Berbicara mengenai “Sapir-Whorf hypothesis”, tidak dapat lepas dari konteks bahasa sebagai simbol atau lambang untuk menyampaikan gagasan atau pemikiran. Namun, apakah yang dimaksudkan dengan simbol?
Merriam-Webster Dictionary mendefinisikan simbol sebagai “something that stands for or suggests something else by reason of relationship, association, convention, or accidental resemblance; especially : a visible sign of something invisible.”
Makna leksikal tentang simbol di atas sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Bruner dkk. bahwa terdapat dua posisi ektrem dari hubungan antara bahasa dan gagasan yang lazim dilukiskan dengan “mould theories” (teori cetakan) dan “cloak theories'' (teori jubah).
Teori Cetakan berasumsi bahwa bahasa adalah “a mould in terms of which thought categories are cast“ (Bruner et al. 1956, hal. 11.). Bahasa dalam teori ini dipandang sebagai representasi, atau cetakan, dari pemikiran si penuturnya. Sementara Teori Jubah berasumsi bahwa bahasa ialah bungkusan atau baju yang menutupi isi yang sebenarnya, yakni pemikiran si penuturnya (language is a cloak conforming to the customary categories of thought of its speakers).
Doktrin bahwa bahasa adalah “bungkusan dari pikiran” sangat fundamental dalam teori sastra Neo-Klasik, tetapi ditolak oleh aliran Romantis. Ada juga pandangan yang terkait (terutama kaum Behavioris) yang meyakini bahwa bahasa dan pikiran adalah identik. Menurut teori itu, pemikiran adalah sepenuhnya linguistik: tidak ada “pikiran non-verbal”, tidak ada kesenjangan antara pikiran dan bahasa. Pikiran dipandang sebagai sepenuhnya ditentukan oleh bahasa.
***
Sapir-Whorf thesis muncul sebagai teori yang menyatakan bahwa bahasa sesungguhnya relatif. Artinya, bahasa berelasi atau tidak dapat dilepaskan dari si penutur bahasa itu sendiri. Dalam konteks relasi antara gagasan dan bahasa inilah muncul “The Sapir-Whorf thesis”, yang mengacu kepada penemunya, yakni pakar linguistik Amerika Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf.
Hipotesis kedua pakar linguistik ini menyatakan bahwa bahasa berelasi dengan si penuturnya. Oleh karena itu, makna suatu objek ditentukan oleh bagaimana objek tersebut dibahasakan. Menurut Sapir (1929), manusia tidaklah hidup sendirian di dunia ini, tidak juga sendirian dalam sebuah aktivitas sosial, tetapi terutama manusia hidup dalam bahasa tertentu yang menjadi media ekspresinya.
Human beings do not live in the objective world alone, nor alone in the world of social activity as ordinarily understood, but are very much at the mercy of the particular language which has become the medium of expression for their society. It is quite an illusion to imagine that one adjusts to reality essentially without the use of language and that language is merely an incidental means of solving specific problems of communication or reflection. The fact of the matter is that the 'real world' is to a large extent unconsciously built upon the language habits of the group. No two languages are ever sufficiently similar to be considered as representing the same social reality. The worlds in which different societies live are distinct worlds, not merely the same world with different labels attached... We see and hear and otherwise experience very largely as we do because the language habits of our community predispose certain choices of interpretation. (Sapir 1958 [1929], p. 69)
Pemikiran Sapir pada 1930 dikembangkan oleh muridnya Whorf yang menyatakan bahwa:
We dissect nature along lines laid down by our native languages. The categories and types that we isolate from the world of phenomena we do not find there because they stare every observer in the face; on the contrary, the world is presented in a kaleidoscopic flux of impressions which has to be organized by our minds - and this means largely by the linguistic systems in our minds. We cut nature up, organize it into concepts, and ascribe significances as we do, largely because we are parties to an agreement to organize it in this way - an agreement that holds throughout our speech community and is codified in the patterns of our language. The agreement is, of course, an implicit and unstated one, but its terms are absolutely obligatory; we cannot talk at all except by subscribing to the organization and classification of data which the agreement decrees. (Whorf 1940, pp. 213-14; his emphasis)
Whorf mengamati fenomena bahwa bahasa yang ditutur oleh Native American merepresentasikan pandangan akan realitas bahwa terdapat perbedaan mendasar. Misalnya, bahasa Hopi tidaklah membuat perbedaan antara kata benda dan kata kerja.
Oleh karena itu, orang yang menutur bahasa Hopi menggambarkan dunia sebagai suatu proses yang terus berlangsung. Sementara dalam bahasa Inggris dan Indonesia, kita menggunakan kata benda untuk menyatakan sesuatu yang konstan, Hopi memandang hal itu sebagai kata kerja yang senantiasa berubah-ubah (Adler dan Proctor II, 2011: 198).
Dalam versi yang ekstrem “hipotesis Sapir-Whorf” dapat digambarkan sebagai adanya dua prinsip yang berkaitan. Menurut kaum determinisme, pemikiran kita ditentukan oleh bahasa. Sementara menurut kaum relativisme, orang yang menuturkan bahasa yang berbeda melihat dan berpikir tentang dunia yang berbeda pula.
Sebagai contoh, dalam bahasa, Dayak dan bahasa Madura menyebut gagasan tentang “manusia” secara berbeda. Dayak Jangkang menyebut manusia “ntoyant” (otak yang dapat berbicara), sedangkan Madura menyebut manusia “wong”.
Lebih jelas lagi soal relativisme linguistik dan hipotesis Sapir-Whorf adalah kata Madura "nyare kasap" (mencari penghasilan agar dapur bias mengepul/berasap) dan cara mencari penghasilan "kar-ngarkar nyolpe'" (mengais-ngais seperti ayam, kemudian dimakan). Dayak Jangkang membahasakan “mencari penghasilan” dengan ngogao pongidop (mencari penghidupan), sedangkan caranya mencari penghasilan dengan bokayoh bokokas (berkayuh dan mengais-ngais). Contoh ini dengan jelas menunjuk relasi antara bahasa sebagai dan pikiran (gagasan). Gagasan yang berelasi dengan bahasa ini mempengaruhi perilaku dan kebiasaan (habit).
Atas dasar ini, Whorfian berpandangan bahwa terjemahan satu bahasa ke bahasa lain berpotensi menimbulkan masalah --untuk tidak mengatakannya mustahil. Akan tetapi, hipotesis Sapir-Whorf dapat membantu bagaimana cara kita melihat dunia yang dipengaruhi oleh jenis bahasa yang kita gunakan. Dalam konteks ini, penekanan diberikan pada konteks sosial penggunaan bahasa daripada murni pertimbangan linguistik.
Memang kemudian muncul polemik pro dan kontra Hipotesis Sapir-Whorf. Cukup banyak yang mendukung teori bahwa bahasa adalah “jaket” dari gagasan. Setiap pengaruh linguistik dianggap terkait tidak terutama dalam struktur sistemik formal bahasa yang dalam istilah de Saussure disebut langue (Chandler, 2002 ), tetapi berelasi dengan konvensi budaya dan gaya individu menggunakan bahasa itu sendiri. Makna suatu objek tidaklah berada dalam teks, tetapi muncul dalam interpretasinya, dan interpretasi dibentuk oleh konteks sosial budaya (Berger dan Luckmann, (1966).
***
Relativisme bahasa adalah relasi antara bahasa dan (gagasan) si penutur. Hipotesis Sapir-Whorf ini, setelah diuji melalui contoh kasus bahasa Madura dan bahasa Dayak Jangkang ternyata terbukti benar. Bahwa terdapat relasi antara bahasa dan gagasan si penutur. Dalam dan lewat bahasa dapat dikonstruk gagasan si penuturnya sebagaimana nyata dalam struktur bahasa Hopi dan Dayak Jangkang.
Oleh karena itu, bahasa satu kelompok penutur akan berbeda maknanya dalam kelompok penutur yang lain.
Daftar Pustaka
Adler, Ronald B. dan Russell F. Proctor II. Looking Out/ Looking In. Canada: Wadsworth.
Bruner, J. S., J. S. Goodnow & G. A. Austin.[1956] 1962. A Study of Thinking. New York: Wiley.
Chandler, Daniel. 2002. Semiotics: The Basics. London: Routledge.
Whorf, B. L. (1940): 'Science and Linguistics', Technology Review 42(6): 229-31, 247-8. Also in B. L. Whorf (1956): Language, Thought and Reality (ed. J. B. Carroll). Cambridge, MA: MIT Press.
http://www.aber.ac.uk/media/Documents/short/whorf.html diunduh 23/02.
http://www.docstoc.com/docs/27142937/Berger-and-Luckman-The-Social-Construction-of-Reality-A, diunduh 23/02.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar