Citra primitif dan peyoratif orang Dayak berasal dari ulah para pelancong Barat yang menginjakkan kaki di bumi Borneo sejak pengujung abad ke-18 untuk mencari “nilai berita” dan menjual keunikannya.
Sanders (1993) melihat bahwa laporan-laporan para pelancong Barat ini luar biasa pengaruhnya. Citra sebagai suku bangsa yang primitif melekat kuat dalam benak dunia luar. Sanders menunjuk sejumlah penulis, seperti: Belcher, Keppel, Hugh Low, dan Frank Marrat turut membangun dan menyebarluaskan citra orang Dayak sebagai suku bangsa yang primitif, pemburu kepala manusia, hidup tidak sehat karena tinggal di rumah panjang, tidak berpendidikan, dijajah oleh sultan-sultan Melayu, serta tertinggal dari segi perekonomian.
Karya Bock, The Headhunters of Borneo yang diterbitkan di Inggris (1881) salah satu buku yang secara luas mencitrakan dan menyebarluaskan Dayak sebagai pemburu kepala manusia. Kemudian, Miller pada 1946 melalui Black Borneo semakin mengukuhkan citra Dayak sebagai pengayau. Menurutnya, praktik memburu kepala manusia hanya bisa dijelaskan dalam kerangka kekuatan supranatural yang oleh orang Dayak kekuatan tersebut diyakini berada dalam otak (kepala) manusia (Miller, 1946: 121).
Selanjutnya, McKinley (1976: 95, 124) berusaha memahami ngayau lewat semiotika, dalam hal ini struktur dan makna ritual yang berkaitan dengan praktik pengayauan.
Freeman (1979: 234) yang meneliti praktik ngayau di kalangan Dayak Iban mencatat bahwa ritual paling penting dalam upacara perburuan kepala manusia ialah pada saat ngelampang, yakni memotongnya menjadi bagian-bagian kecil. Upacara ritual ini merupakan representasi atau kenangan akan Singalang Burong, dewa perang orang Dayak, yang melakukan hal yang sama dahulu kala. Dengan memotong-motong kepala menjadi bagian kecil, akan mengalirkan benih-benih kehidupan yang apabila ditaburkan nantinya akan tumbuh menjadi sosok manusia.
Pengarung samudera ternama, George Windsor bahkan secara simbolis menggambarkan orang Dayak pada awal abad 18 sebagai “manusia liar”. Hal ini dengan jelas dapat dilihat bagaimana Windsor di dalam mengurutkan prioritas siapa yang harus dikunjunginya setelah berlabuh, kemudian mendarat. Setelah mengunjungi residen kompeni Belanda di Sambas dan sekitarnya, ia kemudian sowan ke istana Sultan Sambas, baru “...interview with some wild Dyaks” (Windsor, 1837: 181-199).
Menurut teori simbolik interaksionisme, urutan kunjungan ini menunjukkan bahwa orang Dayak dipandang sebelah mata, bahkan dianggap belum beradab dengan menyebutnya sebagai "manusia liar". Padahal, orang Dayak baik-baik saja, tidak mengancam atau berusaha untuk membunuhnya. Kisah mengenai percobaan pembunuhan dirinya justru dikisahkan Windsor pada bagian sebelumnya, ketika ia mencceritakan seorang nelayan di pantai pulau Jawa coba mengakhiri nyawanya di atas kapal.
Pertemuan Dayak se-Borneo Raya di desa Huron Anoi, Kahayan Ulu, Kalteng 1894 yang diprakarsai kompeni Belanda sepakat mengakhiri praktik ngayau. Sejarah mencatat bahwa Dayak bukanlah suku bangsa terakhir di Nusantara yang melakukan praktik headhunting, tapi suku lain, di salah satau pulau besar selain Kalimantan.
Citra suku bangsa pengayau oleh penulis asing haruslah diubah. Selain sudah lama tidak ada lagi praktik ngayau, hal ihwal tentang Dayak harus ditulis orang Dayak sendiri. Mengapa? Karena mereka yang paling paham sejarahnya dan tahu bagaimana cara menulisnya dengan benar. Sebagai contoh, betapa banyak ketidakakuratan penulis asing di dalam menulis tentang Dayak yang hingga kini salah kaprah.
Buku saya yang berikutnya Ngayau: Konstruksi Realitas Sosial Masyarakat Dayak Primitif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar