Sabtu, 14 Agustus 2010

Carpe Diem

Mengapa waktu perlu diatur sedemikian rupa, sehingga memberikan manfaat serta menambah nilai dalam kehidupan?

Tiap orang tentu punya jawaban berbeda, sesuai dengan pengalaman dan persepsi masing-masing. Akan tetapi, barangkali semua setuju bahwa waktu perlu diatur untuk sesuatu yang diyakini bernilai karena waktu itu sendiri terus berlari.

Apa yang telah terjadi adalah sejarah. Tak seorang pun kuasa untuk memutar kembali roda waktu yang pernah bergulir. Apalagi menambah catatan baru dalam lembar sejarah masa silam. Semua yang sudah terjadi, hilang bersama waktu.

Dalam konteks ini, filsuf Yunani kuna, Heracleitos mengatakan, “Ta panta rei, panta hwrei, kai ouden menei”. Artinya, tiada yang tetap di dunia ini. Semuanya mengalir bagai air. Yang tetap adalah perubahan itu sendiri. Dan perubahan itu terjadi dalam rentang waktu.

Syahdan, adagium itu diucapkan Heracleitos tatkala sedang mencari keteduhan, merendamkan kaki di air sungai yang sedang mengalir. Ia mengamati bahwa air yang mengalir ke hilir, yang sudah sejuk membasuh kakinya, tidak mungkin kembali ke hulu lagi. Demikian juga waktu. Saat yang berlalu, tidak mungkin diputar dari titik nadir kembali.

Waktu yang berlalu, dan bagaimana manusia mesti menghargai dan menyiasatinya, kemudian menginspirasi pujangga tersohor kebangsaan Romawi, Horatius (65-8 sM).

Dalam salah satu bukunya, Odes, yang terbit pada 23 M, ungkapannya yang tersohor adalah “carpe diem”. Bunyinya sebagai berikut, “Dum loquimur, fugerit inuida aetas: carpe diem, quam minimum credulla postero” (Ode 1, 11,8).

Artinya: tatkala kita sedang bicara, waktu yang iri itu tengah berlari. Maka tangkaplah (peluang) hari ini, dan sesedikit mungkin memercayai hari esok”.

Tidak ada komentar: