Ada banyak alasan mengapa seseorang melakukan tindak plagiat. Beberapa alasan yang lazim seperti yang berikut ini.
Plagiat Online
Kemudahan yang didapat dari kemajuan teknologi, terutama teknologi komunikasi yang memungkinkan orang menyimpan dan mengakses data bukan saja secara lebih cepat melainkan lebih mudah, di satu sisi menimbulkan ekses negatif. Orang lalu malas bekerja keras. Kreativitas justru tidak muncul manakala segala sesuatu tersedia begitu saja dan orang dengan mudah mengambil jalan pintas.
Untuk mendapatkan sesuatu, ingin serba instan dan potong kompas. Ketika hendak menulis paper, artikel ilmiah populer, atau menulis untuk konten blog dan face book, orang cenderung hantam karma.
Tidak pelak lagi, yang sedang menjadi trend akhir-akhir ini adalah tindak plagiat online. Memang sangat memudahkan, seseorang cukup mengunduh, lalu mengopi data itu, dan mengganti nama pencipta dengan namanya, lalu mempublikasikannya.
Atas gejala itu, muncul istilah menarik sehubungan dengan tindak mengambil atau mencomot bulat-bulat sumber dari online tanpa diolah, dibahasakan, atau disebutkan sumbernya yakni “Kopasus” sebagai singkatan dari kopi paste ubah sedikit.
Plagiat bukan sekadar menyalin suatu teks, tetapi juga mengklaim ide lain sebagai miliknya sendiri. Pada bahasan tersendiri kita m
Autoplagiat
Autoplagiat juga dikenal sebagai "penipuan daur ulang" yaitu tindakan menggunakan kembali bagian signifikan, identik, atau hampir identik kerja sendiri tanpa mengakui bahwa seseorang melakukannya atau tanpa mengutip karya asli. Artikel alam ini sering disebut sebagai menduplikasi atau beberapa publikasi.
Selain masalah etika, ini bisa ilegal jika hak cipta dari karya sebelumnya telah dialihkan ke entitas lain. Kerap autoplagiat hanya dianggap sebagai isu etis yang serius dalam pengaturan di mana publikasi adalah menegaskan untuk terdiri dari bahan baru, seperti dalam penerbitan akademis atau tugas pendidikan.
Ini tidak berlaku (kecuali dalam pengertian hukum) untuk teks-kepentingan publik, misalnya sosial, profesional, dan pendapat budaya biasanya diterbitkan di surat kabar dan majalah.
Dalam dunia akademik, autoplagiat terjadi ketika penulis menggunakan kembali bagian karyanya yang sudah diterbitkan dan hak cipta masih digunakan pada publikasi berikutnya, tapi tidak menyebutkan publikasi yang sebelumnya itu. Sering kali sulit untuk mengidentifikasi autoplagiat seperti ini. Mengapa? Karena yang bersangkutan menggunakan kembali material yang sama dan hal itu sah-sah saja dan secara etika kelimuan pun tidak menyalahi.
Dalam hal ini (autoplagiat), sebenarnya yang penting bukan harus meminta izin pada siapa pun, sebab diri sendiri yang mengantongi karya cipta, namun lebih untuk kepentingan pembaca. Jangan sampai pembaca terkecoh, seolah-olah apa yang disajikan sama sekali baru, padahal sudah merupakan daur ulang atau sepenggal dari karya cipta yang sudah ada sebelumnya. Dengan demikian, masalah autoplagiat lebih menekankan untuk jujur pada sumber, bukan harus minta izin pada orang lain.
Pengalaman menunjukkan bahwa ada beberapa kalangan (perguruan tinggi) yang tidak memperkenankan apa yang disebut dengan daur ulang kembali seperti itu. Kasusnya memang sangat spesifik. Yang tidak diperkenankan mendaur ulang ialah karya yang dikerjakan dengan sarana dan prasarana kantor dan proses mengerjakannya seluruhnya menggunakan jam kantor (office hours), sehingga secara otomatis karya tadi memang milik institusi. Dalam kasus ini, izin tentu kepada orang yang berhak mewakili dan mengatasnamakan institusi.
Akan tetapi, sebenarnya merupakan hal yang lazim di kalangan para peneliti di perguruan tinggi untuk mendaur ulang karya ilmiah dan menerbitkan karya mereka sendiri, menyesuaikannya untuk terbitan akademik yang berbeda dan menuliskannya kembali sebagai rtikel lepas di surat kabar, atau menyebarkan karya mereka kepada masyarakat luas sejauh hal itu mungkin.
Akan tetapi, harus diingat bahwa peneliti ini juga membatasi pengambilalihan karya sebelumnya. Jika sebuah artikel setengah sama dengan yang sebelumnya, biasanya akan ditolak. Para mitra bestari (peer review) akan mengeceknya dan sejak dini "daur ulang" yang terlampau banyak (melebihi 10%) tidak akan dibiarkan lolos.
Stephanie J. Bird berpendapat bahwa istilah autoplagiat dapat menyesatkan karena dengan definisi plagiat dapat menimbulkan kekhawatiran akan penggunaan bahan yang sudah pernah dipublikasikan sebelumnya meski oleh orang yang sama.
Autoplagiat lebih terarah pada masalah keadilan (fairness) daripada tindak melanggar hukum, etika, dan hak hak cipta. Seperti yang ditegaskan Samuelson bahwa faktor-faktor yang memungkinkan seseorang menggunakan atau mendaur ulang kembali bahan publikasi adalah hal sebagai berikut.
1. Karya sebelumnya harus disajikan kembali untuk meletakkan dasar atau acuan pada karya selanjutnya.
2. Karya sebelumnya harus disajikan kembali untuk meletakkan dasar bagi sumbangan baru dalam pekerjaan selanjutnya.
3. Bagian dari karya sebelumnya harus diulang untuk memberikan bukti baru atau menyatakan argumen.
4. Khalayak sasaran karya itu berbeda sehingga sah-sah saja penulis membuat versi lain atas materi yang sama untuk pasar yang berbeda.
5. Penulis konsisten dengan pendapat/gagasan/hasil temuannya, sehingga tidak mungkin untuk berkata lain pada kesempatan yang berikutnya.
Samuelson menyatakan bahwa khalayak yang "berbeda" menjadi pertimbangan tersendiri untuk menerbitkan versi yang berbeda. Samuelson menyatakan ini dengan mengacu pada suatu wacana yang ditulis untuk masyarakat hukum dan teknis yang berbeda. Tidak bisa dihindari, seseorang akan mengangkat kembali gagasan pada tulisan-tulisan sebelumnya. Lalu melakukan perubahan seperlunya, membuat catatan kaki dan menambahkan bagian substantif untuk khalayak yang berbeda.
Menurut Samuelson, autoplagiat bukanlah isu yang terlampau perlu dipusingkan. Asalkan jujur pada sumber dan mengindahkan kaidah-kaidah teknik penulisan karya (ilmiah), autoplagiat bukanlah hal yang perlu dipersoalkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar