Minggu, 20 Februari 2011

Tanah Adat: The Dayak Dilemma (1)

Suku Dayak sebenarnya tidak ada. Yang ada ialah suku Ot Danum, Benuaq, Apo Kayan, Taman, Menyuke, Jangkang, RibutT, dan sebagainya. Ini karena kebiasaan suku asli Kalimantan Raya menamakan suatu kaum menggunakan nama sungai.

Lalu, dari mana istilah "Dayak" muncul? Istilah Dayak muncul dari luar, terutama semenjak kompeni Belanda datang ke Borneo dan mengobok-obok penduduk salah satu pulau terbesar di dunia itu. Tidak percaya? Orang Belanda menamakan koloni yang gemar tinggal di udik atau daratan itu dengan binenlander, atau dalam literatur Inggris disebut dengan "upperside" sebagai lawan kaum Melayu yang suka tinggal di pesisir "riverside". Di Jawa, ada istilah "sak ndayak" untuk menyebut sekelompok orang (banyak).

Dengan demikian, "Dayak" adalah nama koloni untuk menyebut penduduk asli Kalimantan Raya. Di masa zaman raja-raja Melayu berkuasa, para koloni yang tinggal di darat itu termarjinalkan. Ini karena penguasa sungai dan pesisir adalah kaum Melayu (Senganan). Praktis, penguasaan perdagangan dan transportasi ada di tangan bangsa Melayu. Terutama di Kalimantan Barat, sungai sebagai sarana transportasi dan jalur perniagaan sangat vital. Ini terjadi hingga pengujung 1980-an, tatkala sungai-sungai masih menjadi urat nadi dan sumber penghidupan di Kalimantan.

Kondisi mulai berubah sejak jalan darat, terutama trans-Kalimantan dibuka. Sungai sudah tidak lagi vital. Masyarakat Melayu mulai menyadari bahwa kini daratan yang menjadi vital. Mereka tidak punya banyak kepemilikan tanah. Blessing in disguise, kaum Dayak praktis menguasai tanah di Kalimantan. Bahkan, sejak lama, mereka menetapkan tanah adat, tanah ulayat.

Kini banyak pengusaha dari kota mencaplok tanah kaum Dayak. Pola kepemilikan tanah ini menjadi dilema. Akankah tetap menjadi hak kaum Dayak ataukah akan dibagi-bagi?
***

Tidak ada komentar: