Sabtu, 02 Januari 2010

Gurita Cikeas yang Coba Dibongkar George

Ikan mangsi, istilah latinnya onychoteuthis engulata, atau octopus, ialah bangsa cumi. Yang raksasa punya banyak tangan. Dan, hebatnya, tangan-tangan itu menggurita. Jika melilit, musykil mengurainya kembali. Sebab, cengkeramannya amat kuat.

Maka sangat tepat jika Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:377) memberi contoh gurita dalam kalimat. "Bisnis anak pejabat itu besar dan gurita karena menjarah bank-bank swasta di negeri ini."


Menurut George Junus Aditjondro, gurita itu datang dari Cikeas. Om berjenggot subur dan gondrong ini menjelaskan asal muasal hikayat Cikeas dari kepompong sampai kupu-kupu, lalu menggurita, begini:

"... seorang jenderal memborong lahan tanah seluas 25 hektar di Desa Cikeas, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor, sewaktu masih berharga Rp 5000 per meter persegi tahun 1995. Tanah itu kemudian dikapling-kapling, masing-masing seluas seribu meter persegi. Tahun berikutnya ditawarkan kepada sejumlah perwira tinggi di jajaran Hankam seharga Rp 35 ribu per meter persegi. Sejumlah jenderal membelinya, termasuk SBY, yang langsung membeli empat kapling. Harga tanah di sana sekarang sudah bernilai Rp 1,5 hingga Rp 2 juta per meter persegi(halaman 42).


George Junus Aditjondro
Sumber gambar: http://www.indonesiamedia.com/2009/4/MID/berta/images/berta/George-Junus-Aditjondro.jpg

Bumi Cikeas kini membubung tinggi. Bukan hanya kiasan, tapi tinggi benaran. Harga tanah per meter di sini lebih dari Rp2 juta. Luar biasa! Makanya, banyak orang mengarahkan mata ke tempat ini. Terutama ke purinya. Padahal, tahun 1980-an, menjadi tempat jin buang anak. Gunung Putri kini tinggi seribu janji!

Nah, ini konteks judul buku George, Gurita Cikeas.

Maka sontak saja, akhir tahun 2009, dan jelang 2010, buku Om George jadi isyu nasional. Di sini tepat dalil, atau adagium, yang berlaku dalam dunia jurnalistik. "Big people makes big news". Sebab, the biggest people dan the big people yang disebut dalam buku itu memang terbukti membuat big news...

Saya yakin, Om George tidak bermaksud memfintah. Ia hanya pandai membidik topik yang laik-jual.

Menurut saya, karya itu ilmiah. Mengapa? Karena memenuhi syarat dan langkah ilmiah sbb:

o Ask a Question
o Do Background Research
o Construct a Hypothesis
o Test Your Hypothesis by Doing an Experiment
o Analyze Your Data and Draw a Conclusion
o Communicate Your Results

Penulis sudah melakukan steps di atas. Diverifikasi, namun pihak yang keberatan, belum menyertakan data bantahan. Padahal, masyarakat menanti-nanti. Mana ekspresimu? Saya baca sanggahan di koran Jurnal Nasional edisi 2 Januari 2010. Itu pun wawancara dengan juru bicara presiden. Tidak membantah ihwal yang substansial, namun hal-hal spele.

Tuduhan Amien Rais bahwa karya itu kurang ilmiah, karena menggunakan sumber kedua, perlu dikritisi. Sumber primer, sekunder, atau tersier gak soal, asalkan mengedepankan kebenaran (truth).

Lha, apa sang doktor politik itu lupa, bahwa sumber (hanya) mendukung/menyangkal pendapat seseorang? Status questionis adalah: data/informasi benar atau salah.

Ada juga lho riset langsung penulis (hal 67-69), terutama mengenai money politic dan vote buying (pembelian suara) yang dilakukan kader Partai Demokrat.

Karya ilmiah kan siap diverifikasi. Goerge tanya Pohan 3 kali, gak dijawab Pohan. Nah, kan ada pepatah, "tacit consent", diam berarti setuju.

Di tayangan TV, saya tidak melihat George memukul Ramadhan Pohan, hanya tangan kiri memegang buku yang disambarkan ke muka Pohan. Sakitnya gak seberapa, mungkin malunya itu.....

Hari ini (1 Jan 2010), saya memamah-biak dan nikmati buku itu. Sebagai sesama penulis, saya kagum pada George, baik caranya melakukan data gathering, menuliskan kembali, hingga style-nya yang sastrawi. Laku dan dicari lagi.

Kita bisa belajar banyak dari buku itu. Meski berbentuk buku, tapi caranya storytelling bernilai sastra tinggi. Sehingga (Blair, 2006) memicu emotional truth.

Bisa jadi, hari-hari terakhir pembaca menemukan banyak versi soal isyu ini. Beda media, beda cara membingkainya. Dalam studi media, itu namanya media framing. Jadi, isyu atau topik suatu berita mesti dilihat dalam konteks ideologi siapa di balik media yang bersangkutan?

Banyak yang pro George, namun tak sedikit yang kontra. Yang kontra umumnya menyerang pribadi, entah metodologi maupun integritas penulis. Ini namanya argumentum ad hominem dalam retorika, tidak menohok ke persoalan, tapi menyerang pribadi. Burung juga tahu, orang yang menggunakan teknik retorika seperti itu, atau istilah kerennya de sophisticis elenchis, biasanya kehilangan nalar argumentatif untuk memukul balik lawan.

Bagi pembaca yang kesulitan menemukan bukunya, berikut Daftar Isi dan sepenggal satu bab contohnya (biar kalau diajak omong, nyambung gitu).

Daftar Isi
Kata Pengantar _____ 5
Daftar Isi _____ 9
Membongkar Gurita Cikeas, di Balik Skandal Bank Century _____
13
Bantuan Grup Sampoerna untuk Harian Jurnas _____ 21
Pemanfaatan PSO LKBN Antara untuk Bravo Media Center _____
29
Yayasan-Yayasan yang Berafliasi dengan SBY _____ 35
Kaitan dengan Bisnis Keluarga Cikeas _____ 44
Yayasan-yayasan yang Berafliasi dengan Ny. Ani Yudhoyono
_____ 55
Pelanggaran-Pelanggaran UU Pemilu oleh Caleg-Caleg Partai
Demokrat_____ 65
Kesimpulan _____ 75
Lampiran _____ 83
Referensi _____ 177
Tentang Penulis _____181

BANTUAN GRUP SAMPOERNA
UNTUK HARIAN JURNAS

Apa relevansi informasi ini dengan keluarga Cikeas? Boedi
Sampoerna ditengarai menjadi “salah seorang penyokong SBY,
termasuk dengan menerbitkan sebuah koran” (Rusly 2009: 48).
Ada juga yang mengatakan ”Sampoerna sejak beberapa tahun
lalu mendanai penerbitan salah satu koran nasional (Jurnas/
Jurnal Nasional) yang menjadi corong politik Partai SBY” (Haque
2009).

Dugaan itu tidak 100% salah, tapi kurang akurat. Untuk
itu, kita harus mengenal figur-figur keluarga Sampoerna yang
memutar roda ekonomi keluarga itu, setelah terjadi penjualan
97% saham PT HM Sampoerna kepada maskapai transnasional
AS, Altria Group --pemilik pabrik rokok AS, Philip Morris-- di
tahun 2005, seharga sekitar US$ 2 milyar atau Rp 18,5 trilyun.
Liem Seng Tee, yang mendirikan Sampoerna di tahun 1963
bersama istrinya, Tjiang Nio, mewariskan perusahaan itu
kepada anaknya, Aga Sampoerna (Liem Swie Ling), yang lahir di
Surabaya tahun 1915. Aga Sampoerna kemudian menyerahkan
perusahaan itu kepada dua orang anaknya, Boedi Sampoerna,
yang lahir di Surabaya, tahun 1937, serta adiknya, Putera Sampoerna...

Tidak ada komentar: