Surabaya Post, Rabu, 6 Januari 2010
Oleh: R. Masri Sareb Putra
Dosen Universitas Multimedia Nusantara, Jakarta.
Gurita Cikeas dan kaitannya dengan skandal Bank Century mencuat jadi isyu nasional akhir tahun 2009 hingga kini. Sebegitu hebat, hingga nyaris menenggelamkan berita kepergian dua tokoh nasional, Gus Dur dan Frans Seda. Di sini genap adagium dalam dunia komunikasi massa, “big people makes big news.”
Kalangan akademis menyarankan, pihak yang merasa dirugikan terbitnya MGC agar membuat buku tandingan. Dilengkapi data dan fakta. Biar publik jadi juri, mana dari keduanya yang laik dipercaya mendekati kebenaran?
Sebelum para big people bisa membuktikan buku Membongkar Gurita Cikeas (MGC) cacat secara ilmiah, opini publik yang terbangun tesis George Junus Aditjondro benar. Padahal, jalan ilmiah ialah tesis dijawab anitesis. Hibrida keduanya melahirkan sintesis.
Asal mula gurita
Ikan mangsi, istilah latinnya onychoteuthis engulata, atau octopus, ialah bangsa cumi. Yang raksasa punya banyak tangan. Hebatnya, tangan-tangan itu menggurita. Jika melilit, musykil mengurainya kembali. Sebab, cengkeramannya amat kuat.
Maka sangat tepat Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:377) memberi contoh gurita dalam kalimat. "Bisnis anak pejabat itu besar dan gurita karena menjarah bank-bank swasta di negeri ini." Maka alangkah malu dan hinanya pihak yang dimasukkan Aditjondro ke dalam bilangan bangsa mangsi.
Menurut Aditjondro, gurita itu datang dari Cikeas. Pria berjenggot subur dan gondrong ini menjelaskan asal muasal hikayat Cikeas dari kepompong sampai kupu-kupu, hingga menggurita, begini:
"... seorang jenderal memborong lahan tanah seluas 25 hektar di Desa Cikeas, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor, sewaktu masih berharga Rp5000 per meter persegi tahun 1995. Tanah itu kemudian dikapling-kapling, masing-masing seluas seribu meter persegi. Tahun berikutnya ditawarkan kepada sejumlah perwira tinggi di jajaran Hankam seharga Rp 35 ribu per meter persegi. Sejumlah jenderal membelinya, termasuk SBY, yang langsung membeli empat kapling. Harga tanah di sana sekarang sudah bernilai Rp 1,5 hingga Rp 2 juta per meter persegi (halaman 42).
Bumi Cikeas kini membubung tinggi. Bukan hanya kiasan, tapi tinggi benaran. Harga tanah per meter di sini lebih dari Rp2 juta. Luar biasa! Makanya, banyak orang mengarahkan mata ke tempat ini. Terutama ke purinya. Padahal, tahun 1980-an, menjadi tempat jin buang anak. Gunung Putri kini tinggi seribu janji! Ini konteks judul buku Aditjondro, gurita itu datang dari Cikeas.
Metode ilmiah
Membaca seluruh MGC, sama sekali tak ada kesan Aditjondro bermaksud memfintah. Ia hanya pandai membidik topik yang laik-jual. Lagi pula, karya ini ilmiah. Mengapa? Karena penulis telah memenuhi syarat dan langkah-langkah ilmiah. Yakni mengajukan pertanyaan (5W+1 H), melakukan riset latar belakang masalah, merekonstruksi hipotesis, menguji hipotesis dengan eksperimen, menganalisis data dan membuat simpulan, lalu mengomunikasikan hasilnya pada khalayak.
Yang paling pokok dalam karya ilmiah ialah seseorang senantiasa mengedepankan kebenaran dan kejujuran. Ini harga mati. Dan yang dianggap kebenaran hendaknya sementara sifatnya, harus siap diverifikasi, sampai ditemukan kebenaran baru (novum). Sebagai contoh, sebelum Galileo Galilei menemukan bahwa yang berputar adalah bumi bukan matahari, maka yang dianggap benar ialah matahari yang berputar. Sama dengan kasus Aditjondro vs big people yang “kebakaran jenggot”. Sebelum tesisnya diruntuhkan, selama itu pula dianggap sebagai kebenaran, hingga tesisnya berhasil diruntuhkan dengan temuan baru yang lebih valid.
Dalam MGC, penulis sudah melakukan langkah ilmiah. Rekonstruksi adalah metodologi yang digunakan. Lalu cara menarik simpulan dengan metode pembuktian terbalik. Ketika dilempar ke publik, otomatis karya itu siap diverifikasi. Sayang, pihak yang keberatan, belum menyertakan data bantahan. Padahal, masyarakat menanti-nanti. Mana ekspresimu? Kita memang membaca sanggahan di koran Jurnal Nasional edisi 2 Januari 2010. Itu pun wawancara dengan juru bicara presiden. Tidak membantah ihwal yang substansial, namun hal yang remeh temeh.
Sementara itu, tuduhan Amien Rais karya itu kurang ilmiah, karena menggunakan sumber kedua, perlu dikritisi. Sumber primer, sekunder, atau tersier bukanlah soal, asal mengedepankan kebenaran (truth). Apa sang doktor politik itu lupa, sumber (hanya) mendukung/menyangkal pendapat seseorang? Status questionis adalah: data/informasi benar atau salah.
Ada riset langsung penulis (hal 67-69), terutama mengenai money politic dan vote buying (pembelian suara) yang dilakukan kader Partai Demokrat. Data yang dibeberkan cukup akurat, sebab menyebut nama, tempat, dan jumlah dana yang dikeluarkan. Ini tesis yang bila dinyatakan tidak benar oleh pihak lawan, perlu dibuktikan sebaliknya. Tidak perlu berkeli. Misalnya, dengan dalil bahwa KPU sudah menerima hasil Pemilu, apa yang sudah terjadi tidak bisa diungkit lagi. Masalah pokok adalah, benar atau tidak kader Partai Demokrat melakukan praktik curang?
Karya ilmiah akhirnya harus siap diverifikasi. Aditjondro bertanya pada Ramadhan Pohan tiga kali soal aliran dana Grup Sampurna ke harian Jurnas, namun tidak dijawab. Bukankah ada pepatah, "tacit consent", diam berarti setuju? Dalam politik, tidak berlaku pepatah “Diam adalah emas,” sebab pihak yang diam, diangap kalah.
Media framing
Di tayangan TV, kita tidak melihat Aditjondro memukul Ramadhan Pohan, hanya tangan kiri memegang buku yang disambarkan ke muka Pohan. Sakitnya gak seberapa, mungkin malunya itu.....
Bisa jadi, hari-hari terakhir pembaca menemukan banyak versi soal isyu ini. Beda media, beda cara membingkainya. Dalam studi media, ini namanya media framing. Jadi, isyu atau topik suatu berita, mesti dilihat (dan dibaca) dalam konteks ideologi siapa di balik media yang bersangkutan?
Banyak yang pro George, namun tak sedikit yang kontra. Yang kontra umumnya menyerang pribadi, entah metodologi maupun integritas penulis. Ini namanya argumentum ad hominem dalam retorika, tidak menohok ke persoalan, tapi menyerang pribadi. Burung juga tahu, orang yang menggunakan teknik retorika seperti itu, atau istilah kerennya de sophisticis elenchis. Biasanya pihak yang menggunakan retorika ini kehilangan nalar argumentatif untuk memukul balik lawan.
Dari sekian bab, sebenarnya cuma ada tiga yang “menghebohkan” dari buku ini. Yakni bab tentang di Balik Skandal Bank Century (hal. 13), Bantuan Grup Sampoerna untuk Harian Jurnas (hal. 21) yang memicu perseteruan Aditjondro dan Ramadhan Pohan, Pemanfaatan PSO LKBN Antara untuk Bravo Media Center (hal.29), danYayasan-Yayasan yang Berafliasi dengan SBY (hal. 35).
Lepas dari pro-kontra, kita bisa belajar banyak dari buku ini. Percuma melarangnya peredar, sebab tiap orang dapat mengaksesnya dalam bentuk e-book di internet. Melarangnya beredar, sama dengan menutup angin dengan kain.
Bagaimanapun, terbitnya MGC telah meninggalkan pelajaran berharga. Ia memicu kita semua dalam proses pembelajaran berdemokrasi. Bahwa di era keterbukaan dan alam demokrasi yang musykil dibendung, sumber kebenaran tidak lagi melulu ada pada tangan penguasa, tapi juga –dan terutama— dari rakyat jelata. Bukankah ini makna demokrasi sesungguhnya bahwa kekuasaan di tangan rakyat?
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar