecinta seni ini menyadari, sebagai bagian dari seni, puisi bukan sekadar rangkaian kata-kata indah. Tapi juga sarat makna dan, karena itu, itu abadi. Maka Susanto gemar berpusi. Bukankah ini sesuai dengan pepatah yang mengatakan, “Vita brevis, ars longa” (Hidup itu singkat, tapi seni abadi selamanya)

Ketika pepatah ini lahir, seni yang termashyur adalah seni sastra, utamanya puisi (ars poetica). Susanto bersetuju dengan apa yang diucapkan pujangga Romawi, Quintus Horatius Flaccus. Puisi selain indah, juga berguna (duce et utile). Bahkan, ia bisa memaknai diri dalam bentuk puisi. Sembilan larik huruf awal namanya dari atas ke bawah terjalin indah dan sarat makna. Kesemua itu membentuk gagasan utuh, mirip visi dan misi dalam hidup.

Pencapaian visi dan misi pribadi ini, diibaratkannya dengan falsafah olah raga golf. Yang penting bukan seberapa jauh bola jatuh, melainkan pada arah (direction)-nya yang tepat, yang diawali dari sebuah pukulan yang presisi. Susanto sendiri menyebut indah dan berguna sebagai substance and style.

“Saya menerapkan filosofi ini di kantor. Sudut pandang manajamennya jadi beda, melihat orang dari perspektif positif, senantiasa melihat kelebihan, lalu mengarahkan kekuatan itu untuk pencapaian tertentu. Saya menyebutnya talent management. Manusia dilihat strength, kekuatannya. Kaca mata positif ini lantas diarahkan untuk suatu perubahan, change guna meraih highest peak,” terang Susanto.


Susanto di ruang kerjanya, gedung Wisma BNI 46.

Susanto yakin, barangsiapa setia pada perkara kecil, setia juga pada perkara-perkara besar. Maka perubahan tidak harus mulai dari ihwal dengan melakukan perkara-perkara besar. Excellence is not skill. It is an attitude.

Bagi Susanto, puisi ialah denyut nadi dan helaan napasnya. Ragam sastra yang terikat irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait ini, telah jadi satu dengan dirinya. Susanto bukan hanya gemar puisi.

Akan tetapi, dia adalah puisi itu sendiri!
Bagi banyak orang, apalah arti sebuah nama. What's in a name? That which we call a rose. By any other name would smell as sweet. Begitu ungkapan terkenal dari Shakespeare yang ditaruhnya pada mulut Juliet dalam Romeo and Juliet (II, ii, 1-2) .

Namun, tidak demikian bagi Susanto. Nama baginya mematri sejuta makna. Nama memang pemberian orang tua yang harus diterima. Tapi hanya tetap tinggal sebuah nama, hampa makna, jika tidak coba dimaknai. Seorang rekan menggubah sebuah puisi baginya. Tiap larik, diawali huruf yang, jika disusun menurun, membentuk namanya: AB Susanto.

Sejenak menunggu di ruang tamu, mata saya terpanah pada dua buah gading yang terpampang di ruang tamu. Rapi ditata, lagi pula letaknya manis. Susanto tampak sedang sibuk menulis sesuatu di meja ruang kerjanya. Tampak dari samping kamar tamu ia menulis sesuatu, sebab hanya dibatasi kaca transparan.

“Selamat datang di rumah saya. Ya begini ini,” Susanto menukas pembicaraan. Paham saya mengagumi gading yang menghiasi ruang tamunya, ia menjelaskan, “Bukan dari Afrika. Dari Indonesia juga. Gading gajah ini lebih panjang dari punya Mbak Mega,” jelasnya. Kini gading yang tak banyak retaknya itu dipindahkan ke ruang kerjanya di kantor.

Memang ada ungkapan, “Gading gajah yang sudah dikeluarkan bolehkah dimasukkan lagi?” Artinya, suatu keputusan yang sudah ditentukan, tidak akan dicabut lagi. Namun, agaknya pemidahan gading ini bukan seratus persen hendak menafikan pepatah tadi. Hanya demi keindahan. Tapi kalau benar-benar hendak disangkutpautkan dengan karakter Susanto, maka pemidahan tempat memajang gading itu menunjukkan sikap adaptif: mau dan sanggup berubah sesuai dengan tuntutan situasi kondisi. Bukankah ini hakikat change management?

Tentu saja, gading pajangan itu bukan didapat dari memburu sendiri satwa yang dilindungi. Tapi diperoleh dari gajah-gajah tua yang sudah saatnya mati meningalkan gading. “Sebaliknya, Susanto bahkan menganjurkan supaya terjadi keseimbangan ekosistem. Sebab, sumber daya alam yang dikelola tidak bijak, niscaya mendatangkan bencana. Ini ditegaskannya dalam buku Disaster Management di Negeri Rawan Bencana.

Maka rumahnya yang asri ditata bersahabat dengan alam. “Nggak dipelihara, mereka datang sendiri. Di sini burung-burung bebas datang dan pergi sesuka hati,” kata Susanto begitu ketilang berbunyi sahut-sahutan, sembari berloncatan dari dahan ke dahan pohon yang berjejer rapi di halaman belakang, samping kolam renang.

Di teras rumahnya, Susanto menjalani terapi rutin, pemulihan kesehatan, khususnya lower body, dibimbing Wahyu, seorang pakar sport therapy.

Terapi pagi itu sedianya dijalani genap empat tahap. Sketching atau peregangan dan penguatan otot, sepeda, beban, dan ditutup renang. Namun, lantaran hujan semalam, kolam renang agak keruh airnya. Maka, terapi hanya sampai tiga tahap saja.

Baru saja masuk terapi tahap kedua, Glory Rosari Oyong datang menyusul. Ditingkah bunyi jatuhnya air ke pusaran kolam renang dan kicauan burung, Susanto naik, lalu mengayuh sepeda. Kakinya bergerak naik turun. Sesekali instruktur memberi aba-aba, lalu berkomentar. Beberapa menit kemudian, ia menyeka keringat dengan handuk kecil. Olah raga sepeda telah membuatnya mandi keringat.

Susanto seperti biasa. Tampak penuh vitalitas dan senantiasa gembira, menjawab pertanyaan yang dilontar padanya. Paling utama, ialah mengorek hingga rahasia terdalam, apa filosofi di balik namanya? Mengapa namanya dikemas dalam struktur puisi?

“Ceritanya berawal kira-kira sepuluh tahun lalu. Dalam perjalanan bolak balik antara Jakarta-Semarang, Halim Agung menggubah bait-bait puisi buat saya. Kebetulan, saya ditunjuk jadi Dewan Penyantun Yayasan Soegijapranata. Ketika itulah, larik puisi sembilan baris yang membentuk nama saya, digubah.”

Terangkailah huruf jadi kata multimakna membentuk AB Susanto dibaca dari atas ke bawah. Tergurat dalam 9 larik puisi.
A life committed to pursue excellence
Balanced with integrity that transforms
Strive to achieve the very best possible
Utmost effort not sparing to realize
Success will follow every step of your way
A triumph gained through patient
Never fear
To face whatever challenge
Onward climbing to reach the highest peak

(tune to “You Raise Me Up”)

Puisi yang sarat hikmat kebijaksanaan ini terdapat pada halaman 2, atau pembuka, buku Ekspresi Jiwa Sahabat Harimau. Untaian Kata-Kata Mutiara yang diterbitkan Ray Indonesia, 2005.

Bagi Susanto, hidup sungguh indah dan berharga. Maka, ia berjanji melakoni hidup dan memaknainya untuk meraih hasil yang luar biasa (committed to pursue excellence). Masalahnya, apakah hebat luar biasa itu? Bagaimana hebat luar biasa didefinisikan?
Salah satu definisi excellence datang dari pemikiran ahli pikir yang juga pecinta seni puisi, Aristoteles (84 sM – 322 sM). Ketika itu, puisi sangat digemari di Yunani. Setiap orang bercita-cita jadi penyair dan orator. Menurut Aristoteles, excellence bukanlah keterampilan, namun sebuah sikap.

Care more than others think is wise
Risk more than others think is safe
Dream than others think is practical
Expect than others think is possible
Excellence is not skill. It is an attitude.


Luar biasa ialah seni menang melalui latihan dan pembiasaan. Kita tidak berbuat secara langsung karena punya kebijakan atau sesuatu yang luar biasa, namun kita memiliki kemampuan itu, terutama karena kita belajar langsung.

Luar biasa akan jadi liar, tidak punya arah, dan kurang berhasil-guna manakala tidak diseimbangkan dengan integritas. Karena itu, Susanto merasa perlu menyeimbangkannya dengan integritas pribadi yang mentransformasi (balanced with integrity that transforms).

Keduanya lalu diarahkan untuk mencapai hasil sebaik mungkin dan sepenuhnya berupaya untuk diwujudnyatakan (strive to achieve the very best possible dan utmost effort not sparing to realize).

Jika demikian, maka sukses akan menyertai tiap langkah pada jalan yang kita tapaki (success will follow every step of your way). Tidak ada keberhasilan diperoleh tanpa lewat sebuah proses dan proses itu adalah kesabaran (patient). Umumnya, orang silau pada puncak usaha, yakni kesuksesan, lupa pada prosesnya. Padahal, sukses ada prosesnya (a triumph gained through patient). Kesabaran untuk meniti dari bawah, bahkan sabar untuk mulai lagi dari titik nadir jika gagal.

Tentu, dalam proses menuju sukses, selalu ada hambatan dan tantangan. Namun, jangan pernah takut menghadapi tantangan, apa pun juga (never fear to face whatever challenge).

Susanto mengajarkan, potensi selayaknya dimaksimalkan. Yang disebut sukses itu berjenjang. Ia ibarat gunung. Meski tinggi, ada puncak tertingginya. Teruslah mendaki hingga puncak gunung sukses tertinggi (onward climbing to reach the highest peak).



Mobil yang setia mengantar Susanto ke mana pun pergi. Baginya, mobil ini bukan tujuan, namun sekadar alat baginya untuk meraih puncak prestasi dan puncak kehidupan.

Filosofi “o” dari huruf paling akhir nama Susanto ini sepadan dengan teori mengubah tantangan menjadi peluang yang dikemukakan Paul G. Stoltz. Dalam buku Adversity Quotient: Turning Obstacles into Opportunities (1997), pendiri Peak Learning itu menjelaskan terdapat tiga tipe manusia.
 Quitters (berhenti), yakni orang yang menampik untuk maju atau mendaki. Cirinya ialah bahwa orang ini do just enough to get by. Little ambition, minimal drive, sub-par quality. Take few risk, rarely activity.
 Campers (pekemah), yakni orang yang mudah puas. Cirinya ialah bahwa orang ini show moderate creativity and take some calculated risk, play it safe.
 Climbers (pendaki), yakni orang yang tidak pernah puas dgn apa yang sudah diraih dan ingin good, better, best. Ciri orang pendaki ialah show moderate creativity and take some calculated risk, play it safe.

Adakah foto AB yang sedang berada di puncak bukit? Atau adakah foto yang mengilustrasikan beliau sedang menunjuk atau menerangkan puncak kurva prestasi puncak pencapaian?

Sukses berawal dari diri sendiri. Tidak bergantung dan menyalahkan orang lain, apalagi menyalahkan alat. Seperti kata pepatah, “A bad workman always blames his tool”. Tukang yang tidak cakap selalu menghujat alatnya. Kemampuan untuk mengatasi hambatan ini, kini menjadi salah satu kajian/ ilmu psikologi modern. Paul G. Stoltz dalam buku Adversity Quotient: Turning Obstacles into Opportunities (1977) menyebut AQ ini sebagai “The most important factor in achieving Success”.

Sementara itu, Dag Hammarskjold, mantan Sekjen PBB mengatakan, “….Never measure the height of a mountain, until you have reached the top. Then you will see how low it was.”

Ya, jangan pernah buru-buru mengukur ketinggian gunung sebelum Anda dapat meraih puncaknya. Sebab, di puncak, Anda baru menyadari sebenarnya Anda masih berada di bawah.”
Hidup seperti mendaki gunung. Karena itu, sukses adalah sesuatu seperti yang digambarkan Susanto, “Onward climbing to reach the highest peak”. Senada dengan ini, Stoltz menambahkan, “Success can be defined as the degree to which one moves forward and upward, progressing in one’s lifelong mission, despite all obstacles or other forms of adversity (Stoltz, 1997: 5).

Perhatikan dengan saksama kata success dan adversity, yang dalam buku aslinya, dicetak miring. Bukankah gagasan pokok sukses dan kecerdasan mengatasi hambatan sama dengan “Success will follow every step of your way. A triumph gained through patient. Never fear” dalam larik 5,6,7?

Bukan hanya Susanto, tiap orang dapat saja menggubah larik puisi dari namanya. Merajut makna dan membangun dasar filosofis. Lalu metapkan pencapaian dalam garis hidupnya. Itulah visi dan misi.

Sebagaimana layaknya membuat visi dan misi, kata-kata dirangkai indah dan singkat. Inilah hakikat puisi menurut Quintus Horatius Flaccus, salah satu penyair besar dunia yang lahir di Venosa, 8 Desember, 65 sM dan wafat di Roma, 27 November, 8 sM. Namun, khusus puisi-puisi A.B. Susanto, masih perlu ditambahi satu kata lagi: bernas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonsia (2007: 141) bernas berarti: berisi penuh.

Tak syak, puisi-puisi A.B. Susanto selain indah dan berguna, juga bernas. Ini karena tiap puisi lahir dari kandungan kehalusan hatinya, permenungan yang dalam, refleksi atas tiap peristiwa hidup, pancaran budi pekerti, serta ungkapan cintanya pada Tuhan, manusia, alam semesta, dan mengenai apa pun yang ada.

Di dalamnya sarat muatan metafor nilai artistik. Karya sastra yang merupakan jendela dan cermin sekaligus (both a window and a mirror). Jendela, karena puisi-puisinya menyibak bagi pembaca pandangan unik tentang dunia, jalan hidup, dan subkultur. Cermin, karena memberikan pada pembaca hikmah dan pengalaman-pengalaman hidup yang dapat menjadi bahan refleksi pada situasi hidup yang nyata (kondisi kemanusiaan).

Makna Lapis
Menurut Welleck, puisi sebagai sebuah totalitas, dapat dibagi dalam empat lapis:
1) lapis bunyi (sound stratum)
2) lapis arti (units of meaning)
3) lapis dunia atau realitas yang digambarkan penyair
4) lapis dunia atau realitas yang dilihat dari titik pandang tertentu, dan
5) lapis dunia yang bersifat metafisis.
Menarik menganalisis simbol yang digunakan dan bentuk 9 larik puisi di atas. Lalu menyingkap makna di balik itu semua.

Terdapat tiga macam simbol dalam puisi. Pertama, blank symbol yang maknanya bersifat umum dan tidak perlu ditafsirkan lagi oleh pembaca. Pengertiannya sangat gamblang dan tidak multitafsir, meski kerap bersifat konotatif. Misalnya, adu domba (menghasut), tahi lalat (bintil hitam pada kulit), seumur jagung (sebentar saja, tidak lama).
Kedua, natural symbol yakni simbol yang menggunakan realitas alam seperti kerap dijumpai pada sajak-sajak Chairil Anwar.

Ketiga, private symbol, yakni simbol yang khusus diciptakan sendiri oleh penyair. Misalnya, puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri yang sarat dengan simbol pribadi. Bahkan, kerap simbol pribadi itu sukar dimengerti.

Susanto cenderung menggunakan ragam simbol apa dalam puisi?
Sebelum menjawab pertanyaan ini, mari kita penggal 9 larik puisi di atas. Dalam puisi, keberadaan larik, atau baris, sama dengan kalimat dalam karangan prosa. Hanya saja, dalam puisi dikenal istilah licentia poetica, yakni lisensi atau hak seorang pengarang menabrak rambu-rambu kebahasaan demi berhasilnya puisi itu sendiri.

Sebagaimana prosa, dalam puisi, larik merupakan satuan lebih besar dari kata yang secara bersama-sama dengan kata lain mendukung satuan makna tertentu. Karena itu, larik dalam puisi merupakan pewadah, penyatu, dan pengemban ide penyair yang diawali sepatah kata. Pernyataan baris juga memerhatikan rima, dengan tetap mempertimbangkan pertalian larik satu dengan larik lainnya. Pertalian antarlarik ditunjukkan dengan adanya mekanisme bunyi dalam kesatuannya dengan rima.

Subject matter ialah gagasan pokok penyair yang dikemukakan lewat puisi. Dari gagasan pokok ini nantinya dapat ditarik totalitas makna sebuah puisi. Feeling ialah sikap penyair terhadap gagasan pokok yang dikemukakannya. Sedangkan tone ialah sikap penyair terhadap pembaca, sesuai dengan gagasan pokok yang ditampilkannya.

Ditilik dari segi ragam bunyi, maka puisi di atas ialah euphony. Yakni ragam bunyi dalam puisi yang sanggup menciptakan dan merajut suasana gembira. Bunyi yang muncul dapat menghadirkan keceriaan dan menuansakan kegirangan, vitalitas, dan dinamika hidup. Euphony biasanya berupa bunyi-bunyi vokal, seperti ternyata pada kata canda, ria, tawa, gembira, bahagia, dan sebagainya.

Pada 9 larik puisi di atas, kita menemukan euphony. Sebagai contoh, life, committed, pursue, excellence, balanced, strive, achieve, possible, realize, gained, patient, never fear, face, whatever challenge, highest peak.

Selain euphony, diksi atau pilihan kata si penyair memancarkan sikap optimistik. Hal ini sepadan dengan teori yang dikemukakan psikolog sosial David McCleland. Bahwa sastra yang baik hendaknya memompakan semangat, menyuntikkan darah segar bernama motivasi, menumbuhkan sikap optimistik dan mengajarkan sikap pantang menyerah sebagaimana terangkum dalam teori The Need for Achievement (N-Ach).

Kita tidak menemukan sebaliknya, cacophony sebagai lawan kata euphony dalam puisi Susanto. Yaitu bunyi yang menuansakan keterpurukan, kesedihan, keterasingan dalam hidup dan alienasi. Bunyi dimaksud kerap muncul dalam konsonan yang berada pada akhir kata. Dapat berupa bunyi bilabial, seperti kerap dijumpai pada puisi-pusi Chairil Anwar dan pada beberapa puisi Joko Pinurbo. Misalnya, seru-menderu, angin lalu, malam buta, mengental pada puisi “Selamat Tinggal” Chairil Anwar (Derai-derai Cemara, 1999: 28).

Susanto dan Blank Symbol
Puisi adalah karya pribadi. Karena itu, kerap mencerminkan kepribadian seseorang. Namun, puisi juga berdimensi universal karena itu menjadi konsumsi umum. Berbeda dengan prosa, tiap orang dapat memberi makna sendiri pada puisi.

Dari analisis struktur, makna, maupun simbol dapat disimpulkan bahwa Susanto menggunakan blank symbol. Ini menunjukkan, ia bukan pribadi yang self-centered, tidak kompleks, dan terbuka.

Bagai sebuah buku, pribadi demikian mudah dibaca. Ia berhati tulus. Sikapnya bersahaja. Tutur katanya lurus, tidak bersayap. Kesemua itu dapat dirangkum dalam sepatah kata: ugahari. Padanan bahasa Inggrisnya simplicity. Sikap ini diakui mahasiswa program magister manajemen Universitas Tarumanagara, Jakarta.

Secara etimologis, puisi berasal dari kata Yunani poeima yang berarti membuat, poeisis = pembuatan yang dalam bahasa Inggrisnya menjadi poem atau poetry. Puisi hakiatnya memang membuat atau mencipta, sebab dengan dan melalui puisi seseorang mencipta dunia sendiri. Yakni sebuah dunia yang berisi gambaran mengenai suasana tertentu, kesan tertentu, bahkan pesan tertentu baik bersifat lahiriah maupun batiniah.

Karena bentuknya yang sederhana, singkat, dan acapkali bernas; puisi telah tumbuh menjadi bukan hanya dunia kreasi si pencipta, tetapi juga dapat dinikmati dan diapresiasi orang lain. Puisi ialah salah satu cabang sastra yang menggunakan kata sebagai media penyampai gagasan untuk mengungkapkan ilusi dan imajinasi. Sama seperti lukisan di mana pelukis menuangkan ide dan gagasannya melalui kanvas dalam bentuk guratan garis dan warna.

Demikianlah, sebuah puisi pada gilirannya membawa pembaca berangan-angan. Dibuai oleh keindahan susunan unsur bunyi yang tertata apik, pilihan kata indah, pesan yang bijak bestari, kandungan gagasan luar biasa, pancaran suasana jiwa yang kaya si pencipta, maka puisi sanggup menggelorakan semangat menyala bagi siapa saja.

“Itu sebabnya, saya gemar puisi. Saya kerap diminta membacakan puisi di berbagai kesempatan, bahkan ketika acara resmi sekalipun. Selain mencairkan suasana dan mencipta sebuah dunia yang indah dan berguna, membacakan puisi dapat menggelorakan semangat hadirin. Mereka berangan-angan mengenai ide yang disampaikan. Lalu, tergerak hatinya berbuat sesuatu,” kata Susanto suatu siang, 8 April 2009.

Kesantunan dan kelemahlembutan jiwa Susanto tak hanya terpancar lewat puisi. Sembari menanti santap siang datang, kami berdiskusi di ruang kerjanya yang sarat dengan buku-buku. Tertata rapi, koleksi buku di perpustakaan ruang kerja itu mengesankan suasana batinnya juga.

Ditemani Grace Lasaroeddin, kami bertiga lalu pindah ke ruang tamu. Di sana telah tersedia santap siang. “Boleh saya di sini?” saya mengambil posisi sebelah kanan. Susanto di tengah. Sembari menikmati menu spesial pecel lengkap, ditambah peyek kacang yang gurih, Susanto meneruskan.

“Puisi saya agak unik. Tidak terikat bentuk dan rima. Pokoknya, asal ide datang, saya tuangkan saja melalui kata. Untaian kata saya juga unik. Sarat makna, namun tetap ada permainan kata di dalamnya. Deddy Jacobus, penerbit yang memberikan kata pengantar serial buku saya menyebut bahwa kumpulan puisi, kata-kata bijak, dan kata-kata mutiara saya adalah A Gift from the Heart. Ya, sebab dalam serial buku itu saya keluar dari seorang professional. Saya bukan pembicara dan dokter perusahaan. Saya adalah manusia yang berpribadi. Yang bergumul dengan hidup dan pencarian-pencarian, yang bisa marah dan kecewa, sedih, gembira, berharap, yakin, namun tetap menatap hidup ini penuh optimistis.”

Terlahir sebagai seorang dengan shio Harimau, melihat sosoknya yang gagah berisi, orang mengira Susanto mewarisi juga sifat-sifat harimau yang, salah satunya, pemarah. Ternyata, dulu itu benar adanya. Kepada Deddy Jacobus, Susanto mengaku dia dulunya manusia pemarah.

“Saya dulu sangat pemarah…” ujarnya suatu ketika.

Dari sorot matanya yang tajam, saya kira ia berkata yang sebenarnya.

Saya membayangkan Harimau adalah sang raja rimba yang gagah perkasa, tenang, dan berwibawa. Itulah kesan yang lebih kuat yang saya tangkap dari dirinya. Rupanya, rentang waktu yang panjang pada hasta kehidupannya telah mengubahnya dari sang Harimau yang pemarah menjadi sang Harimau yang bijak dan tenang berwibawa (Ekspresi Jiwa Sahabat Harimau, halaman vi)

Waktu dan pengalaman hidup membuat sang harimau sadar bahwa marah ialah sifat yang dapat mendatangkan petaka. Inilah antara lain buah perenungan yang dalam mengenai hidup yang dialami dan dijalaninya. Ia piawai mengurai betapa bara api amarah bisa mendatangkan petaka lewat ilustrasi kisah singkat.

Suatu pagi, sebuah keluarga sedang sarapan. Ayah berpakaian rapi, bersiap-siap ke kantor. Ibu sibuk menyajikan sarapan. Sementara sang anak yang ceria dan selalu sibuk dengan dunianya, asyik menyantap makanannya. Tanpa sengaja, sang anak menyentuh mangkuk sup. Menu yang semestinya jadi penyegar raga dan jiwa itu, berubah jadi petaka. Tumpahan sup mengenai kemeja ayah. Ayah marah. Suasana kasih keluarga tiba-tiba berubah jadi nestapa. Ayah meninggalkan meja makan. Penuh amarah, ia pergi ke kantor dan lupa membawa pekerjaan yang sudah disiapkan sebelumnya untuk keperluan rapat pagi itu. Dibakar bara kemarahan, ayah menyiapkan bahan rapat sekenanya. Hasilnya bisa diperkirakan, tidak optimal.

“Mungkin segalanya akan berbeda jika pada saat anaknya menumpahkan supnya, ia dapat menahan diri dan dengan sabar menenangkan anaknya yang pasti merasa ketakutan karena telah mengotori pakaian kerja ayahnya. Ia tinggal mengganti pakaiannya dan melanjutkan kembali makan pagi yang tenang bersama keluarganya.” Tulis Susanto dalam Mercusuar Kebajikan Sang Harimau: 27.

Amarah memang lebih kerap mendatangkan mudarat daripada manfaat. Namun, suatu saat, pada saat yang tepat, marah juga diperlukan. Tentang kapan boleh marah dan kapan jangan, Susanto mengingatkan, “Kemarahan kadang perlu, tetapi dapat menjadi kelemahan. Ia tidak mampu menyelesaikan apa pun. Anger is the worst weakness. It can not solve anything.”

Puisi memang buah ciptaan penggubah yang lebih banyak unsur subjektivitasnya. Namun, ia juga cermin realitas sosial yang dalam sastra disebut sebagai impresionisme. Yakni adanya impresi, atau kesan, si pencipta setelah mengamati suatu realitas (Aminuddin, 2002: 115). Kesan tadi dipaparkan secara objektif, bercampur dengan kesan-kesan subjektif pencipta.

Susanto: A Man for Others
Makna diri A.B. Susanto haruslah dilihat dalam relasinya dengan orang lain. Keduanya tidak saling lepas, yang satu tidak menegasi yang lain, keduanya seiring sejalan. Sebagai pelengkapnya, Susanto menggubah dan memaknai aopa yang disebutnya Best Friends. Siapa sajakah orang lain di luar dirinya, yang ia sebut dan kategorikan sebagai sahabat-sahabat baiknya?

Better is a friend near than brother afar
Encouraging, sharpening each other
Seek only the very best for the other
Trust is the foundation on which we build

Friends
Really are God’s gift that we must cherish
Inspiring us to pursue
Excellence
Never forsaking in our
Dark moments
Such great blessing uindeed to have

(Tune to “You Raise Me Up”)
(Ekspresi Jiwa Sahabat Harimau, halaman 10)

Gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat, sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 903).

Indah dan berguna. Itu hakikat puisi sejati. Ihwal yang ribuan tahun lampau sudah diamanatkan penyair Romawi kuna, Horatius. Di masa lampau, kehadiran puisi sangat penting. Puisi jadi sarana pendidikan masyarakat. Diajarkan bukan hanya sebatas seni (ars poeticia), tapi juga untuk menghaluskan jiwa.

Apa kata kunci dalam AB SUSANTO dan BEST FRIENDS?
Mari melihatnya dari analisis struktur. Kata pursue excellence adalah key words yang merekat erat keduanya. Baik diri pribadi maupun sahabat karib di mata Susanto terarah guna pencapaian sesuatu yang luar biasa. Terserah mendefinisikan sesuatu yang serba luar biasa, namun Susanto sendiri menamakannya sukses yang diraih melalui proses penuh perjuangan dan pergulatan.

Sukses di mata Susanto sepadan dengan pendapat Stoltz, bahwa sukses merupakan ganjaran atau reward dari sebuah proses pendakian. “I use the term Ascend in the broadest sense –moving your purpose in your life forward no matter what your goals. Whether your Ascent is about gaining market share, getting better grades, improving your relationship, becoming better at what you do, completing an education, raising stellar children, growing closer to God, or making a meaningful contribution during your brief stint on the planet, the drive is imperative. Successful people share the profound urge to strive, to make progress, to achieve their goals and fulfill their dreams” (Stoltz, op. cit: 13).

Namun, apakah sukses itu? Dan mengapa seluruh hidup harus didedikasikan untuk meraihnya? Sukses ialah:
• Berhasil, beruntung (Kamus Besar Bahasa Indonesia 2007: 1099)
• (1) Accomplishment of a task, the reaching of a goal, (2) a good event, an achievement, (3) wealth, good luck in life (Dictionary of American English: 1544).
• Sukses adalah sebuah proses, suatu kualitas pikiran dan cara kita berada, pengukuran kehidupan yang terbuka –Alex Bone
• The most successful old-old people are those who have important connection, a hobby, or something that gives them a zest for life –Kevan H. Namazi, gerontologist, Univ. Texas’s Southwestern Medical Center, Dallas

Jendela dan Cermin
Penyair tidak hidup dalam ruang hampa. Ia berdiam dalam dimensi ruang dan waktu. Karyanya akan abadi, manakala berfungsi menjadi jendela dan cermin sekaligus.

Puisi Susanto pun demikian. Orang lain, di luar dirinya, dapat juga memetik hikmat dan kebijaksanaan dari puisi-puisinya. Inilah yang disebut sebagai makna ekstrinsik puisi. Siapa saja dapat menikmati dan memaknainya sebagai jendela dan cermin.

Di tanah Yunani, pada abad 8 sebelum Masehi, penyair tuna netra Homeros sudah menulis karya sastra yakni Illias dan Odysseia. Karya ini amat populer di kalangan bangsa Yunani di masa itu. Diajarkan pada seluruh warga dan menjadi media pendidikan yang ampuh untuk mengasah kehalusan jiwa dan mencerahkan budi pekerti warga.

Seperti diicatat Horatius, tidak semua karya yang didokumentasikan secara literer disebut sebagai karya sastra. Yang tergolong sastra ialah karya yang indah (dulce) dan berguna (utile). Karena itu, sastra bertugas selain mencerahkan (mendidik) juga menghibur. Tidak mengherankan, pada zaman kebangkitan karya sastra Romawi, pujangga digelari sebagai ”guru moral” (morum doctores). Sebab, lewat karya dan tulisan para pujangga, masyarakat zaman itu diajarkan dan dihibur.

Tak syak, puisi-puisi Susanto yang bernas kita temukan kombinasi dua kecerdasan sekaligus, yakni kecerdasan olah kata dan kecerdasan berpikir. Inilah yang leh Prof. Howard Gardner disebut sebagai word smart dan logic smart dari delapan dimensi multikecerdasan.

Akan tetapi, kecerdasan yang dimaksudkan Gardner tidaklah ditentukan faktor keturunan. Dalam berbagai literatur, keterampilan atau keahlian di bidang word smart disebut skill, bukan talent. Bahkan, boleh dikatakan, keterampilan tersebut lebih terarah pada seni. Dalam kaitan ini, di masa Yunani kuna dan Romawi, seni sastra dan retorika disebut sebagai “ars”.

Kita mengenal istilah ars poetica (seni sastra, ars scribendi (keterampilan menulis), ars musica (seni musik), dan sebagainya. Di samping seni, ars juga berarti ilmu/ pengetahuan (K. Prent, dkk. Kamus Latin-Indonesia, hal. 67).

Pada zaman Yunani kuna, seni wicara –terutama pidato dan debat— merupakan seni, sekaligus ilmu yang sangat digemari. Diajarkan sebagai disiplin khusus. Bahkan, setiap warga Yunani mencita-citakan menjadi orator yang ulung. Seni debat dan pidato muncul dalam disiplin retorika dan diajarkan secara saksama. Muncul tokoh ternama di bidang ini, seperti Plato, Aristoteles, dan kemudian Demosthenes. Bahkan, Demosthenes diceritakan gagap sejak lahir. Namun, karena memelajari dan berkat latihan yang tekun dan terus-menerus melawan kegagapannya, ia menjadi salah satu orator ulung sepanjang sejarah.

Pengalaman dan kegigihan Demosthenes melawan inferioritasnya dalam hal wicara, pantas untuk diteladan. Siapa pun yang bertekun dan mau belajar, pasti bisa. Bukan hanya dalam seni wicara, dalam keterampilan menulis pun ketekunan dan latihan sangat diperlukan.

Dalam konteks itu, kita memahami makna ucapan salah satu pujangga Perancis terkemuka, HonorĂ© de Balzac. Menurut Balzac, word smart bukanlah talenta, melainkan keterampilan yang bisa dipelajari oleh siapa pun. “When one has no particular talent for anything, one takes a pen,” demikian ungkapannya yang termashyur.

Kata-kata bijak ini menyiratkan, menulis (a pen) bisa dimanfaatkan siapa saja untuk memeroleh penghidupan. Dan menulis bukan suatu talenta, namun keterampilan yang dapat dipelajari dan diasah.

Dengan demikian, menjadi gamblang bahwa word smart bukanlah bakat, melainkan usaha. Usaha yang terus-menerus dan sistematis, yang bisa didapat baik dari belajar melalui orang lain maupun lewat jalan autodidak.

Barang-barang perhiasan menghiasi rumah Susanto: dari gading gajah hingga patung dan lukisan.

Dengan mengguratkan puisi bersusunkan kata indah dan sarat makna, Susanto telah memenuhi kaidah esensial puisi berikut ini. Pada abad pertengahan, puisi disebut sebagai useful leisure. Horatius sendiri menyebut pusi sebagai “The Ars Poetica is not a treatise, but a poem which seeks to embody the balancing act it aims to teach to other aspiring poets--a balance, among other things, of inspired genius (or even madness) and craft.”

Pandangan itu, lalu diperteguh oleh Dorsch yang menyatakan, “Poetry (which means all literary composition, not just the versified kind) arose because of the human instinct for, and pleasure in, imitation. Art is an imitation (representation) of an object or an action, and these imitations (representations) can vary according to their medium their object or their manner.

Lalu apa makna puisi menurut Susanto?

Puisi, bagi Susanto, bukan sekadar rangkaian kata-kata indah. Bukan pula cuma ungkapan asa dan rasa. Lebih dari itu, ayat-ayat puisi lahir dari sanubarinya seperti yang dikatakan Jacques Maritain: puisi bukan dipandang sebagai bentuk sastra, tetapi ruh dari semua kesenian. Maka Plato menyebutnya “mousike”.

Karena itu, Susanto juga senang musik. Di rumahnya yang asri, terdapat beberapa buah piano. Ada yang usianya sudah sangat tua, dari abad 18. Saking senang pada musik, sebuah buku yang terbit menandai usia emasnya berjudul 50 Tahun Simfoni Kehidupan Dr. A.B. Susanto (2000), bab-babnya menggunakan terminologi musik pula. Misalnya, prelude, encore, dan repertoire. Terminologi itu, tentu tidak muncul begitu saja. Susanto menghayati betul tiap hentakan nada dan irama musik. Bahkan, jemarinya lincah menari-nari di atas tuts-tuts piano. Bersama iringan piano, ia siap mengidungkan lagu-lagu dan menyenandungkan keindahan dan keabadian semesta.

Piano di rumah Susanto: dari abad XVIII.

Kesenangannya juga merambat pada seni lukis. Bukan hanya sebatas mengagumi, Susanto pun sesekali menari-narikan kuas di atas kanvas. Bahkan, aktif menggelar berbagai pameran seni lukis. Ini dilakukannya sudah sejak lama. Bukan hanya di seputar kantor, juga di tempat-tempat lain. Susanto juga aktif dalam acara lelang lukisan dalam rangka penggalangan dana untuk kemanusiaan.

Agaknya, karena latar menyukai seni, Susanto jadi merasa pas dengan adagium yang diucapkan Horatius, “Dulce et utile”.

Dalam bahasa manajemen, formulasinya menjadi substance and style. Namun, segera ia mengimbuhi, “Seni dan keindahan itu abadi. Saya sendiri pecinta seni. Sekaligus cinta pada keabadian.”


Daftar Pustaka
Aminuddin, MPd., Drs. 2002. Pengantar Apresisasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Anwar, Chairil. 1999. Derai-Derai Cemara. Jakarta: Horison.
Bakdi Soemanto, “Selamat Jalan Sang Pembaru” dalam Kompas, 8 Agustus 2009.
Chopra, Deepak. 1994. The Seven Spiritual Laws of Success. New York: Amber-Allen Publishing.
Forsyth, Patrick. 1997. First Things First (Dahulukan yang Penting). Jakarta: Binarupa Aksara.
Pincott, J. (ed.). 2007. Excellence. London: Marshall Cavendish-Cyan.
Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Stoltz, Paul G. Adversity Quotient. 1997. New York: John Wiley & Sons.
Susanto, A.B. 2006. Disaster Management di Negeri Rawan Bencana. Jakarta: JCG-Eka Tjipta Foundation.
---------------. 2005. Kata-Kata Mutiara: Ekspresi Jiwa Sahabat Harimau. Jakarta: Ray Indonesia.
---------------. 50 Tahun Simfoni Kehidupan Dr. A.B. Susanto. 2000.

Internet: http://web.whittier.edu/people/WebPages/PersonalWebPages/furmanadams/AristotleandHoraceHandout.HTM
http://www.nyu.edu/gallatin/facultystaff/syllabi/Fall08/K20.1389.pdf

Tidak ada komentar: