Rabu, 20 Januari 2010

Saya sebagai Wartawan dan Penulis

Sejak mahasiswa semester III, saya sudah jadi wartawan beneran. Era 1980-an, ketika itu, di Malang ada koran lokal Suara Indonesia, anak Sinar Harapan.


Sebelum tes masuk, yang meliputi tes Bahasa Indonesia (EYD dan logika bahasa), saya kolumnis sastra dan budaya. Lumayan terkenallah di Malang dan sekitarnya waktu itu. Mula-mula, kantor kami di Jalan Hasyim Asyhari. Lalu, pindah ke Jalan Kolonel Sugiyono, depan terminal Gadang, arah Kepanjen (Malang Selatan).

Di foto ini, saya tengah membaca berita yang saya buru dan saya tulis. Dimuat di halaman 2, karena saya termasuk pengisi rubrik berita kota. Jika beritanya dinilai luar biasa, masuk headline dan bonusnya besar. Redaktur saya waktu itu Mas Priyosuwarno. Dia memanggil saya "Pak Frater". Priyo yang mengajari saya mengenal, mana peristiwa yang bernilai berita dan mana yang bukan. Inisial (kode) saya X-5.

Di pojok kanan, tampak kepala separuh, Herman Yos Kiwanuka. Ia jago nulis berita olah raga. Lalu di latar adalah Nuryatim, bagian keuangan. Yang cewek itu Hilda. Dia tak lama si SI, buru-buru dilamar orang.

Foto berikutnya, waktu kami koresponden dan wartawan majalah Hidup kunjungan kerja ke redaksi harian Kompas. Dipandu Dod (nama inisial), kami berfoto di lantai 5 gedung Gramedia.


Ada Adhi Kusumaputra (KSP) --kini wartawan Kompas.com. Ada Djony Herfan (kini redaktur Grasindo), ada Floren (kini pelukis profesional), Paul Pati, Pius Nasar, Rina, Karl Beru, Subroto Widjojo, Edmond Monteiro,Budi Santosa, Monik, Sulis, V. Sukemi dari Semarang, dan Anas Sani Bethan "si gila" dari Surabaya.

Kapan ya?
Di kantor Suara Indonesia itu tahun 1985. Di Jakarta, kantor Kompas, 1986.

Tahun 1990, saya hijrah ke Jakarta. Mula-mula redaktur majalah Hidup. Lalu, sempat jadi koresponden UCA NEWS, sebuah kantor berita berbahasa Inggis yang berpusat di Hong Kong. Jika dimuat, berita dibayar dengan dollar, dihitung per kata.

Bos kami waktu itu, Bob Astorino sebagai executive editor. Ia banyak mengajari saya bagaimana cara menulis berita keras. Bahwa sari berita (main point) harus ada di alinea pertama, Tuan Bobllah yang mengajari. Lalu, judul diambil dari intisari berita.


Saya tinggaldi Batu, 15 km dari Malang. Kota Apel itu sejuk, saya tinggal di sebuah gedung bercat putih. Di dalam halamannya yang luas, ada kebun apel. Apel Malang yang terkenal itu tidak ada di Malang, justrtu ditanam di Kota Batu.

Di waktu senggang, di sela-sela jadi wartawan dan kuliah, saya suka berkebun. Kerja tangan yang, dalam istilah latin, opus manuale.

Kok sekarang tidak lagi wartawan? Benar kata orang, pada akhirnya, setiap orang adalah guru. Karyawan yang baru masuk, setelah sekian lama menekuni kerjanya dan jadi profesional, akan menurunkan pengetahuan dan pengalamannya pada juniornya. Ia jadi guru.

Saya pun demikian. Kini jadi guru ratusan calon wartawan dan penulis di sebuah universitas. Menurunkan (sedikit) ilmu yang sejak 1984 saya rintis dan tekuni.

Membuka kembali berita dan feature yang saya tulis tahun 1984-1987, rasanya asyik. Berita keras memang jadi basi. Namun, feature dan berita lembut lain, tetap abadi. Lain kali akan saya scan dan muat utuh untuk pembaca. Misalnya, saya pernah menulis feature tentang hotel-hotel di Batu.


Di pemandian Tretes. Tulisan di kaos saya "Running is Living".

Juga sempat melakukan in depth reporting atas life style para kembang, penghuni tempat wisata Tretes, Jawa Timur. Judulnya "Antara Tretes Putih dan Tretes Hitam". Bahkan, sempat jadi inspirasi saya dalam sebuah episode novel Flamboyan Kembali Berbunga.


Saya di teras lantai III kampus STFT Widya Sasana, Malang.

Novel itu saya tulis di mana bisa. Waktu kuliah, saya sering gunakan menulis novel. Tidak setiap mata kuliah,memang. Hanya mata kuliah yang ada diktatnya saja, nanti toh bisa belajar di rumah.

Tahun 1989, saya lulus S-1 filsafat-Teologi. Puncaknya, acara wisuda. Di kanan saya, Yosepha dan di kiri Mathilda. Kami sering nyari buah nangka, bersama Agus, Anton Phang, Yoseph, Sabinus (alm.). Kami akur: semua makan nangka, semua kena getahnya.

Saya tentu saja waktu itu belum mafhum, bahwa filsafat adalah core ilmu komunikasi. Ketika jadi dosen, heran saja kok semuanya serba nyambung. Ada mata kuliah logika, etika dan filsafat ilmu komunikasi, epistemologi, metateori logika (induksi) yang jadi dasar creative writing.

Di fakultas ilmu komunikasi, tentu saja, saya tinggal recall dan refresh mata kuliah masa lampau. Tidak tahu orang lain, saya merasa mengajar adalah belajar 2x. Dengan dan melalui mengajar, saya dua kali lebih mengerti materi bahasan daripada dulu saya belajar. Makin topik didalami, makin saya merasa "tidak ada apa-apanya". Makin saya merasa hanyalah seujung kuku hitam dibanding empu dan ikon logika, Aristoteles.

Tidak ada komentar: