Kamis, 21 Januari 2010

Saya dari Masa ke Masa (Reminiscences of the Past)

Reminiscences of the Past
Mengenang masa lalu, tidak ada salahnya. Malah, seturut anjuran ilmu psikologi, mengenang masa lalu yang indah-indah itu penting. Bisa katarsis.

Masa sekolah sungguh indah. Kisah kasih terjalin indah. Tidak memikirkan apa yang akan dimakan esok. Hidup mengalir begitu saja.

1973, saya usia 12 tahun. Tengah imut-imutnya, mana tatapan polos lagi. Masih suci waktu itu. Kepala sekolah dasar bersubsidi Jangkang namanya B. Amok. Guru saya B. Metar dan di kelas 1-2 Aen, panglima perang dari Jangkang melawan Jepang. SD kami mula-mula di asrama Yohanes Paulus II Jangkang sekarang. Lalu pindah ke samping, sampai SMP kelas II. Seterusnya, pindah ke gedung SD Robungkangk, bersilih ganti dengan SD.

Di SMP, saya sudah masuk tim inti volley ball, jadi pengumpan smasher kami yang jangkung bernama Jumpa. Pramuka paling saya gemari. Gurunya Ulan. Kami sering mendaki Bukit Bengkawan, mencapai puncak, lalu turun hingga kampung Engkolai.


1976. Dari Jangkang ke Sanggau berjalan kaki menempuh jarak sekitar 120 km. Ini karena waktu itu di Balai Sebut belum ada studio foto (kacihan deh elo!). Teman seperjalanan waktu itu Doraman, Juseng, Jumpa, Teres, Tini, Ase, Kiman, Toher.


1977, di Sanggau (Kapuas), tatkala hendak meneruskan SMA di Nyarumkop. Di SMA yang terletak di kaki Gunung Poteng ini ada asrama putra, Wisma Widya. Saya jadi anak asrama satu setengah tahun, bersama abang sulung (Herys Maliki), yang waktu itu kelas IV (SMA Seminari). Di atas asrama kami, ada asrama putri, di tepi sungai Sekabu. Air jernih mengalir. Anak-anak asrama putri sering mandi di situ, kami suka curi-curi pandang dari semak-semak. Ternyata mereka mandi sambil mengenakan kain batik. Pamong kami waktu itu, Petrus Rostandy, kini pastor paroki Katedral Pontianak. Tgl 17 Januari 2010 pagi, saya ikut misa yang dibawakannya, lalu ketemu di pastoran. Ia sangat baik. Dari sikap dan pandangannya saya tahu, dia sayang pada kami, anak-anak asuhannya. Panjang usia, pater!


1982, tatkala lulus SMA di Sekadau, Kalbar.

Karena nakal, tapi bukan kriminal, saya dikeluarkan dari asrama Nyarumkop bersama tiga rekan lain. Syukurlah. Saya memang ingin pindah. Saya ke Sekadau, 225 km dari Nyarumkop-Singkawang. Diterima dengan tangan terbuka oleh Pak Damsyik, kepala SMA PGRI yang berperawakan kecil tapi wibawa sekali. Ia sayang pada saya. Pak FX Surato yang membantu mengenalkan saya padanya. Surato ini guru PMP, dia juga sayang pada saya. Beliau akhirnya berkarier di Kantor Depag Mempawah, selanjutnya Bimas Katolik Prov. Kalbar.


Sewaktu kelas III SMA, piknik ke Pantai Pasir Panjang. Bersama pamong, Paulus Aureli, CP. Kami seasrama.

Di SMA, saya punya karib bernama Kongfa. Anak Chinese pasar Sekadau, namun katanya punya famili di Paniraman, dekat Sui Pinyuh. Kami sering nonton bioskop bersama. Di mana kamu sekarang, Fa? Dalam foto, dia di belakang saya. Kami fose depan asrama saya, Jalan Rawak.


Kami juga biasa pinik di Sekadau. Anak-anak asrama ke Lawang Kuari. Ada Abuy, Sabinus CP, Piet Apot, Lukas karib saya.

Di Suara Indonesia, saya punya banyak teman akrab. Salah satunya, Nunung. Ia reporter wanita, kemudian bekerja di Surya. Bersama Nuratim, kami abis makan di Terminal Gadang.


Tahun 1989, tatkala lulus Sarjana Filsafat. Sang filsuf muda mulai bertanya: quo vadis?

Hidup yang sebelumnya mengalir bagai air, mulai dipersoalkan:
- dari mana datangnya kehidupan?
- hidup itu anugerah, ataukah datang begitu saja?
- mengapa saya harus hidup?
- apa tujuan saya hidup?
- untuk apa saya hidup?
- bagaimana saya seharusnya menjalani hidup (modus vivendi)?
- apakah hidup akan berakhir?
- bagaimana akhir dari hidup?
- kalau hidup ada akhirnya, lalu apakah artinya hidup?
- bukankah hidup berarti: terus ada, segalanya berlangsung secara otomatis?

Nah, Anda, pembaca. Bisakah menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan memuaskan, disertai argumen yang masuk akal tentunya.

Tidak ada komentar: